392 Aktivitas rent – seeking dalam perdagangan kakao biji asal Sulteng,
sebenarnya bisa muncul pada saat pedagang kecamatan melobi pemerintah kabupaten untuk menghapuskan retribusi kakao yang dipungut di setiap pos
perbatasan. Hal tersebut tidak dilakukan oleh pedagang, sebaliknya pedagang menghindari pembayaran retribusi secara normal dengan cara menyogok
penjaga pos. Selanjutnya, di tingkat pedagang eksportir, aktivitas tersebut bisa muncul dengan alasan melobi penguasa untuk menghapuskan bea pengapalan.
Hal tersebut belum dilakukan oleh eksportir Palu. Alasan eksportir untuk tidak melakukan aktivitas tersebut tampaknya muncul dari tidak efisiennya aktivitas
tersebut, karena belum tentu pihak pemerintah dan DPRD mendengarkan aspirasi eksportir.
Apabila eksportir Palu berkoalisi dalam ASKINDO, maka kemungkinan posisi tawar menjadi kuat, dan bisa melaksanakan aktivitas rent –
seeking tersebut. Ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Bredahl, Schmitz
dan Hilman 1987: 9 tentang aktivitas rent seeking dalam perdagangan internasional di mana produsen tomat AS dan Meksiko dapat memaksimumkan
rent dengan membentuk suatu koalisi atau kartel untuk membatasi produksi.
Pedagang berperilaku double rent seeking dalam kelembagaan prinsipel – agen, karena berhadapan dengan petani kakao yang berperilaku risk averter
menghindari risiko. Selanjutnya, petani kakao berperilaku risk averter, karena adanya ketidak-pastian hasil panen karena serangan hama PBK dan
penyakit BBK dan ketidak pastian harga informasi pasar yang asimetri. Oleh sebab itu, sebagaiman dikemukakan sebelumnya bahwa sebagian besar
65, petani responden terlibat dalam kelembagaan tersebut.
5.5.3 Efektivitas Pasar Kakao Biji A. Saluran Tataniaga Kakao Biji
Perilaku petani penjual kakao biji dan pedagang pembeli kakao biji mempengaruhi efektivitas pasar kakao biji. Analisis efektivitas pasar telah
393 diselenggarakan dengan analisis margin tataniaga. Konsekuensi pendekatan
margin tataniaga ialah bahwa makin panjang saluran tataniaga komoditi kakao biji, makin besar margin tataniaganya, sehingga makin kurang efektivitas
pasarnya. Untuk itu, pertama-tama akan dikemukakan hasil pengamatan saluran tataniaga kakao biji di Sulteng.
Berdasarkan wawancara dengan petani kakao, pedagang pengumpul, pedagang desa, pedagang kecamatan, dan pedagang besar serta eksportir di
Kota Palu, saluran tataniaga kakao biji di Sulteng dapat diilustrasikan dalam Gambar 49. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa dari
38,13 28,13 25 50 50
31,25 50 50 37,50 18,75
8,75 100
6,25 6,25
Gambar 49 Saluran Tataniaga Kakao Biji Di Sulteng 65 persen petani responden yang terlibat dalam kelembagaan kakao biji, 50
persen menjual kakao biji ke pedagang pengumpul, 29,81 persen ke pedagang desa, dan 20,19 persen ke pedagang kecamatan. Hasil wawanara
mengungkapkan bahwa Sisa 35 petani responden yang tidak terlibat dalam kelembagaan prinsipel – agen, sekitar 16,07 persen menjual kakao biji ke
pedagang pengumpul, 25 persen ke pedagang desa, 33,93 persen ke pedagang kecamatan, dan 25 persen ke pedagang besar. Jadi, secara keseluruhan baik
petani yang terlibat kelembagaan prinsipel – agen maupun yang tidak terlibat, sekitar 38,13 persen menjual ke pedagang pengumpul, 28,13 persen menjual ke
Petani
Pedagang Kecamantan
Eksportir
Pedagang Desa
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
394 pedagang desa, 25 persen menjual ke pedagang kecamatan, dan sisanya 8,75
persen menjual ke pedagang besar. Jadi, tidak satu pun petani responden yang mnejual ke eksportir. Karena eksportir berkantor di Palu dan sebagian besar di
Palu Utara, sedangkan desa sampel yang terdekat adalah Petimbe berbatasan dengan Palu Barat. Jadi, petani di desa yang menjual kakao bijinya ke Palu
