1 Dasar Pemikiran Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus di Surabaya dan Yogyakarta)
Ladle 2005 Surabaya dan Semarang merupakan dua kota di Jawa yang tingkat kegemaran masyarakatnya dalam memelihara burung paling tinggi. Kegemaran
memelihara burung menjadi salah satu pilihan yang paling banyak dilakukan jika dibandingkan dengan beberapa jenis satwa peliharaan lainnya seperti ikan, kucing,
anjing dan ayam. Semakin maraknya kegemaran memelihara burung, tidak hanya memberikan implikasi ekonomi terhadap usaha peternakan atau penangkaran
burung saja, akan tetapi juga implikasi berantai terhadap usaha-usaha pendukung seperti misalnya industri sangkar burung, industri pakan burung yang berbentuk
perusahaan maupun usaha tradisional. Sedangkan dilihat dari dimensi sosio-kultural, burung bagi sebagian
komunitas lokal di Indonesia mempunyai makna kultural yang cukup penting, baik sebagai simbol budaya maupun simbol dari kekuatan magis yang
mempengaruhi hubungan komunitas tersebut dengan lingkungan di sekitarnya. Di komunitas dayak laut misalnya, burung menjadi simbol magis yang menjadi
bagian dari kebudayaan mereka. Beberapa jenis burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay, Pelatuk dan Sama dianggap sebagai menantu dari dewa-dewa yang
mereka percayai sebagai penguasa mereka. Hal ini memberikan pengaruh terhadap tindakan mereka dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Mereka
mempercayai bahwa dalam melakukan pembukaan hutan untuk kepentingan perladangan tidak diperkenankan jika mendengar suara burung tertentu karena
suara burung tersebut dianggap sebagai pertanda buruk akan terjadinya kejadian yang berbahaya bagi mereka jika melanjutkan pekerjaan tersebut Welty, 1979;
Andrew, 1992. Makna kultural burung juga terdapat pada masyarakat Jawa, di mana memelihara burung menjadi salah satu simbol kesempurnaan hidup
manusia. Masyarakat Jawa mempunyai tradisi mengenai nilai kesempurnaan dalam hidup, antara lain tahta, wanita, harta, turangga dan kukila. Burung dalam
konteks tradisi masyarakat Jawa menjadi representasi dari kukila, yaitu satwa peliharaan. Sebenarnya satwa peliharaan dalam konteks ini bermakna luas tidak
hanya burung saja, akan tetapi pemilihan kata kukila dalam bahasa Jawa lebih menunjuk pada burung sebagai satwa peliharaan. Di sisi lain, pada masyarakat
Jawa yang masih kuat mempertahankan tradisi priyayi keraton, burung juga menjadi simbol status sosial tertentu. Antar status sosial yang mempunyai
kegemaran memelihara burung, biasanya berkembang paguyuban-paguyuban penggemar burung yang menjadi media interaksi sosial antar penggemar burung,
seperti misalnya paguyuban penggemar burung perkutut di beberapa daerah. Pentingnya keberadaan burung dalam kehidupan manusia ternyata tidak
menjadi faktor yang positif dalam mendorong upaya pelestarian burung di Indonesia. Indonesia justru mengalami proses kehilangan dan keterancaman
beberapa jenis burung tertentu di alam. Elang Jawa misalnya, jumlahnya di alam menjadi semakin sangat memprihatinkan karena maraknya kegiatan perburuan
burung tersebut untuk kepentingan diperdagangkan. Demikian juga halnya yang terjadi dengan beberapa jenis burung paruh bengkok, di mana populasinya
semakin berkuarang karena tingginya perburuan jenis burung tersebut di alam. Meskipun jenis-jenis burung tertentu sudah semakin jarang atau bahkan terancam
punah spesiesnya namun kegiatan perdagangan jenis burung tersebut justru terus berlangsung di beberapa pasar burung. Di Pasar Ngasem Yogyakarta dan
beberapa pasar burung lainnya di Jawa, beberapa jenis burung yang terancam punah dan statusnya dilindungi jenis paruh bengkok masih diperdagangkan
dengan bebas tanpa ada upaya pengendalian dari pihak yang berwenang. Persentasenya bahkan dapat dinilai lumayan tinggi, yaitu sekitar 47 Profouna,
2001. Tingginya tingkat perburuan burung untuk kepentingan perdagangan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar negeri sebenarnya bukan merupakan sesuatu
yang baru terjadi di Indonesia. Pada tahun 1980-an sudah tercatat lebih dari sekitar 340.000 burung yang diperdagangkan secara illegal ke luar negeri.
