PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 SLEMAN.

(1)

i

PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Yasmi Puji Lestari NIM 11110244042

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (Nelson Mandela)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan nikmat dan anugerah-Nya, karya ini saya persembahkan untuk :

1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Mardi Prayitno dan Ibu Tukiyem yang selalu mencurahkan kasih sayang, cinta, dukungan, do’a serta pengorbanannya baik moral, spiritual maupun material sehingga penulis berhasil menyusun karya tulis ini.


(7)

vii

PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 SLEMAN

Oleh

Yasmi Puji Lestari NIM 11110244042

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kultur sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman. Penelitian ini difokuskan untuk menggali dan menggambarkan tentang kultur fisik dan non fisik, serta nilai-nilai dan keyakinan yang di budayakan sehingga menjadi kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek dalam penelitian ini meliputi pelaksana teknis kepala sekolah, 3 guru, 1 karyawan, dan 3 siswa dengan objek pengembangan kultur sekolah. Setting penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Sleman. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Hubberman, yakni dengan tahap pengumpulan data, reduksi data, display data, dan verifikasi data. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program sekolah dalam mengembangkan kultur di SMP Negeri 1 Sleman sebagai berikut. (1) Penanaman budaya bersih dengan dibentuknya regu piket, Jumat bersih serta tumitlangkung. (2) Penanaman budaya berprestasi dengan adanya sarapan pagi, classmeeting dan pemberian reward. (3) Penanaman budaya religius dengan sholat berjamaah, tadarus setiap hari Jumat dan pendalaman iman untuk siswa non muslim, serta pengajian rutin sekolah. (4) Penanaman budaya disiplin dengan pembuatan tata tertib sekolah dan pemberian sanksi tegas bagi yang melanggar. (5) Penanaman budaya kerjasama siswa dengan pembentukan kelompok pengerjaan tugas, dan outbound. (6) Penanaman budaya sopan santun dengan penerapan senyum, salam, sapa, sopan, santun dan salaman pagi di pintu masuk sekolah. (7) Penanaman budaya tanggung jawab pembentukan kelompok kerja siswa dan pembagian wilayah sekolah yang sedang dalam upaya realisasi. (8) Menanamkan minat membaca dengan wajib baca selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Kata kunci: Kultur Sekolah, Pengembangan Kultur Sekolah, Penanaman Budaya


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis masih diberikan kesempatan, kekuatan, kesabaran, serta kemampuan untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Pengembangan Kultur Sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sleman” dengan baik dan lancar. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

Proses penulisan skirpsi ini tentunya tidak akan terwujud dengan baik dan lancar tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendidikan, yang telah memberi kelancaran dalam pembuatan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran, serta perhatiannya untuk membimbing, menuntun, dan memberi masukan-masukan yang baik selama proses penulisan skripsi ini.

4. Drs. Murtamadji, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik dari awal sampai akhir proses studi.

5. Dosen Penguji yang telah bersedia menguji dan meluangkan waktu untuk memberikan arahan,dan bimbingan pada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang mau berbagi dan mengajarkan ilmu pengetahuannya.

7. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Sleman beserta segenap guru dan karyawan SMP Negeri 1 Sleman yang telah memberikan kesempatan, kemudahan, dan juga kelancaran selama proses penelitian berlangsung.


(9)

ix

8. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Mardi Prayitno dan Ibu Tukiyem serta kedua kakak dan adik saya yang telah memberikan semangat, do’a dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

9. Sahabatku tersayang (Tri Angga Dewi, Annisa Fauziah Septiani, Setiawan Dwi Cahya Nugraha, Trika, Laskar, Osa, Erda, Rahma, Hapsari, Dyah, Endah, Ryna, Novi, Rinto) yang telah memberikan semangat, do’a, dukungan, dan kasih sayang.

10. Teman-teman Kebijakan Pendidikan angkatan 2011 yang telah menjadi teman berjuang selama kuliah.

11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga dapat memperlancar proses penyusunan skripsi.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan informasi terkait kultur sekolah. Penulis juga berharap semoga skripsi ini juga memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Segala bentuk kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Yogyakarta, 14 Maret 2017 Penulis,

Yasmi Puji Lestari NIM 11110244042


(10)

x DAFTAR ISI

hal HALAMAN JUDUL ...………... HALAMAN PERSETUJUAN ...…..………... HALAMAN PERNYATAAN …...………... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR BAGAN ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... B.Identifikasi Masalah ... C.Batasan Masalah ... D.Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... BAB II KAJIAN TEORI

A.Deskripsi Teori ... 1. Pengertian Kultur ... 2. Pengertian Sekolah ... 3. Pengertian Kultur Sekolah ... 4. Karakteristik Kultur Sekolah ... 5. Identifikasi Kultur Sekolah ...

i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv xvi 1 5 5 6 6 6 8 8 10 14 21 25


