4 Kerangka Teoritis Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus di Surabaya dan Yogyakarta)
Sedangkan secara ekologis, pemaknaan terhadap burung dapat dilihat dari pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring terhadap perubahan lingkungan. Di
beberapa negara maju pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring sudah banyak dilakukan, seperti untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran lingkungan dan
pencemaran pestisida Furness and Greenwood, 1993. Di Indonesia, secara tradisional peran burung sebagai bio-monitoring dapat dilihat pada pemanfaatan
burung sebagai ”musuh alami” dari beberapa jenis serangga di kegiatan pertanian. Hal ini menjadi local knowledge yang dimanfaatkan oleh petani, di mana burung-
burung tertentu dibiarkan mendatangi areal pertaninya untuk memakan hama serangga Mackinnon, 1984. Dari dimensi estetika burung dimanfaatkan oleh
kalangan seniman sebagai obyek karya seni lukisan mereka Surata, 1993. Dalam konteks sosio-kultural pemaknaan burung yang berkembang pada
masyarakat Jawa menempatkan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat Jawa. Secara historis, memelihara burung di kalangan priyayi
bangsawan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan sebagai simbol status sosial mereka. Jenis burung yang populer adalah jenis burung perkutut, yang
menjadi simbol dari ketenangan dan kewibawaan. Akan tetapi kecenderungan yang berkembang dalam konteks kekinian, pemaknaan burung di kalangan
masyarakat Jawa lagi hanya sebatas pada pemaknaan sosio-kultural yang bersifat tradisional. Dimensi sosio-kultural burung dalam konteks kekinian membentuk
konstruksi pemaknaan yang menempatkan burung sebagai hobi untuk pengisi waktu luang saat beristirahat. Burung menjadi simbol dari ketenangan dan
keindahan dengan mendengarkan keindahan suara burung. Fenomena ini tidak hanya melibatkan masyarakat Jawa dari kalangan kelas atas bangsawanpriyayi
seperti masa lalu, akan tetapi melibatkan masyarakat Jawa dari berbagai lapisan
3
. Di samping itu, pada kalangan masyarakat Jawa saat ini juga mulai berkembang
konstruksi pemaknaan burung secara ekonomi, di mana burung dijadikan sebagai komoditas perdagangan yang menguntungkan. Semakin meningkatnya tingkat
kegemaran memelihara burung pada masyarakat Jawa menjadi salah satu faktor
3
Meskipun bersifat multi-strata, yaitu melibatkan hamper sebagian besar dari lapisan masyarakat Jawa, akan tetapi secara faktual sebagian besar masyarakat Jawa yang terlibat dalam kegemaran
hobi memelihara burung masih didominasi oleh msyarakat lapisan atas dan menengah Jepson and Ladle, 2005
penting yang menjadikan maraknya perdagangan burung. Burung saat ini menjadi dimaknai sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan potensi
keuntungan ekonomi yang cukup menjanjikan. Hal ini menunjukkan terbentuknya kecenderungan komersialisasi terhadap burung. Nilai-nilai komersial pada
masyarakat Jawa sebenarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Masuknya kolonialisme yang memperkenalkan secara paksa nilai-nilai kapitalitik melalui
moda produksi kapitalistik membentuk nilai-nilai komersial pada hubungan- hubungan sosial di pedesaaan Husken, 1998; Soemardjan, 1986 dan Sajogyo,
1982 dan Penny, 19821990. Nilai-nilai komersial tidak hanya berkembang pada pola hubungan sosial, akan tetapi pada tindakan-tindakan sosial tertentu seperti
kerja.
4
Pergeseran konstruksi pemaknaan pada komunitas penggemar burung di Jawa dalam konteks ini dipahami sebagai adanya pergeseran terhadap konstruksi
pemaknaan burung di tingkat komunitas penggemar burung. Berkembangnya nilai-nilai komersial terhadap burung merupakan hasil dari interpretasi makna
dalam proses interaksi sosial antar komunitas penggemar burung yang dalam perkembangannya tidak hanya menjadikan burung sebagai bagian dari kehidupan
untuk mengisi waktu luang, akan tetapi memiliki potensi ekonomi yang cukup menjanjikan. Semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
komunitas penggemar burung menjadi salah satu bentuk daya tarik yang menempatkan burung tidak lagi hanya dipandang sebagai simbol keindahan
dengan mendengarkan suara, warna dan gerak-geriknya. Akan tetapi burung menjadi komoditas yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, baik
sebagai penghasilan alternatif atau utama. Dalam perkembangannya, pemaknaan lain yang berkembang terhadap
burung di masyarakat, tepatnya komunitas penggemar burung adalah pemaknaan konservasi terhadap burung. Dalam konteks ini burung menjadi salah satu
perhatian satwa yang harus mulai diupayakan pelestariannya seiring dengan semakin terancamnya beberapa jenis burung tertentu karena kegiatan perburuan
4
Sebelum masuknya nilai-nilai komersial dari kolonialisme barat, pemaknaan terhadap kerja bersifat sosio-kultural, di mana kerja dilakukan secara bersama-sama antar sesama warga dikenal
dengan istilah gotong royong yang kemudian bergeser menjadi sistem upah. Husken, 1998; Soemardjan, 1986
dan perdagangan burung. Secara tradisional, sebenarnya dimensi pemaknaan konservasi terhadap burung sudah terbentuk yaitu ketika dikaitkan dengan tradisi-
tradisi kultural komunitas tertentu. Burung dilestarikan dan dijaga keberadaannya karena menjadi bagian dari entitas kultural komunitas tersebut lihat Welty, 1979;
Muchtar dan Nurwatha, 2001. Konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung dipahami
sebagai sesuatu hal yang bersifat dinamis. Semakin berkembangnya komunitas penggemar burung, di mana di dalamnya juga berkembang sejumlah kepentingan
yang berkaitan dengan burung merupakan faktor mendasar yang membentuk kedinamisan pemaknaan dalam komunitas penggemar burung. Komunitas
penggemar burung sebagai aktor menjadi representasi dari berbagai bentuk kepentingan pada komunitas penggemar burung. Dalam praksis sosial tindakan
sosial aktor merupakan representasi dari kepentingan yang terdapat pada komunitas penggemar burung. Tindakan sosial aktor dalam konteks dapat
dipahami sebagai
proses kreatif
aktor kesadaran
aktor dalam
menginterpretasikan sejumlah kondisi secara terus menerus, namun juga dapat dipahami sebagai bentuk kesadaran aktor struktur sosial yang menjadi bagian dari
sistem sosialnya. Atau dengan kata lain, tindakan sosial aktor pada komunitas penggemar burung dapat dipahami sebagai dualitas antara kesadaran aktor dan
tekanan struktur. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Giddens dalam teorinya mengenai struktur dan agensi, di mana antara aktor sebagai agen dengan struktur
sosial tidak ditelaah secara terpisah satu sama lain dalam kerangka yang berlawanan Ritzer dan Goodman, 2004; Turner, 1998