4 Konfigurasi Kepentingan Dibalik Pergeseran Pemaknaan Kultural

eks-situ terhadap burung sekalipun tujuannya adalah untuk kepentingan komersial lihat Beng, 1997. Di Indonesia, burung mulai dijadikan sebagai komoditas perdagangan untuk kepentingan pasar internasional dan lokal. Perbedaannya dengan kasus di Australia, kegiatan perdagangan burung di Indonesia sebagian besar masih dilakukan secara ilegal karena memperdagangkan jenis burung yang dilindungi melalui kegiatan perburuan langsung di alam. Hal ini memberikan dampak terhadap terancamnya beberapa jenis burung tertentu di alam. Begitu juga yang terjadi dengan jenis burung berkicau yang dalam beberapa tahun terakhir sejak tahun 1990-an semakin banyak digemari sebagai satwa peliharaan. Kegiatan perdagangan burung untuk kepentingan pasar menyebabkan terjadinya keterancaman beberapa jenis burung tertentu di alam, karena sebagian besar burung yang diperdagangkan berasal dari kegiatan perburuan liar di alam. Komoditisasi terhadap burung berkembang seiring dengan semakin besarnya potensi pasar burung berkicau di Jawa. Besarnya potensi pasar komoditas burung disebabkan oleh semakin berkembangnya komunitas penggemar burung di Jawa. Hobi memelihara atau menggemari burung saat ini berkembang tidak hanya terbatas pada kalangan masyarakat kelas atas elit saja, akan tetapi juga melibatkan kalangan masyarakat dari kelas menengah dan bawah. Komoditisasi terhadap burung membentuk kecenderungan adanya gejala pemaknaan komersial terhadap burung, di mana kegiatan memelihara burung tidak lagi didasarkan pada kepentingan sosio-kultural akan tetapi lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi. Atau dengan kata lain, kepentingan di balik kegiatan memelihara burung diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal ini didorong oleh adanya potensi nilai jual burung yang cukup tinggi, utamanya pada jenis burung berkicau yang mendapatkan pemaknaan secara sosial sebagai burung berkelas. Komoditisasi terhadap burung dalam perkembangan memberikan implikasi terhadap gejala komersialisasi pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung. Dua jenis kegiatan yang berkaitan dengan burung yang dalam perkembangannya menunjukkan adanya gejala komersialiasi, yaitu kegiatan latihan burung dan lomba burung. Di Surabaya gejala komersialisasi terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung di tingkat komunitas penggemar burung lebih terlihat nyata manifes dibandingkan dengan perkembangan gejala komersialisasi pada komunitas penggemar burung di Yogyakarta. Hal mendasar yang menyebabkan kondisi ini adalah setting sosio-kultural masyarakat Surabaya yang secara historis memang dikenal sebagai pusat kegiatan ekonomi di Jawa. Sistem kultural yang berkembang di Surabaya sejak lama dikenal berbasiskan pada kegiatan ekonomi perdagangan. Kondisi ini memberikan pangaruh terhadap kondusifnya perkembangan nilai-nilai ekonomi dalam komunitas penggemar burung berkicau di daerah ini. Gejala komersialisasi yang terjadi pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung ditunjukkan dengan berkembangnya kegiatan latihan dan lomba burung sebagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Di Surabaya, kegiatan latihan burung dan lomba burung tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan komunitas penggemar burung dalam melatih atau melombakan burungnya. Kegiatan latihan dan lomba burung berkembang menjadi kegiatan bisnis yang memiliki potensi keuntungan ekonomi cukup besar. Besarnya potensi ekonomi dari kedua kegiatan tersebut dapat ditunjukkan oleh cukup tingginya biaya yang dibebankan kepada komunitas penggemar burung yang hendak ikut serta dalam kegiatan tersebut, jika dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu Yogyakarta. Di Surabaya kisaran