Identifikasi Masalah Latar Belakang

4

1.1.1 Identifikasi Masalah

Potensi kakao biji Sulteng yang dikemukakan di atas belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena diperhadapkan pada beberapa masalah yang bersumber dari sisi permintaan dunia, dan sisi penawaran kakao biji Sulteng. Adapun masalah yang bersumber dari sisi permintaan dunia dapat dijabarkan, sebagai berikut : i Salah satu masalah klasik yang hingga kini dihadapi oleh kakao biji asal Indonesia termasuk Sulteng adalah tatacara aturan perdagangan global WTO, yang masuk dalam kategori SPS Sanitary and Phytosanitary dan TBT Technical Barrier to Trade. Kedua kategori ini memungkinkan penalti automatic detention atas kakao biji asal Indonesia. Potongan harga berkisar dari 7 persen Akiyama dan Nishio, 1997: 110 – 111 hingga 40 persen Ritterbusch dan Mϋhlbauer, 2001:10. ii AS negara tujuan ekspor utama kedua setelah Malaysia tidak begitu selektif dalam meminta kakao biji yang bermutu, sehingga harga kakao didasarkan atas harga kakao biji asalan. Oleh karena itu, pedagang pengumpul desa menetapkan harga kakao biji berdasarkan kakao yang tidak terfermentasi. Konsekuensinya, petani enggan melakukan fermentasi, karena tidak ada insentif harga antara kakao biji yang tidak terfermentasi, dan yang terfermentasi. Selain itu, industri pengolahan kakao grinding di Indonesia belum berkembang baik, sehingga sebagian besar, kakao biji yang diekspor adalah kakao biji asalan, dan ini telah menjadi image di pasar dunia. iii Untuk karakteristik cocoa butter, kriteria kandungan lemak dry nib base adalah 55 – 58 persen Ritterbusch dan Muhlbauer, 2004: 13. Kadar lemak kakao Sulawesi tergolong rendah, yaitu kurang daripada 52 persen Zaenudin dan Wahyudi,1996: 46. Sementara itu, kadar lemak kakao dari Afrika Barat minimum 58 persen Ibrahim, 1997: 13 Oleh karena itu, kakao biji asal Indonesia dihargai rendah di pasar dunia. 5 iv Akiyama dan Nishio 1997: 103. telah menemukan bahwa harga kakao biji di tingkat usahatani di Indonesia berdasarkan harga konstan 1993, kurang daripada separuh dibandingkan dengan harga pertengahan 1980-an. Ini merupakan indikasi bahwa pasar kakao biji di tingkat petani kurang terintegrasi dengan pasar kakao dunia. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa selain dari sisi permintaan kakao biji dunia, masalah juga muncul dari sisi penawaran yang dapat dijabarkan, sebagai berikut : i Hingga kini, kakao biji Indonesia termasuk Sulteng masih memiliki daya saing yang lemah, karena kualitas rendah. Kualitas rendah karena usahatani kakao diselenggarakan atas dasar swadaya masyarakat yang umumnya bukan berasal dari benih unggul. Di samping itu, petani kakao umumnya enggan melakukan fermentasi sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. ii Rendahnya kualitas kakao biji asal Indonesia termasuk Sulteng, selain karena tidak terfermentasi, juga karena serangan hama pod-borer, karena daging buah kakao tampak berwarna hitam, keriput dan ringan. iii Di samping kualitas rendah, daya saing kakao yang lemah disebabkan oleh biaya produksi yang tinggi. Biaya produksi terus meningkat, karena tidak ada lagi subsidi input faktor. Dalam masa pemerintahan Presiden Megawaty Soekarnoputri, Pemerintah mencabut semua subsidi input faktor untuk tanaman pertanian, sehingga harga-harga input faktor tersebut meningkat drastis. iv Di tingkat propinsi, dalam era desentrasiliasi dan otonomi pengembangan ekspor kakao akan berhadapan dengan pajak dan tarif yang diluncurkan untuk mengejar peningkatan pendapatan wilayah. Akiyama dan Nishio 1997: 107 telah menemukan bahwa di Kabupaten Donggala, Kabupaten Buol Toli-Toli dan Kabupaten Luwuk Banggai Propinsi Sulteng. Pemerintah Daerah membebankan retribusi atas transport kakao 6 per kilogram secara berturut - turut di masing-masing kabupaten tersebut adalah Rp. 15, Rp. 25 dan Rp. 4 – 10. Ini adalah tarif per hari yang akan dipungut untuk satu hari jika kakao melewati pos-pos jaga dalam hari tersebut. v Pertumbuhan ekonomi wilayah Sulteng cenderung membaik. Dalam kurun waktu 2000 – 2007, pertumbuhan ekonomi Sulteng 9,44 tahun berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional 7,89 tahun. Meskipun demikian, kinerja ekonomi propinsi tersebut masih tergolong rendah. Ini diindikasikan oleh a pangsa relatif ekonomi wilayah terhadap ekonomi nasional masih jauh dari nilai harapan teoritis 0,60 vs 3,49. Luas wilayah daratan Sulteng 3,49 persen dari luas wilayah nusantara. Secara kasar, bila lahan dianggap merupakan faktor produksi utama, maka pangsa relatif teoritis ekonomi wilayah ini adalah 3,49 persen; b. produktivitas sektor pertanian yang rendah 1, yaitu rasio antara sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Sulteng dengan sumbangan penyerapan AK sektor tersebut; c PDRB per kapita Rp. 9,07 juta atas dasar harga berlaku 2007 masih di bawah PDB per kapita Rp.17,50 juta ; d disparitas PDRB per kapita antar-daerah yang cenderung membesar yang diindikasikan oleh varians PDRB per kapita antar-daerah di propinsi ini yang cenderung membesar dalam kurun waktu 2000 – 2007. vi Kinerja ekonomi propinsi ini yang masih tergolong rendah sebagaimana dikemukakan di atas mempengaruhi tingkat pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk miskin di propinsi ini. Pendapatan per kapita PPK yang diindikasikan oleh pengeluaran per kapita propinsi ini Rp. 580.200 tahun 2005 masih tergolong rendah, karena masih berada di bawah rata-rata PPK nasional 591.200 tahun yang sama. Indeks Pembagunan Manusia, 2006. Selanjutnya, jumlah penduduk miskin di propinsi tersebut masih tergolong besar, yaitu 524.700 jiwa atau 20,75 persen dari total penduduk propinsi tersebut dalam tahun 2008 www.BPS , 2010. 7

1.1.2 Batasan dan Rumusan Masalah