Diantara beberapa jenis burung yang banyak diperdagangkan ke luar negeri antara lain: bondol, pipit, gelatik, perkutut, beo dan serindit. Tingginya perdagangan
burung di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan, yaitu semakin berkembangnya pasar burung sebagai sarana transaksi perdagangan
burung, pemalsuan dokumen jenis burung tertentu yang seharusnya dilindungi dan lemahnya kontrol serta penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran
perdagangan burung dilindungi maupun perdagangan illegal ke luar negeri Mackinnon, 1984.
Permasalahan semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu di alam, dalam perkembangannya mendapatkan banyak perhatian dari beberapa
pihak, baik pemerintah, NGO’s, masyarakat internasional maupun akademisi. Dari sisi pemerintah, permasalahan terancamnya burung sebagai salah satu
kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dituangkan dalam bentuk ketentuan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, di mana di dalamnya diatur ketentuan tentang upaya pelindungan, pelestarian dan larangan memperdagangkan
beberapa jenis satwa yang jumlah populasinya semakin terancam punah, termasuk di dalamnya beberapa jenis burung. Adapun ketentuan terbaru berkaitan dengan
upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Nursahid,
2003. Di tingkat lokal, terdapat pemerintah daerah yang mengeluarkan ketentuan hukum dalam bentuk Peraturan Daerah untuk menangani semakin terancamnya
jenis burung yang menjadi ciri khas daerahnya, seperti misalnya Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 20 Tahun 1994 tentang larangan terhadap
perdagangan burung Punglor dan satwa lainnya di wilayah Nusa Tenggara Barat. Sedangkan di tingkat Internasional, Indonesia bersama beberapa negara di
dunia menggabungkan diri dalam negara-negara yang menyepakati untuk meratifikasi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan di tingkat internasional dalam
hal pelestarian dan larangan perdagangan terhadap sejumlah satwa, termasuk di dalamnya burung. CITES merupakan salah satu contoh bentuk lembaga di tingkat
internasional yang menjadi kumpulan dari sejumlah negara di dunia mempunyai pandangan sama tentang pentingnya konservasi terhadap keanekaragaman hayati
yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Saat ini keanggotaan CITES sudah mencapai sekitar 172 negara. Hal ini menunjukkan adanya peran penting
masyarakat internasional dalam melakukan kontrol dan upaya pelestarian terhadap sejumlah keanekaragaman hayati yang ada di dunia, termasuk Indonesia sebagai
salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia. Selain pemerintah dan masyarakat internasional, keterlibatan pihak lain
yang juga mempunyai posisi penting dan strategis adalah NGO’s sebagai
organisasi yang dapat secara langsung menjadi pelaku aktif upaya pelestarian satwa di Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa NGO’s yang kegiatannya
ditujukan untuk kepentingan konservasi satwa liar atau biasanya bersifat lebih
umum yaitu pelestarian alam atau keanekaragaman hayati. Pada masa reformasi tahun 1997-
an, kemunculan NGO’s yang memperjuangkan pelestarian satwa liar semakin banyak. Semakin banyak terbentuknya NGO’s yang memperjuangkan
pelestarian satwa liar merupakan representasi terbentuknya kesadaran kritis di tingkat masyarakat non pemerintah tentang pentingnya permasalahan terancamnya
beberapa jenis satwa di Indonesia, yang dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan. Kemunculan NGO’s menjadi kekuatan kontrol baru selain
pemerintah dalam upaya pelestarian sejumlah satwa liar yang terancam punah. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa NGO’s yang fokus kegiatannya spesifik
pada pelestarian satwa tertentu, seperti misalnya burung. Tidak berbeda dengan NGO’s yang fokus pada pelestarian satwa liar secara umum, NGO’s yang
menfokuskan diri pada pelestarian burung memiliki misi mengadakan upaya pencegahan terhadap berlangsungnya kegiatan yang dapat mengancam
keberadaan burung, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kegiatan yang dilakukan dapat berupa kampanye tentang pentingnya pelestarian burung,
kegiatan pendidikan lingkungan, pengamatan burung serta publikasi melalui media.
