1. 3. Burung sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan Psiko-Sosial Refreshing

Surabaya akan didapati kaum perempuan beserta anak-anak mereka mendampingi suaminya yang menggemari hobi memelihara burung. Mereka hanya sekedar melihat-lihat saja para suami mereka melakukan hobinya. Keberadaan mereka tidak dalam rangka mendapatkan kepuasan psikologis karena mendegarkan suara burung akan tetapi lebih pada kepuasan karena suasana latihan yang selalu ramai dengan orang-orang. Kondisi yang sama pada komunitas penggemar burung di Surabaya juga terjadi pada penyelenggaraan kegiatan lomba burung. Lokasi kegiatan lomba burung di Surabaya biasanya diselenggarakan di lokasi-lokasi yang memiliki daya tarik untuk hiburan atau refreshing. Lokasi yang dipilih biasanya adalah lapangan yang menjadi kawasan wisata atau refreshing masyarakat kebanyakan. Lokasi yang paling cukup sering dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan lomba burung oleh komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya adalah kawasan wisata Chandrawilwatikta di Pandaan-Pasuruan. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan yang menarik untuk kegiatan wisata alam karena berdekatan dengan kawasan wisata Tretes dan Trawas Mojokerto. Penyelenggaraan lomba di lokasi ini biasanya sekalian dimanfaatkan oleh keluarga para penggemar burung untuk melakukan kegiatan liburan atau refreshing. Oleh karena itu, pada saat penyelenggaraan lomba biasanya akan didapati para perempuan beserta keluarganya menggelar tikar dan beristirahat sambil menyantap makanan yang mereka bawa. Secara tidak langsung kegiatan lomba burung di Surabaya berkembang menjadi kegiatan refreshing bagi sebagian keluarga para penggemar burung. 5. 1. 4. Burung sebagai Komoditas Ekonomi: Kepentingan Pasar dan Perdagangan Burung pada Komunitas Penggemar Burung Berkicau Salah satu konstruksi pemaknaan yang berkembang cukup pesat dikalangan komunitas penggemar burung berkicau, baik di Surabaya maupun Yogyakarta adalah pemaknaan komersial terhadap burung. Burung tidak lagi hanya dimaknai sebagai satwa peliharaan untuk kepentingan kultural atau psikologis semata. Akan tetapi burung dimaknai juga dalam konteks sebagai komoditas ekonomi yang memiliki potensi keuntungan cukup menjanjikan. Berkembangnya pemaknaan ekonomi terhadap burung dikalangan penggemar burung berkicau di satu sisi dapat dipandang dalam konteks keterkaitannya dengan semakin berkembangnya kegemaran kegiatan memelihara burung di masyarakat yang pada akhirnya memberikan implikasi terhadap semakin tingginya permintaan terhadap jenis burung tertentu, serta semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hobi memelihara burung seperti latihan dan lomba burung. Sementara itu, dari sisi yang berbeda pemaknaan ekonomi terhadap burung dapat dipandang dalam konteks terdapatnya kekuatan-kekuatan tertentu di luar komunitas penggemar burung berkicau yang membentuk kecenderungan terbentuknya perdagangan burung secara legal. Hal ini berkaitan dengan terbentuknya pangarusutamaan kegiatan penangkaran burung sebagai bentuk legalitas untuk melakukan kegiatan perdagangan burung. Di tingkat komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya maupun Yogyakarta kedua pandangan di atas sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Kepentingan ekonomi terhadap burung merupakan resultan adanya kepentingan yang dikonstruksi di tingkat internal komunitas penggemar burung itu sendiri serta adanya kekuatan dari luar yang semakin menguatkan. Konteks pemaknaan burung sebagai komoditas ekonomi pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta dapat dipandang dari dua hal. Pertama, pemanfaatan burung secara ekonomi untuk kepentingan pemenuhan sumber nafkah, baik sumber nafkah utama maupun alternatif. Kedua, pemanfaatan burung untuk kepentingan ekonomi bisnis. Sebagai sumber penghasilan, saat ini pemanfaatan burung masih dijadikan sebagai sumber nafkah alternatif. Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan hal ini adalah memperdagangkan burung di tingkat penggemar burung itu sendiri. Kegiatan perdagangan burung berkembang menjadi kegiatan yang cukup menjanjikan karena memiliki potensi keuntungan cukup besar. Hal ini disebabkan cukup tingginya nilai jual jenis burung tertentu di tingkat penggemar burung. Nilai jual burung di tingkat penggemar burung tidak ditentukan oleh faktor ekonomi yang rasional seperti halnya barang-barang ekonomi seperti biasanya 11 , akan tetapi ditentukan oleh konstruksi pemaknaan yang melekat pada burung 11 Faktor ekonomi yang rasional dalam konteks ini adalah pandangan ilmu ekonomi yang menjelaskan bahwa harga nilai jualbeli ditentukan oleh perimintaan dan penawaran. tersebut. Nilai jual burung biasanya ditentukan oleh pelekatan prestise tertentu pada burung tersebut, seperti pelekatan prestise juara pada burung. Burung yang dikenal sebagai kategori burung juara pada kegiatan lomba burung maka secara otomatis akan meningkatkan nilai jualnya. Burung dengan nama ”combat” misalnya, burung ini ditawar dengan kisaran harga mencapai Rp. 15 juta, suatu kisaran harga yang cukup fantastis untuk ukuran komoditas seperti burung berkicau. Tingginya nilai penawaran yang diberikan kepada burung ini disebabkan burung tersebut dikenal di kalangan penggemar burung sebagai burung juara. Pada saat di tawar dengan kisaran harga tersebut di atas, ”combat” baru menjuari kegiatan lomba yang berskala lokal. Pemanfaatan burung sebagai alternatif sumber nafkah ruamhtangga saat ini mulai dilirik oleh sejumlah penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta. Penggemar yang menjadikan burung sebagai komoditas perdagangan berasal dari komunitas penggemar burung yang beragam. Namun demikian, sebagian besar yang melakukan ini adalah para penggemar yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini dimaksudkan dari kegiatan memperdagangkan burung, maka tingkat penghasilan rumahtangganya dapat bertambah. Berikut ini adalah contoh kasus penggemar yang menjadikan burung sebagai alternatif penghasilan rumahtangga Pak I dan A: Kasus Penggemar di Yogyakarta Pak I adalah seorang pekerja di sektor informal. Beliau memiliki majikan yang memiliki hobi memelihara burung sekaligus mengikuti kegiatan-kegiatan latihan dan lomba burung. Majikan Pak I mempercayakan burung-burung yang dimilikinya untuk dirawat oleh Pak I di rumah majikannya tersebut. Dari kegiatan merawat burung yang dimiliki oleh majikannya tersebut Pak I mendapatkan penghasilan tambahan. Memelihara burung bagi Pak I bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Sejak muda beliau sudah memiliki kegemaran memelihara burung. Pak I memiliki beberapa jenis burung berkicau di rumahnya. Burung-burung yang dimiliki Pak I tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan hobi saja, akan tetapi juga perdagangkan jika ada penggemar lain yang tertarik dengan burung Pak I. Menurut Pak I dari hasil kegiatannnya memperdagangkan burung kepada penggemar lainnya, hasilnya cukup baik, paling tidak bisa menambah penghasilan rumah tangganya. Keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ini cukup menjanjikan meskipun tidak terjadi secara terus menerus dan dapat diprediksi Pak I 40, salah satu penggemar burung berkicau di Yogyakarta. Pak Ar 35 tahun merupakan seorang penggemar burung yang juga menjadi pedagang perantara burung untuk lomba. Pekerjaan utama Pak Ar adalah satpam di sebuah perusahaan kecil. Penghasilan dari pekerjaannya sebagai satpam dinilai cukup namun sangat terbatas. Kegemaran Pak Ar memelihara burung pada awalnya hanya karena hobi melihat keindahan suara, warna dan tingkah laku burung. Dalam perkembangannya seiring dengan semakin maraknya kegemaran hobi memelihara burung, Pak Ar melihat potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. Dia akhirnya menjadikan hobinya memelihara burung sekaligus sebagai mata pencaharian samping untuk rumahtangga. Pak Ar mencari anakan burung dari daerah di luar Yogyakarta terakhir dia mendapatkan anakan anis merah dari Bali yang kemudian dia jual kepada penggemar di Yogyakarta. Transaksi penjual tidak secara langsung dilakukan begitu Pak Ar mendapatkan anakan burung dari daerah lain. Pak Ar mengikut