Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung

kurang lebih sama, yaitu sebagai jenis burung berkelas di tingkat komunitas penggemar burung berkicau. Pada setiap kegiatan latihan dan lomba burung, jenis anis merah dikategorikan sebagai kelas yang cukup bergengsi. Jenis burung lain yang dimaknai memiliki prestise cukup tinggi selain anis merah antara lain murrai batu, cucak rawa serta cucak hijau. Jenis burung tersebut termasuk ke dalam salah satu jenis burung yang paling populer di kalangan komunitas penggemar burung berkicau. Perbedaan antara Yogyakarta dengan Surabaya adalah adanya kecenderungan di Yogyakarta jenis burung kenari mulai mendapatkan tempat dikalangan komunitas penggemar burung. Jenis burung ini mulai banyak digemari karena suara dan warnanya yang menarik. Di Surabaya keberadaan kenari sebagai salah satu jenis burung berkicau tidak terlalu banyak berkembang, utamanya pada kegiatan latihan dan lomba burung. Pada kegiatan latihan dan kegiatan lomba burung ketiga jenis burung tersebut termasuk ke dalam kategori yang cukup bergengsi. Gambar 3. Pemetaan Jenis Burung Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Komunitas Penggemar Burung di Surabaya Strata Ekonomi + Status Sosial - Strata Ekonomi - Status Sosial + Anis Merah Cucak Rawa Murrai Batu Kacer Kenari love bird Cucak Hijau Gambar 4. Pemetaan Jenis Burung Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Komunitas Penggemar Burung di Yogyakarta Di tingkat penggemar burung berkicau di Surabaya maupun Yogyakarta pemaknaan sosio-status terhadap jenis burung tertentu pada dasarnya ditentukan oleh konstruksi pencitraan terhadap jenis burung tertentu yang mendapatkan juara pada kegiatan lomba burung tertentu. Burung yang memenangkan kegiatan lomba, utamanya lomba burung yang berskala nasional, maka jenis burung tersebut akan ditempatkan pada prestise yang tinggi. Pelekatan prestise pada jenis burung tersebut tidak hanya secara ekonomi dalam bentuk nilai jual akan tetapi juga prestise sosial dalam bentuk penempatan pemilik burung tersebut sebagai aktor yang disegani, dihormati dan mendapatkan perhatian pada kegiatan yang mempertemukan komunitas penggemar burung berkicau. Semakin sering suatu burung menjadi juara di kegiatan-kegiatan lomba burung yang diselenggarakan di tingkat lokal maupun nasional, maka burung tersebut akan semakin mendapatkan prestise yang tinggi, termasuk juga menempatkan pemiliknya dalam status sosial yang tinggi juga, paling tidak dikalangan komunitas penggemar burung berkicau. Burung yang memiliki kualitas juara biasanya diberikan nama-nama tertentu sesuai dengan keinginan pemiliknya. Hal ini untuk kepentingan agar burung tersebut mudah dikenali serta merupakan bentuk strategi politik pencitraan dalam kompetisi burung di manapun, di mana keberadaan burung-burung juara tersebut akan selalu diperhatikan dan disegani. Strata Ekonomi + Status Sosial - Strata Ekonomi - Status Sosial + Anis Merah Cucak Rawa Murrai Batu Kacer Kenari love bird Cucak Hijau Seperti dijelaskan sebelumnya, penggemar yang memiliki jenis burung dengan kualitas juara sebagian besar berasal dari kalangan yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Hal ini berkaitan dengan nilai ekonomi dari burung yang memiliki label juara yang biasanya mencapai kisaran harga yang sangat fantastis, yaitu mencapai angka puluhan bahkan ada yang sampai ratusan juta rupiah. Pemaknaan burung juara tidak sebagai simbol status sosial pemiliknya tidak hanya berlaku pada jenis burung tertentu yang dianggap sangat populer atau bergengsi dikalangan komunitas penggemar burung berkicau, akan tetapi berlaku pada setiap jenis burung. Sementara itu, konstruksi pemaknaan burung di tingkat komunitas penggemar burung kaitannya dengan status sosial kekuasaan tertentu, baik militer maupun politik adalah dalam bentuk pemanfaatan burung untuk kepentingan politik pencitraan kepentingan status sosial kekuasaan tersebut. Hal ini dapat terlihat pada pemakaian nama-nama jabatan kekuasaan tertentu sebagai sarana penyelenggaraan untuk kegiatan lomba burung di berbagai daerah. Di tingkat lokal terdapat kegiatan lomba burung yang menggunakan