biaya yang dibebankan pihak penyelenggara latihan burung misalnya kisarannya mencapai 5 – 6 kali lipat dari kisaran biaya yang terdapat di tempat latihan burung di Yogyakarta 17 . Hal lainnya mengenai gejala komersialisasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan burung di Surabaya adalah keterlibatan kalangan industri sebagai salah satu kepentingan yang bermain dalam kegiatan tersebut. Kalangan industri yang terlibat tidak hanya dari produk-produk yang berkaitan langsung dengan burung, akan tetapi juga meliputi industri yang produknya tidak berkaitan sama sekali dengan burung. Keterlibatan mereka biasanya adalah sebagai sponsor kegiatan lomba burung, di mana kegiatan tersebut dijadikan sebagai media pemasaran produk yang mereka hasilkan. Implikasi lebih lanjut dari gejala komersialisasi pada komunitas penggemar burung di Surabaya memunculkan sejumlah event organizer, baik dari 17 Kisaran biaya pendaftaran bagi para penggemar burung berkicau di Yogyakarta untuk setiap burung berkisar antara Rp. 3.000 – 5.000 kalangan penggemar burung maupun di luar itu, yang menjadi penyelenggara kegiatan latihan dan lomba burung. Fenomena komoditisasi dan komersialisasi pada komunitas penggemar burung di Surabaya menunjukkan bahwa pada dasarnya konstruksi sosial yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung berkicau tidak bersifat alami. Konstruksi ekonomi yang semakin menguat di daerah ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya kepentingan ekonomi dari kalangan aktor-aktor penggemar burung yang melihat adanya potensi ekonomi dari burung dan kegiatan yang berkaitan dengan burung. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa aktor-aktor yang bermain dalam proses komoditisasi dan komersialisasi terhadap burung justru berasal dari kalangan komunitas penggemar burung kelas menengah atas yang memiliki latar belakang profesi sebagai pelaku kegiatan ekonomi pengusaha lokal dan pedagang. Keberadaan mereka sebagai bagian dari komunitas penggemar burung dilakukan tidak hanya dalam kepentingan menyalurkan hobi atau kegemaran semata, akan tetapi membentuk konstruksi pemaknaan ekonomi dikalangan komunitas penggemar burung. Sementara itu, kepentingan konservasi terhadap burung saat ini juga mulai berkembang seiring dengan semakin gencarnya gerakan pelestarian terhadap satwa di Indonesia yang dilakukan oleh kalangan NGO’s dan pemerintah. Perkembangan kepentingan konservasi terhadap burung juga berkaitan dengan kepentingan internasional yang mengatur adanya pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan perdagangan jenis satwa tertentu melalui konvensi internasional. Hal ini ternyata memberikan pengaruh terhadap pergeseran yang terjadi di tingkat komunitas penggemar burung berkicau, di mana nilai-nilai pelestarian terhadap burung menjadi salah satu konstruksi pemaknaan yang mulai dibentuk di tingkat komunitas. Meskipun tidak semasif gejala komoditisasi dan komersialisasi terhadap burung dan kegiatan yang berkaitan dengan burung, namun demikian keberadaan kepentingan konservasi mulai banyak diperdebatkan dan dijadikan sebagai orientasi jangka panjang dari eksistensi komunitas penggemar burung berkicau di Indonesia. Pemaknaan konservasi yang berkembang di tingkat komunitas penggemar burung saat ini masih berada pada tataran kalangan elit penggemar burung berkicau. Namun demikian, keberadaan NGO’s yang memiliki konsern terhadap pelestarian burung menjadi kekuatan lain yang memberikan tekanan terhadap komunitas penggemar burung dalam membentuk konstruksi sosial pemaknaan konservatif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keterlibatan NGO’s dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas penggemar burung atau diskusi- diskusi yang diselenggarakan oleh NGO’s dengan melibatkan