2 Masyarakat Jawa: Genealogi Sistem Kultural Masyarakat Jawa
Pada masa kerajaan Hidhu-Budha sistem kultural yang berkembang pasa masyarakat Jawa lebih banyak yang bersifat mistis, yaitu adanya kepercayaan
terhadap hal-hal yang bersifat supranatural. Kepercayaan terhadap adanya kesakten kesaktian, pengagungan dan penghormatan terhadap tempat-tampat
tertentu yang dianggap keramat menjadi ciri khas sistem kultural yang berkembang pada masyarakat Jawa Koentjaraningrat, 1994; Kuntowijoyo, 1987
dan 2006 ; Astiyanto, 2006
Perkembangan selanjutnya pada masyarakat Jawa adalah masuknya nilai- nilai Islam yang kemudian menjadi awal perkembangan kerajaan Islam di Jawa.
Kerajaan Islam berkembang setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindhu- Budha yang berkembang lebih awal di tanah Jawa. Seperti halnya perkembangan
kerajaan Hindhu-Budha, kerajaan Islam berkembang juga di daerah pesisir dan pedalaman. Kerajaan Islam di pesisir pada umumnya menjadi pusat kegiatan
ekonomi dan perdagangan yang berbasiskan pada pelabuhan. Sementara itu, kerajaan Islam di pedalaman masih mempertahankan struktur mata pencaharian
yang menggantungkan diri pada sektor pertanian Koentjaraningrat, 19941974. Sistem kultural yang berkembang pada masa kerajaan Islam, dalam
beberapa hal menggeser nilai-nilai yang melembaga pada masa kerajaan Hindhu- Budha. Posisi sakral raja menjadi pusat dari alam semesta tidak lagi
dipertahankan. Hal ini memberikan dampak terhadap konteks absolutisme yang berkembang pada raja-raja zaman Hindhu-Budha. Raja hanya menjadi penguasa
politik kekuasaan, tidak lagi menjadi simbol dari religiuisme yang disembah dan diagungkan-agungkan oleh masyarakat kebanyakan abdi dhalem. Meskipun
demikian, ternyata masih terdapat nilai-nilai Hindhu-Budha yang bertahan pada masa Islam, yaitu nilai-nilai Islam yang dipengaruhi nilai-nilai kejawen, yaitu
sistem nilai yang meyakini adanya kekuatan-kekuatan supranatural mistis di alam Koentjaraningrat, 19941974; Suseno, 2001.
Kolonialisme masuk ke Indonesia, termasuk juga di Jawa dan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan struktur sosial dan sistem kultural
masyarakat Jawa. Kolonialisme masuk dengan membawa nilai-nilai yang cenderung bersifat kapitalistik. Hal ini ditandai dengan masuknya sistem
perdagangan kolonial yang bersifat eksploitatif, tanaman komersial serta sistem
perkebunan sebagai representasi dari investasi modal lihat Soemardjan, 1986; Burger, 1983. Menurut Booke masuknya nilai-nilai komersial pada masyarakat
Jawa memberikan dampak terhadap terbentuknya dualisme ekonomi di Jawa, dan Indonesia secara umum. Ekonomi kapitalistik ala barat tidak dapat berintegrasi
dengan sistem ekonomi tradisional ala Jawa. Sebagai akibatnya di masyarakat berkembang dua sistem ekonomi sekaligus, yaitu sistem kapitalistik kolonial dan
sistem tradisional masyarakat pribumi Sajogyo, 1982. Sudut pandang lain mengenai dampak dari masuknya sistem kapitalistik dalam sistem tradisional
masyarakat Jawa dikemukakan oleh Geertz yang menyatakan bahwa masuknya perkebunan tebu di Jawa melahirkan bentuk adaptasi kelembagaan masyarakat
Jawa, tepatnya masyarakat yang bergantung pada padi-sawah, dalam bentuk gejala perumitan kelembagaan atau dikenal dengan istilah ”agricultural
involution ” Geertz, 1976. Dalam pandangan lainnya Geertz mengemukakan
bahwa sistem kultural masyarakat Jawa dapat dibedakan ke dalam dua tipologi komunitas, yaitu sistem kultural yang dimiliki oleh para santri dan sistem kultural
para ”abangan”. Santri dalam konteks ini dilekatkan pada komunitas yang memiliki pengaruh nilai-nilai Islam yang sangat kuat. Dalam pandangan sistem
nilai dikalangan santri hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural seperti berkembang pada masyarakat Jawa masa kerajaan Hindhu-Budha sudah mulai
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Sementara itu, tradisi kaum ”abangan” justru sebaliknya, mereka tetap
mempertahankan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural meskipun mereka sudah menyatakan diri sebagai orang Islam. Keislaman yang mereka ikrarkan
pada dasarnya merupakan bentuk akulturasi dengan sistem nilai Jawa tradisional warisan nenek moyang mereka Kuntowijoyo, 1987; Koentjaraningrat, 1994.
Masuknya kolonialisme, dalam perkembangannya berdampak pada pola hubungan feodalistik yang merupakan warisan kerajaan-kerajaan Jawa.