label jabatan politik kekuasaan dan militer seperti lomba burung yang memperebutkan Piala Gubernur Gubernur Cup, Piala Bupati Bupati Cup, dan Piala Kapolda Kapolda Cup. Di tingkat nasional terdapat kegiatan lomba yang mempergunakan jabatan Presiden atau jabatan militer tertentu, seperti Presiden Cup dan Kapolri Cup. Kepentingan penggunaan jabatan kekuasaan politik atau militer pada kegiatan yang berkaitan dengan penggemar burung berkicau dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu konstruksi pragmatis dan konstruksi yang bersifat konspiratif. Konstruksi pragmatis kepentingan kekuasaan pada burung menempatkan jabatan kekuasaan tertentu sebagai daya tarik di tingkat komunitas penggemar burung agar kegiatan yang di dalamnya lekatkan dengan jabatan kekuasaan tertentu menjadi sesuatu hal yang menarik. Semakin tinggi suatu jabatan kekuasaan tertentu dilekatkan pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan komunitas penggemar burung maka kegiatan tersebut akan memiliki daya tarik yang semakin tinggi, misalnya Presiden Cup akan dimaknai lebih prestisius dan menarik jika dibandingkan dengan Gubernur Cup. Meskipun dalam kenyataannya sebenarnya kegiatan yang diselenggarakan memiliki cakupan yang tidak terlalu jauh berbeda. Gambar 5. Kerangka Konstruksi Pemaknaan Burung Sebagai Sarana Politik Pencitraan dikaitkan dengan Kepentingan yang Memungkinkan Melatarbelakanginya Adapun konstruksi pemaknaan yang bersifat konspiratif harus ditelaah dari kepentingan yang bermain dibalik penamaan kegiatan lomba burung dengan jabatan kekuasaan tertentu. Dalam beberapa hal, kegiatan lomba burung dijadikan sebagai sarana untuk meligitimasi kepentingan dari jabatan kekuasaan tertentu, yaitu dalam rangka pembentukan politik pencitraan di mana kepentingan tersebut memiliki kepedulian atau keterkaitan secara langsung dengan keberadaan komunitas penggemar burung berkicau. Di sisi lain, potensi komunitas penggemar burung berkicau yang cukup banyak dijadikan sebagai basis-basis politik untuk kepentingan mobilisasi kekuatan massa pada saat terdapat pelaksanaan kegiatan- kegiatan politik tertentu, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini diakui oleh salah seorang elit penggemar burung berkicau di Surabaya, di mana komunitas penggemar burung dalam penyelenggaraan kegiatan politik tertentu menjadi basis kepentingan dari partai atau kekuatan kekuasaan. Sedangkan di Yogyakarta hal ini tercermin dar i ”masuknya” salah satu calon kuat Gubernur Yogyakarta sebagai kelompok elit di organisasi komunitas penggemar burung berkicau di Yogyakarta 8 . 8 Ketua Umum organisasi komunitas penggemar burung di tingkat Daerah Yogyakarta saat ini dijabat oleh Bupati Bantul yang sedang berkuasa Idham Samawi. Keberadaan Idham Samawi dalam komunitas penggemar burung merupakan sesuatu hal yang baru di mana sebenarnya beliau bukan merupakan salah satu penggemar yang aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung, seperti latihan dan lomba burung. Berkembangnya pewacanaan mengenai posisi beliau sebagai calon kuat orang nomor satu di Yogyakarta menggantikan Sri Sultan, pada akhirnya menempatkan beliau sebagai orang nomor satu di kalangan komunitas penggemar burung berkicau di Yogyakarta. Secara pragmatis hal ini dapat dimaknai sebagai kepentingan untuk mendapatkan daya tarik dari keberadaan komunitas penggemar burung berkicau di daerah ini, namun demikian dari sisi lain dapat ditelaah adanya kepentingan politik praktis di mana komunitas penggemar BURUNG DAN STATUS KEKUASAAN KONSTRUKSI PRAGMATIS KONSTRUKSI KONSPIRATIF 5. 1. 