sertakan burung yang dimilikinya pada kegiatan latihan dan lomba burung di mana komunitas penggemar berkumpul. Jika burung yang dia miliki mendapatkan perhatian dari penggemar lain, misalnya jadi salah satu burung yang dianggap juara dalam latihan burung, maka harga jual burung tersebut bisa naik. Burung kenari yang telah dijual Pak Ar misalnya, dia membelinya dengan harga Rp. 150.000. Ketika diikutsertakan dalam latihan burung di kawasan Pasar Giwangan burung tersebut mendapatkan juara ketiga. Saat itu juga burung tersebut diminati oleh penggemar burung lainnya dan dibeli dengan harga Rp. 350.000. Hal seperti ini bagi Pak Ar yang hanya berprofesi sebagai satpam sangat penting untuk menambah pendapatan rumahtangga. Bentuk lain dari pemanfaatan burung sebagai sumber nafkah alternatif adalah dengan mengembangkan kegiatan penangkaran burung. Untuk kegiatan ini, sebagian besar pelakunya tidak berasal dari kalangan penggemar kelas menengah ke bawah, seperti pada analogi perdagangan burung sebelumnya, akan tetapi juga melibatkan kalangan penggemar burung kelas atas. Kegiatan penangkaran dikembangkan hanya pada satu jenis burung saja. Hal ini dilakukan agar penangkar tersebut dikenal memiliki keahlian pada jenis burung tersebut sehingga mudah dikenal di tingkat penggemar burung lainnya. Burung yang dihasilkan dari kegiatan penangkaran biasanya memiliki harga jual yang cukup tinggi, apalagi jika berasal dari indukan dikenal sebagai burung juara. Kegiatan penangkaran menjadi salah satu wacana yang dimunculkan untuk melegalkan perdagangan burung, karena kegiatan penangkaran burung dianggap sebagai bentuk konservasi secara eks-situ jenis burung tertentu 12 . Berikut ini adalah contoh kasus penggemar yang mengembangkan kegiatan penangkaran burung Pak S: Kasus Penggemar Burung di Surabaya Pak S adalah salah satu penangkar burung di Surabaya. Kegiatan menangkar atau menternakkan burung diawali dari kegemaran beliau sebagai penggemar burung. Sejak usia muda, ketika beliau masih aktif di TNI AL, Pak S sudah menggemari burung sebagai satwa peliharaan. Setiap melakukan perjalanan tugas ke beberapa daerah di luar Jawa, Pak S senantiasa menyempatkan diri untuk mencari jenis burung lokal daerah tersebut untuk dipelihara. Hobi memelihara burung ini terus berlnjut hingga saat ini. Hobi memelihara burung bagi Pak S dijadikan sebagai pengisi waktu luang ketika libur atau sepulang dari kerja. Dengan mendengarkan suara burung dan menikmati keindahan warna serta gerak-geriknya, Pak S merasakan kepuasan psikologis berupa keindahan dan ketenangan. Dengan kata lain, burung dijadikan Pak S sebagai media refreshing selama beliau tidak melakukan aktivitas kerja atau selama berada di rumah. Saat ini hobi memelihara burung yang dimiliki Pak S tidak lagi hanya untuk kepentingan refreshing semata, akan tetapi kegemaran memelihara burung dikembangkan menjadi usaha penangkaran burung secara kecil-kecilan di rumah. Pak S memanfaatkan halaman belakang rumahnya sebagai sarana usaha penangkaran burungnya. Jenis burung yang dipelihara dan diternakkan adalah burung kenari, salah satu jenis burung berkicau dan berwarna menarik yang mulai banyak digemari dikalangan komunitas penggemar burung berkicau berkicau di beberapa daerah. Kegiatan penangkaran burung ini dilakukan Pak S sebagai sampingan saja untuk sumber penghasilan rumahtangga serta sebagai pengisi waktu luang beliau di rumah setelah memasuki masa pensiun. Sebagai usaha sampingan, penangkaran burung yang dimiliki oleh Pak S tidak terlalu banyak, hanya sekitar 50-an ekor burung kenari yang dia tangkarkan. Kegiatan ini dilakukan Pak S dengan dibantu oleh istrinya yang berprofesi sebagai ibu rumahtangga. Sementara itu, pemanfaatan burung untuk kepentingan ekonomi bisnis dalam konteks ini dipresentasikan oleh kegiatan yang berkaitan dengan penggemar burung, yaitu latihan burung dan lomba burung. Kegiatan latihan dan lomba burung berkembang menjadi kegiatan bisnis yang cukup menjanjikan. Potensi bisnis pada latihan dan lomba burung berasal dari semakin meningkatnya komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya dan Yogyakarta. Kedua kegiatan ini hingga saat ini menjadi kegiatan yang paling populer diikuti oleh kalangan penggemar burung di dearah tersebut. Tingginya tingkat keikutsertaan penggemar burung berkicau dalam kedua kegiatan tersebut memberikan implikasi terhadap potensi keuntungan dari kegiatan tersebut yang cukup tinggi 13 . Di 12 Di tingkat penggemar burung berkicau berkembangnya kegiatan penangkaran tidak terlalu banyak menimbulkan perdebatan. Wacana perdebatan mengenai kegiatan penangkaran terjadi di tingkat N GO’s yang berkaitan dengan konservasi satwa. Terdapat kalangan NGO’s yang membolehkan dan mendukung kegiatan perdagangan karena dimaknai sebagai bentuk pelestarian terhadap jenis burung tertentu secara eks-situ, serta mengurangi kegiatan perburuan burung secara langsung dari alam. Sementara itu, di sisi lain terdapat kalangan NGO’s yang menolak pandangan ini karena dianggap melegitimasi kegiatan yang sebenarnya akan memberikan dampak negatif terhadap pelestarian satwa. Bagi mereka satwa seharunya berada di habitatnya tidak diekosistem yang direkayasa, apalagi diperuntukkan bagi kepentingan pasar perdagangan. 13 Berdasarkan pengamatan peneliti selama di lapangan tingkat keikutsertaan penggemar pada setiap pelaksaan latihan dan lomba burung mencapai kisaran ± 100 burungkegiatan. Untuk eventt lomba burung tingkat keikutsertaannya bisa melebihi kisaran 100, apalagi pada eventt lomba Surabaya kecenderungan pemanfaatan kedua kegiatan ini untuk kepentingan bisnis cukup terlihat yaitu dari tingginya biaya pendaftaran yang dibebankan kepada penggemar yang ikut serta dan pelibatan sponsorship dari perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan langsung dengan komunitas penggemar burung berkicau. Di daerah ini bahkan keberadaan kedua kegiatan tersebut melahirkan sejumlah kegiatan organizer yang mengkhususkan diri menyelenggarkan kegiatan-kegiatan tersebut. 5. 1. 5. Burung sebagai Obyek Konservasi: Tekanan Kekuatan di Luar Komunitas Penggemar Burung Pemaknaan yang menempatkan burung sebagai satwa yang harus dilestarikan berkembang seiring dengan semakin maraknya kegiatan perburuan burung di alam untuk kepentingan perdagangan yang berdampak pada semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu di alam. Konstruksi pemaknaan ini sebelumnya lebih banyak berkembang di kalangan NGO’s yang konsern terhadap gerakan pelestarian satwa atau tumbuhan, baik yang secara khusus menfokuskan pada jenis satwa yang spesifik atau satwa secara umum. Namun demikian, dalam perkembangannya konstruksi pemaknaan ini juga berkembang di tingkat komunitas penggemar burung, meskipun masih terbatas. Jika ditelaah proses terbentuknya konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung yang memaknai burung sebagai satwa yang harus dilestarikan maka pada dasanya keberadaan gerakan NGO’s sangat penting. Kampanye dan jejaring sosial yang dibangun oleh NGO’s adalah faktor yang mendorong terbentuknya konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung. NGO’s menjadikan komunitas penggemar burung sebagai salah satu jejaring sosial yang dibangun untuk kepentingan menumbuh kembangkan konstruksi pemaknaan konservasi terhadap burung. Hal ini menjadi sesuatu hal yang penting dilakukan karena akan memberikan keberlanjutan terhadap keberadaan jenis burung tertentu di masa mendatang di satu sisi dan mempertahankan keberadaan hobi atau apapun yang berkaitan dengan burung di sisi lain. burung yang memiliki skala nasional, di mana penggemar yang menjadi peserta berasal dari bebarapa daerah di Indonesia Upaya pelestarian terhadap jenis burung berkicau menjadi sesuatu hal yang tidak lagi dapat ditawar-tawar untuk dilakukan. Hal ini berkaitan dengan semakin maraknya kegiatan perburuan burung di alam untuk kepentingan perdagangan burung jenis ini. Salah satu bentuk upaya pelestarian terhadap jenis burung ini adalah dengan melakukan pembatasan dan bahkan pelarangan sama sekali nantinya terhadap burung berkicau yang berasal dari proses penangkapan di alam dalam kegiatan lomba burung yang berada di bawah koordinasi PBI. Pembatasan dan