Runtuhnya sistem feodalisme sangat terlihat pada pola hubungan agraria di Jawa. Pada masa ini sistem upeti dan privilege bagi kaum bangsawan Jawa digantikan
dengan sistem pajak tanah, tanam paksa dan sistem investari modal asing. Ketiga sistem tersebut diinstroduksikan dalam waktu berbeda-beda. Sebagai implikasinya
adalah berkembang nilai-nilai komersial di Jawa, tidak hanya pada pola hubungan
produksi akan tetapi pada aspek-aspek lain kehidupan Soemardjan, 1986; Burger; 1983; Husken; 1998; Husken dan White, 1989.
Nilai komersial pada sistem kultural masyarakat Jawa semakin berkembang seiring dengan masuknya paradigma developmentalisme yang
dijadikan sebagai pendekatan dalam pembangunan di Indonesia. Kebijakan- kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu, menitikberatkan pada
masuknya introduksi teknologi dan moda produksi modern yang cenderung bersifat kapitalistik. Sebagai akibatnya nilai-nilai ekonomi uang semakin terlihat
berkembang pada sistem kultural masyarakat Jawa Husken, 1998; Temple, 1994.
Konteks di atas menunjukkan geneologi sistem kultural masyarakat Jawa dikaitkan dengan masuknya kekuatan-kekuatan politik kekuasaan yang ada di
Jawa, di mana kekuatan politik kekuasaan tersebut memberikan pergeseran terhadap sistem kultural tradisional masyarakat Jawa. Sudut pandang yang
berbeda dalam menelaah tentang sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat dari konstruksi teoritis Kluckhon dalam melihat orientasi nilai budaya yang
berkembang pada masyarakat Jawa. Sistem kultural masyarakat Jawa dapat dilihat dari tiga aspek penting yaitu sistem kultural yang berkaitan dengan hakekat hidup,
hakekat hubungan dengan sesama manusia dan hakekat hubungan dengan alam Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003.
Hakekat hidup bagi masyarakat Jaw a dimaknai sebagai ”nasib” yang harus
diterima dan dijalankan apapun kondisinya. Hidup merupakan ketentuan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, di mana manusia tidak memiliki
kekuatan untuk merubahnya. Manusia hanya diberikan kemampuan untuk menerimanya dalam menjalankan. Nilai-nilai seperti merupakan representasi dari
istilah ”nrimo ing pandum” yang sering dilekatkan pada masyarakat Jawa, yaitu sebuah pemaknaan yang memiliki pengertian senantiasa menerima keadaan yang
telah diberikan oleh tuhannya Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al, 2003. Hakekat hubungan dengan sesama manusia pada masyarakat Jawa
menekankan adanya keselarasan, kedamaian dan kebersamaan yang kuat. Hal ini direpresentasikan oleh sikap hormat dan ”tepa slira” atau tenggang rasa satu
dengan lainnya Suseno, 2001. Pemahaman dasar mengenai kebersamaan,
keselarasan dan prinsip saling menghormati dan menghargai pada masyarakat Jawa terbentuk atas konstruksi pemaknaan bahwa kehidupan di dunia ini
dijalankan secara bersama-sama, di mana antara satu orang dengan yang lainnya akan selalu saling membutuhkan satu sama lain. Kehidupan di dunia ini tidak akan
dapat berjalan normal tanpa adanya kerjasama antar satu orang dengan yang lainnya. Untuk itu, maka sistem kultural masyarakat Jawa dalam konteks
hubungan dengan sesama manusia meghindari terjadinya konflik dalam kehidupan. Konflik merupakan sesuatu hal yang harus dihindari dalam hidup
bermasyarakat dan berhubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan agar hidup dapat berjalan dengan normal, saling bisa mengisi, membantu dan
menghormati satu dengan lainnya. Konstruksi sosial mengenai hekakat hubungan sesama manusia pada masyarakat Jawa yang mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan dapat dilihat pada nilai-nilai guyub rukun dan gotong-royong Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et .al, 2003.
Hakekat hubungan dengan alam, bagi masyarakat Jawa alam merupakan anugerah dari tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan. Alam merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa hakekat hubungan dengan alam menempatkan manusia untuk senantiasa selaras
dengan alam. Pandangan yang bersifat eksploitatif terhadap alam seperti yang berkembang pada nilai-nilai kapitalistik tidak sesuai dengan pandangan
masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan bagi masyarakat Jawa keberadaan alam sangat penting dalam kehidupan, di mana jika terjadi kerusakan pada alam pada
akhirnya mereka meyakini bahwa hal tersebut akan memberikan dampak yang tidak baik terhadap kehidupan manusia Koentjaraningrat, 1994; Gauthama, et.al,
2003. Sistem orientasi nilai yang dijelaskan di atas merupakan konseptualisasi
normatif mengenai masyarakat Jawa kebanyakan dalam memandang kehidupan dalam berbagai dimensi. Meskipun bukan merupakan representasi universal dari
masyarakat Jawa, namun demikian konseptualisasi mengenai orientasi nilai masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat di atas masih relevan
untuk menelaah konteks kekinian masyarakat Jawa. Arus perubahan sosial yang cukup signifikan terjadi di Jawa karena berbagai macam konfigurasi sosial, baik
kepentingan politik, ekonomi dan juga kultural, masyarakat Jawa secara normatif masih mempertahankan sejumlah nilai-nilai dasar dalam kehidupan. Inti
kebudayaan masyarakat Jawa sebagai sebuah sistem kultural masih bertahan dan unik mencirikan ke-Jawa-annya.