2 Burung sebagai Entitas Kultural: Pemaknaan Burung sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan Sosio-Kultural Burung sebagai bagian dari entitas kultural komunitas dimaknai dalam konteks burung merupakan bagian dari kehidupan kultural keseharian aktor dalam komunitas. Pemaknaan burung sebagai entitas kultural dapat berupa pemaknaan dalam dimensi religius-magis, seperti pada beberapa komunitas di pedalaman Kalimantan yang memaknai burung sebagai penjelmaan dari dewa- dewa yang mereka sembah sehingga keberadaan jenis burung tertentu menjadi pertanda bagi kehidupan keseharian mereka dalam kaitannya dengan alam. Komunitas Dayak Laut misalnya memiliki sistem kepercayaan yang meyakini bahwa pembukaan hutan tidak diperbolehkan manakala terdengar suara burung tertentu karena meyakini akan mendatangkan malapetaka bagi mereka Welty, 1979. Pemaknaan seperti ini tidak ditemukan dalam komunitas penggemar burung berkicau. Dimensi lain berkaitan dengan pemaknaan burung sebagai entitas sosio- kultural adalah pemaknaan burung sebagai sarana untuk membentuk jejaring sosial di tingkat aktor penggemar burung atau antar kelompok paguyubanbirdclub tempat para aktor berkumpul menjadi satu kesatuan kepentingan. Di Jawa, jejaring sosial antar aktor maupun antar kelompok aktor penggemar burung sudah berkembang sejak lama, di mana burung dijadikan sebagai media untuk membentuk hubungan sosial antar sesama dan antara satu kelompok komunitas penggemar burung dengan kelompok lainnya. Hal ini didasari nilai dasar masyarakat Jawa tradisional yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan guyub-rukun melalui media apapun 9 , termasuk di dalamnya melalui hobi atau kepentingan yang sama yaitu memelihara burung. Jenis burung yang dijadikan sebagai media pada masa sebelumnya sebagian besar adalah jenis burung perkutut. Burung perkutut menjadi simbol entitas kultural karena secara tradisi burung tersebut merupakan salah satu jenis burung yang paling populer di burung berkicau yang cukup potensial dijadikan sebagai basis politik untuk kepentingan Pilkada nantinya. 9 Lihat Suseno, F.M. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. kalangan masyarakat Jawa, utamanya masyarakat Jawa tradisional 10 . Melalui kegemaran yang sama memelihara perkutut sebagai hobi terbentuk jaringan antar aktor dan juga jaringan antar kelompok aktor yang menggemari perkutut. Di Yogyakarta keberadaan komunitas penggemar burung yang menjadikan jenis burung perkutut sebagai sarana untuk membentuk jejaring sosial di tingkat mereka masih cukup kuat. Hal terlihat dari masih cukup banyaknya keberadaan komunitas pen ggemar perkutut atau dikenal dengan istilah ”kung mania” di daerah tersebut. Dalam konteks kekinian jenis burung yang dijadikan sebagai sarana untuk membangun jejaring sosial di tingkat komunitas penggemar burung di beberapa daerah di Indonesia memiliki kecenderungan bergeser pada jenis burung berkicau. Keberadaan burung berkicau menjadi sangat populer semenjak sekitar tahun 1990-an. Beberapa jenis burung yang dikategorikan sebagai burung berkicau antara lain cucak rawa dan hijau, anis merah dan kembang, murrai batu, cendet, kacer, punglor, tledekan, kenari dan lovebird. Popularitas burung berkicau di tingkat komunitas penggemar burung di beberapa daerah berhasil menggeser keberadaan burung perkutut yang sebelumnya sempat populer. Saat ini memelihara burung berkicau memiliki pemaknaan yang sama seperti halnya memelihara perkutut pada masa sebelumnya. Burung berkicau dijadikan sebagai bagian dari kehidupan keseharian di tingkat aktor penggemar burung. Burung berkicau menjadi sarana terbentuknya jejaring sosial antar aktor penggemar burung berkicau karena memiliki latarbelakang yang sama yaitu hobi memelihara burung. Jejaring sosial yang terbentuk di tingkat aktor penggemar burung berkicau tidak hanya terbatas pada jejaring individu aktor, namun dalam perkembangannya banyak bermunculan kelompok-kelompok penggemar burung berkicau atau dikenal dengan paguyuban birdlcub. Birdclub menjadi sarana aktualisasi kepentingan aktor-aktor penggemar burung berkicau dalam bentuk kelompok atau paguyuban. Selain itu, birdclub juga menjadi sarana berkumpulnya para penggemar burung berkicau dalam bentuk acara-acara pertemuan yang bersifat informal untuk kepentingan saling berinteraksi, berkomunikasi dan 10 Pada masyarakat Jawa tradisional burung menjadi bagian dari falsafah kesempurnaan hidup kaum bangsawan, yaitu harta, tahta, wanita, turangga, dan kukila. Burung merupakan representasi dari kukila yang meskipun maknanya adalah satwa peliharaan namun penunjukannya lebih banyak dimaknai sebagai burung Muchtar dan Nurwatha, 2001 mempertukarkan informasi satu sama