Kelembagaan dan Ekspor Kakao Biji Indonesia

17 Tenggara. Penelitian tersebut deselenggarakan dengan menggunakan metode survai, dan memanfaatkan analisis ekonometrika. Sebagaimana penelitian- penelitian lainnya, meskipun penelitian ini mengambil kasus Propinsi Sulawesi Tenggara, namun penelitian ini belum mengaitkan komoditi kakao dengan kinerja ekonomi wilayah. Penelitian ini dititik beratkan pada aspek aspek usahatani. Penelitian ini menemukan bahwa luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao dan harga riel pupuk urea. Selanjutnya, produktivitas dipengaruhi oleh harga riel cengkeh, harga riel pupuk urea dan luas areal. Luas areal lebih respon dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga riel kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penawaran produksi kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang responsif terhadap perubahan harga riel kakao dan harga riel pupuk urea, tetapi penawaran tersebut tidak responsif terhadap perubahan upah riel tenaga kerja. Dalam tahun 2004, Gonarsyah menyelenggarakan studi kasus yang bertujuan menguji kendala-kendala kunci dan isu-isu pemerintahan tentang perluasan integrasi vertikal usahatani, perusahaan dan konsumen dalam industri kakao di Indonesia. Isu utama yang diadres ialah bagaimana memperbaiki sistem di mana pemerintah dapat membantu menciptakan sistem tersebut bekerja atas kepentingan petani untuk keuntungan bagi semua stakeholder dalam sistem tersebut. Kesimpulan utama dari studi kasus tersebut ialah pertanyaan mendasar tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan jenis industri kakao. Apakah jenis industgri kakao yang seharusnya dikembangkan dalam jangka panjang, apakah industri kakao biji, atau industri chocolate Gonarsyah, 2004: 1, 10.

