Perilaku Pasar Kakao Biji

391 ada, dan merangkul bukan saja petani, tetapi juga pedagang. Hal ini sejalan dengan rationale yang dikemukakan oleh Hueth dan Marcoul 2006: 876 tentang kehadiran asosiasi bargaining dalam pasar hasil-hasil pertanian yang secara keseluruhan bebas dari peranan yang mereka bisa mainkan dalam mengkonter kekuatan pasar. Di Sulteng, meskipun jumlah eksportir kakao biji sedikit, tetapi semua eksportir bersaing dalam mendapatkan volume transaksi, sehingga bersaing dalam bermitra dengan pedagang besar dan pedagang kecamatan. Konsekuensinya, pasar kakao di Sulteng menjadi tampak seperti pasar bersaing. Ini didukung oleh informasi pasar yang tersedia yang dapat diakses oleh pedagang hingga ke tingkat pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul, meskipun bentuk pasar tergolong oligopsoni, namun di antara pedagang satu dan lainnya bersaing untuk mendapatkan kakao biji. Oleh karena itu, harga di tingkat petani menjadi harga bersaing, dan pasar seakan- akan menjadi pasar bersaing, di mana penjual dan pembeli keduanya tidak dapat menentukan harga. Harga yang berlaku adalah harga pasar ditambah dengan margin tataniaga.

5.5.2 Perilaku Pasar Kakao Biji

Struktur pasar kakao biji yang oligopsoni di tingkat petani, maka sesungguhnya pasar kakao biji di tingkat petani dapat digolongkan ke dalam pasar yang tidak fair. Karena perilaku pedagang adalah mempraktekan aktivitas apa yang diperkenalkan oleh peneliti dalam kesempatan ini dengan istilah double rent – seeking. Istilah ini diintroduksi, karena pedagang telah mempraktekkan aktivitas rent – seeking. Perilaku tersebut tidak seperti aktivitas rent – seeking yang biasa, yaitu melobi dan membayar penguasa untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan, melainkan aktivitas yang lebih parah, karena keuntungan yang diperoleh melalui bonus tidak dibagikan lagi ke pihak lain termasuk penguasa. 392 Aktivitas rent – seeking dalam perdagangan kakao biji asal Sulteng, sebenarnya bisa muncul pada saat pedagang kecamatan melobi pemerintah kabupaten untuk menghapuskan retribusi kakao yang dipungut di setiap pos perbatasan. Hal tersebut tidak dilakukan oleh pedagang, sebaliknya pedagang menghindari pembayaran retribusi secara normal dengan cara menyogok penjaga pos. Selanjutnya, di tingkat pedagang eksportir, aktivitas tersebut bisa muncul dengan alasan melobi penguasa untuk menghapuskan bea pengapalan. Hal tersebut belum dilakukan oleh eksportir Palu. Alasan eksportir untuk tidak melakukan aktivitas tersebut tampaknya muncul dari tidak efisiennya aktivitas tersebut, karena belum tentu pihak pemerintah dan DPRD mendengarkan aspirasi eksportir. Apabila eksportir Palu berkoalisi dalam ASKINDO, maka kemungkinan posisi tawar menjadi kuat, dan bisa melaksanakan aktivitas rent – seeking tersebut. Ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Bredahl, Schmitz dan Hilman 1987: 9 tentang aktivitas rent seeking dalam perdagangan internasional di mana produsen tomat AS dan Meksiko dapat memaksimumkan rent dengan membentuk suatu koalisi atau kartel untuk membatasi produksi. Pedagang berperilaku double rent seeking dalam kelembagaan prinsipel – agen, karena berhadapan dengan petani kakao yang berperilaku risk averter menghindari risiko. Selanjutnya, petani kakao berperilaku risk averter, karena adanya ketidak-pastian hasil panen karena serangan hama PBK dan penyakit BBK dan ketidak pastian harga informasi pasar yang asimetri. Oleh sebab itu, sebagaiman dikemukakan sebelumnya bahwa sebagian besar 65, petani responden terlibat dalam kelembagaan tersebut.

5.5.3 Efektivitas Pasar Kakao Biji A. Saluran Tataniaga Kakao Biji