lain, baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan burung atau hal lain di luar itu. Gambar 6. Jejaring Sosial Antar Aktor dan Kelompok atau Paguyuban Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta Di Surabaya dan Yogyakarta jejaring sosial yang terbangun di tingkat antar aktor penggemar atau antar kelompok paguyuban penggemar sudah menjadi sesuatu hal yang masif. Jejaring sosial yang terbentuk tidak hanya berada pada level lokal saja akan tetapi juga berada pada level nasional. Jejaring sosial yang terbentuk tidak hanya dalam kerangka jaringan organisasi atau kelembagaan dalam konteks yang konkrit, akan tetapi juga dalam konteks jaringan di dunia internet yaitu berupa situs yang menjadi sarana aktor-aktor di komunitas penggemar burung berkicau berinteraksi secara maya satu sama lain. Kegiatan yang dikonstruksi di tingkat jejaring sosial antar aktor atau kelompok penggemar burung biasanya dalam bentuk pertemuan-pertemuan informal, salah satunya adalah Aran. Kegiatan Aran dijadikan sebagai sarana pertemuan bersama antar penggemar burung. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan secara rutin dalam setiap waktu. Birdclub ABC di Yogyakarta misalnya memiliki agenda pelaksanaan Aran setiap bulan sekali pada minggu pertama. Aran dilakukan untuk memberikan wadah kegiatan di tingkat paguyuban penggemar burung berkicau saling berinteraksi satu sama lain. Atau dengan kata lain, Aran hanya dijadikan sebagai media silaturahmi penggemar burung berkicau dalam satu paguyuban di samping kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan burung. Jejaring Sosial Aktor-Aktor Penggemar Burung Berkicau Jejaring Sosial KelompokPaguyubanB irdclub Penggemar Burung Berkicau Pemaknaan lain berkaitan dengan dimensi sosio-kultural burung adalah pemaknaan yang menempatkan burung sebagai sarana kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan lomba burung merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial, yaitu dengan menjadikan kegiatan lomba tersebut media untuk mengumpulkan dana dari para penggemar yang ikut serta. Hal ini pernah diselenggarakan ketika sebagian masyarakat Yogyakarta mengalami bencana gempa bumi. Kegiatan lomba burung dijadikan sebagai media untuk menarik para penggemar burung mengumpulkan dana bantuan dalam bentuk uang maupun bahan makanan pokok.

5. 1. 3. Burung sebagai Sarana Pemenuhan Kebutuhan Psiko-Sosial Refreshing

Dalam konteks kekinian hobi memelihara burung dijadikan sebagai salah satu bentuk kegiatan hiburan bagi sebagian kalangan komunitas penggemar burung. Kepentingan yang mendasarinya adalah mendapatkan kepuasan psikologis atau kepuasan sosial dalam memelihara burung melalui kegiatan- kegiatan yang berkaitan dengan burung. Pemaknaan burung dalam konteks ini bersifat intersubyektif di mana di tingkat penggemar didapatkan pemaknaan yang sangat beragam mengenai hal yang didapatkan secara psikologis ketika menjadikan kegiatan memelihara burung sebagai hobi. Di tingkat komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta pemaknaan terhadap burung yang memposisikan burung sebagai sarana refreshing dapat dilihat dari penyelenggaraan kegiatan latihan burung dan lomba burung. Di Yogyakarta kegiatan latihan burung dikonstruksi di tingkat komunitas penggemar burung berkicau sebagai sarana untuk mendengarkan suara burung secara bersama-sama. Tidak hanya itu saja, dalam kegiatan tersebut para penggemar yang menghadiri kegiatan tersebut juga dapat menikmati keindahan warna serta gerak-gerik burung yang sangat menarik. Di Yogyakarta kegiatan latihan burung diselenggarakan dengan ketentuan pada saat penyelenggaraan kegiatan latihan, para penggemar burung yang memiliki burung-burung tersebut, atau penggemar lainnya yang hanya sekedar menjadi supporter tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan suara teriakan memberikan simbo-simbol verbal pada burung yang sedang berlatih. Mereka juga tidak diperkenankan memberikan simbol dalam bentuk gerakan tangan. Hal ini dilakukan agar suasana latihan burung kondusif untuk kepentingan mendengarkan keindahan suara, warna dan gerak-gerik burung. Dengan kesepakatan yang berkembang demikian di tingkat