3 Teori Sosiologi Interpretatif: Peran Aktif Aktor

perannya di dalam struktur sosial Poloma, 2004; Calhoun, et.al, 2002; Ritzer dan Goodman, 2004. Etnometodologi dari Garfinkel dikategorikan sebagai studi empiris mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Secara empiris konsepsi teori ini mempelajari tentang konstruksi realitas yang dibuat seseorang di saat interaksi sehari-hari berlangsung Poloma, 2004. Etnomotologi menolak pandangan bahwa realitas sosial yang ada dalam masyarakat merupakan sesuatu yang berada ”di luar”, yakni berupa ketentuan yang telah tetap dan bersifat universal di mana aktor dalam realitas sosial tersebut hanya menerima saja. Bagi kaum yang menjadi pendukung aliran etnometodologi, realitas sosial bersifat inheren dalam masyarakat, di mana di dalamnya terdapat proses interpretasi atas makna-makna yang dipertukarkan dalam interaksi sosial sehingga kemudian terbentuk konstruksi sosial mengenai nilai dan struktur sosial. Realitas sosial dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat subyektif, tidak obyektif seperti konsepsi teori dari kaum strukturalisme Poloma, 2004; Slaterry,2003; Ritzer dan Goodman, 2004; dan Turner, 1998. Etnometodologi menekankan pada kajian simbol yang berbentuk bahasa untuk memahami konstruksi pemaknaan mengenai realitas sosial yang dibangun oleh hubungan antar aktor. Meskipun demikian, etnometodologi tidak sama dengan hermeunetik yang hanya menfokuskan konstruksi sosial pada kajian bahasa lihat Ricoeur,2006 . Dalam etnometodologi bahasa hanya merupakan salah satu bentuk simbol yang diinterpretasikan, akan tetapi terdapat simbol-simbol lain selain bahasa. Interaksionisme simbolis tidak memiliki perbedaan yang begitu mendasar dengan konsepsi teori sosiologi interpretatif yang dikemukakan sebelumnya. Pandangan Interaksionisme Simbolis menekankan pada interpretasi makna yang dilakukan oleh aktor dalam interaksi sosial. Pandangan ini juga memposisikan diri sebagai kritik teori terhadap pandangan strukturalisme. Konsepsi teori interaksionisme simbolis memiliki asumsi dasar bahwa interaksi antar aktor menghasilkan sebuah konstruksi sosial melalui pertukaran makna dan simbol. Blummer 1969 sebagai salah satu tokoh penting yang melahirkan pandangan interaksionisme simbolis menyatakan bahwa konsepsi teori ini bertumpu pada tiga premis yaitu: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada ”sesuatu” itu pada mereka 2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain 3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi berlangsung Pandangan teori interaksionisme simbolis menolak adanya realitas obyektif, di mana terhadap realitas dipahami sebagai sesuatu yang sudah inheren dan bersifat universal pada sistem sosial apapun. Menurut teori interaksionisme simbolis, makna pada realitas sosial, baik itu benda maupun tindakan sosial manusia, tidak bersifat inheren tergantung pada konstruksi pemaknaan yang dibangun dalam proses interaksi sosial antar aktor, di mana setting sosial dimensi ruang dan waktu memberikan pengaruh terhadap terbentuknya konstruksi pemaknaan yang dihasilkan Poloma, 2004. Konstruksi pemaknaan melibatkan aktor dalam proses memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasi makna dalam hubungannya dengan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Konstruksi makna dari proses interpretasi merupakan hal yang terus diorgansisasikan oleh aktor untuk kepentingan pengarah bagi tindakan sosialnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini Blummer menjelaskan bahwa manusia adalah aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyek- obyek yang diketahuinya melalui proses self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan menentukan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut Poloma, 2004. Pandangan mengenai aktor yang bersifat kreatif juga dikemukakan dalam penjelasan teori strukturasi