Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus di Surabaya dan Yogyakarta)

(1)

DINAMIKA DAN KONFIGURASI KEPENTINGAN DI BALIK

PEMAKNAAN TERHADAP BURUNG BERKICAU DI JAWA

(KASUS DI SURABAYA DAN YOGYAKARTA)

Oleh:

Anton Supriyadi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

(3)

DINAMIKA DAN KONFIGURASI KEPENTINGAN DI BALIK

PEMAKNAAN TERHADAP BURUNG BERKICAU DI JAWA

(KASUS DI SURABAYA DAN YOGYAKARTA)

Oleh:

Anton Supriyadi

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(4)

DINAMIKA DAN KONFIGURASI KEPENTINGAN DI BALIK PEMAKNAAN TERHADAP BURUNG BERKICAU DI JAWA

(KASUS DI SURABAYA DAN YOGYAKARTA

)

Nama : Anton Supriyadi

NRP : A152040081

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan

Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Dinamika Pergeseran dan Konfigurasi Kepentingan Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus Surabaya dan Yogyakarta) adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan selesai dan dapat diperiksa kebenarannya

Bogor, Maret 2008


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Kalianget Timur, Kecamatan Kalianget – Sumenep (Madura). Penulis dilahirkan pada Tanggal 19 April 1981 dari pasangan suami istri yang bernama Fathorrahman dan Sriwani. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan suami istri tersebut. Penulis memulai pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri 8 Kalianget Timur pada tahun 1987. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan dengan prestasi baik pada tahun 1993. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Kalianget pada tahun 1993 dan menyelesaikannya pada tahun 1996, dengan prestasi yang baik. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kalianget dan menyelesaikannya pada tahun 1999.

Setelah menamatkan pendidikan SMU, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis mendapatkan kesempatan belajar di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial-Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2004 penulis menamatkan studinya di IPB dengan mendapatkan gelar Sarjana Pertanian. Selanjutnya penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB, yaitu di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB.

Selama pendidikan penulis aktif dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan dan menjadi asisten dosen pada beberapa mata kuliah. Di samping itu, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan penelitian, baik yang dilakukan oleh lembaga penelitian di bawah institusi IPB maupun dari lembaga luar IPB. Beberapa penelitian yang pernah penulis ikuti adalah Evaluasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM di beberapa daerah di Jawa Barat, Program Kemitraan dan Pengembangan Tanaman Hortikultura di Jawa Timur, Jawa Barat, Bali dan Solo, Penelitian tentang Kemitraan antara Petani Kelapa Sawit dengan Perusahaan di Jambi dan studi mengenai Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Penanggulangan Kemiskinan dan Pembentukan Modal Insani di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan di bawah Lembaga Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.


(8)

PRAKATA

Puji Syukur kepada ALLAH SWT, tuhan semesta alam, serta Rasulullah Tauladan Abadi Kaum Muslimin. Penulis dengan penuh perjuangan dan banyak dukungan dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis dalam tulisan ini hendak menyampaikan sejumlah ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang mendukung penulis, yaitu:

1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Dr. Arya H. Dharmawan, M.Sc selaku komisi pembimbing tesis yang telah banyak meluangkan waktu dan sabar membimbing penulis selama penelitian, penulisan hingga penyelesaian tesis.

2. Dr. Satyawan Sunito selaku penguji utama luar komisi, yang bersedia meluangkan waktu untuk menguji penulis

3. Dr. Nurmala K. Panjaitan MS.DEA selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan yang bersedia membimbing dan mendukung penulis selama penyelesaian tesis

4. Dr. Paul Jepson dari Birdlife Indonesia yang memberikan kesempatan penulis untuk menjadi peneliti dalam penelitian yang didanai oleh Darwin Foundation, selain itu juga kepada Pete Wood, Ria Saryanthi, Mas Fahrul yang menjadi teman diskusi penulis.

5. Ir. Murdianto MS, Martua Sihaloho, SP, M.Si, Rina Mardiana, SP, M.Si, Heru Purwandari, SP, M.Si, serta Rokhani SP, M.Si yang memberikan bimbingan dan menjadi teman diskusi penulis selama studi S2

6. Pelestari Burung Indonesia (PBI) Pusat maupun di Surabaya dan Yogyakarta dan Komunitas Penggemar Burung di Surabaya dan Yogyakarta

7. Keluarga tercinta, Bapak Fathorrahman dan Ibu Sriwani serta adik tersayang Andri Sriwahyudi & Wiwik, , uyut tercinta, serta keluarga besar dari Bapak dan Ibu yang senantiasa mendoakan, mendukung dan memberikan perhatian penuh kepada penulis

8. Cici Wardini dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan perhatian selama masa-masa sulit menyelesaikan tesis.

9. Rekan-rekan Lapera (Mas Him, Erik, dan Pak Tukir) yang memberikan fasilitas tempat tinggal selama penulis di Yogyakarta

10.Rekan-rekan SPD 2004 (Mas Sindhu, Kak Ulfa, Kak Rosi, dan Mas Rais) sahabat dan kakak-kakak seperjuangan dalam mengerjakan tugas dan berbagi ilmu di SPD

11.Dhiny, Afin, Ince (my best friend) yang senantiasa memberikan dukungan dan “ceramahan”, serta rekan-rekan PKP 36: Fauzi, Hana, Denta yang selalu memberikan perhatian

12.Rekan-rekan Gasisma: Yudi, Irwan, Taufik, Siddiq, Harun, Ainol, Syamsul, Sufi, dll

13.Rekan-rekan KPM 39: Ajipandma DK, Anis, Niken, Gibthi yang selalu memberikan masukan kepada penulis. KPM 40: IQ, Cindo, Veny, Widi, Jasman, DJ, Utari (pinjaman laptopnya), dan lainnya; KPM 41: Ilham, Hadim, Munir, Bayu, Dini dan Lainnya; KPM 42: Furqon, Yayan, Tim


(9)

Sosped Pagar Jangkung (Wulan, Reny, Fahrozi, Yana, Fairuza, Nita, Dame, Iya’, Rizal) yang senantiasa memberikan dukungan dan doa.

14.Rekan-Rekan Kost: Dwinata (Tomi) atas pinjaman laptopnya, Mas Ruli dan Pak Mustapit terima kasih atas dukungannya

15.Kang Jamal dan Kang Edi di Fotocopy Aida yang selalu direpotkan oleh penulis

16.Pihak-Pihak lain yang memberikan konstribusi terhadap penyelesain tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu


(10)

(11)

ABSTRACT

ANTON SUPRIYADI. Configuration of Interest and The Dynamic Behind The Meaning of Songbird in Java (Case Study in Surabaya dan Yogyakarta). Advice by Prof.. Dr. ENDRIATMO SOETARTO, MA and Dr. ARYA HADI DHARMAWAN, M.Sc, Agr

This research have aim to explain about the tipology of birdkeepers community in Surabaya and Yogyakarta. The second is explain about the kinds of social construction in birdkeepers community in Surabaya and Yogyakarta and the third is to expalin the dynamic and interest configuration behind the social construction of songbird in birdkeepers community in Surabaya and Yogyakarta. In Surabaya and Yogyakarta, the tipology of birdkeeping organization and the birdkeepers commnuity is different one and another. This is because the socio-cultural setting in Surabaya and Yogyakarta is very different to representation the Java’s culture. This condition have some implication for the social construction in birdkeepers community in Surabaya and Yogyakarta. In Surabaya the economyc and commercial dimention of social construction is very dominated more than socio-cultural and conservation dimention. This condition is because in the historical aspect Surabaya is some of the city in Java became a center of economyc activity. The condition in Yogyakarta is very different with Surabaya, In Yogyakarta social construction of songbird in birdkeepers community dominated by socio-cultural dimention. The argument of this condition is because Yogyakarta in the historical aspect is a some of the city in Java became center of Java’s Kingdom with the traditional culture. The interpretation of the songbird in the birdkeepers community in Surabaya and Yogyakarta on the some aspect is dependent of interest configuration in outside of birdkeepers community. The interest configuration is a representation of actor-actor in outside area of birdkepeers community with have some interest to the activity of birdkeepers organization and the community. The dinamyc of social cosntruction in the birdkeepeers community is representation of interest configuration actor-actor. This is condition explain if actors role is very important dependent of songbird interpretation in Java’s society’s

Keyword: birdkeepers community, interpretation of songbird, social construction, and interest configuration


(12)

RINGKASAN

ANTON SUPRIYADI. Dinamika Pergeseran dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus Surabaya dan Yogyakarta). Dibimbing oleh Prof. Dr. ENDRIATMO SOETARTO dan Dr. ARYA HADI DHARMAWAN, M.Sc, Agr

Penelitian ini dilakukan atas dasar beberapa argumentasi. Pertama, burung memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan manusia dalam aspek ekonomi, ekologi, sosio-kultural dan ekologis. Kedua, terdapat gejala semakin meningkatnya kegemaran memelihara burung dikalangan masyarakat Jawa yang ditandai dengan semakin banyaknya komunitas penggemar burung dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung. Ketiga, meningkatnya kegemaran terhadap burung memberikan implikasi terhadap semakin terancamnya beberapa jenis burung di alam karena kegiatan perburuan dan perdagangan burung.

Keempat, telaah terhadap peran aktor (manusia) dalam permasalahan menjadi salah satu fokus kajian yang penting dalam mengkaitkan antara permasalahan keterancaman burung di alam dengan perkembangan komunitas penggemar burung.

Permasalahan penelitian yang menjadi fokus dari penelitian adalah untuk mengetahui dan menjelaskan konstruksi sosial pemaknaan yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung. Hal ini penting untuk memberikan penjelasan mengenai tindakan sosial manusia dalam kaitannya meningkatnya komunitas penggemar burung dan upaya melestarikan burung. Pertanyaan penelitian yang dikaji adalah (1) Bagaimana tipologi komunitas penggemar burung; (2) Bagaimana konstruksi sosial dan ruang-ruang interaksi sosial antar aktor pada komunitas penggemar burung; (3) Bagaimana dinamika dan konfigurasi kepentingan di balik konstruksi sosial pemaknaan burung. Penelitian ini dilakukan di Surabaya dan Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut memiliki tradisi sosio-kultural yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama Mei-Juli 2006 dan Agustus 2007. Pendekatan penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan untuk mendapatkan pemahaman intersubyektif antara peneliti dan tineliti.