komunitas penggemar burung berkicau di Yogyakarta pada pelaksanaan kegiatan latihan burung, maka kegiatan tersebut menjadi sarana bagi penggemar burung untuk mendapatkan kepuasan psikologis dalam bentuk menikmati keindahan suara, warna dan gerak-gerik burung. Kegiatan ini juga berkembang menjadi lokasi refreshing bagi sebagian kalangan penggemar burung di Yogyakarta setelah menjalani aktivitas kerja keseharian. Kondisi yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya tidak jauh berbeda. Kegiatan latihan burung dijadikan sebagai sarana untuk kepentingan hiburan bagi sebagian kalangan penggemar burung di daerah ini. Hanya saja konstruksi yang berkembang di Surabaya berbeda dengan yang terdapat di Yogyakarta. Di Surabaya, kegiatan latihan burung sangat ramai dengan suara teriakan dari para penggemar burung yang berada di sekitar lokasi latihan pada saat pelaksanaan latihan. Mereka menjadikan kegiatan latihan burung sebagai sarana aktualisasi bagi burung-burung yang mereka miliki kepada penggemar lainnya. Suara teriakan dan gerakan tangan dilakukan tidak hanya dalam konteks kepentingan memberikan simbol-simbol tertentu pada burung-burung yang sedang berlatih sebagaimana halnya mereka melakukannya selama melatihnya di rumah, akan tetapi terdapat kepentingan untuk mendapatkan pencitraan dalam bentuk perhatian dan prestise dari penggemar lain yang terdapat di lokasi tersebut. Kepuasan psikologis akan didapatkan manakala suara teriakan dan gerakan tangan mereka mendapatkan perhatian dari para juri latihan serta perhatian dari penggemar lainnya. Bagi komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya kepentingan mendengarkan keindahan suara, warna dan gerak-gerik burung dalam moment latihan tidak terlalu dianggap penting. Di Surabaya, kegiatan latihan burung juga menjadi sarana hiburan bagi kalangan non-penggemar burung, yaitu keluarga atau pasangan dari para penggemar burung yang mengikuti latihan. Di setiap kegiatan latihan burung di Surabaya akan didapati kaum perempuan beserta anak-anak mereka mendampingi suaminya yang menggemari hobi memelihara burung. Mereka hanya sekedar melihat-lihat saja para suami mereka melakukan hobinya. Keberadaan mereka tidak dalam rangka mendapatkan kepuasan psikologis karena mendegarkan suara burung akan tetapi lebih pada kepuasan karena suasana latihan yang selalu ramai dengan orang-orang. Kondisi yang sama pada komunitas penggemar burung di Surabaya juga terjadi pada penyelenggaraan kegiatan lomba burung. Lokasi kegiatan lomba burung di Surabaya biasanya diselenggarakan di lokasi-lokasi yang memiliki daya tarik untuk hiburan atau refreshing. Lokasi yang dipilih biasanya adalah lapangan yang menjadi kawasan wisata atau refreshing masyarakat kebanyakan. Lokasi yang paling cukup sering dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan lomba burung oleh komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya adalah kawasan wisata Chandrawilwatikta di Pandaan-Pasuruan. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan yang menarik untuk kegiatan wisata alam karena berdekatan dengan kawasan wisata Tretes dan Trawas Mojokerto. Penyelenggaraan lomba di lokasi ini biasanya sekalian dimanfaatkan oleh keluarga para penggemar burung untuk melakukan kegiatan liburan atau refreshing. Oleh karena itu, pada saat penyelenggaraan lomba biasanya akan didapati para perempuan beserta keluarganya menggelar tikar dan beristirahat sambil menyantap makanan yang mereka bawa. Secara tidak langsung kegiatan lomba burung di Surabaya berkembang menjadi kegiatan refreshing bagi sebagian keluarga para penggemar burung. 5. 1. 4. Burung sebagai Komoditas Ekonomi: Kepentingan Pasar dan Perdagangan Burung pada Komunitas Penggemar Burung Berkicau Salah satu konstruksi pemaknaan yang berkembang cukup pesat dikalangan komunitas penggemar burung berkicau, baik di Surabaya maupun Yogyakarta adalah pemaknaan komersial terhadap burung. Burung tidak lagi hanya dimaknai sebagai satwa peliharaan untuk kepentingan kultural atau psikologis semata. Akan tetapi burung dimaknai juga dalam konteks sebagai komoditas ekonomi yang memiliki potensi keuntungan cukup menjanjikan.