agen-struktur yang dikemukakan oleh Giddens. Dalam pandangan Giddens aktor memiliki kesadaran kreatif dalam melakukan tindakan sosial. Perbedaan Giddens dengan beberapa tokoh sosiologi interpretatif adalah penjelasan mengenai struktur sosial, di mana dalam teori agen dan strukturnya Giddens juga memberikan penjelasan mengenai keberadaan struktur dalam memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor. Menurut Giddens, aktor peran aktor atau agency memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan struktur sosial yang diistilahkan dengan dualitas. Konsep dualitas ini pada dasanya menekankan adanya hubungan antara konteks mikro-makro yang selama ini menjadi perdebatan teoritis antara interaksionisme dan strukturalisme. Giddens membangun konsepsi teori yang menjembatani perdebatan antara kedua pendekatan tersebut. Aktor bertindak berdasarkan kesadaran yang dimiliki aktif namun demikian di lain pihak kesadaran tersebut ”dibatasi” oleh keberadaan struktur sosial yang mengarahkan tindakan aktor. Struktur sosial berposisi sebagai kekuatan inheren yang membangun kesadaran aktor dalam melakukan tindakan sosial Ritzer dan Goodman, 2004; Turner, 1998. Teori sosiologi interpretatif secara eksplisit tidak menyediakan penjelasan yang memadai untuk menjelaskan konsep perubahan. Kekuatan penyebab perubahan dan arah perubahan sosial dalam masyarakat tidak mendapatkan perhatian dalam kerangka teori ini. Namun demikian, jika ditelaah lebih jauh lagi sebenarnya teori sosiologi interpretatif dapat dipergunakan untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena perubahan sosial. Hal ini dapat ditelaah dari pemahaman teori ini yang menyatakan bahwa pada dasarnya konstruksi sosial merupakan sebuah proses yang terus-menerus disempurnakan dalam interaksi sosial Poloma, 2004. Artinya, konstruksi sosial merupakan sesuatu hal yang bersifat dinamis dalam konteks terjadi penyempurnaan-penyempurnaan di dalamnya terdapat proses perubahan atau pergeseran terhadap hal tersebut. Hal ini juga semakin dikuatkan dengan adanya pemahaman teori dalam sosiologi interpretatif yang menyatakan bahwa konstruksi sosial bersifat kontekstual dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Pernyataan ini menjelaskan bahwa dalam setting ruang dan waktu tertentu konstruksi sosial yang terbentuk akan berbeda satu sama lain unik atau tidak universal. Jika pemahaman ini ditarik dalam kerangka adanya perkembangan waktu, maka konstruksi sosial dalam teori ini dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamis berubah atau bergeser.

2. 4 Kerangka Teoritis

Burung memiliki dimensi makna yang sangat beragam tergantung pada setting sosial dan konteks munculnya pemaknaan. Pemaknaan terhadap burung meliputi dimensi ekonomi, sosio-kultural, ekologi dan estetika keindahan. Dimensi pemaknaan burung secara ekonomi dapat dilihat dari pemanfaatan burung sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk kepentingan para penggemar burung dan bahan makanan. Saat ini tingkat kegemaran memelihara burung menunjukkan pergeseran yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil kajian Jepson dan Ladle di lima kota besar di Indonesia empat diantaranya terdapat di Jawa yang menunjukkan bahwa burung merupakan satwa peliharaan yang paling digemari dibandingkan dengan jenis satwa peliharaan lainnya, seperti kucing, ikan, anjing, dan kuda Jepson and Ladle, 2005. Hal ini memberikan dampak terhadap semakin meningkatnya perdagangan burung di Indonesia, baik yang dilakukan di pasar-pasar burung maupun di luar pasar burung. Jenis burung yang saat ini marak diperdagangkan antara lain jenis burung kakak tua dan beberapa jenis berkicau seperti cucak rawa, anis merah, dan murrai batu. Potensi keuntungan ekonomi yang cukup besar dari perdagangan burung menjadi salah satu faktor penting yang menjadi penarik semakin maraknya perdagangan burung di Indonesia. Pemanfaatan