Penelitian ini menjelaskan keunikan tipologi komunitas penggemar burung dari berbagai dimensi berdasarkan setting sosio-kultural yang berbeda satu sama lain. Hal ini penting dalam kerangka memahami kontekstualitas komunitas penggemar burung berdasarkan setting sosio-kulturalnya. Di sisi lain, penelitian ini juga menjelaskan bagaimana dan apa saja konstruksi sosial pemaknaan yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung serta bagaimana aktor dan peran aktor (agensi) dalam proses konstruksi sosial dan proses dinamika pergeseran pemaknaan. Kepentingan di tingkat komunitas dan kekuatan di luar komunitas menjadi salah satu telaah penting yang dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai kepentingan-kepentingan yang bermain di balik konstruksi sosial pemaknaan burung. Pendekatan teoritis yang dipergunakan adalah sosiologi interpretatif (interaksionisme simbolis) yaitu berupa peran aktif aktor, dan


(13)

keterkaitannya dengan struktur sosial di atasnya (agen dan struktur) menurut Giddens.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN Dasar Pemikiran ... 1

Perumusan Masalah ... 7

Tujuan Penelitian ... 8

BAB II TINJUAN TEORITIS Pemaknaan Burung di Masyarakat ... 9

Masyarakat Jawa: Genealogi Sistem Kultural Masyarakat Jawa ... 12

Teori Sosiologi Interpretatif: Peran Aktif Aktor ... 18

Kerangka Teoritis ... 22

BAB III METODOLOGI Paradigma dan Pendekatan Penelitian ... 27

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

Metode Pengambilan, Jenis dan Analisis Data ... 31

BAB IV TIPOLOGI KOMUNITAS PENGGEMAR BURUNG

BERKICAU DI SURABAYA DA YOGYAKARTA

Komunitas Penggemar Burung Berkicau Perorangan: Komunitas Pehobi, Pelomba, dan Penangkar

... 34

Komunitas Paguyuban (Kelompok) Penggemar Burung Berkicau: Komunitas Penggemar Pehobi Sekaligus Pelomba

... 39

Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta

... 42

Karakteristik Etnis dan Gender Komunitas Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta: Etnis, Multi-Kulturalisme, dan Keterlibatan Perempuan

... 45


(14)

Bentuk-Bentuk Paguyuban dan Organisasi Komunitas Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta

... 48

 Organisasi Pelestari Burung Indonesia (PBI): Organisasi Formal Komunitas Penggemar Burung

48

 Paguyuban Penggemar Burung Berkicau (birdclub): Entitas Kelompok Komunitas Penggemar Burung

53

BAB V KONSTRUKSI SOSIAL DAN RUANG-RUANG INTERAKSI

SOSIAL AKTOR PADA KOMUNITAS PENGGEMAR BURUNG

Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung

... 57

 Burung sebagai Simbol Status Sosial dan Kekuasaan: Pemaknaan Burung Sebagai Sarana Kepentingan Status Sosial dan Politik Pencitraan Kekuasaan

... 57

 Burung sebagai Entitas Kultural: Pemaknaan Burung sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan Sosio-Kultural ... 63

 Burung sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan Psiko-Sosial (refreshing)

... 66

 Burung sebagai Komoditas Ekonomi: Kepentingan Pasar dan Perdagangan Burung pada Komunitas Penggemar Burung Berkicau

... 68

 Burung sebagai Obyek Konservasi: Tekanan Kekuatan di Luar Komunitas Penggemar Burung

... 73

Sistem Nilai dan Aktor-Aktor dalam Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung

... 75


(15)

Ruang-Ruang Interaksi Sosial Antar Aktor pada Komunitas

... 78

BAB VI DINAMIKA DAN KONFIGURASI KEPENTINGAN DIBALIK

PEMAKNAAN TERHADAP BURUNG

Pergeseran Pemaknaan Burung di Tingkat Komunitas Penggemar Burung Berkicau: Dinamika Konstruksi Pemaknaan

... 85

Pergeseran Pemaknaan Sosio-Kultural menuju Pemaknaan Ekonomi Bisnis

... 86 ... Pergeseran Pemaknaan Sosio-Kultural dan Ekonomi menuju

Pemaknaan Konservatif

... 90

Konfigurasi Kepentingan Dibalik Pergeseran Pemaknaan Kultural Burung

... 92

Pragmatisme Ekonomi dan Eksistensi Kultural: Kasus Komunitas Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta ... 101

Pendekatan Konfrontatif dan Adaptasi terhadap Komunitas Penggemar Burung: Internalisasi Pemaknaan Baru dalam Komunitas ... 105

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

... 109

Saran

... 111

 Rekomendasi Teoritis 111

 Rekomendasi Praksis 112

DAFTAR PUSTAKA


(16)

DAFTAR TABEL

1. Perbandingan antara Paradigma Konstruktivisme dengan Positivisme dalam Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi ... 28

2. Pemetaan Organisasi Komunitas Penggemar Burung Berkicau di Surabaya

dan Yogyakarta

... 53

3. Pemetaan Paguyuban Penggemar Burung Berkicau (birdclub) di Surabaya dan Yogyakarta

... 56

4. Jadwal Pengurangan Burung Lokal yang Boleh Dilombakan (per Janurai 2008)

... 74

5. Sistem Nilai dan Aktor dalam Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung di

Surabaya dan Yogyakarta

... 78

6. Pemetaan Konstruksi Pemaknaan Burung pada Komunitas Penggemar Burung

Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta

82

7. Konfigurasi Kepentingan di Balik Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung di

Surabaya dan Yogyakarta


(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Teoritis

... ..33

2. Strukturasi Pembentukan PBI di Tingkat Daerah dan Pusat ... ..51

3. Pemetaan Jenis Burung berdasarkan Status Sosial Ekonomi Komunitas

Penggemar Burung di Surabaya

..59

4. Pemetaan Jenis Burung berdasarkan Status Sosial Ekonomi Komunitas

Penggemar Burung di Yogyakarta

..60

5. Konstruksi Pemaknaan Burung Sebagai Sarana Politik Pencitraan dikaitkan dengan Kepentingan yang Memungkinkan Melatarbelakanginya ... ..62

6. Jejaring Sosial Antar Aktor dan Kelompok atau Paguyuban Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta ... ..65

7. Kontinum Dinamika Pergeseran Pemaknaan Burung Berkicau pada Komunitas Penggemar Burung di Surabaya dan Yogyakarta

..86

8. Kecenderungan Pergeseran Pemaknaan Sosio-Kultural Burung ke Pemaknaan Ekonomi Bisnis pada Organsasi dan Paguyuban Penggemar Burung Berkicau

di Surabaya dan Yogyakarta.

..88

9. Kecenderungan Pergeseran Pemaknaan Sosio-Kultural ke Pemaknaan Ekonomi Bisnis pada Kegiatan Latihan dan Lomba Burung di Surabaya dan Yogyakarta


(18)

BAB I

Pendahuluan

1. 1 Dasar Pemikiran

Burung mempunyai beberapa peran yang cukup penting pada kehidupan manusia. Peranan burung pada kehidupan manusia dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek kehidupan, yaitu estetika, ekologis, ekonomi, sosio-kultural (Mackinnon, 1984; Surata, 1993). Dalam aspek estetika, Surata (1993) menyatakan bahwa burung mempunyai keterkaitan dengan karya seni yang berkembang di Bali. Hal ini disebabkan pada sebagian kalangan seniman di Bali burung menjadi salah satu sumber inspirasi untuk membuat karya seni dalam bentuk lukisan, seni pahat dan semacamnya yang mempunyai nilai estetika tinggi. Bagi kalangan seniman di Bali, burung dianggap mempunyai keunikan tersendiri dalam hal bentuk tubuh maupun corak warna bulunya yang berbeda dengan jenis hewan lainnya. Terdapat beberapa seniman di Bali yang menjadikan burung khusus sebagai objek inspirasinya dalam membuat sebuah karya seni. Makna estetika pada burung sebenarnya tidak hanya dikenal pada kalangan seniman di Bali. Pada sebagian masyarakat Jawa, tepatnya pada kerajinan batik, burung juga menjadi salah satu objek yang dipergunakan sebagai salah satu corak dalam kerajinan batik.


(19)

Sementara itu, secara ekologis peranan burung dapat kita lihat dari pemanfaatan burung sebagai media bio-monitoring terhadap lingkungan. Di beberapa negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman, pengembangan bio-monitoring dengan menggunakan burung sebagai media sudah mulai dikembangkan. Burung dijadikan sebagai media kontrol terhadap terjadinya pencemaran atau perubahan dari lingkungan dengan cara melihat ada tidaknya burung tersebut di lokasi tertentu. Atau dengan kata lain, keberadaan burung menjadi penanda terjadinya perubahan lingkungan atau tidak. Beberapa bentuk pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring yang dikembangkan di beberapa negara maju antara lain melihat perubahan kualitas air, indikator pencemaran zat radioaktif dan indikator perubahan dalam stok ikan (Furness and Greenwood, 1993). Tidak hanya di negara maju saja, peran burung sebagai bio-monitoring

lingkungan sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia, yaitu sebagai predator alami beberapa jenis hama di lahan pertanian. Beberapa jenis burung (elang, srigunting, sikatan, bentet, dan mandar) dikenal oleh petani lokal sebagai pemakan serangga yang sangat mengganggu kegiatan pertanian. Di samping itu, burung juga dapat berperan sebagai penyebar biji-bijian, membantu penyerbukan, dan mempercepat pelapukan kayu-kayu yang busuk untuk mempertahankan ekologi hutan (Mackinnon, 1984).

Dimensi lain berkaitan dengan peran burung adalah pemanfaatan burung secara ekonomi sebagai sumber penghasilan rumahtangga. Pemanfaatan burung secara ekonomi dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu (1) pemanfaatan burung untuk kepentingan konsumsi dan (2) pemanfaatan burung untuk kepentingan perdagangan burung. Kegiatan pemanfaatan burung untuk kepentingan konsumsi pada umumnya berbentuk usaha peternakan burung. Usaha peternakan burung biasanya tidak sebesar peternakan unggas (ayam), meskipun demikian usaha peternakan burung dapat dijadikan sebagai alternatif sumber penghasilan rumahtangga. Adapun pemanfaatan burung untuk kepentingan perdagangan burung saat ini sudah mulai banyak dikembangkan seiring dengan semakin meningkatnya kegemaran memelihara burung pada sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Di Jawa, misalnya tingkat kegemaran memelihara burung dapat dikategorikan cukup tinggi, utamanya di daerah perkotaan. Menurut Jepson and


(20)

Ladle (2005) Surabaya dan Semarang merupakan dua kota di Jawa yang tingkat kegemaran masyarakatnya dalam memelihara burung paling tinggi. Kegemaran memelihara burung menjadi salah satu pilihan yang paling banyak dilakukan jika dibandingkan dengan beberapa jenis satwa peliharaan lainnya seperti ikan, kucing, anjing dan ayam. Semakin maraknya kegemaran memelihara burung, tidak hanya memberikan implikasi ekonomi terhadap usaha peternakan atau penangkaran burung saja, akan tetapi juga implikasi berantai terhadap usaha-usaha pendukung seperti misalnya industri sangkar burung, industri pakan burung yang berbentuk perusahaan maupun usaha tradisional.