komunitas penggemar burung sebagai mitra diskusi. Kepentingan sosio-politik secara implisit juga menjadi bagian dari komunitas penggemar burung. Dimensi sosio-politik pada komunitas penggemar burung ditandai dengan adanya pemanfaatan burung sebagai media komunikasi politik yang dilakukan oleh penguasa, baik sipil maupun militer melalui pembentukan image dan politik pencitraan sebagai penguasa yang peduli terhadap keberadaan komunitas penggemar burung, meskipun sebenarnya penguasa tersebut tidak memiliki latar belakang sebagai penggemar burung. Di Surabaya dan Yogyakarta kegiatan lomba burung misalnya dijadikan sebagai pelabelan oleh kekuatan kekuasaan tertentu dengan memberikan nama kegiatan, seperti Bupati Cup, Gubernur Cup atau bahkan Presiden Cup. Dalam konteks ini burung juga dijadikan sebagai instrumen untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dengan menjadikan komunitas penggemar burung sebagai basis kekuatan politik yang cukup strategis. Di Yogyakarta hal ini ditandai dengan masuknya seorang calon Gubernur dalam organisasi komunitas penggemar burung. Dalam telaah konspirasi keberadaan tokoh tersebut dalam komunitas penggemar burung di tengah-tengah berkembangnya isu kuat yang menempatkannya sebagai calon kuat gubernur Yogyakarta adalah adanya kepentingan pragmatis politik praktis. Sedangkan di Surabaya hal ini ditandai dengan bergabungnya sejumlah pejabat publik dari kalangan kekuasaan politik dan militer dalam organisasi komunitas penggemar burung di tingkat lokal, seperti Bupati atau Ketua DPRD. Pemaknaan konservasi dari sisi kepentingan memiliki posisi yang diametral atau berlawanan terhadap kepentingan ekonomi. Pemaknaan konservasi terhadap burung menempatkan burung tidak sebagai obyek eksploitasi ekonomi untuk kegiatan perdagangan maupun kegiatan lain yang diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini menyebabkan terjadinya benturan-benturan di tingkat aktor-aktor penggemar burung, di mana terdapat kalangan aktor yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi dan di sisi lain terdapat juga kalangan aktor penggemar burung yang memiliki keberpihakan sebaliknya yaitu kepentingan konservasi. Pada tataran faktual komunitas penggemar burung, kelompok aktor penggemar burung yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi secara kuantitas lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok aktor penggemar burung yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan konservasi. Namun demikian, kelompok aktor yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan konservasi berada pada posisi yang cukup strategis karena melibatkan kalangan elit komunitas penggemar burung. Nilai-nilai konservasi terhadap burung berkembang seiring dengan semakin banyaknya kegiatan perdagangan burung berkicau yang dilakukan dengan melakukan perburuan burung langsung dari alam. Hal ini berdampak pada keterancaman beberapa jenis burung berkicau tertentu di alam. Dalam jangka panjang kondisi ini tidak hanya mengancam keberadaan populasi jenis burung tersebut di alam, akan tetapi juga mengancam eksistensi kultural komunitas penggemar burung. Oleh karena itu, dibutuhkan kegiatan penyadaran terhadap keterancaman tersebut dikalangan komunitas penggemar burung itu sendiri melalui konstruksi pemaknaan yang bersifat konservatif. Saat ini tindakan nyata di tingkat komunitas penggemar burung yang mulai dikonstruksi adalah adanya pembatasan terhadap jenis burung yang dilombakan sampai periode waktu tertentu. Ke depan, burung yang diperbolehkan untuk ikut dalam kegiatan lomba burung adalam jenis burung berkicau yang memiliki sertifikasi legal dari organisasi formal komunitas penggemar burung di Indonesia. Kepentingan lain di balik konstruksi pemaknaan kultural burung di Surabaya dan Yogyakarta