burung secara ekonomi dapat dilihat juga dari pemanfaatan burung untuk kepentingan bahan makanan. Pemaknaan burung sebagai bahan makanan lebih dahulu terbentuk dibandingkan dengan pemanfaatan burung sebagai ”komoditas” perdagangan. Di Indonesia terdapat jenis burung tertentu yang dagingnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang diperjualbelikan, seperti misalnya, burung merpati atau beberapa jenis burung laut pelikan Mackinnon, 1984. Burung dalam dimensi sosio-kultural dimaknai sebagai bagian dari entitas kultural komunitas tertentu. Komunitas Dayak Laut misalnya memaknai beberapa jenis burung tertentu sebagai simbol dari mistis dan religiusitas, di mana burung ditempatkan sebagai representasi dari dewa-dewa yang mereka sembah Welty, 1979. Sementara itu, bagi kalangan masyarakat Jawa, jenis burung tertentu menjadi simbol dari status sosial dan kesempurnaan dalam hidup. Memelihara burung menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, di mana burung merupakan representasi dari kukila dalam filosofi kesempurnaan hidup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa, khususnya yang memiliki tradisi kultural tradisional yang masih kuat, memiliki filosofi tentang kesempurnaan hidup, yaitu meliputi harta kekayaan, tahta kekuasaan, wanita pasanganistri, turangga kendaraantunggangan serta kukila Muchtar dan Nurwatha, 2001. Sedangkan secara ekologis, pemaknaan terhadap burung dapat dilihat dari pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring terhadap perubahan lingkungan. Di beberapa negara maju pemanfaatan burung sebagai bio-monitoring sudah banyak dilakukan, seperti untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran lingkungan dan pencemaran pestisida Furness and Greenwood, 1993. Di Indonesia, secara tradisional peran burung sebagai bio-monitoring dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai ”musuh alami” dari beberapa jenis serangga di kegiatan pertanian. Hal ini menjadi local knowledge yang dimanfaatkan oleh petani, di mana burung- burung tertentu dibiarkan mendatangi areal pertaninya untuk memakan hama serangga Mackinnon, 1984. Dari dimensi estetika burung dimanfaatkan oleh kalangan seniman sebagai obyek karya seni lukisan mereka Surata, 1993. Dalam konteks sosio-kultural pemaknaan burung yang berkembang pada masyarakat Jawa menempatkan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat Jawa. Secara historis, memelihara burung di kalangan priyayi bangsawan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan sebagai simbol status sosial mereka. Jenis burung yang populer adalah jenis burung perkutut, yang menjadi simbol dari ketenangan dan kewibawaan. Akan tetapi kecenderungan yang berkembang dalam konteks kekinian, pemaknaan burung di kalangan masyarakat Jawa lagi hanya sebatas pada pemaknaan sosio-kultural yang bersifat tradisional. Dimensi sosio-kultural burung dalam konteks kekinian membentuk konstruksi pemaknaan yang menempatkan burung sebagai hobi untuk pengisi waktu luang saat beristirahat. Burung menjadi simbol dari ketenangan dan keindahan dengan mendengarkan keindahan suara burung. Fenomena ini tidak hanya melibatkan masyarakat Jawa dari kalangan kelas atas bangsawanpriyayi seperti masa lalu, akan tetapi melibatkan masyarakat Jawa dari berbagai lapisan 3 . Di samping itu, pada kalangan masyarakat Jawa saat ini juga mulai berkembang konstruksi pemaknaan burung secara ekonomi, di mana burung dijadikan sebagai komoditas perdagangan yang menguntungkan. Semakin meningkatnya tingkat kegemaran memelihara burung pada masyarakat Jawa menjadi salah satu faktor 3 Meskipun bersifat multi-strata, yaitu melibatkan hamper sebagian besar dari lapisan masyarakat Jawa, akan tetapi secara faktual sebagian besar masyarakat Jawa yang terlibat dalam kegemaran hobi memelihara burung masih didominasi oleh msyarakat lapisan atas dan menengah Jepson and Ladle, 2005