Sedangkan dilihat dari dimensi sosio-kultural, burung bagi sebagian komunitas lokal di Indonesia mempunyai makna kultural yang cukup penting, baik sebagai simbol budaya maupun simbol dari kekuatan magis yang mempengaruhi hubungan komunitas tersebut dengan lingkungan di sekitarnya. Di komunitas dayak laut misalnya, burung menjadi simbol magis yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Beberapa jenis burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay, Pelatuk dan Sama dianggap sebagai menantu dari dewa-dewa yang mereka percayai sebagai penguasa mereka. Hal ini memberikan pengaruh terhadap tindakan mereka dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Mereka mempercayai bahwa dalam melakukan pembukaan hutan untuk kepentingan perladangan tidak diperkenankan jika mendengar suara burung tertentu karena suara burung tersebut dianggap sebagai pertanda buruk akan terjadinya kejadian yang berbahaya bagi mereka jika melanjutkan pekerjaan tersebut (Welty, 1979; Andrew, 1992). Makna kultural burung juga terdapat pada masyarakat Jawa, di mana memelihara burung menjadi salah satu simbol kesempurnaan hidup manusia. Masyarakat Jawa mempunyai tradisi mengenai nilai kesempurnaan dalam hidup, antara lain tahta, wanita, harta, turangga dan kukila. Burung dalam konteks tradisi masyarakat Jawa menjadi representasi dari kukila, yaitu satwa peliharaan. Sebenarnya satwa peliharaan dalam konteks ini bermakna luas tidak hanya burung saja, akan tetapi pemilihan kata kukila dalam bahasa Jawa lebih menunjuk pada burung sebagai satwa peliharaan. Di sisi lain, pada masyarakat Jawa yang masih kuat mempertahankan tradisi priyayi (keraton), burung juga menjadi simbol status sosial tertentu. Antar status sosial yang mempunyai


(21)

kegemaran memelihara burung, biasanya berkembang paguyuban-paguyuban penggemar burung yang menjadi media interaksi sosial antar penggemar burung, seperti misalnya paguyuban penggemar burung perkutut di beberapa daerah.

Pentingnya keberadaan burung dalam kehidupan manusia ternyata tidak menjadi faktor yang positif dalam mendorong upaya pelestarian burung di Indonesia. Indonesia justru mengalami proses kehilangan dan keterancaman beberapa jenis burung tertentu di alam. Elang Jawa misalnya, jumlahnya di alam menjadi semakin sangat memprihatinkan karena maraknya kegiatan perburuan burung tersebut untuk kepentingan diperdagangkan. Demikian juga halnya yang terjadi dengan beberapa jenis burung paruh bengkok, di mana populasinya semakin berkuarang karena tingginya perburuan jenis burung tersebut di alam. Meskipun jenis-jenis burung tertentu sudah semakin jarang atau bahkan terancam punah spesiesnya namun kegiatan perdagangan jenis burung tersebut justru terus berlangsung di beberapa pasar burung. Di Pasar Ngasem Yogyakarta dan beberapa pasar burung lainnya di Jawa, beberapa jenis burung yang terancam punah dan statusnya dilindungi (jenis paruh bengkok) masih diperdagangkan dengan bebas tanpa ada upaya pengendalian dari pihak yang berwenang. Persentasenya bahkan dapat dinilai lumayan tinggi, yaitu sekitar 47% (Profouna, 2001). Tingginya tingkat perburuan burung untuk kepentingan perdagangan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar negeri sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi di Indonesia. Pada tahun 1980-an sudah tercatat lebih dari sekitar 340.000 burung yang diperdagangkan secara illegal ke luar negeri. Diantara beberapa jenis burung yang banyak diperdagangkan ke luar negeri antara lain: bondol, pipit, gelatik, perkutut, beo dan serindit. Tingginya perdagangan burung di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan, yaitu semakin berkembangnya pasar burung sebagai sarana transaksi perdagangan burung, pemalsuan dokumen jenis burung tertentu yang seharusnya dilindungi dan lemahnya kontrol serta penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran perdagangan burung dilindungi maupun perdagangan illegal ke luar negeri (Mackinnon, 1984).

Permasalahan semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu di alam, dalam perkembangannya mendapatkan banyak perhatian dari beberapa


(22)

pihak, baik pemerintah, NGO’s, masyarakat internasional maupun akademisi. Dari sisi pemerintah, permasalahan terancamnya burung sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dituangkan dalam bentuk ketentuan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, di mana di dalamnya diatur ketentuan tentang upaya pelindungan, pelestarian dan larangan memperdagangkan beberapa jenis satwa yang jumlah populasinya semakin terancam punah, termasuk di dalamnya beberapa jenis burung. Adapun ketentuan terbaru berkaitan dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Nursahid, 2003). Di tingkat lokal, terdapat pemerintah daerah yang mengeluarkan ketentuan hukum dalam bentuk Peraturan Daerah untuk menangani semakin terancamnya jenis burung yang menjadi ciri khas daerahnya, seperti misalnya Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 20 Tahun 1994 tentang larangan terhadap perdagangan burung (Punglor) dan satwa lainnya di wilayah Nusa Tenggara Barat. Sedangkan di tingkat Internasional, Indonesia bersama beberapa negara di dunia menggabungkan diri dalam negara-negara yang menyepakati untuk meratifikasi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan di tingkat internasional dalam hal pelestarian dan larangan perdagangan terhadap sejumlah satwa, termasuk di dalamnya burung. CITES merupakan salah satu contoh bentuk lembaga di tingkat internasional yang menjadi kumpulan dari sejumlah negara di dunia mempunyai pandangan sama tentang pentingnya konservasi terhadap keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Saat ini keanggotaan CITES sudah mencapai sekitar 172 negara. Hal ini menunjukkan adanya peran penting masyarakat internasional dalam melakukan kontrol dan upaya pelestarian terhadap sejumlah keanekaragaman hayati yang ada di dunia, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia.

Selain pemerintah dan masyarakat internasional, keterlibatan pihak lain yang juga mempunyai posisi penting dan strategis adalah NGO’s sebagai organisasi yang dapat secara langsung menjadi pelaku aktif upaya pelestarian satwa di Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa NGO’s yang kegiatannya ditujukan untuk kepentingan konservasi satwa liar atau biasanya bersifat lebih


(23)

umum yaitu pelestarian alam atau keanekaragaman hayati. Pada masa reformasi tahun 1997-an, kemunculan NGO’s yang memperjuangkan pelestarian satwa liar semakin banyak. Semakin banyak terbentuknya NGO’s yang memperjuangkan pelestarian satwa liar merupakan representasi terbentuknya kesadaran kritis di tingkat masyarakat non pemerintah tentang pentingnya permasalahan terancamnya beberapa jenis satwa di Indonesia, yang dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan. Kemunculan NGO’s menjadi kekuatan kontrol baru selain pemerintah dalam upaya pelestarian sejumlah satwa liar yang terancam punah. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa NGO’s yang fokus kegiatannya spesifik pada pelestarian satwa tertentu, seperti misalnya burung. Tidak berbeda dengan NGO’s yang fokus pada pelestarian satwa liar secara umum, NGO’s yang menfokuskan diri pada pelestarian burung memiliki misi mengadakan upaya pencegahan terhadap berlangsungnya kegiatan yang dapat mengancam keberadaan burung, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kegiatan yang dilakukan dapat berupa kampanye tentang pentingnya pelestarian burung, kegiatan pendidikan lingkungan, pengamatan burung serta publikasi melalui media.

Di kalangan akademisi, permasalahan burung saat ini belum banyak mendapatkan perhatian. Hingga saat ini kajian mengenai burung lebih banyak didominasi oleh disiplin ilmu yang berhubungan dengan aspek fisiologis dan ekosistem burung, misalnya tentang pola sebaran burung atau tingkah laku burung dihabitatnya (lihat Riley and Wardill, 2001; Widodo, J.H Cox and P.C Rasmussen, 1999). Permasalahan terancamnya beberapa jenis burung tertentu, dalam kajian ilmiah lebih banyak dikaitkan dengan permasalahan rusaknya atau gangguan terhadap habitat burung di alam. Jati (1998) misalnya, menyatakan bahwa hilangnya endemik beberapa spesies burung di Sumba merupakan akibat dari terganggunya habitat burung, yaitu tidak tersedianya pohon pakan serta pohon yang biasanya menjadi sarang burung karena kerusakan hutan. Dalam kajian tersebut tidak ditelaah lebih lanjut mengenai faktor penting yang melatarbelakangi terjadinya kerusakan tersebut, apakah karena faktor alam atau karena faktor manusia. Hal ini penting dilakukan karena dalam kenyataannya kerusakan hutan, kegiatan perdagangan dan kegemaran memelihara burung yang


(24)

menjadi ancaman serius terhadap keberadaan burung di alam merupakan kegiatan-kegiatan yang dikonstruksi oleh manusia sebagai aktor. Dengan demikian, maka tesis bahwa manusia merupakan aktor penting yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan pelestarian burung menjadi kajian menarik untuk dilakukan. Beberapa argumentasi mendasar yang melatarbelakangi tesis tersebut yaitu, pertama, bahwa permasalahan terancamnya burung di alam pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh kegiatan manusia dibandingkan dengan faktor alamiah (lihat Mackinnon, 1984), kedua, kegemaran memelihara burung yang saat ini semakin meningkat menjadi kekuatan pendorong bergesernya makna burung dari hanya sebagai satwa peliharaan atau makna kultural menjadi makna ekonomi, yaitu sebagai komoditas pasar yang mempunyai nilai jual cukup potensial bahkan tinggi, ketiga, permasalahan pelestarian burung dengan pendekatan konservasi an sich tanpa melihat keterlibatan manusia sebagai aktor menjadi pendekatan yang sangat simplifistis dan reduktif terhadap akar permasalahan yang sebenarnya, keempat, permasalahan pelestarian burung pada dasarnya membutuhkan keterlibatan aktor-aktor, baik pemerintah, NGO’s maupun masyarakat penggemar burung agar bisa berjalan dengan efektif.

