26 tidak menunjukkan gejala klinis selain garis hitam yang tampak jelas. Pada
perlakuan E kematian terjadi antara H1 sampai H7, sedangkan antara H7 sampai akhir pengamatan uji antagonistik in vivo H10 tidak terjadi lagi kematian dengan
SR 26,7. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan SR tertinggi
adalah D kontrol negatif yaitu 90,0±10,0. Angka tersebut memiliki perbedaan yang signifikan P0,05 jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya Lampiran
5. Survival rate terkecil pada perlakuan B 20,0±10,0 yang berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan C 43,4±15,3 dan D, namun tidak berbeda nyata
P0,05 terhadap perlakuan A 33,3±11,5 dan E 26,7±5,8. Perlakuan A dan E tidak berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan B dan C, namun berbeda
nyata terhadap perlakuan D.
Keterangan: A simulasi pencegahan; B injeksi bersama; C simulasi pengobatan; D kontrol negatif; E kontrol positif; Huruf superscript yang berbeda
menunjukkan hasil yang berbeda nyata P0,05.
Gambar 12 Survival rate SR pada akhir uji antagonistik in vivo
3.7.3 Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditunjukkan oleh ikan nila selama uji in vivo meliputi perubahan tingkah laku renang, aktivitas makan serta patologi anatomi
makroskopis organ luar ikan. Sejak pemeliharaan H6 hingga H0, tidak terjadi perubahan baik pada tingkah laku renang, aktivitas makan serta patologi anatomi
makroskopis organ luar ikan nila, semuanya terlihat normal. Pakan dihentikan hanya pada H0 pemeliharaan, yakni saat semua ikan yang digunakan dalam
perlakuan diberi injeksi dengan kandidat probiotik, patogen, larfis maupun kombinasi perlakuan, sedangkan pada injeksi perlakuan lainnya pemberian
pakan tidak dihentikan.
27 Pascainjeksi pada H0, mulai terjadi perubahan aktivitas makan, serta
anatomi makro pada setiap perlakuan. Pada H1 dan H2, hampir semua perlakuan mengalami penurunan aktivitas makan dan terjadi stres pascainjeksi
yakni garis vertikal pada tubuh ikan yang terlihat hitam dan jelas. Kemudian pada H3, gejala klinis mulai terlihat dengan terjadinya perubahan patologi anatomi
makroskopis pada perlakuan yang diberi injeksi patogen yakni mulai terjadi exopthalmia mata menonjol pada beberapa perlakuan. Pada H4, semua
perlakuan kecuali D menunjukkan perubahan gejala klinis seperti aktivitas makan respons terhadap pakan lemah, garis vertikal tubuh terlihat jelas, sirip dorsal
tegak, exopthalmia, opacity kekeruhan pada mata, clear operculum, tingkah laku renang lemah dan terkadang agresif, whirling, serta tubuh membengkok,
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Hampir semua gejala klinis penyakit Streptococcosis ditunjukkan pada H4 pascainjeksi. Gejala klinis pada
H4 lebih banyak dibandingkan hari lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada H4 pascainjeksi S. agalactiae non-hemolitik isolat 5 penyakit
Streptococcosis dapat didiagnosa berdasarkan gejala-gejala yang timbul. Aryanto 2011 melaporkan bahwa bakteri S. agalactiae non-hemolitik lebih cepat
menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan pada hari ke-6 pascainfeksi ikan cenderung berenang lemah, gasping dan whirling sedangkan gejala yang
sama baru muncul hari ke-7 pascainfeksi dengan bakteri ti pe β-hemolitik.
