24 Selanjutnya menurut Barnawi M. Arifin 2013: 71 ada dua cara yang
dapat dilakukan untuk mengukur kuat atau tidaknya suatu budaya, yaitu dengan melakukan uji nilai secara berkala dan melihat kenyataan apakah sekolah telah
benar-benar kompak atau belum. Ukuran uji nilai dapat dilihat dari seberapa jauh komunikasi di tingkat manajemen puncak sekolah ke tingkat yang paling bawah.
Apabila deviasinya kurang dari 20 maka masih dapat di toleransi, apabila deviasi menyimpang antara 20-30 maka perlu diwaspadai, dan apabila
deviasinya lebih dari 30 maka situasi sekolah termasuk dalam golongan krisis budaya. Budaya yang kuat akan mendorong kerja sama yang baik sehingga tujuan
sekolah yang diinginkan mudah tercapai Tidak kalah penting adalah nilai budaya sekolah haruslah benar-benar
tertanam dan didukung oleh suatu sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Biasanya penerapan budaya pada sekolah baru akan lebih mudah dibandingkan
dengan sekolah yang lama. Di sekolah baru, budaya informal para guru, karyawan, dan siswa belum terbentuk sehingga budaya yang ditentukan oleh
manajemen sekolah akan lebih mudah untuk diterapkan. Meskipun dalan suatu sekolah para siswa masuk dan keluar lulus, namun biasanya terdapat pewarisan
budaya yang dilakukan siswa senior kepada juniornya. Artinya, ada pewarisan budaya antar-siswa yang terjadi. Penerapan budaya pada sekolah baru relatif lebih
mudah dikarenakan siswa benar-benar baru atau belum terkontaminasi oleh seniornya. Penerapan budaya sekolah tersebut tentu saja memerlukan dukungan
dari regulasi yang mengandung reward dan punishment. Dukungan tersebut menunjukkan suatu nilai budaya yang memang serius untuk diterapkan.
25
5. Identifikasi Kultur Sekolah
Stolp dan Smith dalam Farida Hanum 2013: 204 membagi tiga lapisan kultur yaitu artifak di permukaan, nilai-nilai dan keyakinan di tengah, dan asumsi
di dasar. a.
Artifak Artifak merupakan lapisan kultur sekolah yang paling mudah diamati
seperti berbagai kegiatan sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-benda simbolik di sekolah, serta aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di sekolah.
Keberadaan kultur ini dengan cepat akan dirasakan ketika orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah.
b. Nilai-Nilai dan Keyakinan
Nilai dan keyakinan menjadi salah satu ciri utama suatu sekolah yang sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti
ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, dan berbagai gambaran nilai dan keyakinan yang lainnya.
c. Asumsi
Asumsi merupakan simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak nampak secara kasat mata tetapi secara terus menerus berdampak pada
perilaku warga sekolah. Lapisan kultur sekolah tersebut dapat dituangkan dalam gambar seperti
dibawah ini:
26 Gambar 1. Lapisan
–Lapisan Kultur Sekolah Stolp dan Smith dalam Farida Hanum 2013: 204
Wirawan 2007: 41 berpendapat bahwa artifak merupakan dimensi isi budaya organisasi yang dapat dirasakan dengan panca indera. Saat kita memasuki
satu lingkungan organisasi, kita dapat melihat dan merasakan dengan jelas artifak budaya organisasinya. Dalam hal ini, artifak merupakan bagian dari budaya
sekolah dimana budaya tersebut dapat dilihat dan dirasakan ketika kita berada di lingkungan sekolah tersebut.
Lapisan kultur yang lebih dalam dapat berupa nilai-nilai dan keyakinan- keyakinan yang berada di sekolah, yang merupakan ciri utama sekolah tersebut.
Sebagian dapat berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, tong kosong nyaring bunyinya, serta
penggambaran nilai dan keyakinan lainnya. Lapisan paling dalam di kultur sekolah adalah asumsi-asumsi yaitu dapat
berupa simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat langsung dikenali namun terus-menerus berdampak terhadap perilaku warga
sekolah.
ARTIFAK NILAI KEYAKINAN
ASUMSI
27 Kepala sekolah sebagai pemegang peran utama dalam pengembangan
kultur sekolah harus bisa menjadi teladan dalam berinteraksi didalam sekolah. Kepala sekolah berusaha keras untuk menciptakan kultur kolaboratif di kalangan
komunitas sekolah termasuk guru, staf, siswa, orang tua, dan komite sekolah, dalam hal itu, ia melakukan koordinasi dengan mereka dalam membuat keputusan
dan mengimplementasikan program-program Raihani, 2010: 135. a.
Kultur Positif, Negatif, dan Netral Kultur sekolah sangatlah berpengaruh pada kegiatan sekolah sehari-
harinya, oleh karena itu setiap warga sekolah perlu memiliki wawasan bahwa unsur dari kultur tersebut bersifat positif, negatif, dan netral. Menurut Jumadi
dalam Evi Rovikoh Indah Saputri 2012: 23 Kultur sekolah yang bersifat positif adalah kultur yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Kultur yang
bersifat negatif adalah kultur yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan, sedangkan kultur yang bersifat netral adalah kultur yang tidak mendukung
maupun menghambat peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya menurut Mardapi dalam Srinatun 2011: 64 kultur positif dan
negatif dapat tercermin dalam beberapa hal. Artifak kultur positif dapat dilihat dengan adanya kerja sama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap
prestasi, dan komitmen dalam belajar. Kultur negatif menurut Mardapi yaitu kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya, kebal
terhadap perubahan yang ada, dapat berupa siswa yang takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa yang jarang melakukan kerja sama untuk memecahkan
28 masalah. Kultur yang netral menurut Mardapi dapat terlihat dari adanya kegiatan
arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa, dan lain-lain. Beberapa artifak terkait kultur positif dan negatif disampaikan oleh Farida
Hanum 2013: 206. Artifak terkait kultur positif terdiri dari: 1 ada ambisi untuk meraih prestasi, pemberian penghargaan pada yang berprestasi; 2 hidup
semangat menegakkan sportifitas, jujur, mengakui keunggulan pihak lain; 3 saling menghargai perbedaan; 4 trust saling percaya.
Artifak terkait kultur negatif antara lain 1 banyak jam kosong, absen dari tugas; 2 terlalu permisif terhadap pelanggaran nilai-nilai moral; 3 adanya friksi
yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya kelompok yang saling menjatuhkan; 4 penekanan pada nilai pelajaran bukan pada kemampuan; 5
artifak yang netral muatan kultural; 6 kegiatan arisan sekolah, jumlah fasilitas sekolah, dan sebagainya.
b. Artifak, Nilai, keyakinan, dan Asumsi
Kultur sekolah merupakan suatu aset yang besifat abstrak dan unik dimana satu sekolah dan sekolah lainnya tidak akan sama. Menurut Depdiknas Direktorat
Pendidikan Menengah Umum 2003:12 dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan kultur sekolah, yang perlu dipahami bahwa kultur hanya dapat
dikenali melalui pencerminannya pada berbagai hal yang dapat diamati disebut dengan artifak. Artifak ini dapat berupa:
1 Perilaku verbal: ungkapan lisan atau tulis dalam bentuk kalimat dan kata-
kata 2
Perilaku non verbal: ungkapan dalam tindakan