(11)

xi

6. Fungsi dan Peran Kultur Sekolah ... 7. Pengembangan Kultur Sekolah ... B.Penilitian Yang Relevan ... C.Kerangka Pikir ... D.Pertanyaan Penelitian ... BAB III METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Penelitian ... B.Setting Penelitian ... C.Subjek dan Objek Penelitian ... D.Teknik Pengumpulan Data ... E. Instrumen Penelitian ... F. Keabsahan Data ... G.Teknik Analisis Data ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 1. Setting Penelitian ... a. Sejarah Sekolah ... b. Visi dan Misi Sekolah ... c. Tujuan Sekolah ... d. Pedoman Sekolah ... e. Keadaan Sumber Daya yang Dimiliki ... f. Struktur Organisasi ... 2. Gambaran Kultur Sekolah di SMP Negeri 1 Sleman ... a. Kultur Fisik SMP Negeri 1 Sleman ... b. Kultur Non Fisik SMP Negeri 1 Sleman ... 1) Budaya Bersih ... 2) Budaya Berprestasi ... 3) Budaya Religius ... 4) Budaya Disiplin ... 5) Budaya Kerjasama ... 6) Budaya Sopan Santun ...

30 32 34 37 49 40 40 41 41 43 45 45 47 47 47 49 50 51 56 61 62 62 70 71 76 81 84 88 91


(12)

xii

7) Budaya Tanggung Jawab ... 8) Minat Membaca ... 9) Ekstrakurikuler ... B.Pembahasan ... 1. Gambaran Kultur Sekolah di SMP Negeri 1 Sleman ... 2. Implementasi Program Sekolah dalam Pengembangan Kultur Sekolah . 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Program

Pengembangan ... C.Keterbatasan Penelitian ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... B.Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

94 98 100 101 101 119

112 114

115 117

119 122


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Fokus Pedoman Observasi ...……… Tabel 2. Fokus Pedoman Wawancara ...…..……….. Tabel 3. Fokus Pedoman Studi Dokumen …...……… Tabel 4. Identitas Sekolah ...

43 44 44 49


(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

hal Bagan 1. Kerangka Pikir ... 38


(15)

xv DAFTAR GAMBAR hal Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28.

Lapisan Kultur Sekolah ... Analisis Data Interactive Model Miles dan Huberman ... Struktur Organisasi ... Slogan Kebersihan yang Dipajang di Lobi ... Tempat Sampah Dibedakan Menjadi 3 Jenis ... Piala Hasil Kejuaraan Siswa ... Slogan Untuk Melaksanakan Sholat ... Buku Saku Siswa ... Skor Pelanggaran dalam Buku Saku ... Siswa Sedang Melakukan Diskusi Kelompok ... Siswa Hendak Bersalaman dengan Guru ... Pengerjaan Tugas Kelompok ... Grafik Peningkatan ... Halaman Sekolah ... Taman Sekolah ... Jalan Masuk Sekolah ... Lobi Sekolah ... Ruang TU ... Ruang Guru ... Perpustakaan ... Laboratorium Biologi ... Ruang Kelas ... Aula ... Kantin Sekolah ... Parkir Motor Guru ... Kondisi Toilet ... Kondisi Prasarana Pendukung Lain ... Interaksi Warga Sekolah ...

26 46 61 72 73 78 82 85 87 89 91 95 99 128 128 129 129 129 130 130 130 131 131 131 131 132 132 133


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Catatan Lapangan ………... 123

Lampiran 2. Dokumentasi ...…....………... 128

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ……...………... 134

Lampiran 4. Transkrip Wawancara………...…... 142


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang, melalui pendidikan potensi seseorang dapat berkembang dan menjadi manusia yang berkualitas. Pendidikan menjadi salah satu alternatif pemerintah untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang terjadi di kehidupan sosial. Seperti yang disampaikan Peter W. Cookson dan Barbara Schneider (dalam Arif Rohman, 2010: 2) “Education as the primary mechanism for redressing the problem of social life”. Penanaman moral dan berbagai pengetahuan disampaikan demi mempersiapkan masyarakat yang unggul sehingga dapat menghadapi perubahan zaman yang begitu pesat.

Masalah akan bermunculan seiring dengan berjalannya waktu dan tentu saja semakin lama masalah yang ada menjadi semakin kompleks sehingga dibutuhkan sumber daya yang unggul untuk dapat memecahkan berbagai masalah yang ada. Selain permasalahan sosial yang terjadi, terdapat banyak permasalahan pendidikan yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain rendahnya mutu pendidikan, kurangnya pemerataan pendidikan, minimnya sarana prasarana pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta kinerja guru yang harus senantiasa diperbaharui.

Upaya yang dilakukan demi perbaikan mutu pendidikan tentu saja dapat memunculkan masalah baru. Dalam pendidikan, salah satu masalah yang sampai saat ini belum dapat teratasi adalah masih adanya sekolah yang belum bermutu


(18)

2

baik. Sekolah sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan tentu saja harus memiliki mutu yang baik sehingga dapat membentuk masyarakat yang baik pula. Perbaikan mutu sekolah selama ini telah dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan pengembangan kultur sekolah.

Kultur sekolah atau yang sering juga dipahami sebagai budaya sekolah merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh sekelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai, yang tercermin dalam bentuk fisik maupun abstrak. Oleh sebab itu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut (Ariefa Efianingrum, 2009: 21).

Perbaikan mutu sekolah melalui kultur sekolah disampaikan oleh Rudi Prihantoro (2010: 149) Penerapan strategi struktural telah sering digunakan namun hasilnya belum mencapai seperti apa yang diharapkan. Berbagai program seperti penataan manajemen sekolah, pelatihan kepala sekolah, pelatihan para guru, penambahan fasilitas belajar telah dilakukan namun hasilnya tidak banyak membawa perubahan. Berdasarkan pengalaman yang cukup panjang itulah cara tersebut dipahami kurang efektif karena tidak terjadi peningkatan kualitas yang berkelanjutan. Berbagai pengalaman dan hasil penelitian di dunia bisnis dan pendidikan memberikan tanda bahwa kultur unit-unit pelaksanaan kegiatan menjadi faktor penentu dalam meningkatkan kualitas.

Sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami serta dilibatkan agar perubahan yang terjadi dapat berlangsung terus menerus. Kultur sekolah akan


(19)

3

menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal yang terjadi. Siswa masuk ke sekolah dengan bekal kultur yang mereka miliki, sebagian bersifat positif yaitu mendukung peningkatan kualitas pembelajaran. Namun, ada pula yang negatif, yaitu yang menghambat usaha peningkatan kualitas pembelajaran. Sekolah harus terus berusaha memperkuat kultur yang positif dan menghilangkan kultur negatif.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Selviyanti Kaawoan (2014: 44) peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perubahan perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana yang kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian juga sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala.

Kultur suatu sekolah akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kualitas dan mutu sekolah. Kultur sekolah yang baik secara tidak langsung akan berpengaruh kepada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang berimbas kepada kualitas dan mutu sekolah, begitu juga sebaliknya kultur sekolah yang buruk akan membawa dampak buruk pula terhadap kualitas dan mutu sekolah. Namun begitu belum semua sekolah paham dan menyadari fungsi dan peran kultur sekolah tersebut.

Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan rentang usia 13-15 tahun merupakan keadaan dimana siswa mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa, dimana pada masa ini siswa dengan rentang usia tersebut mengalami perubahan baik secara fisik maupun emosional. Dengan


(20)

4

perubahan emosional yang terjadi pada siswa SMP ini biasanya siswa mulai terlibat dalam lingkungan sosial yang lebih luas dan mulai melakukan pelanggaran aturan. Seperti yang disampaikan oleh Annastasia Ediati (2015: 197) secara umum, remaja SMP memiliki lebih banyak problem emosi daripada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama dalam hal bergaul, berpikir, keluhan somatik, dan melanggar aturan. Disamping itu, remaja SMP lebih sering mengalami externalizing problem dari pada remaja SMA.

Dari hasil observasi awal, SMP Negeri 1 Sleman merupakan salah satu sekolah yang berada di kecamatan Sleman. Sekolah ini memiliki suasana pendukung berjalannya proses belajar mengajar yang cukup mumpuni karena dekat dengan akses jalan besar. Dari segi fasilitas pun SMP Negeri 1 Sleman ini sudah cukup lengkap, salah satunya dapat terlihat dengan luasnya lahan yang dimiliki oleh sekolah dan fasilitas pendukung lain yang ada di dalamnya sehingga kultur sekolah dapat dikembangkan secara maksimal di sekolah ini.

Kultur sekolah yang ada di sekolah tersebut telah memilki peranan yang penting dalam membangun prestasi dan citra sekolah. SMP Negeri 1 Sleman merupakan salah satu sekolah yang menjadi pilihan favorit masyarakat. Berbagai prestasi telah diraih oleh SMP Negeri 1 Sleman, salah satunya menjadi sekolah yang memiliki nilai ujian nasional tertinggi di kecamatan Sleman pada tahun 2015 serta lomba-lomba lain seperti lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan lomba Pleton Inti atau Tonti. SMP Negeri 1 Sleman merupakan sekolah menengah pertama yang memiliki gelar sekolah bertaraf internasional pada saat kebijakan tersebut belum ditiadakan. Selain itu siswa lulusan SMP Negeri 1 Sleman mampu


(21)

5

melanjutkan ke sekolah-sekolah favorit baik di kota Jogja maupun di kabupaten Sleman dan sekolah senantiasa berupaya semaksimal mungkin agar siswa tidak terlibat kedalam gengster ataupun kegiatan lain seperti tawuran dan klitih. Dengan citra baik yang telah dimiliki SMP Negeri 1 Sleman di masyarakat sekitar menjadi salah satu alasan peneliti untuk melakukan penelitian di SMP Negeri 1 Sleman.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas terdapat beberapa masalah yang teridentifikasi sebagai berikut:

1. Masih terdapat sekolah yang belum paham bahwa kultur sekolah akan mempengaruhi kinerja sekolah.

2. Masih terdapat sekolah yang memiliki kultur negatif yang berpengaruh pada kinerja dan kualitas sekolah.

3. Siswa SMP dalam masa peralihan remaja rentan melakukan pelanggaran dan terlibat gengster.

4. Sudah cukup banyak sekolah yang memiliki kultur sekolah yang baik, tetapi belum terinformasikan kepada masyarakat luas.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka peneliti perlu membatasi masalah agar mendapatkan temuan yang terfokus dan dapat mendalami permasalahan yang ada. Dengan mempertimbangkan segala kompleksitas dan


(22)

6

luasnya permasalahan dalam penelitian ini, maka perlu dibatasi cakupan masalah agar dalam pembahasan nanti menjadi lebih terfokus, mendalam, dan mencapai sasaran yang dikehendaki. Dengan demikian, penelitian dibatasi pada kultur sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?

2. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan sekolah yang mendukung terciptanya kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kultur sekolah yang ada di SMP Negeri 1 Sleman.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan program pegembangan sekolah yang mendukung terciptanya kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi data dan kepustakaan mengenai pengembangan kultur sekolah, terutama yang berkaitan dengan mata kuliah kultur sekolah.


(23)

7

a. Bagi Dinas Pendidikan, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengembangan kultur sekolah yang positif untuk meningkatan kualitas pendidikan dan kinerja sekolah.

b. Bagi Sekolah, penelitian ini dapat memberikan masukan informasi tentang kultur sekolah yang teridentifikasi oleh peneliti sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi sekolah dalam upaya peningkatan kultur sekolah yang positif sehingga turut berperan dalam peningkatan mutu dan kinerja sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.


(24)

8 BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Kultur

Pengertian budaya menurut Antropologi (Koentjaraningrat, 2003: 72) merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. Selanjutnya menurut bahasa Sansekerta budaya atau yang disebut Buddhayah, merupakan bentuk jamak dari Budhi (akal).

Menurut Zamroni (2000: 148) kultur merupakan suatu pandangan hidup yang diakui bersama oleh sekelompok masyarakat, yang meliputi cara berpikir, perilaku, sikap, ataupun nilai yang tercermin baik secara fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat terlihat sebagai perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan serta cara memandang sebuah permasalahan dan solusinya. Oleh karena itu, secara alami kultur akan diwariskan oleh satu generasi ke generasi berikutnya. Sekolah menjadi salah satu lembaga utama yang dipersiapkan untuk memperlancar proses penyebaran kultural antar generasi tersebut.

Selanjutnya berbagai pengertian mengenai kultur muncul diantaranya menurut Diana Febriana (2008: 13) sebagai berikut.

“Kultur sebagai pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, pola teladan pengetahuan, perilaku, keyakinan, ideologi, norma, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, mitos, sikap, kebiasaan, nilai yang tercermin baik wujud fisik maupun abstrak, dan cara hidup untuk melakukan


(25)

9

penyesuaian dengan lingkungan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.”

Menurut Stolp dalam Srinatun (2011: 63) definisi budaya sekolah belumlah diperoleh sebuah kesatuan pandangan. Terminologi budaya sekolah masih di samakan dengan “iklim atau ethos”. Konsep budaya sekolah masuk ke dalam dunia pendidikan pada dasarnya sebagai salah satu upaya untuk memberikan arah tentang efisiensi dalam lingkungan pembelajaran, lingkungan dalam hal ini dibedakan menjadi dua hal yaitu lingkungan yang sifatnya alami sesuai dengan budaya siswa dan guru, serta lingkungan buatan yang dibentuk oleh guru atau hasil interaksi antara guru dengan siswa.

Ary H Gunawan (2000: 17-18) membagi kultur menjadi 2 bagian, yaitu Kultur/ Kebudayaan Material (Kebendaan) dan Kultur/ Kebudayaan Nonmaterial (Rohaniah)

a. Kultur/ Kebudayaan Material (Kebendaan)

Kebudayaan material (material culture) merupakan wujud kebudayaan yang berupa benda-benda konkret hasil karya manusia seperti rumah, mobil, candi, jam, benda hasil teknologi, dan lain sebagainya. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa budaya material merupakan hasil ciptaan manusia yang berupa benda-benda yang dapat secara langsung kita gunakan.

b. Kultur/ Kebudayaan Nonmaterial (Rohaniah)

Kebudayaan non material merupakan kebudayaan yang tidak berupa benda-benda konkrit, yang merupakan hasil cipta dan rasa manusia, misalnya:


(26)

10

1) Hasil cipta manusia, seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, baik yang berupa teori murni maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat (pure science dan applied science).

2) Hasil rasa manusia, dapat berupa nilai-nilai dan bermacam-macam norma kemasyarakatan yang perlu diciptakan untuk mengatur permasalahan sosial dalam arti luas, yang mencakup agama (religi, bukan wahyu), ideologi, kebatinan, kesenian, serta semua unsur yang merupakan hasil dari ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.

Kultur atau budaya non material merupakan hasil cipta manusia yang hanya dapat kita rasakan manfaatnya namun tidak berwujud dalam sebuah benda. Sehingga, jika disimpulkan dari pengertian kedua jenis kebudayaan diatas, dapat diketahui bahwa budaya merupakan berbagai macam hasil cipta manusia yang dapat berupa benda maupun tidak.

Berdasarkan beberapa pengertian kultur di atas maka dapat disimpulkan bahwa kultur merupakan sekumpulan keyakinan yang diperoleh masyarakat dari kehidupan bermasyarakat yang didalamnya berisi aspek-aspek penting untuk kehidupan bermasyarakat seperti norma, moral, adat-istiadat, sikap, dan kepercayaan yang tercermin baik berupa abstrak ataupun fisik yang kemudian diwariskan secara turun-temurun.

2. Pengertian Sekolah

Sekolah menurut Ariefa Efianingrum (2009: 21) adalah suatu sistem yang memiliki tiga aspek utama yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, antara lain: proses belajar mengajar, kepemimpinan, dan manajemen sekolah, namun


(27)

11

tidak pernah sama sekali menyentuh aspek kultur sekolah. Tugas sekolah selama ini adalah mendidik anak dengan menyampaikan pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku dengan metode dan teknik kontrol yang berlaku di sekolah tersebut. Dalam pelaksanaan kurikulum maupun ekstra kurikulum berkembanglah sejumlah pola khas yang menjadikan pembeda dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat. Norma dalam hal ini adalah bentuk perilaku yang diharapkan dari anggota, di dalam sekolah adalah bentuk perilaku dari siswa terhadap guru mereka. Walaupun unsur-unsur kebudayaan dimiliki oleh setiap sekolah, namun setiap sekolah tidak akan memiliki kebudayaan yang sama persis dengan sekolah lainnya.

Selanjutnya menurut Wahjosumidjo (2011: 136) terdapat beberapa definisi sekolah, antara lain:

a. Sekolah sebagai birokrasi, dimana birokrasi merupakan salah satu bentuk dari organisasi. Sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat kelompok-kelompok manusia yang masing-masing baik secara individual maupun kelompok melakukan hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Kelompok-kelompok yang dimaksud tersebut antara lain adalah sumber daya manusia yang terdiri dari: Kepala sekolah, guru-guru, tenaga administrasi/ staf, kelompok peserta didik atau siswa, dan orang tua. Tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan pendidikan seperti yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR/GBHN, Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan di dalam beberapa Peraturan Pemerintah, serta terdapat pula dalam Surat Keputusan Menteri.


(28)

12

b. Sekolah sebagai sistem sosial, adalah organisasi yang dinamis dan yang mampu berkomunikasi secara aktif. Sebagai sistem sosial, di dalam sekolah melibatkan dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa hal yang menarik tentang sekolah sebagai sistem sosial adalah dimensi-dimensi yang terdapat di dalam sekolah tersebut, semangat, dan konflik yang terjadi di dalam organisasi itu sendiri.

c. Sekolah sebagai sistem terbuka, karena di dalam sekolah berkumpul manusia yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan begitu sekolah terbuka untuk memperoleh input dan selanjutnya di transformasikan sebagai produksi. d. Informalitas dalam kehidupan sekolah, selain menjadi organisasi formal/ birokrasi, sebagai sistem sosial dan sistem terbuka, sekolah juga memiliki kehidupan informalitas di dalamnya. Guru-guru, tenaga administrasi, para siswa, di dalam pergaulan mereka satu dengan yang lainnya membangun suatu hubungan-hubungan pribadi. Mereka saling berusaha untuk menerima norma tingkah laku tertentu serta pola-pola berpikir yang biasa dilakukan. Mereka berkumpul dalam sebuah kelompok informal tetapi tetap dalam kerangka formal sekolah.

e. Sekolah sebagai agen perubahan, dapat didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan dalam pola perilaku seseorang atau sistem sosial. Dengan begitu sekolah sebagai agen perubahan harus senantiasa siap untuk berperan aktif dalam melaksanakan fungsinya dalam situasi kerja, karena perubahan itu sendiri diperlukan sebagai alat


(29)

13

dalam rangka pemecahan permasalahan yang memiliki tujuan untuk kondisi dan keadaan yang lebih baik lagi.

f. Sekolah sebagai wawasan Wiyatamandala. Secara konseptual, wawasan wiyatamandala merupakan suatu paham, pandangan, atau tinjauan, yang menempatkan sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan, dalam pengertian tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, masyarakat belajar, tempat proses pembudayaan manusia yang bebas dari pengaruh yang sifatnya buruk, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

Wawasan wiyatamandala itu sendiri mengandung lima unsur pokok yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga wawasan wiyatamandala merupakan satu totalitas, satu kesatuan yang utuh, atau bisa disebut satu sistem. Oleh karena itu pelaksanaan wawasan wiyatamandala pada hakikatnya merupakan kegiatan bagaimana kelima unsur yang ada mendukung fungsi dan tujuan pendidikan. Kelima unsur pokok tersebut antara lain adalah:

a. sekolah sebagai lingkungan pendidikan, b. peranan kepala sekolah,

c. hubungan antara guru dengan orangtua siswa,

d. sikap warga sekolah terhadap martabat dan citra guru, serta e. hubungan antara sekolah dengan masyarakat.

Roemintoyo (2013: 132) menyampaikan bahwa sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat terhadap mutu sekolah, diantaranya: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Dalam menjalankan tugas serta fungsinya, kepala


(30)

14

sekolah harus memahami kultur atau budaya sekolah yang terdapat di sekolah yang dipimpinnya. Kultur sekolah ini sangat erat kaitannya dengan misi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah yang dipimpin olehnya. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam upayanya membangun sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah harus memiliki budaya kerja atau disiplin kerja yang baik pula.

Berdasarkan berbagai pengertian sekolah yang telah disampaikan, dapat dipahami bahwa sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk kepribadian generasi penerus bangsa. Di sekolah berlangsung proses penanaman nilai-nilai dan moral yang dibutuhkan siswa untuk bekal masa depan dalam menghadapi tantangan zaman. Berbagai kegiatan yang dilakukan di sekolah pada dasarnya memiliki tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bangsa dari generasi ke generasi. Oleh karena itulah keberadaan sekolah menjadi sangat penting mengingat segala kegiatan yang dilaksanakan di sekolah memiliki tujuan yang luhur untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah diciptakan.

3. Pengertian Kultur Sekolah

Definisi kultur sekolah telah banyak diungkapkan oleh para ahli, sehingga terdapat sejumlah pengertian tentang kultur sekolah, antara lain yang dikemukakan oleh Deal dan Kennedy dalam Yunia Nur Aini (2013: 12) bahwa kultur sekolah merupakan keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai suatu warga masyarakat. Apabila definisi tersebut diterapkan di sekolah, maka sekolah akan memiliki sejumlah


(31)

15

kultur dengan satu kultur dominan dan sejumlah kultur yang lain sebagai pendukung.

Dalam Kemdiknas (2011: 68) kultur atau budaya sekolah merupakan suasana kehidupan sekolah dimana warga masyarakat sekolah saling berinteraksi. Interaksi yang berlangsung tersebut meliputi antara peserta didik berinteraksi dengan sesama peserta didik, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, konselor dengan siswa dan sesamanya. Interaksi yang terjadi terikat dengan berbagai aturan, norma, moral, serta etika bersama yang berlaku di sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, tanggung jawab, serta rasa memiliki merupakan sebagian dari nilai-nilai yang dikembangkan didalam budaya sekolah.

Kultur atau budaya sekolah merupakan sistem di belakang layar yang menunjukkan kebiasaan, norma, keyakinan, serta nilai yang sudah dibangun dalam waktu yang cukup lama oleh semua warga sekolah. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa budaya sekolah adalah kehidupan di sekolah berlangsung yang terikat dengan adanya nilai dan norma yang ada di sekolah tersebut sehingga menjadi pembeda dengan sekolah lain.

Selanjutnya kultur sekolah menurut Diana Febriana (2008: 16) yaitu “Suatu sistem jaringan artifak, pola asumsi dasar, nilai-nilai, norma-norma, ritual, mitos, kepercayaan, keyakinan, persepsi, kebiasaan dan tingkah laku yang dipegang teguh dan dianut serta dikembangkan secara terus menerus dalam suatu lingkungan sekolah untuk meningkatkan kerjasama dan menghadapi berbagai permasalahan serta tantangan yang muncul. Kultur sekolah diharapkan akan memperbaiki kinerja sekolah, jika kualifikasi kultur tersebut sehat, solid, kuat, positif, profesional yang berarti kultur


(32)

16

sekolah menjadi komitmen luas sekolah, menjadi jati diri sekolah, menjadi kepribadian sekolah dan didukung oleh stakeholder-nya.”

Menurut Harun dan Mansur (2008: 31) kultur sekolah didefinisikan sebagai pola transmisi historis tentang arti dan norma, nilai, kepercayaan, seremonial, ritual, tradisi, pemahaman, mitos yang dirasakan oleh anggota komunitas sekolah. Sedangkan arti nilai dimaknakan sebagai apa yang orang pikirkan dan bagaimana mereka bertindak.

Menurut Hedley Beare dalam Srinatun (2011: 64) unsur-unsur budaya sekolah terdiri dari dua kategori, yaitu unsur kasat mata dan unsur yang tidak kasat mata. Unsur kasat mata memiliki makna jika mencerminkan apa yang tidak kasat mata. Unsur yang tidak kasat mata itu adalah filsafat atau pandangan dasar sekolah mengenai kenyataan yang luas, makna kehidupan atau sesuatu yang di anggap penting dan harus diperjuangkan oleh sekolah dan harus dinyatakan secara konseptual dalam suatu rumusan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang lebih konkrit yang akan dicapai oleh sekolah. Selanjutnya unsur kasat mata dapat di aktualisasikan secara konseptual yang meliputi:

a. visi, misi, tujuan, dan sasaran, b. kurikulum,

c. bahasa komunikasi, d. narasi sekolah, e. narasi tokoh-tokoh, f. struktur organisasi, g. ritual,


(33)

17 h. upacara,

i. prosedur belajar mengajar,

j. peraturan sistem ganjaran/ hukuman, k. layanan psikologi sosial, dan

l. pola interaksi sekolah dengan orang tua, masyarakat dan yang materiil dapat berupa fasilitas serta peralatan, artifak, tanda kenangan, dan pakaian seragam.

Selanjutnya menurut Vembriarto dalam Ariefa Efianingrum (2009: 17) kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur peting, diantaranya adalah:

a. Letak, lingkungan, serta prasarana fisik sekolah,

b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan,

c. Pribadi-pribadi atau warga sekolah yang terdiri dari siswa, guru non teaching spesialist, dan tenaga administrasi,

d. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, serta iklim kehidupan sekolah.

Setiap sekolah memiliki kebudayaannya sendiri yang bersifat unik. Setiap sekolah memiliki aturan tata tertib, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, mars/ hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang lain yang memberikan ciri khas terhadap sekolah yang bersangkutan.

Menurut Mardapi dalam Farida Hanum (2008: 7) analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai satu bagian dari kesatuan sekolah yang utuh. Artinya sesuatu yang ada di dalam kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitannya dengan aspek lain seperti:


(34)

18 a. Rangsangan yang tinggi terhadap prestasi, b. Penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c. Komunitas sekolah yang tertib,

d. Pemahaman tujuan sekolah, e. Ideologi organisasi yang kuat, f. Partisipasi orang tua siswa, g. Kepemimpinan kepala sekolah, h. Hubungan akrab antar guru.

Nusyam dalam Darmiyati Zuchdi (2011: 139) berpendapat setidaknya terdapat 3 budaya yang seharusnya dikembangkan di sekolah, antara lain adalah budaya akademik, budaya nasional lokal, dan budaya demokratis. Ketiga kultur tersebut harus dijadikan prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah. Ketiga budaya tersebut antara lain:

a. Kultur atau Budaya Akademik

Kultur akademik bercirikan pada setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini yang didukung dengan dasar akademik yang kuat. Hal ini mengacu pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang telah teruji.

Budaya akademik dipahami sebagai suatu totalitas yang berasal dari kehidupan dan kegiatan yang berhubungan dengan akademik yang dihayati, dimaknai, serta di amalkan oleh masyarakat akademik, di lembaga pendidikan maupun lembaga penelitian. Dengan begitu, kepala sekolah, guru,dan siswa berpegang pada dasar teoritik dalam berpikir, bersikap, serta bertindak dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-sehari, kultur


(35)

19

akademik tercermin dalam keilmuan serta keahlian dalam berpikir dan berargumentasi. Warga sekolah yang menerapkan kultur akademik di dalam dirinya akan memiliki sifat kritis, objektif, analitis, kreatif, terbuka untuk menerima kritik dan saran, menghargai waktu dan prestasi ilmiah, memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, dinamis, serta berorientasi kepada masa depan. b. Kultur atau Budaya Nasional Lokal

Budaya nasional dapat dilihat dari upaya pengembangan sekolah dalam memelihara, membangun, serta mengembangkan budaya bangsa yang positif sebagai kerangka pembangunan manusia yang seutuhnya sehingga sekolah akan membentengi pertahanan diri yang terkikir karena masuknya budaya asing yang tidak relevan seperti budaya konsumerisme, materialisme, hedonisme, serta individualisme. Sekolah yang konsisten akan membentengi warga sekolahnya dengan nilai-nilai nasionalisme yang tinggi, nilai kerja sama, serta rela berkorban.

Disisi lain, sekolah mengembangkan pula budaya lokal melalui pengembangan seni tradisi yang berakar pada budaya lokal yang telah di kreasikan secara modern dengan tetap mempertahankan keaslian serta nilai yang terkandung di dalamnya.

c. Kultur atau Budaya Demokratis

Budaya demokratis memiliki corak kehidupan yang menyediakan perbedaan untuk dapat secara bersamaan membangun kemajuan, sehingga warga sekolah mampu untuk bertindak objektif, transparan, dan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya. Kultur demokratis ini tercermin dari jauhnya diskriminatif dan otoritarianisme.