adalah kepentingan sosio-kultural. Kepentingan sosio- kultural merupakan representasi dari sistem nilai atau sistem kultural dalam masyarakat Jawa dalam memaknai burung. Kepentingan sosio-kultural membentuk konstruksi pemaknaan yang menempatkan burung sebagai bagian dari entitas kultural keseharian aktor penggemar burung, baik sebagai simbol status sosial, prestise sosial maupun kebutuhan psiko-sosial refreshing dan hiburan. Kepentingan sosio-kultural dalam konteks konfigurasi kepentingan dalam konstruksi pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung berada dalam posisi yang berlawanan dengan kepentingan ekonomi. Perbedaan dengan kepentingan konservasi, posisi kepentingan sosio-kultural tidak sebagai kepentingan tandingan yang menjadi kekuatan perlawanan terhadap kepentingan ekonomi. Kepentingan sosio-kultural berada dalam posisi mempertahankan eksistensi kultural pemaknaan terhadap burung di tengah-tengah kuatnya gejala komoditisasi dan komersialisasi terhadap burung. Dari sudut pandang kepentingan sosio-kultural pemaknaan terhadap burung hendak dipertahankan tetap sebagai bagian dari entitas kultural komunitas dengan menjadikan burung sebagai obyek kegemaran dan hobi. Kepentingan sosio-kultural di tingkat komunitas penggemar burung tampak masih bertahan pada sebagian komunitas penggemar burung di Yogyakarta. Di daerah ini kegiatan yang berkaitan dengan burung masih dipertahankan untuk kepentingan menikmati dan mendengarkan keindahan suara, warna dan gerak-gerik burung. Burung dimaknai sebagai simbol entitas kultural keseharian yakni dengan menempatkan burung sebagai sarana hiburan yang memiliki dimensi keindahan dan ketenangan. Hal ini ditunjukkan dengan dikonstruksinya nilai-nilai keindahan dan ketenangan dalam kegiatan yang berkaitan dengan burung, khususnya yang berada di ranah lokal. Kegiatan latihan dan lomba burung di Yogyakarta lebih mengedepankan aspek ketenangan dan kondusifitas dalam menikmati keindahan suara, warna dan gerak-gerik burung. Sebagian besar dari lokasi latihan burung di Yogyakarta misalnya melarang aktor penggemar burung untuk mengeluarkan suara teriakan terhadap burungnya pada saat mengikuti latihan burung. Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan konfigurasi kepentingan di balik konstruksi sosial pemaknaan burung di Surabaya dan Yogyakarta Tabel 7. Konfigurasi Kepentingan di Balik Konstruksi Sosial Pemaknaan Burung di Surabaya dan Yogyakarta Kepentingan Surabaya Yogyakarta Burung sebagai instrumen kekuasaan dan komunikasi politik Cukup kuat, dalam bentuk politik pencitraan kekuasaan politik dan militer dalam “pelabelan” kegiatan lomba burung Sangat kuat, dengan menjadikan burung sebagai basis strategis kekuatan politik untuk kepentingan kekuasaan . Pemanfaatan burung sebagai media pencitraan kekuasaan tertentu Burung sebagai media komoditisasi dan komersialisasi Sangat kuat, yaitu menjadikan burung sebagai kegiatan bisnis untuk mendapatkan keuntungan Tidak terlalu kuat, karena burung lebih ditempatkan sebagai sarana hiburan dan media untuk ketenangan dan keindahan Konservasi terhadap burung dan pemihakan terhadap ekologi Tidak terlalu kuat, karena adanya pragmatisme ekonomi dalam memaknai burung Cukup kuat, yaitu berupa adanya kesadaran keterkaitan antara pelestarian burung dengan eksistensi kultural komunitas penggemar burung Burung sebagai media eksistensi kultural Tidak kuat, karena adanya dominasi kepentingan ekonomi Sangat kuat, burung dimaknai media ketenangan dan keindahan serta basis membangun jejaring sosial Sumber: Data Primer Diolah Eskalasi kepentingan yang berada dibalik pegeseran konstruksi pemaknaan burung menunjukkan terjadinya kekuatan tarik-menarik dan benturan kepentingan di tingkat aktor penggemar burung serta ruang-ruang sosial pemaknaan. Atau dengan kata lain, terjadi dialektika 18 kepentingan antar aktor dalam komunitas penggemar burung, di mana masing-masing aktor merepresentasikan motivasi atau kepentingan tertentu. Temuan di lapangan di tingkat komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta menunjukkan bahwa dialektika kepentingan antar aktor tersebut membentuk kecenderungan lebih kuatnya konstruksi pemaknaan tertentu dibandingkan dengan pemaknaan lainnya. Hal ini tidak dipahami sebagai konteks yang alami terjadi, akan tetapi merupakan hasil dari dominasi kepentingan tertentu yang bersifat lebih kuat terhadap kepentingan 18 Dialektika kepentingan dalam konteks ini juga menjelaskan terjadinya konflik kepentingan yang memberikan implikasi terhadap terjadinya konflik pemaknaan di tingkat komunitas penggemar burung di Surabaya dan Yogyakarta. lainnya yang bersifat marginal. Dominasi kepentingan tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas aktor yang berpihak akan tetapi juga pada setting sosio-kultural, kepentingan dari luar komunitas serta, posisi strategis aktor dalam komunitas penggemar burung berkicau.

6. 5 Pragmatisme Ekonomi dan Eksistensi Kultural: Kasus Komunitas

Penggemar Burung Berkicau di Surabaya dan Yogyakarta Pada bagian metodologi, yaitu mengenai pemilihan lokasi penelitian dijelaskan bahwa Surabaya dan Yogyakarta dijadikan sebagai pilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut merepresentasikan sistem kultural yang unik satu sama lain meskipun sama-sama bagian dari sistem masyarakat Jawa. Yogyakarta merepresentasikan sistem kultural yang masih kental dengan nilai-nilai tradisional kerajaan, karena secara historis hingga konteks kekinian Yogyakarta dikenal sebagai salah satu daerah di Jawa yang mempertahankan tradisi kultural keraton Gauthama, et.al, 2003; Twikromo, 1999. Sedangkan Surabaya merepresentasikan sistem kultural masyarakat Jawa yang mendasarkan diri pada kegiatan ekonomi perdagangan. Hal ini didasarkan pada sejarah kultural masyarakat Surabaya yang dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan besar di Jawa, yang menjadi pusat kegiatan ekonomi Koentjaraningrat, 1994. Di Surabaya komunitas penggemar burung berkicau berkembang cukup pesat yang ditandai dengan semakin maraknya bermunculan komunitas penggemar burung berkicau dalam bentuk paguyuban penggemar burung. Di samping itu, perkembangan komunitas penggemar burung berkicau di daerah ini juga ditandai dengan semakin maraknya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kegemaran memelihara burung, seperti kegiatan latihan burung dan lomba burung. Kedua bentuk kegiatan tersebut tergolong cukup sering dilakukan di Surabaya dan banyak mendapatkan dukungan dari kalangan komunitas penggemar burung di daerah ini. Komunitas penggemar burung di Surabaya cukup beragam melibatkan sejumlah kalangan masyarakat yang berasal dari karakteristik sosial ekonomi, etnis dan kepentingan yang berbeda-beda. Namun demikian, terdapat kecenderungan bahwa afiliasi komunitas penggemar burung berkicau di daerah ini lebih dekat dengan kepentingan ekonomi. Hal ini ditandai dengan cukup banyaknya kalangan padagang dan pengusaha lokal di Surabaya yang menjadi aktor penggemar burung berkicau. Keberadaan mereka cukup strategis karena sebagian merupakan kalangan elit dalam organisasi komunitas penggemar burung ataupun dalam kelompok-kelompok paguyuban komunitas penggemar burung. Dengan demikian maka representasi dari kepentingan ekonomi dalam komunitas penggemar burung di daerah lebih kuat dominan keberadaannya jika dibandingkan dengan representasi kepentingan-kepentingan lainnya, seperti kepentingan sosio-kultural dan konservasi. Keberadaan kepentingan ekonomi yang cukup dominan di kalangan komunitas penggemar burung di Surabaya memberikan implikasi terhadap kecenderungan konstruksi pemaknaan yang berkembang di tingkat komunitas. Seperti dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, konstruksi pemaknaan terhadap burung di tingkat komunitas penggemar burung di daerah ini mengalami gejala komoditisasi dan komersialisasi terhadap burung. Nilai-nilai ekonomi berkembang dominan dikalangan komunitas penggemar burung di daerah ini, tidak hanya dalam konteks memaknai burung, akan tetapi juga dalam konteks kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung, yaitu kegiatan latihan dan lomba burung. Pemaknaan terhadap burung memposisikan burung sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan. Kondisi ini ditunjukkan dengan maraknya kegiatan perdagangan burung di tingkat komunitas penggemar burung, dan berkembangnya etika pragmatis yang bersifat ekonomi dalam memandang burung sebagai satwa peliharaan. Kegemaran memelihara burung dikalangan komunitas penggemar burung di Surabaya didasarkan pada kepentingan mendapatkan prestise ekonomi terhadap burung tersebut dengan menekankan pada pencapaian status sebagai burung yang berkualitas atau burung yang bertrademark juara. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi dari kepemilikan burung- burung tersebut. Hal lain yang berkaitan pragamatisme ekonomi dalam konstruksi pemaknaan terhadap burung di Surabaya adalah penyelenggaraan kegiatan latihan dan lomba burung yang lebih diorientasikan sebagai sarana untuk kepentingan membentuk nilai ekonomi burung menjadi semakin baik. Hal ini ditandai dengan adanya sertifikasi terhadap burung-burung yang menjadi pemenang dalam kegiatan tersebut, sehingga burung yang menang menjadi dikenal oleh kalangan komunitas penggemar burung lainnya. Pragmatisme ekonomi pada komunitas penggemar burung di Surabaya ditandai juga dengan berkembang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hobi atau kegemaran memelihara burung sebagai kegiatan bisnis. Kegiatan latihan dan lomba burung adalah dua kegiatan yang paling sering dilaksanakan dan memiliki potensi bisnis paling besar dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Lokasi latihan burung dan lomba burung di Surabaya berkembang menjadi ladang bisnis yang memiliki potensi keuntungan ekonomi menjanjikan. Dengan memanfaatkan ketergantungan aktor penggemar burung terhadap kedua kegiatan tersebut, kegiatan latihan dan lomba burung dioragnisir sedemikian rupa oleh kepentingan kelompok tertentu event organizer, baik dari kalangan penggemar burung maupun dari luar kalangan penggemar burung untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi dari kedua kegiatan tersebut didapatkan dari besarnya biaya pendaftaran yang dibebankan pada penggemar burung yang berpartisipasi serta keterlibatan pihak industri sebagai sponsor kegiatan. Keberadaan pihak industri dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan burung adalah untuk kepentingan menjadikan kegiatan tesebut sebagai media pemasaran yang potensial. Hal ini disebabkan afiliasi komunitas penggemar burung berkicau di Surabaya yang lebih banyak berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah dan atas. Sementara itu, untuk kasus komunitas penggemar burung di Yogyakarta cukup berbeda dengan kondisi komunitas penggemar burung di Surabaya. Di Yogyakarta kegemaran memelihara burung masih dimaknai sebagai bagian dari kegiatan keseharian yang dapat dijadikan sebagai sarana hiburan dan hobi disela- sela rutinitas kerja sehari-hari. Komunitas penggemar burung di Yogyakarta berasal dari kalangan yang beragam, baik masyarakat kelas atas, menengah maupun bawah. Sebagian besar, komunitas penggemar burung di daerah ini berasal dari kalangan kelas menengah. Posisi strategis dalam komunitas penggemar burung, baik di tingkat organisasi maupun kelompok paguyuban