Penelitian ini menfokuskan kajian pada aspek manusia sebagai aktor dalam kaitannya dengan semakin meningkatnya kegemaran memelihara burung dikalangan masyarakat. Kajian ini penting dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai pemaknaan terhadap burung dari berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan memanfaatkan burung sebagai satwa peliharaan yang pada akhirnya berimplikasi terhadap keberadaan populasi spesies burung tertentu.

1. 2 Perumusan Masalah

Burung menjadi salah satu satwa peliharaan yang paling banyak digemari di sebagian kalangan masyarakat di Indonesia, utamanya di daerah perkotaan. Meningkatnya kegemaran memelihara burung dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, yaitu burung saat ini mempunyai nilai ekonomis yang cukup menjanjikan karena semakin meningkatnya perdagangan burung di pasar burung. Di sisi lain, meningkatnya kegemaran memelihara burung dapat ditelaah dari


(25)

dimensi kultural, yaitu memelihara burung merupakan bagian dari entitas kultural yang secara turun-temurun dikenal dan juga sebagai simbol prestise bagi pemiliknya. Di Indonesia, kegemaran memelihara burung salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya terbentuk komunitas-komunitas penggemar burung dalam bentuk paguyuban atau pun organisasi formal. Penelitian ini hendak menfokuskan kajiannya pada telaah komunitas penggemar burung untuk mendapatkan pemahaman mengenai struktur sosial komunitas serta tindakan sosial yang dikonstruksi dalam sistem tersebut dan pemaknaan terhadap burung beserta pergesaran yang terjadi dan implikasinya. Berkaitan dengan hal tersebut berikut ini adalah pertanyaan penelitian yang hendak ditelaah:

1. Bagaimana tipologi komunitas penggemar burung (status sosial ekonomi, etnis dan gender) dan kelembagaan dalam komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta?

2. Bagaimana konstruksi pemaknaan dan ruang-ruang interaksi sosial aktor pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta?

3. Bagaimana dinamika dan konfigurasi kepentingan di balik konstruksi pemaknaan pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta?

1. 3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan tipologi komunitas penggemar burung (status sosial ekonomi, etnis dan gender) dan kelembagaan dalam komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta

2. Menjelaskan konstruksi pemaknaan dan ruang-ruang interaksi sosial aktor pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta

3. Menjelaskan dinamika dan konfigurasi kepentingan di balik konstruksi pemaknaan pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta


(26)

BAB II

Tinjuan Teoritis 2. 1 Pemaknaan Burung di Masyarakat

Pemaknaan terhadap burung mencakup beberapa dimensi yang beragam, antara lain dimensi ekonomi, dimensi ekologis, dimensi sosio-kultural, dan dimensi estetika. Secara ekonomi, burung dimaknai sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan seperti halnya barang-barang produksi. Nilai ekonomi burung dalam konteks ini dapat dilihat dari dua aspek.

Pertama, nilai ekonomi burung untuk kepentingan perdagangan bagi komunitas penggemar burung. Hobi memelihara burung menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Temuan Jepson dan Ladle menunjukkan bahwa satu dari lima rumahtangga di lima kota besar di Indonesia, yaitu Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta memilih memelihara burung sebagai satwa peliharaan. Kuantitas pemeliharaan burung sebagai satwa peliharaan merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan beberapa satwa peliharaan lainnya seperti ikan, anjing, kucing dan kuda (Jepson and Ladle, 2005). Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang memiliki daya tarik bagi para komunitas penggemar burung dan semakin tingginya harga jual burung di pasaran. Beberapa jenis burung yang banyak diperdagangkan untuk kepentingan hobi antara lain murray batu, anis merah, anis kembang, cucak rawa, cucak hijau, cendet dan kenari. Murrai Batu misalnya merupakan jenis burung yang paling banyak digemari oleh komunitas penggemar burung meskipun keberadaannya di alam semakin terancam1.

Kedua, nilai ekonomi burung dari pemanfaatan burung untuk kepentingan bahan makanan. Pemanfaatan burung untuk kepentingan dijual dagingnya sebagai bahan makanan paling mudah ditemukan di masyarakat. Jenis burung yang biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan ini adalah burung dara (merpati), beberapa jenis burung laut (pelikan), selain jenis dari unggas (Mackinnon, 1984;

1Bagian ini didapatkan dari keterangan salah seorang aktivis NGO’s yang konsern pada

pelestarian burung di Indonesia (Birdlife Indonesia atau sekarang menjadi Burung Indonesia) pada salah satu media massa yaitu Harian Kompas, Minggu, Tanggal 19 Februari 2006.


(27)

Alikondra, 1993). Burung yang dimanfaatkan untuk bahan makanan bisa didapatkan dari kegiatan peternakan burung atau melalui kegiatan penangkapan di alam. Kegiatan penangkapan langsung di alam merupakan hal yang paling banyak ditemukan dalam rangka pemanfaatan daging burung untuk kepentingan bahan makanan.

Burung juga memiliki peran secara ekologis. Pada masyarakat tertentu peran ekologis burung berada pada posisi yang penting. Di Indonesia, peranan burung secara ekologis dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai “musuh alami” dari beberapa jenis hama tertentu di sawah. Burung elang misalnya adalah predator alami terhadap jenis hama tikus dan ular di sawah. Beberapa jenis burung lainnya yang memiliki peran ekologis sebagai “musuh alami” di sawah adalah Cangak, Mandar, Sri Gunting, Bentet dan Sikatan. Burung-burung tersebut berperan sebagai musuh alami bagi serangga.

Di beberapa Negara maju, keberadaan burung dimanfaatkan sebagai bio-monitoring terhadap perubahan lingkungan. Burung dalam konteks ini dilihat keberadaanya untuk mengetahui apakah lingkungan tersebut mengalami perubahan kualitas atau tidak. Di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris misalnya burung dimanfaatkan untuk bio-monitoring terhadap terjadinya pencemaran lingkungan. Jika burung tertentu menghilang dari habitat alaminya yang biasa dipergunakan untuk kehidupan seharinya-harinya, maka dapat disimpulkan terjadi perubahan pada lingkungan tersebut, yang biasanya adalah pencemaran lingkungan (Furness and Greenwood, 1993).

Sementara itu, secara sosio-kultural pemaknaan terhadap burung dapat ditelaah dari keberadaan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat. Di Indonesia, bagi sebagian etnis burung memiliki keterkaitan dengan entitas kultural. Pada komunitas Dayak Laut misalnya, burung memiliki dimensi magis dalam tradisi kultural mereka. Beberapa jenis burung tertentu dianggap sebagai bagian dari simbol ritual religius mereka. Mereka memaknai beberapa jenis burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay dan Pelatuk sebagai representasi dari para menantu dewa-dewa yang mereka sembah. Keberadaan bebera jenis burung tersebut sangat dijaga dan dilestarikan oleh komunitas tersebut. Di sisi lain, komunitas Dayak Laut juga meyakini bahwa jenis burung yang disebutkan


(28)

sebelumnya memberikan simbol-simbol tertentu bagi kepentingan kehidupan mereka. Salah satunya adalah komunitas Dayak Laut mempercayai bahwa kegiatan pembukaan hutan tidak dapat dilakukan jika mendengar suara burung tertentu. Hal ini dilakukan karena suara burung tersebut memberikan pertanda bagi keselamatan mereka (Welty, 1979).

Demikian juga yang berkembang pada sebagian masyarakat Jawa. Pada masyarakat Jawa yang memiliki tradisi kultural keraton yang masih kuat, burung dijadikan sebagai simbol status sosial, simbol ketenangan dan keindahan serta simbol kesempurnaan dalam hidup. Bagi masyarakat Jawa hidup menjadi sempurna jika seseorang telah memiliki harta (simbol kekayaan), tahta (simbol kekuasaan), wanita (simbol pasangan hidup), turangga (simbol dari kendaraan atau tunggangan) dan kukila (simbol dari satwa peliharaan)2. Burung dalam konteks ini adalah bagian dari simbolisasi kukila. Dengan memiliki satwa peliharaan maka kesempurnaan hidup seseorang menjadi lengkap setelah memiliki empat hal lain yang disebutkan sebelumnya. Pemaknaan terhadap kesempurnaan hidup ini lebih banyak dilekatkan dengan kalangan priyayi atau bangsawan keraton karena memang aspek-aspek yang menjadi prasyarat kesempuranaan hidup lebih mungkin dicapai oleh kalangan masyarakat dari kelas priyayi atau bangsawan. Sedangkan bagi kaum masyarakat kebanyakan, mereka lebih banyak disibukkan dengan urusan pemenuhan harta sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menyempurnakan aspek-aspek lainnya dalam mencapai kesempuranaan.

Namun demikian, dalam perkembangannya dimensi sosio-kultural dari burung berkembang tidak hanya berkaitan dengan filosofi kesempurnaan hidup pada masyarakat Jawa. Saat ini perkembangan pemeliharaan burung melibatkan hampir sebagian lapisan masyarakat, baik dari kalangan kelas atas, menengah, dan bawah, termasuk juga kalangan non priyayi atau bangsawan. Pemaknaan terhadap dimensi sosio-kultural burung pun berkembang tidak pada konteks sebagai simbolisasi status sosial akan tetapi lebih pada hobi untuk mendapatkan kepuasan

2

Kukila merupakan simbolisasi dari satwa peliharaan, namun demikian dalam banyak hal

pemaknaan terhadap kukila dilekatkan dengan burung sebagai satwa peliharaan. Jenis burung yang banyak dimaknai sebagai simbol kesempurnaan hidup adalah perkutut yang memang popular dikalangan masyarakat Jawa (Muchtar dan Nurwatha, 2001).


(29)

psikologis dengan mendengarkan dan menikmati keindahan suara, warna dan gerak gerik burung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Jepson dan Ladle, yang menemukan bahwa kegemaran memelihara burung saat ini dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat di kota, mulai dari tingkat pendidikan rendah hingga tingkat pendidikan tinggi. Hobi memelihara burung menjadi pilihan paling digemari dibandingkan dengan memelihara jenis satwa lainnya (Jepson and Ladle, 2005).

