Latar Belakang Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 menyatakan bahwa pada tahun 2025 ditargetkan tercapai komposisi sumber energi yang optimal dengan bahan bakar nabati lebih dari 5 . Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM bersama dengan Pokja Bahan Bakar Nabati menargetkan produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2015 dan 2025 masing- masing adalah 0,110, 0,263 0,415, 0,568, 0,720, 1,500 dan 4,700 milyar liter. Biodiesel diharapkan dapat berperan sebagai sumber energi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan bahan bakar diesel nasional. Menurut Soerawidjaja et al. 2005 jika Indonesia berhasil mensubstitusi 2 biodiesel berarti diperlukan 720 ribu ton CPO yang dapat membuka lapangan pekerjaan di sektor perkebunan sebesar 100 ribu orang dan di pabrik 5 ribu orang serta mengurangi devisa negara 216 juta US asumsi harga solar 30 sen dolar ASliter. Potensi pengembangan biodiesel Indonesia cukup besar karena disamping sebagai penghasil CPO terbesar pertama di dunia, Indonesia juga memiliki banyak spesies tanaman yang minyaknya dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel Soerawidjaja et al. 2005. Produksi biodiesel skala besar masih bermasalah khususnya berkaitan dengan belum tersedianya bahan baku dalam jumlah yang besar dengan harga yang murah. Penggunaan minyak jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel bermasalah berkaitan dengan produksi biji jarak yang rendah, hal ini berdampak pada pendapatan petani. Produksi biji jarak rata-rata pada tahun kelima menurut Francis dan Becker 2001 adalah 5 tonhektar per tahun. Produksi minyak jarak per hektar per tahun termasuk rendah hanya 1.590 kg atau 1.892 liter sementara untuk minyak sawit mencapai 5.000 kg atau 5.950 liter http: www. journeytoforever.org biodiesel. Jika harga biji jarak per kg Rp1000 dengan rata- rata produksi per tahun 5 ton ha maka pendapatan kotor petani per ha hanya Rp5.000.000 tahun atau Rp416.000 bulan. Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel bermasalah karena berkompetisi penggunaanya sebagai bahan pangan dan oleokimia lain. Adanya permasalahan tersebut memacu pencarian bahan baku lain yang kompetitif salah satunya adalah minyak biji nyamplung minyak biji bintangur Calophyllum inophyllum L.. Inti kernel nyamplung mempunyai kandungan minyak yang sangat tinggi yaitu sebesar 75 Dweek dan Meadows 2002, 71,4 pada inti yang kering dengan kadar air 3,3 Heyne 1987, 40-73 Soerawidjaja et al. 2005, 55,5 pada inti yang segar dan 70,5 pada inti yang benar-benar kering Greshoff dalam Heyne 1987. Tanaman nyamplung setiap tahun dapat menghasilkan 100 kg biji per pohon Dweek dan Meadows 2002; Friday dan Okano 2005 dan 40-150 kg biji perpohon Balitbang Kehutanan 2008. Apabila tanaman nyamplung mempunyai jarak tanam 5 x 5 m 2 dan apabila dari areal tanam terdapat 80 tanaman nyamplung maka dalam satu hektar ada sekitar 320 tanaman dan apabila satu tanaman menghasilkan 50 kg biji pohon Balitbang Kehutanan 2008 dengan rendemen minyak 17,5 maka diperoleh 14.000 kg bijitahun setara dengan 2450 kg minyak tahun. Target produksi 0,72 milyar liter biodiesel pada tahun 2010 diperkirakan dapat dipenuhi oleh 352 ribu ha lahan nyamplung. Kebutuhan areal tersebut lebih rendah dari jarak pagar yaitu sebesar 480 ribu ha asumsi produksi 6 ton biji jarak per hektartahun setara dengan 1892 kg minyak ha-tahun namun lebih tinggi dari kelapa sawit 160 ribu ha asumsi produksi 5000 kg minyak ha-tahun. Permasalahannya adalah apakah minyak biji nyamplung dapat diproses menjadi biodiesel yang dapat memenuhi standar dan bagaimana rancangan prosesnya yang sesuai? Tanaman