berumur sekitar 1 minggu. Cincin atau ”ring” juga berfungsi sebagai hak paten kepemilikan burung tersebut dan juga keturunannya.
Pemaknaan penangkaran sebagai alternatif strategi konservasi yang dikonstruksi di tingkat komunitas penggemar burung berkicau pada dasarnya
berkembang menjadi sebuah perdebatan berbagai kepentingan di luar komunitas penggemar burung berkicau itu sendiri, yaitu kalangan NGO’s. Perdebatan
tersebut didasari oleh berkembangnya dua cara pandang yang berbeda dalam memaknai kegiatan penangkaran. Pandangan pertama yang menyetujui
penangkaran sebagai strategi alternatif konservasi burung berpendapat bahwa kegiatan penangkaran merupakan salah satu bentuk kegiatan konservasi eks-situ,
yaitu dengan menternakkan dan mempertahankan populasi jenis burung tertentu dalam kegiatan tersebut. Sementara pandangan yang kedua berpendapat
sebaliknya, yaitu memaknai kegiatan penangkaran burung sebagai legitimasi untuk melegalkan kegiatan perdagangan burung. Dalam pandangan yang kedua,
seharunya model konservasi apapun tidak diorientasikan pada kepentingan ekonomi komersial dari kegiatan tersebut, akan tetapi semata-mata untuk
kepentingan konservasi. Sementara itu, di tingkat komunitas penggemar burung berkicau sendiri
konstruksi pemaknaan yang berkembang mengenai konservasi masih belum masif dan terbatas pada kalangan tertentu saja. Kegiatan penangkaran yang salah
satunya dimaknai sebagai kegiatan konservasi eks-situ lebih banyak dikonstruksi dalam pemaknaan yang kedua, yaitu sebagai bentuk usaha bisnis untuk
mendapatkan keuntungan. Hal ini seperti ini terjadi disebabkan belum adanya gerakan sosial yang masif pada kegaiatan penangkaran sebagai bentuk konservasi
terhadap burung.
6. 4 Konfigurasi Kepentingan Dibalik Pergeseran Pemaknaan Kultural
Burung
Pergeseran pemaknaan yang terjadi di tingkat komunitas penggemar burung berkicau, baik di Surabaya maupun di Yogyakarta pada dasarnya berkaitan
dengan adanya kepentingan-kepentingan aktor penggemar burung di dalam komunitas itu sendiri dan juga kepentingan-kepentingan di luar komunitas yang
memberikan pengaruh terhadap sistem nilai yang berkembang di tingkat komunitas
penggemar burung.
Seperti dijelaskan
sebelumnya, dalam
perkembangannya kepentingan aktor yang bermain di tingkat komunitas penggemar burung tidak lagi hanya terbatas pada kepentingan sosio-kultural yang
memaknai burung hanya sebagai bagian dari entitas kultural komunitas. Burung tidak lagi hanya dimaknai sebagai simbol status sosial, prestise sosial dan
simbolisme kultural keseharian masyarakat Jawa, seperti yang banyak berkembang dikalangan masyarakat Jawa tradisional. Di sisi lain, burung tidak
lagi hanya dimaknai sebagai sumber ketenangan, keindahan dan insprirasi psikolgis-sosial para penggemar burung dalam kehidupan keseharian di samping
rutinitas kerja sehari-hari. Oleh karena itu, kegiatan memelihara burung tidak hanya berada para ranah pribadi seseorang, di mana burung hanya dinikmati di
rumah masing-masing dan untuk kepentingan masing-masing juga. Perkembangannnya pemaknaan burung dalam konteks kekinian juga
mencakup dimensi ekonomi dan konservasi terhadap burung. Konstruksi sosial pemaknaan terhadap burung berkembang dengan menempatkan burung sebagai
komoditas ekonomi dan bisnis yang cukup menguntungkan, sehingga dalam konteks tersebut kemudian kegiatan perdagangan burung banyak dilakukan serta
pemaknaan yang menempatkan burung sebagai obyek pelestarian seiring dengan semakin terancamnya populasi beberapa jenis burung tertentu di alam. Kondisi
seperti ini tidak terlalu banyak berkembang dikalangan komunitas penggemar burung tradisional yang ada sebelumnya.
Secara ekonomi, burung saat ini menjadi komoditas ekonomi yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan, bahkan menjadi sebuah industri. Tingginya
permintaan beberapa jenis burung di pasar internasional dan semakin berkembangnya kegemaran terhadap burung di tingkat lokal menjadi faktor
pendorong proses komoditisasi terhadap burung. Di beberapa negara seperti salah satunya di Australia, burung berkembang sebagai komoditas perdagangan yang
cukup potensial. Burung dikembangkan melalui kegiatan breeding atau penangkaran burung untuk memperbanyak populasi burung dalam rangka
kepentingan perdagangan burung. Kegiatan breeding di negara tersebut mendapatkan legalitas dari pemerintah karena dianggap sebagai bentuk konservasi
eks-situ terhadap burung sekalipun tujuannya adalah untuk kepentingan komersial lihat Beng, 1997.
Di Indonesia, burung mulai dijadikan sebagai komoditas perdagangan untuk kepentingan pasar internasional dan lokal. Perbedaannya dengan kasus di
Australia, kegiatan perdagangan burung di Indonesia sebagian besar masih dilakukan secara ilegal karena memperdagangkan jenis burung yang dilindungi
melalui kegiatan perburuan langsung di alam. Hal ini memberikan dampak terhadap terancamnya beberapa jenis burung tertentu di alam. Begitu juga yang
terjadi dengan jenis burung berkicau yang dalam beberapa tahun terakhir sejak tahun 1990-an semakin banyak digemari sebagai satwa peliharaan. Kegiatan
perdagangan burung untuk kepentingan pasar menyebabkan terjadinya keterancaman beberapa jenis burung tertentu di alam, karena sebagian besar
burung yang diperdagangkan berasal dari kegiatan perburuan liar di alam. Komoditisasi terhadap burung berkembang seiring dengan semakin
besarnya potensi pasar burung berkicau di Jawa. Besarnya potensi pasar komoditas burung disebabkan oleh semakin berkembangnya komunitas
penggemar burung di Jawa. Hobi memelihara atau menggemari burung saat ini berkembang tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat kelas atas elit saja,
akan tetapi juga melibatkan kalangan masyarakat dari kelas menengah dan bawah. Komoditisasi terhadap burung membentuk kecenderungan adanya gejala
pemaknaan komersial terhadap burung, di mana kegiatan memelihara burung tidak lagi didasarkan pada kepentingan sosio-kultural akan tetapi lebih ditekankan
pada kepentingan ekonomi. Atau dengan kata lain, kepentingan di balik kegiatan memelihara burung diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal
ini didorong oleh adanya potensi nilai jual burung yang cukup tinggi, utamanya pada jenis burung berkicau yang mendapatkan pemaknaan secara sosial sebagai
burung berkelas. Komoditisasi terhadap burung dalam perkembangan memberikan
implikasi terhadap gejala komersialisasi pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung. Dua jenis kegiatan yang berkaitan dengan burung yang dalam
perkembangannya menunjukkan adanya gejala komersialiasi, yaitu kegiatan latihan burung dan lomba burung. Di Surabaya gejala komersialisasi terhadap