Perubahan pada mata diawali dengan mata mengkerut, kemudian pupil mata mengecil, mata seperti berkabut opacity, purulens hingga sebelah mata
dapat hilang Hardi 2011. Aryanto 2011 melaporkan perubahan mata berkabut atau keruh opacity terjadi pada hari ke-2 pada saat infeksi tipe non-hemolitik,
sedangkan pada tipe β-hemolitik perubahan terjadi pada hari ke-4. Pembengkakan mata atau exopthalmia yang disertai dengan pendarahan terjadi
pada hari ke-4 untuk tipe non-hemolitik dan pada hari ke- 5 untuk tipe β-hemolitik.
Lateral exopthalmia lebih sering terjadi dibandingkan dengan bilateral exopthalmia. Gejala Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear
operculum dengan berbagai tanda. Gejala clear operculum muncul rata-rata pada hari ke-3 dan clear operculum yang disertai pendarahan pada hari ke-4
untuk bakteri tipe non-hemolitik dan hari ke-5 pascainjeksi bakteri tipe β-hemolitik
tanpa disertai pendarahan. Selain perubahan gejala pada mata, perubahan gejala klinis lainnya pada
uji in vivo ini juga terjadi pada H4 atau lebih cepat dibandingkan dengan
28 perlakuan yang diberikan Aryanto 2011. Hal ini diduga karena perbedaan dosis
injeksi. Dosis yang diberikan pada uji in vivo ini adalah 10
6
CFUmℓ sesuai dengan dosis pada uji in vitro sedangkan Aryanto 2011 menggunakan dosis
10
4,8
CFUmℓ berdasarkan perhitungan LD
50
. Pemberian dosis tersebut sesuai dengan Sukenda 2000, ikan uji dengan berat 100 g menerima 1 mℓ suspensi
bakteri dari 3x10
3
hingga 3x10
6
CFUmℓ sebagai standar dari injeksi bakteri. Gejala klinis yang teramati juga sesuai dengan gejala yang berhasil
diamati oleh Evans et al. 2006, pada ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae sebelum mati yaitu berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respons
terhadap pakan lemah, whirling, dan tubuh membentuk huruf ”C”. Gambar 13
menyatakan beberapa perubahan tingkah laku renang ikan nila yang teramati selama uji antagonistik in vivo.
Keterangan: a Normal; b Normal; c Berdiam di dasar; d Berkumpul di sudut; e Berenang agresif; f Whirling; g Bergerak lemah; h Berenang
di permukaan; i Gasping.
Gambar 13 Perubahan pola renang ikan nila pascainjeksi S. agalactiae Hardi 2011 melaporkan perubahan tingkah laku makan ikan nila akibat
serangan bakteri S. agalactiae karena terganggunya sistem pencernaan ikan
29 akibat adanya infeksi bakteri S. agalactiae yang menyerang bagian hipotalamus
otak sebagai pusat yang mengatur rasa lapar dan juga pencernaan ikan. Perubahan tersebut terlihat jelas pada aktivitas makan ikan nila pascainjeksi
pada H3 hingga H7. Ikan mulai lambat merespons pakan yang diberikan dan jumlah pakan yang dimakan juga berkurang. Umumnya respons ikan
pascainjeksi S. agalactiae lemah, bahkan ikan uji yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik teramati tidak mengonsumsi pakan yang diberikan sejak H3.
Hingga H7, gejala klinis yang ditunjukkan masih jelas terlihat serta menyebabkan kematian pada ikan. Gejala klinis yang terlihat saat pengamatan
tetap terlihat pasca kematian ikan seperti exopthalmia, opacity, clear operculum, purulens mata menjadi putih, mata mengkerut, hemorragi pendarahan pada
tubuh, ulcer pada kepala, serta tubuh membengkok seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Keterangan: a Normal; b Normal; c Sirip punggung mengembang; d Garis vertikal tubuh menghitam; e Clear operculum penjernihan operkulum; f Lateral
exopthalmia penonjolan
sebelah mata;
g Bilateral
exopthalmia penonjolan dua belah mata; h Purulens mata memutih; i Mata
mengkerut; j Tubuh membengkok; k Opacity mata berkabut; l Warna tubuh pucat; m Ulcer pada kepala.