adalah ke pedagang besar. Meskipun demikian, menurut pengakuran eksportir bahwa petani yang bermukim di sekitar perusahaan ada yang menjual langsung
ke eksportir. Sebagai konsekuensi logis dari koalisi pembeli dalam struktur pasar
oligopsoni, proporsi pedagang di erbagai tingkatan yang menjual kakao biji ke pedagang di tingkatan berikutnya ialah sebagai berikut i 50 persen pedagang
pengumpul menjual kakao biji ke pedagang desa, 37,50 persen ke pedagang kecamatan; dan 6,25 persen masing –masing ke pedagang besar dan ke
eksportir langsung; ii 50 persen pedagang desa menjual kakao biji ke pedagang kecamatan, 31,25 persen ke pedagang besar, dan sisanya 18,75
persen menjual langsung ke eksportir; iii 50 persen pedagang kecamatan menjual kakao biji ke pedagang besar, dan 50 persen lainnya menjual langsung
ke eksportir; dan semua 100 pedagang besar di Kota Palu menjual ke eksportir di Kota Palu, sehingga tidak satu pun yang menjual langsung ke
eksportir di Kota Makasar. Adapun, pedagang pengumpul dan pedagang desa yang menjual langsung ke eksportir di Kota Palu adalah pedagang dari desa
terdekat Petimbe. Hal ini memungkinkan karena Bila petani dapat menjual langsung ke eksportir, maka petani dapat
menekan margin tataniaga, dan mendapatkan harga di tingkat eksportir. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya tidak semua petani dapat menjual
langsung produknya ke eksportir. Karena, bila ini dilakukan oleh petani, maka petani selain harus meluangkan waktu, juga harus mengeluarkan biaya, tidak
saja untuk sewa angkutan untuk produknya, tetapi juga untuk biaya konsumsinya di perjalanan. Biaya ini bisa saja akan melebihi biaya tataniaga
yang dikeluarkan oleh pedagang perantara. Oleh karena itu, hanya petani yang
395 bermukim di sekitar perusahaan ekspor kakao yang bisa menjual langsung ke
eksportir. Selain alasan tersebut, petani pada umumnya sudah memiliki kerja sama yang tetap dengan pedagang pengumpul di desa dalam kelembagaan
prinsipel – agen sebagaimana telah dikemukakan sebelummnya. Dalam transaksi kakao biji, pedagang pengumpul dan pedagang desa
tidak memiliki alat tester penguji kadar air. Jadi, kadar air hanya diprakirakan ditaksir saja. Sebaliknya, pedagang kecamatan, pedagang besar, dan eksportir
dilengkapi oleh alat tersebut. Harga pasar berlaku didasarkan atas kadar air minimum 7. Apabila produk yang dijual masih mengandung kadar air
yang lebih besar daripada kadar air minimum, misalnya 9 peresen, maka harga pasar akan dipotong sebesar 2 persen. Selain pengujian kadar air, pedagang
kecamatan juga melakukan penyortiran atas kakao biji dari persentase biji yang kecil-kecil dan kotoran yang tercampur dalam kakao biji, seperti pasir, kerikil,
dan benda-benda asing lainnya. Semuanya akan diprakiran dan dikurangkan dari harga pasar yang berlaku. Hal ini yang menjadikan alasan sebagian petani
tidak mau menjual langsung ke pedagang di kecamatan, besar dan eksportir. Petani merasa lebih aman dengan cara penaksiran yang dilakukan oleh
pedagang pengumpul dan pedagang desa, padahal hasilnya akan sama dengan penaksiran di tingkat pedagang kecamatan, karena pedagang pengumpul dan
pedagang desa sangat profesional dalam menaksir persentase air dan benda- benda asing.
Kembali ke Gambar 47, tampak bahwa petani bisa menjual langsung ke pedagang besar, dan sekitar 8,75 persen, petani yang menjual langsung ke
pedagang besar di Pusat Kota Palu. Petani yang menjual langsung tersebut adalah petani yang tidak terikat kontrak dengan pedagang pengumpul desa
maupun kecamatan dalam kelembagaan prinispel – agen. Selain itu, petani tersebut adalah petani dari desa sampel terdekat, yaitu Desa Petimbe
Kecamatan Palolo. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tentang koalisi
oligopsoni, maka pedagang besar dalam rangka mempertahankan volume
396 perdagangannya melakukan kontrak kerja dengan pedagang kecamatan.