pelarangan tidak dimaksudkan untuk melakukan dominasi terhadap kepentingan hobi di tingkat penggemar kebanyakan, akan tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk tetap mempertahankan keberadaan jenis burung di alam sekaligus meningkatkan populasi burung melalui penangkaran sehingga keberlanjutan hobi memelihara burung pada penggemar burung berkicau tetap dapat terjaga. Di sisi lain, pertimbangan pembatasan dan pelarangan terhadap jenis burung hasil tangkapan di alam merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam menjalani ratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan terhadap satwa yang terancam keberadaannya di alam. Berikut ini adalah tabel mengenai jadwal pembatasan dan pelarangan jenis burung dari alam pada kegiatan lomba burung yang diselenggarakan oleh PBI. Tabel 4. Jadwal Pengurangan Burung Lokal yang Boleh Dilombakan per Janurai 2008 No Jenis Burung 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 1 Cucak Rawa x x x x x x x x x 2 Anis Kembang x x x x x x x x x 3 Murray Batu x x x x x x x 4 Kacer x x x x x x 5 Cucak Hijau x x x x x 6 Tledekan x x x 7 Anis Merah x x 8 Cendet x 9 Branjangan x x x x x x x x x Jumlah Lokal yang Dihapus 3 3 4 5 6 6 7 8 9 Sumber: Agrobis Burung, No. 383 – Minggu I Agustus 2007 Ketentuan pembatasan dan pelarangan terhadap burung yang berasal dari hasil tangkapan di alam sebenarnya sudah mulai disosialisasikan kepada penggemar di tingkat grassroot secara bertahap melalui ketentuan adanya keharusan untuk melombakan jenis burung ber sertifikasi atau ber’ring’ pada setiap kegiatan lomba yang diselenggarakan oleh PBI. Hal ini dimaksudkan agar nantinya jika terdapat pembatasan terhadap jenis burung tertentu di tingkat grassroot penggemar burung tidak terjadi resistensi yang dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar komunitas penggemar burung berkicau. Namun demikian, harus diakui bahwa ketentuan ini masih mendapatkan penolakan di tingkat grassroot penggemar burung berkicau yang belum memiliki kesadaran terhadap pentingnya upaya pelestarian burung. Dalam pandangan penggemar di tingkat grassroot keberadaan kegiatan yang berkaitan dengan burung sebagai bagian dari hobi mereka hendaknya tidak diatur-atur oleh ketentuan yang mengikat dan cenderung membatasi. Hal ini terjadi karena masih terdapatnya pragmatisme kepentingan lain di tingkat komunitas penggemar burung, yaitu kepentingan pragmatis mendapatkan keuntungan ekonomi dengan menjadikan hobi dan kepentingan psikologis lainnya sebagai kamuflase semata.

5. 2. Sistem Nilai dan Aktor-Aktor dalam Konstruksi Sosial Pemaknaan

Burung Kecenderungan berkembangnya pemaknaan tertentu pada komunitas penggemar burung memiliki keterkaitan dengan sistem nilai dan aktor yang berada pada komunitas penggemar burung tersebut. Sistem nilai dalam konteks ini dimaknai sebagai tata aturan atau norma yang menjadi sistem pengendalian atau kontrol sosial terhadap tindakan sosial di tingkat komunitas penggemar burung, sedangkan aktor dimaknai sebagai pelaku aktif tindakan sosial di tingkat komunitas penggemar burung. Aktor dalam konteks ini tidak dipahami sebagai individu akan tetapi agregat dari individu. Temuan di lapangan terhadap beberapa bentuk konstruksi sosial pemaknaan yang berkembang pada komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta, baik pemaknaan psiko-sosial, sosio-kultural, ekonomi dan konservasi menunjukkan adanya keunikan pada masing-masing daerah. Setting sosio-kultural dan kepentingan aktor pada komunitas penggemar burung merupakan faktor penting yang membentuk keunikan pada konstruksi sosial pemaknaan burung di Surabaya dan Yogyakarta. Di Surabaya konstruksi sosial yang berkembang cenderung menunjukkan adanya gejala komoditisasi dan komersialisasi terhadap burung. Pemaknaan terhadap burung menempatkan burung sebagai komoditas ekonomi dan kegiatan yang berkaitan dengan burung menjadi ajang bisnis. Hal ini ditunjukkan dengan cukup maraknya perdagangan burung di tingkat komunitas dan semakin maraknya kegiatan latihan dan lomba burung di Surabaya. Hal ini memberikan implikasi terhadap terbentuknya