3 Tujuan Penelitian Dinamika dan Konfigurasi Kepentingan di Balik Pemaknaan terhadap Burung Berkicau di Jawa (Kasus di Surabaya dan Yogyakarta)
Alikondra, 1993. Burung yang dimanfaatkan untuk bahan makanan bisa didapatkan dari kegiatan peternakan burung atau melalui kegiatan penangkapan di
alam. Kegiatan penangkapan langsung di alam merupakan hal yang paling banyak ditemukan dalam rangka pemanfaatan daging burung untuk kepentingan bahan
makanan. Burung juga memiliki peran secara ekologis. Pada masyarakat tertentu
peran ekologis burung berada pada posisi yang penting. Di Indonesia, peranan burung secara ekologis dapat dilihat pada pemanfaatan burung sebagai “musuh
alami” dari beberapa jenis hama tertentu di sawah. Burung elang misalnya adalah
predator alami terhadap jenis hama tikus dan ular di sawah. Beberapa jenis burung lainnya yan
g memiliki peran ekologis sebagai “musuh alami” di sawah adalah Cangak, Mandar, Sri Gunting, Bentet dan Sikatan. Burung-burung tersebut
berperan sebagai musuh alami bagi serangga. Di beberapa Negara maju, keberadaan burung dimanfaatkan sebagai bio-
monitoring terhadap perubahan lingkungan. Burung dalam konteks ini dilihat keberadaanya untuk mengetahui apakah lingkungan tersebut mengalami
perubahan kualitas atau tidak. Di Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris misalnya burung dimanfaatkan untuk bio-monitoring terhadap terjadinya
pencemaran lingkungan. Jika burung tertentu menghilang dari habitat alaminya yang biasa dipergunakan untuk kehidupan seharinya-harinya, maka dapat
disimpulkan terjadi perubahan pada lingkungan tersebut, yang biasanya adalah pencemaran lingkungan Furness and Greenwood, 1993.
Sementara itu, secara sosio-kultural pemaknaan terhadap burung dapat ditelaah dari keberadaan burung sebagai bagian dari entitas kultural masyarakat.
Di Indonesia, bagi sebagian etnis burung memiliki keterkaitan dengan entitas kultural. Pada komunitas Dayak Laut misalnya, burung memiliki dimensi magis
dalam tradisi kultural mereka. Beberapa jenis burung tertentu dianggap sebagai bagian dari simbol ritual religius mereka. Mereka memaknai beberapa jenis
burung yaitu Raja Udang, Trogon, Jay dan Pelatuk sebagai representasi dari para menantu dewa-dewa yang mereka sembah. Keberadaan bebera jenis burung
tersebut sangat dijaga dan dilestarikan oleh komunitas tersebut. Di sisi lain, komunitas Dayak Laut juga meyakini bahwa jenis burung yang disebutkan
sebelumnya memberikan simbol-simbol tertentu bagi kepentingan kehidupan mereka. Salah satunya adalah komunitas Dayak Laut mempercayai bahwa
kegiatan pembukaan hutan tidak dapat dilakukan jika mendengar suara burung tertentu. Hal ini dilakukan karena suara burung tersebut memberikan pertanda
bagi keselamatan mereka Welty, 1979. Demikian juga yang berkembang pada sebagian masyarakat Jawa. Pada
masyarakat Jawa yang memiliki tradisi kultural keraton yang masih kuat, burung dijadikan sebagai simbol status sosial, simbol ketenangan dan keindahan serta
simbol kesempurnaan dalam hidup. Bagi masyarakat Jawa hidup menjadi sempurna jika seseorang telah memiliki harta simbol kekayaan, tahta simbol
kekuasaan, wanita simbol pasangan hidup, turangga simbol dari kendaraan atau tunggangan dan kukila simbol dari satwa peliharaan
2
. Burung dalam konteks ini adalah bagian dari simbolisasi kukila. Dengan memiliki satwa
peliharaan maka kesempurnaan hidup seseorang menjadi lengkap setelah memiliki empat hal lain yang disebutkan sebelumnya. Pemaknaan terhadap
kesempurnaan hidup ini lebih banyak dilekatkan dengan kalangan priyayi atau bangsawan keraton karena memang aspek-aspek yang menjadi prasyarat
kesempuranaan hidup lebih mungkin dicapai oleh kalangan masyarakat dari kelas priyayi atau bangsawan. Sedangkan bagi kaum masyarakat kebanyakan, mereka
lebih banyak disibukkan dengan urusan pemenuhan harta sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menyempurnakan aspek-aspek lainnya dalam mencapai
kesempuranaan. Namun demikian, dalam perkembangannya dimensi sosio-kultural dari
burung berkembang tidak hanya berkaitan dengan filosofi kesempurnaan hidup pada masyarakat Jawa. Saat ini perkembangan pemeliharaan burung melibatkan
hampir sebagian lapisan masyarakat, baik dari kalangan kelas atas, menengah, dan bawah, termasuk juga kalangan non priyayi atau bangsawan. Pemaknaan terhadap
dimensi sosio-kultural burung pun berkembang tidak pada konteks sebagai simbolisasi status sosial akan tetapi lebih pada hobi untuk mendapatkan kepuasan
2
Kukila merupakan simbolisasi dari satwa peliharaan, namun demikian dalam banyak hal pemaknaan terhadap kukila dilekatkan dengan burung sebagai satwa peliharaan. Jenis burung yang
banyak dimaknai sebagai simbol kesempurnaan hidup adalah perkutut yang memang popular dikalangan masyarakat Jawa Muchtar dan Nurwatha, 2001.
psikologis dengan mendengarkan dan menikmati keindahan suara, warna dan gerak gerik burung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Jepson dan Ladle,
yang menemukan bahwa kegemaran memelihara burung saat ini dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat di kota, mulai dari tingkat pendidikan rendah
hingga tingkat pendidikan tinggi. Hobi memelihara burung menjadi pilihan paling digemari dibandingkan dengan memelihara jenis satwa lainnya Jepson and Ladle,
2005. Dimensi lain berkaitan dengan peran burung adalah dimensi estetika, yaitu
menjadikan burung sebagai simbol dari kreativitas karya seni tertentu. Di kalangan seniman Bali, nilai estetika dari burung cukup besar dalam
menginspirasi para seniman dalam menghasilkan karya. Burung menjadi salah satu inspirasi untuk menggambarkan tentang keindahan. Terdapat sejumlah
komunitas seniman di Bali yang selalu menjadikan burung sebagai sumber inspirasi pada setiap hasil karya seni lukisnya. Pemaknaan seperti ini tidak hanya
memberikan dampak psikologis berupa kepuasan bagi para seniman tersebut, akan tetapi juga menjadi media komunikasi non-verbal untuk menjaga dan melestarikan
keberadaan burung Surata, 1993.