2.1.2 Kelembagaan dan Ekspor Kakao Biji Indonesia

Hasil analisis perkembangan harga yang diterima eksportir di Ujung Pandang Makasar dan harga di terminal London menunjukkan bahwa peningkatan volume ekspor secara besar-besaran sebagai akibat keberhasilan pengembangan perkebunan kakao rakyat yang berkorelasi positip dengan timbulnya ketidak-konsistenan mutu biji kakao ekspor. Hal ini mengisyaratkan 18 bahwa peningkatan produksi perkebunan kakao rakyat perlu segera diikuti oleh kampanye sadar mutu di kalangan pekebun kakao Gonarsyah et al., 1990: 6 – 7. Menurut Gonarsyah, et al. 1990: 6 – 6 bahwa terjadinya transaksi biji kakao kering kualitas asalan berkaitan erat dengan beberapa aspek pemasaran, yaitu i lembaga pemasaran akan memperoleh keuntungan relatif lebih tinggi dengan melakukan transaksi biji kakao kering kualitas asalan daripada kualitas fermentasi; ii cara pembelian lewat kontrak yang dilakukan eksportir kepada lembaga pemasaran berakibat pihak yang menerima kontrak hanya mengejar pemenuhan kuantitas; dan c lembaga pemasaran khususnya pedagang pengumpul desa pada umumnya tidak memberlakukan perbedaan harga terhadap biji kakao kering yang difermentasi dengan sempurna atau tidak. Studi yang menyoroti aspek mutu kakao Indonesia dikaitkan dengan perdagangan internasional telah diusahakan oleh Ibrahim 1997. Studi ini sepunuhnya didasarkan atas analisis deskriptif dan parsial. Rekomendasi hasil studi ini ialah bahwa dengan pertimbangan daya serap pasar Eropa lebih besar daripada pasar AS, kiranya masyarakat perkakaoan Indonesia perlu mengusahakan peningkatan pangsa pasarnya untuk Eropa yang menghendaki mutu, cita rasa, dan kandungan lemak kakao yang lebih tinggi. Para pengusahaeksportir perlu didorong untuk melakukan suatu aliansi strategis dengan pengusaha Eropa, serta membangun hubungan kemitraan yang erat dan kuat dengan petani, seperti halnya kemitraan ìKeiretsuînya Jepang, guna mendapatkan jaminan pasokan bahan baku yang bermutu tinggi. Studi tentang opsi kelembagaan petani kakao telah diselenggararakan oleh Wally 2001. Studi ini menggunakan pendekatan survai. Metode analisis yang diterapkan adalah analisis kuantitatif parsial. Studi ini sama sebagaimana studi- studi yang telah dikemukakan sebelumnya, belum mengaitkan perdagangan kakao dengan kinerja ekonomi wilayah. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa struktur pasar biji kakao di daerah penelitian bersifat oligopsonistik yang mempunyai kecenderungan mengarah ke pasar lebih bersaing. Selanjutnnya, margin tataniaga pada kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan 19 kelembagaan tradisional. Biaya transaksi yang berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya peluang opsi kelembagaan kemitraan adalah ketidakjujuran pedagang dalam penimbangan dan penilaian mutu biji kakao. Oleh karena itu, kelembagaan kemitraan menjadi opsi sebagian besar petani kakao 57 untuk melakukan transaksi biji kakao. Berdasarkan pengalaman di negara-negara lain, sistem pasar bebas untuk kakao akan berhasil kalau struktur pengusaha kakao relatif besar-besar. Untuk struktur agribinis kakao yang didominasi petani-petani kecil seperti Indonesia, keterlibatan lembaga tataniaga formal masih diperlukan dalam mengatur harga, standarisasi mutu, atau bahkan melakukan kegiatan pemasaran secara langsung Gonarsyah et al., 1990: 6 – 2. Dalam lima tahun terakhir ini, ekspor kakao biji Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun, sementara ekspor kakao olahan, secara khusus kakao lemak menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Ini mengisyaratkan makin berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia dalam usaha memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi Gonarsyah, 1990: 6 – 4. Oleh karena itu, pengembangan industri pengelohan kakao seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan kakao secara keseluruhan Sudaryanto dan Susilowati, 1991: 44. Untuk itu, pengembangan industri pengolahan tersebut dapat didorong dengan kemudahan kredit investasi dan prioritas perizinan Gonarsyah et al., 1990: 6 – 4. Menurut hasil studi yang dilaporkan oleh Susila et al. 1998: 91 bahwa sebaran perusahaan pengolahan produk kakao berada di delapan propinsi dengan Jawa Barat sebagai propinsi utama, disusul oleh Jawa Timur dan Sumatera Utara. Industri hilir kakao terkonsentrasi di Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta. Di lihat dari segi investasi, perusahaan Penanaman Modal Asing PMA terkonsentrasi di Dki Jakarta. Peningkatan nilai tambah industri kakao bubuk jauh lebih pesat dibandingkan dengan industri makanan dari kakao dan kembang gula. Meskipun industri pengolahan produk kakao makin berkembang di Indonesia, namun menurut Muharminto, Abbas dan Lubis 1996: 18 20 perkembangan tersebut tergolong lambat, karena industri dalam negeri hanya menyerap sekitar 10 – 15 persen dari seluruh produksi kakao Indonesia. Masalah yang dihadapi terutama tidak mampu bersaing dalam harga terhadap produk luar negeri, diduga karena pengelolaan yang kurang efisien, teknologi yang sudah ketinggalan, dan penggunaan bahan baku kakao yang bermutu rendah. Volume ekspor Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat, namun harga yang diterima menunjukkan kecenderungan yang menurun Muharminto, Abbas dan Lubis, 1996: 18. Ini mengisyaratkan bahwa harga tidak memiliki pengaruh nyata atas ekspor. Ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Lolowang 1999: 119 bahwa ekspor biji kakao Indonesia ketiga negara tujuan utama AS, Singapura dan Jerman dipengaruhi secara nyata hanya oleh perubahan produksi. Menurut Susila et al. 1998: 94 bahwa ekspor Indonesia diprakirakan memperoleh manfaat yang cukup nyata akibat diterapkannya komitmen dalam PU. Tanpa PU laju ekspor Indonesia diprakirakan akan mencapai 13,5 persen per tahun, sedangkan dengan PU akan meningkat dengan laju 17,6 persen per tahun. Selamat dan Shamsudin 2001: 31 mengemukakan bahwa dengan menurunnya areal tanam kakao di Malaysia, prospek permintaan untuk kakao biji asal Indonesia oleh grinder dari Malaysia diharapkan akan cemerlang. Bagaimanapun juga, prospek ini tidak bisa direalaisasikan jika kualitas kakao biji Indonesia tidak diperbaiki.

2.1.3 Konsumsi, Permintaan, dan Impor Kakao Indonesia