Gambar 14 Gejala klinis pada organ mata dan tubuh ikan nila Menurut Irianto 2005 penyakit infeksius bisa bersifat akut dengan
mortalitas tinggi dalam jangka waktu singkat dan sedikit tanda-tanda yang terlihat, sub-akut maupun kronis serta laten dengan mortalitas berlangsung
30 hingga beberapa minggu sejak munculnya wabah. Bakteri S. agalactiae
merupakan patogen yang menyebabkan septicemia dengan tipikal infeksi yang kronis pada ikan nila Conroy 2009. Penyakit Streptococcosis memiliki
karakteristik yaitu septicemia dan meningoencephalitis Mian et al. 2009. Gejala klinis dari penyakit ini adalah kelesuan, perut bengkak, lambung dan usus diisi
dengan cairan gelatinous atau kekuning-kuningan dan pada beberapa ikan terjadi hemorragi kecil di mata, exopthalmia dan kornea keburaman opacity,
selain itu hati membesar, kongesti ginjal dan limpa, dan adanya cairan di rongga peritoneal Eldar et al. 1994b. Gejala klinis tersebut juga teramati selama uji in
vivo walaupun tidak dilakukan pencatatan, seperti ditunjukkan pada Gambar 15.
Keterangan: a Ikan mati dengan perut membengkak, bagian perut kecokelatan dan tubuh pucat; b Ikan hidup dengan perut membengkak dan tidak dapat
berbalik badan; c Ikan mati segar dengan perut membengkak; d Bagian sekitar sirip pectoral berwarna kuning kehijuan; e Usus berisi cairan
kekuning-kuningan; f Beberapa organ dalam mengalami pembengkakan. Panah kuning
menunjukkan organ dalam ikan nila: Gj Ginjal, Ht Hati, Pk Pankreas, Us Usus, Lb Lambung
Gambar 15 Gejala klinis berupa pembengkakan perut dan organ dalam ikan nila Menurut Hardi 2011, bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih
virulen dibandingkan denga n tipe β-hemolitik dilihat dari kematian, munculnya
gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Aryanto 2011 juga melaporkan, pascainjeksi
bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak menimbulkan gejala klinis dibandingkan dengan tipe β-hemolitik. Sejak H8 hingga H10 hari terakhir
pengamatan gejala klinis yang tercatat dalam penelitian ini semakin berkurang,
menyisakan gejala patologi makroskopis organ luar seperti beberapa gejala klinis
31 pasca kematian. Selain itu, pada H8 hingga H10 aktivitas makan ikan mulai
normal walaupun tidak terjadi pada setiap perlakuan. Permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik tidak seperti sel bakteri tipe non-
hemolitik berkapsul yang selain tersusun atas protein, juga tersusun atas karbohidrat yang lebih banyak, sehingga lebih sulit untuk difagosit. Sel bakteri
tipe non-hemolitik lebih cepat tumbuh dan berkembangbiak serta menyebarkan virulensi di sel atau jaringan dibandingkan bakteri tipe β-hemolitik yang mudah
dikenali dan mampu dilawan oleh sistem imun Hardi 2011.
Winarti 2010
menyatakan, bahwa
pemaparan antigen
pada intramuscular menyebabkan bakteri langsung masuk ke dalam jaringan dan
pembuluh darah kapiler kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh sehingga dengan dosis lebih rendah menyebabkan kematian ikan nila yang lebih banyak
dan cepat. Menurut Cipriano 2001 dalam Winarti 2010, keganasan penyakit dipengaruhi oleh jumlah dari faktor yang saling berhubungan, meliputi virulensi
bakteri, macam dan derajat stres yang dipengaruhi populasi ikan, kondisi fisiologi dari inang dan derajat resistensi genetik yang tidak bisa dipisahkan dalam
populasi spesifik dari ikan.
3.7.4 Hematologi Ikan