sistem nilai yang cenderung berorientasi komersial. Memelihara burung tidak lagi dimaknai hanya sebatas pemenuhan hobi dan kebutuhan hiburan akan tetapi berkembang untuk kepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi dari kegiatan tersebut. Gejala ini dapat terlihat pada kecenderungan pembentukan image dan prestise terhadap burung dalam motivasi memelihara burung. Kepentingan dasarnya adalah agar harga jual burung menjadi semakin tinggi sehingga keuntungan ekonomi yang didapatkan menjadi semakin meningkat. Kondisi ini ditandai dengan tidak kondusifnya kegiatan latihan dan lomba burung sebagai ajang mendengarkan dan menikmati suara, warna dan gerak-gerik burung. Kegaiatan ini lebih cenderung menjadi representasi keriuhan dari para penggemar dalam upaya menunjukkan burung peliharaannya masing- masing melalui suara teriakan. Di sisi lain, pembentukan jaringan sosial dan kegiatan interaksi antar komunitas penggemar burung berkumpul kepentingan di balik hal tersebut adalah motivasi membangun jaringan pasar. Sistem nilai yang cenderung bersifat komersial pada komunitas penggemar burung di Surabaya pada dasarnya berkaitan dengan representasi aktor yang berada di balik kepentingan tersebut. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, afiliasi komunitas penggemar burung di Surabaya sebagian besar adalah pada aktor yang menjadi pelaku kegiatan ekonomi seperti pengusaha lokal, pedagang besar dan kecil, karyawan di perusahaan atau pabrik biasanya buruh di bagian produksi serta profesi kegiatan lainnya. Aktor ekonomi sebagai representasi dari komunitas penggemar burung memberikan implikasi terhadap kecenderungan berkembangnya kepentingan ekonomi yang lebih dominan jika dibandingkan dengan kepentingan lainnya. Konstruksi sosial pemaknaan yang direproduksipun juga cenderung menunjukkan gejala yang berorientasi ekonomi komersial. Keberadaan aktor ekonomi sebagai penggemar burung terkait juga dengan cukup besar dan strategisnya etnis Cina yang dikenal memiliki tradisi nilai-nilai perdagangan. Di Surabaya etnis Cina memiliki posisi strategis di tingkat organisasi maupun paguyuban penggemar burung. Di Yogyakarta, kondisi yang berkembang cenderung mengarah pada mempertahankan eksistensi tradisi kultural dari kegemaran memelihara burung yaitu dalam konteks menempatkan burung sebagai sarana mendapatkan kepuasan psiko-sosial ketenangan dan membangun jejaring sosial yang berbasiskan pada hobi yang sama. Kecenderungan ini ditandai dengan adanya sistem nilai di tingkat komunitas penggemar burung dan kegiatan yang berkaitan dengan burung yang berorientasi pada kepentingan sosio-kultural dan psiko-sosial. Paguyuban penggemar burung di Yogyakarta menjadi representasi kultural dari kelompok kepentingan yang sama dalam bentuk jejaring sosial antar aktor penggemar burung. Paguyuban penggemar burung dijadikan sebagai sarana berkumpul, berinteraksi satu sama lain antar penggemar burung. Hal ini dikonstruksi tidak hanya dalam kerangka hobi yang sama yaitu memelihara burung berkicau akan tetapi juga pada tindakan-tindakan sosial lainnya di luar hal tersebut. Representasi aktor yang menjadi bagian dari komunitas di Yogyakarta memiliki peran panting dalam konstruksi sosial pemaknaan yang berkembang di daerah ini. Di Yogyakarta aktor penggemar burung lebih banyak berafiliasi dengan kepentingan yang beragam, baik ekonomi, sosio-kultural maupun psiko- sosial. Namun demikian, terdapat kecenderungan adanya dominasi dari aktor yang memposisikan diri menjadikan burung sebagai bagian dari entitas kultural dan kepentingan psiko-sosial. Burung dan kegiatan yang berkaitan dengan burung diorientasikan untuk kepentingan tersebut. Aktor-aktor penggemar burung di Yogyakarta lebih banyak direpresentasikan oleh kalangan orang kebanyakan yang berprofesi sebagai karyawan atau pegawai. Perbedaan dengan Surabaya, afiliasi aktor di Yogyakarta adalah tidak dengan kekuatan ekonomi yang cukup besar dan berorientasi keuntungan an sich. Dimensi kekeluargaan dan kekerabatan dalam jenis usaha yang berkembang masih dipertahankan untuk kepentingan eksistensi kultural.