Kontrak kerja ini diistilahkan dengan panjar, di mana pedagang besar memberikan pinjaman uang kepada pedagang kecamatan, sebagai panjar
pembelian kakao biji. Pedagang kecamatan harus menjual kakao biji ke pedagang besar tersebut dalam waktu maksimal satu minggu setelah panjar.
Sama dengan kasus di tingkat pedagang besar, meskipun petani bisa menjual langsung produk kakao biji ke eksportir, tapi tidak satupun eksportir
yang diwawancarai mengaku memberikan panjar kepada petani. Ini menjadi alasan penting bagi petani mengapa petani tidak menjual produk kakao biji
langsung ke eksportir. Kecuali petani yang tidak terikat panjar dalam kelembagaan prinsipel – agen, dan bermukim dekat Palu, seperti petani kakao
di Petimbe, salah satu desa sampel. Pedagang desa menjual kakao biji ke pedagang kecamatan dalam
jumlah minimal 1 ton. Dalam musim panen raya pokok, jumlah tersebut dapat dikumpulkan oleh pedagang desa dalam waktu 3 – 4 hari, dan dalam musim
raya sekunder, dalam waktu 7 – 8 hari. Dalam musim raya pokok, volume pembelian pedagang kecamatan bisa mencapai 1 ton kakao biji per hari.
Selanjutnya, pedagang kecamatan menjual ke pedagang besar hampir setiap dua hari dalam musim raya pokok, dan hampir setiap 4 hari dalam musim raya
sekunder. Akhirnya, pedagang besar menjual ke eksportir hampir setiap hari dalam musim raya, dan hampir setiap 3 hari dalam musim antara, karena dua
kawasan KPB dan KPT pemasok kakao biji Sulteng sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dalam Bab Gambaran Umum Wilayah memiliki musim
yang saling bergantian. Di semua jenjang pedagang, proses pengeringan masih dilakukan dalam
jangka waktu 1 - 2 hari, karena sebagian besar, yaitu sekitar 66,26 persen, petani kakao hanya melakukan proses penjemuran selama 3 hari ke bawah. Di
tingkat eksportir dilakukan penyortiran dengan menggunakan mesin. Mesin tersebut berfungsi untuk memisahkan biji yang baik dari biji yang rusak dan
kotoran. Semua perusahaan pengekspor memiliki mesin tersebut. Dengan
397 mesin ini, eksportir akan mendapatkan kakao biji berkualitas baik dengan 1,10
grambiji dalam musim raya. Selanjutnya, eksportir melakukan pengapalan kakao biji setiap dua minggu dalam musim raya dengan volume ekspor
minimal 300 ton, dan maksimal 600 ton. Dalam musim antara, pengapalan dilakukan juga dalam setiap dua minggu namun dengan volume maksimal 300
ton. Pengapalan dilakukan dengan tujuan Makasar dan Surabaya.
B. Margin Tataniaga
Rantai tataniaga yang panjang memiliki konsekuensi dalam margin tataniaga yang juga menjadi tinggi. Berdasarkan saluran tataniaga yang
diilustrasikan dalam Gambar 49 dan wawancara dengan petani dan para pedagang di berbagai tingkat, termasuk eksportir, maka margin tataniaga kakao
biji di Sulteng telah dihitung dengan persamaan MO.21 - MO3.3. Nilai margin tataniaga yang dihitung berdasarkan kedua persamaan tersebut adalah
hanya satu nilai. Karena, semua saluran tataniaga i memiliki harga awal, yaitu harga di tingkat petani yang sama. Ini merupakan konsekuensi logis dari pasar
oligopsoni. Hasil perhitungan margin tataniaga secara rinci disajikan dalam Tabel
61. Berdasarkan angka - angka yang disajikan dalam tabel tersebut, dapat dihitung bahwa total margin tataniaga komoditi kakao biji dari tingkat petani
hingga ke eksportir adalah hanya sebesar 16,37 persen. Ini mengiindikasikan bahwa tataniaga komoditi kakao biji di Sulteng tergolong efisien, karena petani
masih menerima harga kakao biji sebesar 83,63 persen dari harga di tingkat eksportir. Hal ini mengisyaratkan bahwa pasar komoditi kakao biji di Sulteng
adalah pasar bersaing. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pasar kakao biji di tingkat petani adalah pasar oligopsoni.
Pada saat pengambilan data dalam kurun waktu Desember 2005 – Pebruari 2006, harga kakao biji di tingkat eksportir di Kota Palu berkisar dari
Rp. 10.500 – Rp. 11.300 per kilogram. Dalam perhitungan margin tataniaga