Dimensi lain berkaitan dengan peran burung adalah dimensi estetika, yaitu menjadikan burung sebagai simbol dari kreativitas karya seni tertentu. Di kalangan seniman Bali, nilai estetika dari burung cukup besar dalam menginspirasi para seniman dalam menghasilkan karya. Burung menjadi salah satu inspirasi untuk menggambarkan tentang keindahan. Terdapat sejumlah komunitas seniman di Bali yang selalu menjadikan burung sebagai sumber inspirasi pada setiap hasil karya seni lukisnya. Pemaknaan seperti ini tidak hanya memberikan dampak psikologis berupa kepuasan bagi para seniman tersebut, akan tetapi juga menjadi media komunikasi non-verbal untuk menjaga dan melestarikan keberadaan burung (Surata, 1993).

2. 2 Masyarakat Jawa: Genealogi Sistem Kultural Masyarakat Jawa

Genealogi sistem kultural masyarakat Jawa berkembang sejak masa zaman pra sejarah hingga konteks kekinian. Namun demikian, kajian mengenai sistem kultural masyarakat Jawa mulai marak dilakukan sejak berkembangnya sistem kerajaan di Jawa. Sistem kerajaan yang berkembang awal di Jawa adalah kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh sistem nilai Hindhu dan Budha. Pada masa ini Jawa dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi kerajaan, yaitu kerajaan yang berkembang di daerah pesisir dan menjadi pusat kegiatan ekonomi perdagangan dan kerajaan di pedalaman. Kedua kerajaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam sistem kulturalnya. Kerajaan yang berkembang di daerah pesisir pada umumnya adalah daerah perdagangan dengan basis jalur transportasi laut. Kerajaan pesisir biasanya memiliki pelabuhan laut yang dimanfaatkan untuk jalur transportasi perdagangan. Di kerajaan pesisir pada umumnya tidak memiliki daerah pedesaan yang luas dan penduduk petani yang


(30)

jumlahnya besar. Salah satu contoh kerajaan yang termasuk dalam tipologi kerajaan di daerah pesisir adalah kerajaan Sriwijaya (Koentjaraningrat, 1994).

Sementara itu, untuk kerajaan yang berkembang di daerah pedalaman terdapat di daerah yang relatif subur. Kerajaan ini biasanya didasarkan atas sektor pertanian, dengan penduduk petani yang jumlahnya relatif besar. Mereka hidup di desa-desa sekita kerajaan dengan menjadikan sektor pertanian sebagai sistem pola nafkah utama dalam rumahtangga. Kerajaan di pedalaman memiliki tradisi membangun simbol-simbol religi untuk penghormatan kepada dewa-dewa dalam bentuk candi yang letaknya biasanya agak berjauhan dengan area kerajaan. Candi-candi tersebut dipergunakan sebagai tempat peribadatan atau sebagai tempat persemayaman dari para raja setelah meninggal. Perawatan candi dibebankan kepada masyarakat yang terdapat di sekitar candi, sebagai kompensasinya masyarakat di desa tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak seperti desa lainnya. Desa-desa yang berada di sekitar candi dan dibebaskan dari pajak ini dinamakan sebagai desa mardeka atau merdekan (Koentjaraningrat, 1994).

Pada masa perkembangan kerajaan Hidhu-Budha di Jawa, raja memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat, tidak hanya dalam aspek kekuasaan politik akan tetapi juga dalam aspek sosio-kultural dan mistis. Pada masa ini raja diasosiasikan sebagai representasi dari dewa-dewa, sehingga membuat kedudukannya menjadi sangat absolut di segala aspek kehidupan. Titah (pembicaraan atau perintah raja) dipahami layaknya perintah dari dewa-dewa. Raja menjadi tokoh yang menjadi pusat dari alam semesta, di mana di dalamnya dibebani oleh tugas-tugas keagamaan yang berat. Raja selalu dianggap memiliki kesaktian yang berasal dari dewa-dewa, di mana kesaktian tersebut disebarkan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya karena hubungan perkawinan, kekerabatan atau karena tugas kerajaan. Sementara itu, posisi rakyat adalah sebagai abdi dhalem (orang yang tunduk dan patuh pada perintah raja) dari raja. Rakyat mempunyai kewajiban memberikan upeti kepada raja sebagai bentuk ketundukan dan kepatuhan terhadap raja. Kepatuhan yang terbentuk pada rakyat dipahami sebagai bentuk pengabdian masyarakat kepada raja, tidak sebagai kewajiban yang membebani (Koentjaraningrat, 1994; Soemardjan, 1986).


(31)

Pada masa kerajaan Hidhu-Budha sistem kultural yang berkembang pasa masyarakat Jawa lebih banyak yang bersifat mistis, yaitu adanya kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural. Kepercayaan terhadap adanya kesakten (kesaktian), pengagungan dan penghormatan terhadap tempat-tampat tertentu yang dianggap keramat menjadi ciri khas sistem kultural yang berkembang pada masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1994; Kuntowijoyo, 1987 dan 2006 ; Astiyanto, 2006)

Perkembangan selanjutnya pada masyarakat Jawa adalah masuknya nilai-nilai Islam yang kemudian menjadi awal perkembangan kerajaan Islam di Jawa. Kerajaan Islam berkembang setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindhu-Budha yang berkembang lebih awal di tanah Jawa. Seperti halnya perkembangan kerajaan Hindhu-Budha, kerajaan Islam berkembang juga di daerah pesisir dan pedalaman. Kerajaan Islam di pesisir pada umumnya menjadi pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan yang berbasiskan pada pelabuhan. Sementara itu, kerajaan Islam di pedalaman masih mempertahankan struktur mata pencaharian yang menggantungkan diri pada sektor pertanian (Koentjaraningrat, 1994&1974). Sistem kultural yang berkembang pada masa kerajaan Islam, dalam beberapa hal menggeser nilai-nilai yang melembaga pada masa kerajaan Hindhu-Budha. Posisi sakral raja menjadi pusat dari alam semesta tidak lagi dipertahankan. Hal ini memberikan dampak terhadap konteks absolutisme yang berkembang pada raja-raja zaman Hindhu-Budha. Raja hanya menjadi penguasa politik kekuasaan, tidak lagi menjadi simbol dari religiuisme yang disembah dan diagungkan-agungkan oleh masyarakat kebanyakan (abdi dhalem). Meskipun demikian, ternyata masih terdapat nilai-nilai Hindhu-Budha yang bertahan pada masa Islam, yaitu nilai-nilai Islam yang dipengaruhi nilai-nilai kejawen, yaitu sistem nilai yang meyakini adanya kekuatan-kekuatan supranatural (mistis) di alam (Koentjaraningrat, 1994&1974; Suseno, 2001).

Kolonialisme masuk ke Indonesia, termasuk juga di Jawa dan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan struktur sosial dan sistem kultural masyarakat Jawa. Kolonialisme masuk dengan membawa nilai-nilai yang cenderung bersifat kapitalistik. Hal ini ditandai dengan masuknya sistem perdagangan kolonial yang bersifat eksploitatif, tanaman komersial serta sistem


(32)

perkebunan sebagai representasi dari investasi modal (lihat Soemardjan, 1986; Burger, 1983). Menurut Booke masuknya nilai-nilai komersial pada masyarakat Jawa memberikan dampak terhadap terbentuknya dualisme ekonomi di Jawa, dan Indonesia secara umum. Ekonomi kapitalistik ala barat tidak dapat berintegrasi dengan sistem ekonomi tradisional ala Jawa. Sebagai akibatnya di masyarakat berkembang dua sistem ekonomi sekaligus, yaitu sistem kapitalistik kolonial dan sistem tradisional masyarakat pribumi (Sajogyo, 1982). Sudut pandang lain mengenai dampak dari masuknya sistem kapitalistik dalam sistem tradisional masyarakat Jawa dikemukakan oleh Geertz yang menyatakan bahwa masuknya perkebunan tebu di Jawa melahirkan bentuk adaptasi kelembagaan masyarakat Jawa, tepatnya masyarakat yang bergantung pada padi-sawah, dalam bentuk gejala perumitan kelembagaan atau dikenal dengan istilah ”agricultural involution” (Geertz, 1976). Dalam pandangan lainnya Geertz mengemukakan bahwa sistem kultural masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam dua tipologi komunitas, yaitu sistem kultural yang dimiliki oleh para santri dan sistem kultural para ”abangan”. Santri dalam konteks ini dilekatkan pada komunitas yang memiliki pengaruh nilai-nilai Islam yang sangat kuat. Dalam pandangan sistem nilai dikalangan santri hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural seperti berkembang pada masyarakat Jawa masa kerajaan Hindhu-Budha sudah mulai ditinggalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Sementara itu, tradisi kaum ”abangan” justru sebaliknya, mereka tetap mempertahankan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural meskipun mereka sudah menyatakan diri sebagai orang Islam. Keislaman yang mereka ikrarkan pada dasarnya merupakan bentuk akulturasi dengan sistem nilai Jawa tradisional warisan nenek moyang mereka (Kuntowijoyo, 1987; Koentjaraningrat, 1994)).

Masuknya kolonialisme, dalam perkembangannya berdampak pada pola hubungan feodalistik yang merupakan warisan kerajaan-kerajaan Jawa. Runtuhnya sistem feodalisme sangat terlihat pada pola hubungan agraria di Jawa. Pada masa ini sistem upeti dan privilege bagi kaum bangsawan Jawa digantikan dengan sistem pajak tanah, tanam paksa dan sistem investari modal asing. Ketiga sistem tersebut diinstroduksikan dalam waktu berbeda-beda. Sebagai implikasinya adalah berkembang nilai-nilai komersial di Jawa, tidak hanya pada pola hubungan


(33)

produksi akan tetapi pada aspek-aspek lain kehidupan (Soemardjan, 1986; Burger; 1983; Husken; 1998; Husken dan White, 1989).

Nilai komersial pada sistem kultural masyarakat Jawa semakin berkembang seiring dengan masuknya paradigma developmentalisme yang dijadikan sebagai pendekatan dalam pembangunan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu, menitikberatkan pada masuknya introduksi teknologi dan moda produksi modern yang cenderung bersifat kapitalistik. Sebagai akibatnya nilai-nilai ekonomi uang semakin terlihat berkembang pada sistem kultural masyarakat Jawa (Husken, 1998; Temple, 1994).

Konteks di atas menunjukkan geneologi sistem kultural masyarakat Jawa dikaitkan dengan masuknya kekuatan-kekuatan politik kekuasaan yang ada di Jawa, di mana kekuatan politik kekuasaan tersebut memberikan pergeseran terhadap sistem kultural tradisional masyarakat Jawa. Sudut pandang yang berbeda dalam menelaah tentang sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat dari konstruksi teoritis Kluckhon dalam melihat orientasi nilai budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa. Sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat dari tiga aspek penting yaitu sistem kultural yang berkaitan dengan hakekat hidup, hakekat hubungan dengan sesama manusia dan hakekat hubungan dengan alam (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003).

Hakekat hidup bagi masyarakat Jawa dimaknai sebagai ”nasib” yang harus diterima dan dijalankan apapun kondisinya. Hidup merupakan ketentuan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, di mana manusia tidak memiliki kekuatan untuk merubahnya. Manusia hanya diberikan kemampuan untuk menerimanya dalam menjalankan. Nilai-nilai seperti merupakan representasi dari istilah ”nrimo ing pandum” yang sering dilekatkan pada masyarakat Jawa, yaitu

sebuah pemaknaan yang memiliki pengertian senantiasa menerima keadaan yang telah diberikan oleh tuhannya (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003).

Hakekat hubungan dengan sesama manusia pada masyarakat Jawa menekankan adanya keselarasan, kedamaian dan kebersamaan yang kuat. Hal ini direpresentasikan oleh sikap hormat dan ”tepa slira” atau tenggang rasa satu dengan lainnya (Suseno, 2001). Pemahaman dasar mengenai kebersamaan,


(34)

keselarasan dan prinsip saling menghormati dan menghargai pada masyarakat Jawa terbentuk atas konstruksi pemaknaan bahwa kehidupan di dunia ini dijalankan secara bersama-sama, di mana antara satu orang dengan yang lainnya akan selalu saling membutuhkan satu sama lain. Kehidupan di dunia ini tidak akan dapat berjalan normal tanpa adanya kerjasama antar satu orang dengan yang lainnya. Untuk itu, maka sistem kultural masyarakat Jawa dalam konteks hubungan dengan sesama manusia meghindari terjadinya konflik dalam kehidupan. Konflik merupakan sesuatu hal yang harus dihindari dalam hidup bermasyarakat dan berhubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan agar hidup dapat berjalan dengan normal, saling bisa mengisi, membantu dan menghormati satu dengan lainnya. Konstruksi sosial mengenai hekakat hubungan sesama manusia pada masyarakat Jawa yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dapat dilihat pada nilai-nilai guyub rukun dan gotong-royong (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et .al, 2003).

Hakekat hubungan dengan alam, bagi masyarakat Jawa alam merupakan anugerah dari tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan. Alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa hakekat hubungan dengan alam menempatkan manusia untuk senantiasa selaras dengan alam. Pandangan yang bersifat eksploitatif terhadap alam seperti yang berkembang pada nilai-nilai kapitalistik tidak sesuai dengan pandangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan bagi masyarakat Jawa keberadaan alam sangat penting dalam kehidupan, di mana jika terjadi kerusakan pada alam pada akhirnya mereka meyakini bahwa hal tersebut akan memberikan dampak yang tidak baik terhadap kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003).

Sistem orientasi nilai yang dijelaskan di atas merupakan konseptualisasi normatif mengenai masyarakat Jawa kebanyakan dalam memandang kehidupan dalam berbagai dimensi. Meskipun bukan merupakan representasi universal dari masyarakat Jawa, namun demikian konseptualisasi mengenai orientasi nilai masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat di atas masih relevan untuk menelaah konteks kekinian masyarakat Jawa. Arus perubahan sosial yang cukup signifikan terjadi di Jawa karena berbagai macam konfigurasi sosial, baik


(35)

kepentingan politik, ekonomi dan juga kultural, masyarakat Jawa secara normatif masih mempertahankan sejumlah nilai-nilai dasar dalam kehidupan. Inti kebudayaan masyarakat Jawa sebagai sebuah sistem kultural masih bertahan dan unik mencirikan ke-Jawa-annya.

2. 3 Teori Sosiologi Interpretatif: Peran Aktif Aktor

Teori sosiologi interpretatif berkembang sebagai kritik teori terhadap teori sosiologi strukturalisme. Teori sosiologi interpretatif mengkritik pandangan strukturalisme mengenai peran aktor. Dalam pandangan strukturalisme aktor dimaknai pasif memainkan perannya dalam struktur sosial, di mana tindakan sosial aktor dikendalikan atau sangat ditentukan oleh struktur sosial yang berada di atasnya. Aktor tidak memiliki peran melalui keberadaan dirinya dalam menentukan tindakan sosial yang dilakukan. Aktor hanya menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan dari struktur sosialnya. Pandangan teori sosiologi interpretatif memaknai sebaliknya mengenai peran aktor. Aktor merupakan pelaku aktif dalam memainkan perannya dalam struktur sosial dan melakukan tindakan sosial. Tindakan sosial aktor dilakukan secara sadar melibatkan proses berpikir di tingkat aktor, hingga membentuk struktur sosial. Dalam konteks ini keberadaan tindakan sosial aktor tidak dimakni sebagai sesuatu hal yang telah ditentukan oleh struktur sosial, di mana aktor hanya tinggal menjalankannya saja (Poloma, 2004; Slaterry,2003; Ritzer dan Goodman, 2004; Calhoun, et.al, 2002 dan Turner, 1998).

Teori sosiologi interpretatif lahir dari tradisi pemikiran yang menggabungkan antara sosiologi dengan psikologi, yang kemudian dikenal dengan disiplin psiko-sosial. Kajian sosiologi interpretatif menekankan pada analisis tingkat mikro level atau sampai pada meso level. Konsepsi teori sosiologi interpretatif tidak masuk pada ranah makro sosiologi (makro struktur), yang berkembang lebih awal dalam disiplin ilmu sosiologi dan merupakan kajian dari sosiologi strukturalisme. Konsepsi teoritis dari sosiologi interpretatif menekankan pada konstruksi sosial yang terbentuk pada struktur sosial sebagai hasil dari proses interaksi sosial antar aktor, di mana di dalamnya berlangsung pertukaran makna dan simbol-simbol .


(36)

Perkembangan teori sosiologi interpretatif melahirkan sejumlah konsepsi teori yang saling menguatkan satu sama lain. Di antara konsepsi teori yang dikategorikan sebagai teori sosiologi interpretatif adalah dramaturgi dari Ervin Goffman, etnometodologi dari Harold Garfinkel, dan interaksionisme simbolis dari Herbert Blummer. Ketiga konsepsi teori sosiologi interpretatif tersebut sama-sama menfokuskan kajiannya pada peran aktif aktor dalam konstruksi sosial di masyarakat melalui proses interaksi sosial dan interpretasi terhadap makna dan simbol (Poloma, 2004).

Pandangan Goffman mengenai dramaturgi pada dasarnya menjelaskan bahwa aktor dalam struktur sosial memainkan peran-peran tertentu. Pemaknaan terhadap suatu peran akan menjadi ada ketika dikaitkan dengan peran aktor-aktor lainnya. Dalam proses memainkan perannya dalam struktur sosial, aktor tidak hanya mengikuti ketentuan yang telah ada, akan tetapi juga melalui proses berpikir dan menginterpretasikan peran aktor lainnya sehingga secara keseluruhan hubungan peran antar aktor tersebut membentuk struktur sosial. Dalam konteks ini, hal yang dipertukarkan untuk saling diinterpretasikan di tingkat aktor bisa berupa simbol-simbol atau bahasa sebagai simbol yang paling konkrit. Dramaturgi dari Goffman mengasosiasikan peran-peran aktor dalam sebuah struktur sosial seperti pertunjukkan drama, di mana setiap aktor memainkan peran masing-masing dan peran itu akan bermakna ketika dikaitkan dengan peran-peran lainnya. Menurut Goffman paran aktor dalam kehidupan keseharian melakukan tindakan sosial dapat dibedakan ke dalam tipologi. Pertama, adalah tindakan aktor ketika berada di ”depan panggung” (front region), di mana dalam posisi seperti ini aktor dituntut untuk memerankan hal yang bersifat normatif (ideal) sesuai dengan peran yang dia dapatkan dalam struktur sosial tertentu. Aktor menutupi dirinya dari tindakan-tindakan sosial yang tidak sesuai dengan tuntutan perannya. Kedua, adalah belakang panggung” (back stage), di mana aktor dapat memerankan dirinya tidak selalu sesuai dengan konteks ideal yang seharusnya dilakukan. Keberaaan aktor baik di depan panggung maupun di belakang panggung tidak hanya dalam konteks memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam struktur sosial, akan tetapi terdapat proses berpikir dan menginterpretasikan diri atas


(37)

perannya di dalam struktur sosial (Poloma, 2004; Calhoun, et.al, 2002; Ritzer dan Goodman, 2004).

Etnometodologi dari Garfinkel dikategorikan sebagai studi empiris mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Secara empiris konsepsi teori ini mempelajari tentang konstruksi realitas yang dibuat seseorang di saat interaksi sehari-hari berlangsung (Poloma, 2004). Etnomotologi menolak pandangan bahwa realitas sosial yang ada dalam masyarakat merupakan sesuatu yang berada ”di luar”, yakni berupa ketentuan yang telah tetap dan bersifat universal di mana aktor dalam realitas sosial tersebut hanya menerima saja. Bagi kaum yang menjadi pendukung aliran etnometodologi, realitas sosial bersifat inheren dalam masyarakat, di mana di dalamnya terdapat proses interpretasi atas makna-makna yang dipertukarkan dalam interaksi sosial sehingga kemudian terbentuk konstruksi sosial mengenai nilai dan struktur sosial. Realitas sosial dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat subyektif, tidak obyektif seperti konsepsi teori dari kaum strukturalisme (Poloma, 2004; Slaterry,2003; Ritzer dan Goodman, 2004; dan Turner, 1998). Etnometodologi menekankan pada kajian simbol yang berbentuk bahasa untuk memahami konstruksi pemaknaan mengenai realitas sosial yang dibangun oleh hubungan antar aktor. Meskipun demikian, etnometodologi tidak sama dengan hermeunetik yang hanya menfokuskan konstruksi sosial pada kajian bahasa (lihat Ricoeur,2006) . Dalam etnometodologi bahasa hanya merupakan salah satu bentuk simbol yang diinterpretasikan, akan tetapi terdapat simbol-simbol lain selain bahasa.

