Kerangka Pemikiran Operasional Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang

7. Pendidikan petani Pendidikan erat kaitannya dengan pola pikir petani. Petani yang berpendidikan cencerung akan berusaha mendapat hasil atau keuntungan yang maksimal dari lahan yang diusahakannya. Sehingga, petani yang berpendidikan akan mejual lebih banyak daripada petani yang kurang berpendidikan. 8. Akses sarana pasca panen gabah Sarana pasca panen terdiri dari gudang penyimpanan gabah dan lantai jemur. Jika petani mempunya akses keduanya, maka petani tersebut akan cenderung menyimpan gabahnya untuk dijual di kemudian hari saat harga gabah lebih baik. Pendekatan pengukuran variabel ini adalah dengan luasan lantai jemur atau akses jemur, dan tempat petani menyimpan persediaan gabahnya storage. 9. Status Penguasaan Lahan Status penguasaan lahan secara teoritis akan berpengaruh negatif terhadap marketed surplus. Hal tersebut dikarenakan petani yang mengusahakan lahan bukan miliknya sendiri akan dikenakan biaya tambahan atau biaya sewa, yang sebagian besar sewanya menggunakan sistem bagi hasil panen antara petani pangarap dan pemilik lahan. 10. Sumber Modal Petani yang modal usahataninya berasal dari pinjaman akan cenderung meningkatkan marketed surplus. Hal itu disebabkan selain untuk mendapat keuntungan, petani juga menjual lebih banyak produknya untuk membayar modal pinjaman yang dipinjamnya tersebut.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Pemenuhan beras atau padi sebagai bahan pangan pokok saat ini masih bergantung pada produksi padi petani lokal. Namun, produksi padi masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Penyediaan beras atau padi sebagai bahan pangan utama masih mengandalkan padi yang diproduksi oleh petani dalam negeri yang mana adalah marketed surplus dari para petani itu sendiri. Sebagai kebutuhan pokok, padi pada dasarnya adalah komoditi subsisten. Petani sebagai produsen juga bisa berperan sebagai konsumen. Dengan rata-rata kepemilikan 0,6 hektar maka sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada kelebihan, baru mereka memasarkannya marketed surplus. Adanya kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan produksi padi, seperti kebijakan pupuk bersubsidi dan harga pembelian pemerintah harga dasar. Selain itu juga, kemudahan akses pasca panen yang semakin mudah diduga bisa mengubah padi dari komoditi subsisten menjadi komoditi komersial. Kuat dugaan, petani dengan kondisi seperti ini, tidak lagi menyimpan gabahnya, melainkan dijual seluruhnya, sedangkan untuk keperluan konsumsi petani bisa membelinya dari pasar. Diduga ada pergeseran pola perilaku petani dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh hasil panennya yang bisa mempengaruhi supply padi atau beras ke masyarakat. Artinya, padi yang pada dasarnya komoditi subsisten bisa berubah menjadi komoditi komersial. Di sisi lain, pola usahatani padi bukan hanya pola usahatani yang berbasis lahan basah atau sawah, melainkan juga pola usahatani yang bebasis lahan kering atau ladang. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji corak usahatani padi pada kedua pola usahatani tersebut baik dalam perilaku alokasi produk maupun faktor- faktor yang mempengaruhi marketed surplusnya. Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan pemerintah Pola Alokasi Produk Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus petani Kesimpulan marketed surplus Saran Kondisi Pasar Kelembagaan dan budaya Faktor internal Faktor eksternal Pola Usahatani padi sawah dan Ladang Corak Perkembanan Usahatani Subsisten dan Komersiil IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian