2 Perumusan Masalah Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus di Surabaya dan Yogyakarta)

BAB II Tinjuan Teoritis 2. 1 Pemaknaan Burung di Masyarakat Pemaknaan terhadap burung mencakup beberapa dimensi yang beragam, antara lain dimensi ekonomi, dimensi ekologis, dimensi sosio-kultural, dan dimensi estetika. Secara ekonomi, burung dimaknai sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan seperti halnya barang-barang produksi. Nilai ekonomi burung dalam konteks ini dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, nilai ekonomi burung untuk kepentingan perdagangan bagi komunitas penggemar burung. Hobi memelihara burung menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Temuan Jepson dan Ladle menunjukkan bahwa satu dari lima rumahtangga di lima kota besar di Indonesia, yaitu Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta memilih memelihara burung sebagai satwa peliharaan. Kuantitas pemeliharaan burung sebagai satwa peliharaan merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan beberapa satwa peliharaan lainnya seperti ikan, anjing, kucing dan kuda Jepson and Ladle, 2005. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin maraknya kegiatan- kegiatan yang memiliki daya tarik bagi para komunitas penggemar burung dan semakin tingginya harga jual burung di pasaran. Beberapa jenis burung yang banyak diperdagangkan untuk kepentingan hobi antara lain murray batu, anis merah, anis kembang, cucak rawa, cucak hijau, cendet dan kenari. Murrai Batu misalnya merupakan jenis burung yang paling banyak digemari oleh komunitas penggemar burung meskipun keberadaannya di alam semakin terancam 1 . Kedua, nilai ekonomi burung dari pemanfaatan burung untuk kepentingan bahan makanan. Pemanfaatan burung untuk kepentingan dijual dagingnya sebagai bahan makanan paling mudah ditemukan di masyarakat. Jenis burung yang biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan ini adalah burung dara merpati, beberapa jenis burung laut pelikan, selain jenis dari unggas Mackinnon, 1984; 1 Bagian ini didapatkan dari keterangan salah seorang aktivis NGO’s yang konsern pada pelestarian burung di Indonesia Birdlife Indonesia atau sekarang menjadi Burung Indonesia pada salah satu media massa yaitu Harian Kompas, Minggu, Tanggal 19 Februari 2006. www.kompas.com . Diakses pada Tanggal 3 November 2007 Alikondra, 1993. Burung yang dimanfaatkan untuk bahan makanan bisa didapatkan dari kegiatan peternakan burung atau melalui kegiatan penangkapan di alam. Kegiatan penangkapan langsung di alam merupakan hal yang paling banyak ditemukan dalam rangka pemanfaatan daging burung untuk kepentingan bahan makanan. Burung juga memiliki peran secara ekologis. Pada masyarakat tertentu peran ekologis burung berada pada posisi yang penting. Di Indonesia, peranan burung secara ekologis dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai “musuh alami” dari beberapa jenis hama tertentu di sawah. Burung elang misalnya adalah predator alami terhadap jenis hama tikus dan ular di sawah. Beberapa jenis burung lainnya yan g memiliki peran ekologis sebagai “musuh alami” di sawah adalah Cangak, Mandar, Sri Gunting, Bentet dan Sikatan. Burung-burung tersebut berperan sebagai musuh alami bagi serangga. Di beberapa Negara maju, keberadaan burung dimanfaatkan sebagai bio- monitoring terhadap perubahan lingkungan. Burung dalam konteks ini dilihat keberadaanya untuk mengetahui apakah lingkungan tersebut mengalami perubahan kualitas atau tidak. Di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris misalnya burung dimanfaatkan untuk bio-monitoring terhadap terjadinya pencemaran lingkungan. Jika burung tertentu menghilang dari habitat alaminya yang biasa dipergunakan untuk kehidupan seharinya-harinya, maka dapat disimpulkan terjadi perubahan pada lingkungan tersebut, yang biasanya adalah pencemaran lingkungan Furness and Greenwood, 1993. Sementara itu, secara sosio-kultural pemaknaan terhadap burung dapat ditelaah dari keberadaan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat. Di Indonesia, bagi sebagian etnis burung memiliki keterkaitan dengan entitas kultural. Pada komunitas Dayak Laut misalnya, burung memiliki dimensi magis dalam tradisi kultural mereka. Beberapa jenis burung tertentu dianggap sebagai bagian dari simbol ritual religius mereka. Mereka memaknai beberapa jenis burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay dan Pelatuk sebagai representasi dari para menantu dewa-dewa yang mereka sembah. Keberadaan bebera jenis burung tersebut sangat dijaga dan dilestarikan oleh komunitas tersebut. Di sisi lain, komunitas Dayak Laut juga meyakini bahwa jenis burung yang disebutkan