Interaksionisme simbolis tidak memiliki perbedaan yang begitu mendasar dengan konsepsi teori sosiologi interpretatif yang dikemukakan sebelumnya. Pandangan Interaksionisme Simbolis menekankan pada interpretasi makna yang dilakukan oleh aktor dalam interaksi sosial. Pandangan ini juga memposisikan diri sebagai kritik teori terhadap pandangan strukturalisme. Konsepsi teori interaksionisme simbolis memiliki asumsi dasar bahwa interaksi antar aktor menghasilkan sebuah konstruksi sosial melalui pertukaran makna dan simbol. Blummer (1969) sebagai salah satu tokoh penting yang melahirkan pandangan interaksionisme simbolis menyatakan bahwa konsepsi teori ini bertumpu pada tiga premis yaitu:


(38)

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada ”sesuatu” itu pada mereka

2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain 3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi berlangsung

Pandangan teori interaksionisme simbolis menolak adanya realitas obyektif, di mana terhadap realitas dipahami sebagai sesuatu yang sudah inheren

dan bersifat universal pada sistem sosial apapun. Menurut teori interaksionisme simbolis, makna pada realitas sosial, baik itu benda maupun tindakan sosial manusia, tidak bersifat inheren tergantung pada konstruksi pemaknaan yang dibangun dalam proses interaksi sosial antar aktor, di mana setting sosial (dimensi ruang dan waktu) memberikan pengaruh terhadap terbentuknya konstruksi pemaknaan yang dihasilkan (Poloma, 2004). Konstruksi pemaknaan melibatkan aktor dalam proses memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasi makna dalam hubungannya dengan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Konstruksi makna dari proses interpretasi merupakan hal yang terus diorgansisasikan oleh aktor untuk kepentingan pengarah bagi tindakan sosialnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini Blummer menjelaskan bahwa manusia adalah aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui proses self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan menentukan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut (Poloma, 2004).

Pandangan mengenai aktor yang bersifat kreatif juga dikemukakan dalam penjelasan teori strukturasi agen-struktur yang dikemukakan oleh Giddens. Dalam pandangan Giddens aktor memiliki kesadaran kreatif dalam melakukan tindakan sosial. Perbedaan Giddens dengan beberapa tokoh sosiologi interpretatif adalah penjelasan mengenai struktur sosial, di mana dalam teori agen dan strukturnya Giddens juga memberikan penjelasan mengenai keberadaan struktur dalam memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor. Menurut Giddens, aktor (peran aktor atau agency) memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan struktur sosial yang diistilahkan dengan dualitas. Konsep dualitas ini pada dasanya menekankan adanya hubungan antara konteks mikro-makro yang


(39)

selama ini menjadi perdebatan teoritis antara interaksionisme dan strukturalisme. Giddens membangun konsepsi teori yang menjembatani perdebatan antara kedua pendekatan tersebut. Aktor bertindak berdasarkan kesadaran yang dimiliki (aktif) namun demikian di lain pihak kesadaran tersebut ”dibatasi” oleh keberadaan struktur sosial yang mengarahkan tindakan aktor. Struktur sosial berposisi sebagai kekuatan inheren yang membangun kesadaran aktor dalam melakukan tindakan sosial (Ritzer dan Goodman, 2004; Turner, 1998).

Teori sosiologi interpretatif secara eksplisit tidak menyediakan penjelasan yang memadai untuk menjelaskan konsep perubahan. Kekuatan penyebab perubahan dan arah perubahan sosial dalam masyarakat tidak mendapatkan perhatian dalam kerangka teori ini. Namun demikian, jika ditelaah lebih jauh lagi sebenarnya teori sosiologi interpretatif dapat dipergunakan untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena perubahan sosial. Hal ini dapat ditelaah dari pemahaman teori ini yang menyatakan bahwa pada dasarnya konstruksi sosial merupakan sebuah proses yang terus-menerus disempurnakan dalam interaksi sosial (Poloma, 2004). Artinya, konstruksi sosial merupakan sesuatu hal yang bersifat dinamis dalam konteks terjadi penyempurnaan-penyempurnaan (di dalamnya terdapat proses perubahan atau pergeseran) terhadap hal tersebut. Hal ini juga semakin dikuatkan dengan adanya pemahaman teori dalam sosiologi interpretatif yang menyatakan bahwa konstruksi sosial bersifat kontekstual dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Pernyataan ini menjelaskan bahwa dalam

setting ruang dan waktu tertentu konstruksi sosial yang terbentuk akan berbeda satu sama lain (unik atau tidak universal). Jika pemahaman ini ditarik dalam kerangka adanya perkembangan waktu, maka konstruksi sosial dalam teori ini dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis (berubah atau bergeser).

2. 4 Kerangka Teoritis

Burung memiliki dimensi makna yang sangat beragam tergantung pada

setting sosial dan konteks munculnya pemaknaan. Pemaknaan terhadap burung meliputi dimensi ekonomi, sosio-kultural, ekologi dan estetika (keindahan). Dimensi pemaknaan burung secara ekonomi dapat dilihat dari pemanfaatan burung sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk kepentingan para


(40)

penggemar burung dan bahan makanan. Saat ini tingkat kegemaran memelihara burung menunjukkan pergeseran yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil kajian Jepson dan Ladle di lima kota besar di Indonesia (empat diantaranya terdapat di Jawa) yang menunjukkan bahwa burung merupakan satwa peliharaan yang paling digemari dibandingkan dengan jenis satwa peliharaan lainnya, seperti kucing, ikan, anjing, dan kuda (Jepson and Ladle, 2005). Hal ini memberikan dampak terhadap semakin meningkatnya perdagangan burung di Indonesia, baik yang dilakukan di pasar-pasar burung maupun di luar pasar burung. Jenis burung yang saat ini marak diperdagangkan antara lain jenis burung kakak tua dan beberapa jenis berkicau seperti cucak rawa, anis merah, dan murrai batu. Potensi keuntungan ekonomi yang cukup besar dari perdagangan burung menjadi salah satu faktor penting yang menjadi penarik semakin maraknya perdagangan burung di Indonesia. Pemanfaatan burung secara ekonomi dapat dilihat juga dari pemanfaatan burung untuk kepentingan bahan makanan. Pemaknaan burung sebagai bahan makanan lebih dahulu terbentuk dibandingkan dengan pemanfaatan burung sebagai ”komoditas” perdagangan. Di Indonesia terdapat jenis burung tertentu yang dagingnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang diperjualbelikan, seperti misalnya, burung merpati atau beberapa jenis burung laut (pelikan) (Mackinnon, 1984).

Burung dalam dimensi sosio-kultural dimaknai sebagai bagian dari entitas kultural komunitas tertentu. Komunitas Dayak Laut misalnya memaknai beberapa jenis burung tertentu sebagai simbol dari mistis dan religiusitas, di mana burung ditempatkan sebagai representasi dari dewa-dewa yang mereka sembah (Welty, 1979). Sementara itu, bagi kalangan masyarakat Jawa, jenis burung tertentu menjadi simbol dari status sosial dan kesempurnaan dalam hidup. Memelihara burung menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, di mana burung merupakan representasi dari kukila dalam filosofi kesempurnaan hidup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa, khususnya yang memiliki tradisi kultural tradisional yang masih kuat, memiliki filosofi tentang kesempurnaan hidup, yaitu meliputi harta (kekayaan), tahta (kekuasaan), wanita (pasangan/istri), turangga (kendaraan/tunggangan) serta kukila (Muchtar dan Nurwatha, 2001).


(41)

Sedangkan secara ekologis, pemaknaan terhadap burung dapat dilihat dari pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring terhadap perubahan lingkungan. Di beberapa negara maju pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring sudah banyak dilakukan, seperti untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran lingkungan dan pencemaran pestisida (Furness and Greenwood, 1993). Di Indonesia, secara tradisional peran burung sebagai bio-monitoring dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai ”musuh alami” dari beberapa jenis serangga di kegiatan pertanian. Hal ini menjadi local knowledge yang dimanfaatkan oleh petani, di mana burung-burung tertentu dibiarkan mendatangi areal pertaninya untuk memakan hama serangga (Mackinnon, 1984). Dari dimensi estetika burung dimanfaatkan oleh kalangan seniman sebagai obyek karya seni (lukisan) mereka (Surata, 1993).

Dalam konteks sosio-kultural pemaknaan burung yang berkembang pada masyarakat Jawa menempatkan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat Jawa. Secara historis, memelihara burung di kalangan priyayi (bangsawan) menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan sebagai simbol status sosial mereka. Jenis burung yang populer adalah jenis burung perkutut, yang menjadi simbol dari ketenangan dan kewibawaan. Akan tetapi kecenderungan yang berkembang dalam konteks kekinian, pemaknaan burung di kalangan masyarakat Jawa lagi hanya sebatas pada pemaknaan sosio-kultural yang bersifat tradisional. Dimensi sosio-kultural burung dalam konteks kekinian membentuk konstruksi pemaknaan yang menempatkan burung sebagai hobi untuk pengisi waktu luang saat beristirahat. Burung menjadi simbol dari ketenangan dan keindahan dengan mendengarkan keindahan suara burung. Fenomena ini tidak hanya melibatkan masyarakat Jawa dari kalangan kelas atas (bangsawan/priyayi) seperti masa lalu, akan tetapi melibatkan masyarakat Jawa dari berbagai lapisan3. Di samping itu, pada kalangan masyarakat Jawa saat ini juga mulai berkembang konstruksi pemaknaan burung secara ekonomi, di mana burung dijadikan sebagai komoditas perdagangan yang menguntungkan. Semakin meningkatnya tingkat kegemaran memelihara burung pada masyarakat Jawa menjadi salah satu faktor

3

Meskipun bersifat multi-strata, yaitu melibatkan hamper sebagian besar dari lapisan masyarakat Jawa, akan tetapi secara faktual sebagian besar masyarakat Jawa yang terlibat dalam kegemaran hobi memelihara burung masih didominasi oleh msyarakat lapisan atas dan menengah (Jepson and Ladle, 2005)


(42)

penting yang menjadikan maraknya perdagangan burung. Burung saat ini menjadi dimaknai sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan potensi keuntungan ekonomi yang cukup menjanjikan. Hal ini menunjukkan terbentuknya kecenderungan komersialisasi terhadap burung. Nilai-nilai komersial pada masyarakat Jawa sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Masuknya kolonialisme yang memperkenalkan (secara paksa) nilai-nilai kapitalitik melalui moda produksi kapitalistik membentuk nilai-nilai komersial pada hubungan-hubungan sosial di pedesaaan (Husken, 1998; Soemardjan, 1986 dan Sajogyo, 1982 dan Penny, 1982&1990). Nilai-nilai komersial tidak hanya berkembang pada pola hubungan sosial, akan tetapi pada tindakan-tindakan sosial tertentu seperti kerja.4

Pergeseran konstruksi pemaknaan pada komunitas penggemar burung di Jawa dalam konteks ini dipahami sebagai adanya pergeseran terhadap konstruksi pemaknaan burung di tingkat komunitas penggemar burung. Berkembangnya nilai-nilai komersial terhadap burung merupakan hasil dari interpretasi makna dalam proses interaksi sosial antar komunitas penggemar burung yang dalam perkembangannya tidak hanya menjadikan burung sebagai bagian dari kehidupan untuk mengisi waktu luang, akan tetapi memiliki potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. Semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan komunitas penggemar burung menjadi salah satu bentuk daya tarik yang menempatkan burung tidak lagi hanya dipandang sebagai simbol keindahan dengan mendengarkan suara, warna dan gerak-geriknya. Akan tetapi burung menjadi komoditas yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, baik sebagai penghasilan alternatif atau utama.