nyamplung tersebar di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai dengan Papua dengan luas areal tegakan nyamplung mencapai 255,3 ribu ha Balitbang Kehutanan 2008. Tanaman nyamplung mempunyai sifat-sifat: pembudidayaanya mudah; tumbuh baik pada ketinggian 0-800 meter; curah hujan 1000-5000 mm; pada pH 4,0 - 7,4; tahan pada tanah tandus bahkan tumbuh baik di daerah pantai berpasir kering atau digenangi air laut akan tetapi kelemahannya baru dapat menghasilkan setelah berumur 7 tahun Friday dan Okano 2005. Tanaman nyamplung berproduksi setahun dua kali Joker 2004; Friday dan Okano 2005. Tanaman nyamplung berproduksi pada bulan Februari-Maret dan Agustus– September Sutarno 2008, komunikasi pribadi, di Hawai pada bulan April–Juni dan Okotober-Desember Friday dan Okano 2005 dan di Orissa pada bulan Mei- Juni dan Oktober –November Joker 2004. Karena tanaman nyamplung tidak dapat berbuah sepanjang tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan industri harus dilakukan penyimpanan dan penggudangan. Akibat dari proses penyimpanan maka terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas ALB yang cukup besar. Kondisi ALB yang tinggi pada minyak nyamplung disebabkan pula oleh karakteristik biji nyamplung itu sendiri. Buah nyamplung yang telah tua dengan kulit berubah dari hijau menjadi coklat dan mengeriput, untuk dapat diambil minyaknya harus dilakukan pengupasan dan pengeringan inti terlebih dahulu. Menurut Dweek dan Meadows 2002 dan Friday dan Okano 2005 pengeringan inti nyamplung dilakukan dengan sinar matahari sampai kering dan berminyak kemudian dilakukan pengepresan. Pada saat pengeringan biji tersebut terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang cukup besar. Minyak biji nyamplung secara sederhana diproduksi oleh petani dari daerah Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang biasa digunakan untuk pelapisan genting dan sebagai bahan bantu pada pembuatan batik. Minyak tersebut mempunyai kenampakan hijau gelap dan kotor serta berkualitas jelek dengan kadar asam lemak bebas ALB sangat tinggi mencapai 30 . Minyak nyamplung selain mengandung lemak netral juga mengandung fosfolipid, glikolipid dan fraksi lemak tidak tersabunkan seperti sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isoptalat dan lain-lain Kilham 2004. Kadar asam lemak bebas yang sangat tinggi disebabkan karena karakteristik dari biji nyamplung dan penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani tersebut. Karena tanaman nyamplung hanya berbuah setahun dua kali maka untuk memenuhi permintaan minyak nyamplung diluar masa panen, petani menyimpan biji nyamplung yang telah kering diantara masa panen tersebut. Adanya permasalahan tersebut maka perlu dirancang teknologi produksi biodiesel yang tepat sesuai dengan karakteristik minyak biji nyamplung tersebut. Minyak nabati dengan kadar ALB yang tinggi tidak dapat diproses menjadi biodiesel dengan proses transesterifikasi karena akan terbentuk emulsi sabun sehingga menyulitkan proses pemisahan metil ester Canakci dan Van Gerpen, 2001; Tyson 2004; Lele 2005. Persyaratan minyak nabati pada transesterifikasi dengan katalis basa adalah ≤ 5 Canakci dan Van Gerpen 1999. Apabila dilakukan netralisasi terlebih dahulu akan berakibat pada kenaikan biaya produksi dan rendahnya rendemen. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan proses produksi biodiesel melalui proses dua tahap yaitu esterifikasi yang bertujuan untuk menurunkan ALB sekaligus mengkonversi ALB tersebut menjadi metil ester dan transesterifikasi untuk mengubah trigliserida, monogliserida dan digliserida menjadi metil ester.

1.2 Tujuan Penelitian