Di kalangan akademisi, permasalahan burung saat ini belum banyak mendapatkan perhatian. Hingga saat ini kajian mengenai burung lebih banyak
didominasi oleh disiplin ilmu yang berhubungan dengan aspek fisiologis dan ekosistem burung, misalnya tentang pola sebaran burung atau tingkah laku burung
dihabitatnya lihat Riley and Wardill, 2001; Widodo, J.H Cox and P.C Rasmussen, 1999. Permasalahan terancamnya beberapa jenis burung tertentu,
dalam kajian ilmiah lebih banyak dikaitkan dengan permasalahan rusaknya atau gangguan terhadap habitat burung di alam. Jati 1998 misalnya, menyatakan
bahwa hilangnya endemik beberapa spesies burung di Sumba merupakan akibat dari terganggunya habitat burung, yaitu tidak tersedianya pohon pakan serta
pohon yang biasanya menjadi sarang burung karena kerusakan hutan. Dalam kajian tersebut tidak ditelaah lebih lanjut mengenai faktor penting yang
melatarbelakangi terjadinya kerusakan tersebut, apakah karena faktor alam atau karena faktor manusia. Hal ini penting dilakukan karena dalam kenyataannya
kerusakan hutan, kegiatan perdagangan dan kegemaran memelihara burung yang
menjadi ancaman serius terhadap keberadaan burung di alam merupakan kegiatan- kegiatan yang dikonstruksi oleh manusia sebagai aktor. Dengan demikian, maka
tesis bahwa manusia merupakan aktor penting yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan pelestarian burung menjadi kajian
menarik untuk dilakukan. Beberapa argumentasi mendasar yang melatarbelakangi tesis tersebut yaitu, pertama, bahwa permasalahan terancamnya burung di alam
pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh kegiatan manusia dibandingkan dengan faktor alamiah lihat Mackinnon, 1984, kedua, kegemaran memelihara
burung yang saat ini semakin meningkat menjadi kekuatan pendorong bergesernya makna burung dari hanya sebagai satwa peliharaan atau makna
kultural menjadi makna ekonomi, yaitu sebagai komoditas pasar yang mempunyai nilai jual cukup potensial bahkan tinggi, ketiga, permasalahan pelestarian burung
dengan pendekatan konservasi an sich tanpa melihat keterlibatan manusia sebagai aktor menjadi pendekatan yang sangat simplifistis dan reduktif terhadap akar
permasalahan yang sebenarnya, keempat, permasalahan pelestarian burung pada dasarnya membutuhkan keterlibatan aktor-
aktor, baik pemerintah, NGO’s maupun masyarakat penggemar burung agar bisa berjalan dengan efektif.
Penelitian ini menfokuskan kajian pada aspek manusia sebagai aktor dalam kaitannya dengan semakin meningkatnya kegemaran memelihara burung
dikalangan masyarakat. Kajian ini penting dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai pemaknaan terhadap burung dari berbagai pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan memanfaatkan burung sebagai satwa peliharaan yang pada akhirnya berimplikasi terhadap keberadaan
populasi spesies burung tertentu.