Dalam perkembangannya, pemaknaan lain yang berkembang terhadap burung di masyarakat, tepatnya komunitas penggemar burung adalah pemaknaan konservasi terhadap burung. Dalam konteks ini burung menjadi salah satu perhatian satwa yang harus mulai diupayakan pelestariannya seiring dengan semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu karena kegiatan perburuan

4

Sebelum masuknya nilai-nilai komersial dari kolonialisme barat, pemaknaan terhadap kerja bersifat sosio-kultural, di mana kerja dilakukan secara bersama-sama antar sesama warga (dikenal dengan istilah gotong royong) yang kemudian bergeser menjadi sistem upah. (Husken, 1998; Soemardjan, 1986)


(1)

komunitas penggemar burung itu sendiri. Terdapat kekuatan kepentingan yang berasal dari luar komunitas penggemar burung yang memberikan tekanan terhadap proses pembentukan konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas. Dinamika pergeseran pemaknaan pada komunitas penggemar burung merupakan bentuk respon terhadap kepentingan-kepentingan lain di luar komunitas penggemar burung yang memberikan tekanan terhadap komunitas. Hal ini yang kemudian dimaknai sebagai proses reartikulasi pemaknaan, yaitu sebuah proses pemaknaan kembali burung di tingkat komunitas dalam keterkaitannya dengan perubahan konfigurasi kepentingan di tingkat komunitas penggemar burung itu sendiri dan kepentingan lain di luar komunitas. Hal ini penting ditelaah karena, eksistensi komunitas penggemar burung pada dasarnya merupakan proses adaptasi komunitas penggemar burung terhadap perubahan konfigurasi kepentingan dalam komunitas penggemar burung itu sendiri.

7. 2 Saran

Melalui kegiatan penelitian ini penulis memberikan beberapan saran untuk kepentingan aktor-aktor yang berkaitan dengan burung, secara langsung maupun tidak langsung, di tingkat komunitas penggemar burung itu sendiri maupun di luar komunitas. Saran dalam konteks ini dibagi menjadi dua, yaitu saran yang bersifat rekomendasi teoritis serta rekomendasi praksis.

7.2.1 Rekomendasi Teoritis:

1. Secara teoritis, perlunya dilakukan pengkayaan pengkajian mengenai burung yang menfokuskan dimensi kajiannya pada analisis sosial mengenai permasalahan burung. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa permasalahan burung pada dasarnya berkaitan dengan dimensi manusia sebagai aktor, dimensi sosio-kultural, ekonomi dan eko-sosio-kultural. Permasalahan yang berkaitan dengan burung merupakan permasalahan yang kompleks di mana terdapat banyak kepentingan yang bermain di dalamnya.

2. Secara teoritis, pemahaman interpretatif terhadap realitas sosial pemaknaan yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung berkicau pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan proses interpretasi


(2)

aktor-aktor dalam proses interaksi sosial antar aktor. Kekuatan struktural, baik dalam bentuk kepentingan, ternyata memberikan pengaruh yang

cukup kuat dalam ”mengarahkan” konstruksi sosial di tingkat aktor. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan konteks kesadaran aktor dalam pemahaman sosiologi interpretatif ternyata tidak dapat berdiri sendiri sebagai teori dalam menjelaskan fenomena konstruksi sosial pemaknaan. Karena secara struktural fenomena konstruksi sosial di tingkat komunitas penggemar burung ternyata juga dapat dilakukan.

7.2.2 Rekomendasi Praksis:

1. Dalam tataran praksis. Saat ini komunitas penggemar burung berkembang sangat signifikan membentuk representasi kepentingan yang beragam. Di tingkat komunitas kepentingan yang berada di balik aktor-aktor dalam komunitas hendaknya tidak bersifat pragmatis dengan hanya mengedepankan dimensi kepentingannya sendiri dalam komunitas.

2. Proses konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas, apapun bentuknya hendaknya diinternalisasikan secara baik dengan mengedepankan partisipasi aktor-aktor dalam komunitas penggemar burung. Kesan elitis dan tidak partispatif dalam proses konstruksi kebijakan di tingkat komunitas perlu dikurang untuk menghindari terjadinya konflik vertikal dan horizontal di tingkat komunitas penggemar burung.

3. Komunitas penggemar burung hendaknya menjadi representasi dari setiap aktor yang tedapat dalam komunitas penggemar burung itu sendiri. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung, yaitu latihan dan lomba burung hendaknya dikonstruksi dalam kerangka representasi dari kepentingan setiap aktor di komunitas tersebut.

4. Komunitas penggemar burung dapat dijadikan sebagai kekuatan masif untuk melakukan upaya-upaya pelestarian burung tanpa mengancam eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan aktor-aktor yang memiliki posisi strategis dalam komunitas penggemar burung di Jawa, khususnya Surabaya dan Yogyakarta.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adian, D. Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Khun. Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan. Jakata.

Andrew. P. 1992. The Bird of Indonesia. Kukila Chechlist No I. Indonesia Ornithological Society. Jakarta

Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Warta Pustaka. Yogyakarta

Bappenas. 2005. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia: Antara Krisis dan Peluang. Bappenas. Jakarta

Beng, Quek Tee. 1997. Bird Breeding: A Way To Coservation, paper ini

dipresentasikn dalam Seminar Nasional “Peran Pelestarian

Hidupanliar dan Ekosistemnya dalam Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan. Kerjasama antara Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margawsatwa Indonesia, YSI (The Indonesian Wildlife Fund, IWF). Jakarta 22 Juli 1997.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Rajawali Pers. Jakarta

Burger, DH. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa. Bharatara Karya Aksara. Jakarta

Calhoun, Craig, et.al (ed). 2002. Contemporary Sociological Theory. Blackwell Publishing

Denzin, NK and YS Lincoln (eds). 2000. Handbook of Qualitatif Research (Second Edition), Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication

Furness, R.W and J.J.D Greewood (ed). 1993. Bird as Monitors of Enviromental Change. Chapman & Hall. London

Gauthama, Margaret P,dkk (ed). 2003. Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Pusat Kajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah-BPPT. Jakarta

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (terjemahan). Bharata Aksara. Jakarta

Hüsken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo. Jakarta

Jati, Aselmus. 1998. Kelimpahan dan Distribusi Jenis-jenis Burung Berdasarkan Fragmentasi dan Stratifikasi Habitat Cagar Alam Langgaliru – Sumba. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Jepson, P. and Richard J. Landle. 2005. Bird-keeping in Indonesia: Conservation Impact and the Potential for Substitution-Based Conservation Respons. Oryx Vol 39 No October 2005

Koentjaraningrat.1974. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. PT Gramedia. Jakarta

___________ .1994. Kebudayaan Jawa: Seri Etnografi Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta


(4)

Mackinnon, John. 1984. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali. Gadjahmada University Press. Yogyakarta

May, Tim. 2001. Social Research: Issues, Methods, and Process. Third Edition. Open University Press. Maidenhead

Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kulaitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. UI Press. Jakarta Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Penerbit Rake

Sarasin. Yogyakarta

Muchtar, M. dan Pupung F. Nurwatha. 2001. Gelatik Jawa dan Jalak Putih: Status dan Upaya Konservasi di Jawa dan Bali. Yayasan Pribumi Alam Lesteri (YPAL). Bandung

Neuwman, W. Lawrence. 1999. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Fourth Edition. Allyn and Bacon. USA Penny, DH. 1982. Komersialisasi Pertanian Subsisten: Suatu Kemajuan atau

Kemunduran? dalam Sajogyo (penyunting). Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor

---. 1990. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Poloma, Margaret, M. 2003. Sosiologi Kontemporer. PT Raja Garfindo Perkasa. Jakarta

Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial, terjemahan dari Hermeneutic and the Human Science: Essay on Laguange, Action and Interpretation. Kreasi Wacana. Yogyakarta

Riley, Jon dan James C. Wardill. 2001. The Rediscovery of Cerulean Paradise-Fliycatcher Eutrichomyias Rowleyi on Sangihe, Indonesia. Forktail 17 (2001): 45 – 55.

Ritzer, Goerge dan Douglas, J Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Terjemahan dari Modern Sociological Theory. Kencana. Jakarta

Salim, Agus (Penyunting). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin&Egon Guba, dan Penerapannya). PT Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Sitorus, M.T Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan, Jurusan Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor. Slaterry, Martin. 2003. Keys Idea in Sociology. Nelson Thornes Ltd-Delta Place.

United Kingdom

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjahmada University Press. Yogyakarta

Surata, SPK. 1993. Persepsi Seniman Lukis Tradisional di Bali terhadap Konservasi Burung. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Turner, Jonathan. H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmont


(5)

Twikromo, Argo.Y. 1999. Pemulung Jalanan Yogyakarta: Konstruksi Marginalisasi dan Perjuangan Hidup dalam Bayang-Bayang Budaya Dominan. Penerbit Media Pressindo. Yogyakarta

Welty, J.C. 1979. The Life of Bird. Sanders College-Publication. Philadelphia Widodo, W, Jack H. Cox dan Pamela C. Rasmussen. Rediscovery of the Flores

Scops Owl Otus Alfredi on Flores, Lesser Sunda Island, Indonesia, and Reaffirmation of its Specific Status. Forktail 15 (1999): 15 – 23.

Yuda, Pramana. 1995. Studi Keragaman dan kelimpahan Burung Diberbagai Habitat di Hutan Wanagama I DIY. Yogyakarta. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor


(6)