(36)

20

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur atau budaya sekolah merupakan suatu nilai, keyakinan, asumsi, norma, ataupun tradisi yang dimiliki dan dipahami oleh setiap warga sekolah yang tercermin dalam perilaku sehari-hari sehingga menjadi ciri khas sekolah tersebut dimana budaya yang positif akan memberikan dampak yang positif pula pada sekolah dan begitu juga sebaliknya, jika sekolah memiliki budaya sekolah yang negatif maka akan berpengaruh negatif pada sekolah.

Selain itu kultur sekolah tidak dapat secara singkat terjadi pada suatu sekolah melainkan membutuhkan proses yang cukup lama untuk pembiasaan kepada seluruh warga sekolah. Proses tersebut dibutuhkan agar nilai-nilai yang akan dijadikan kultur dalam sekolah dapat tertanam dalam diri masing-masing warga sekolah sehingga kesadaran untuk melakukan keyakinan yang ada berasal dari diri sendiri, bukan hanya berasal dari tata tertib yang dibentuk oleh sekolah. Oleh karena itu, peran serta seluruh warga sekolah sangatlah penting guna terciptanya kultur sekolah yang ingin dibentuk bersama.

Kemajuan suatu sekolah sangatlah ditentukan oleh budaya sekolah yang tertanam dalam setiap diri warga sekolah. Hal ini sangatlah beralasan karena budaya sekolah mengandung kekuatan yang mampu menggerakkan kehidupan sekolah. Budaya sekolah dalam hal ini berperan dalam mengarahkan pikiran, ucapan, dan tindakan seluruh warga sekolah. Budaya sekolah yang terkonsep dengan baik sesuai dengan tujuan sekolah memiliki strategi, daya ungkit untuk berprestasi, sekaligus mengantarkan warga sekolah kepada gerbang kesuksesan. Namun sebaliknya, apabila budaya sekolah tidak dikelola dengan baik, dibiarkan


(37)

21

begitu saja, justru akan membahayakan keberlangsungan sekolah. Budaya juga dapat digunakan sebagai strategi sekolah untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, serta memenangkan mutu para siswa. (Barnawi & M. Arifin, 2013: 67) 4. Karakteristik Kultur Sekolah

Kultur sekolah terbagi menjadi dua, yaitu kultur sekolah positif dan kultur sekolah yang negatif. Kultur sekolah yang positif adalah yang membantu perbaikan mutu sekolah dan mutu kehidupan, seperti memiliki ciri sehat, dinamis atau aktif, positif dan profesional. Kultur yang bersifat positif harus diperkuat. Kultur sekolah yang sehat akan memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi dan akan mampu terus berkembang. Oleh karena itu kultur sekolah yang positif ini sangat perlu dikembangkan.

Menurut Jumadi dalam Evi Rovikoh Indah Saputri (2012: 19) adalah sebagai berikut

“keberhasilan pengembangan kultur sekolah dapat dilihat dari tanda-tanda atau indikator sesuai fokus yang dikembangkan. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain adalah adanya rasa kebersamaan dan hubungan yang sinergis diantara warga sekolah, berkurangnya pelanggaran disiplin, adanya motivasi untuk berprestasi, adanya semangat dan kegairahan dalam menjalankan tugas, dan sebagainya.”

Kultur sekolah bersifat dinamis dan merupakan suatu keyakinan milik bersama yang diperoleh dari hasil perjalanan sekolah, segala interaksi yang terdapat dalam sekolah. Sekolah perlu dengan serius mengenali adanya berbagai sifat kultur sekolah yang ada, sehat-tidak sehat, kuat-lemah, positif-negatif, kacau-stabil, dan segala konsekuensinya untuk perbaikan sekolah.


(38)

22

Selanjutnya menurut Moerdiyanto melalui artikelnya (2010: 5-6) kultur sekolah terdiri dari kultur positif dan kultur negatif. Kultur positif yaitu budaya yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan warganya. Mutu kehidupan warga yang diharapkan adalah warga yang sehat, aktif, dinamis, dan profesional. Kultur positif ini akan memberikan peluang sekolah beserta warganya berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, punya semangat tinggi dan akan mampu berkembang. Kultur positif ini harus terus menerus dikembangkan dan diwariskan dari siswa ke siswa, dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Kultur positif dan kuat memiliki kekuatan dan akan menjadi modal dalam melakukan perubahan menuju perbaikan. Kultur negatif adalah budaya yang cenderung bersifat anarkis, negatif, beracun, dan bias serta bersifat dominan. Sekolah yang sudah merasa puas dengan apa yang mereka capai merupakan salah satu bagian dari kultur negatif, karena mereka cenderung tidak ingin melakukan perubahan serta takut untuk mengambil sebuah resiko terhadap perubahan yang terjadi, dengan kata lain berpengaruh terhadap menurunnya kualitas sekolah tersebut.

Langkah-langkah untuk membentuk kultur sekolah yang positif menurut Farida Hanum (2013: 202) antara lain adalah sebagai berikut.

a. mengamati dan membaca kultur sekolah yang kini ada, melacak historinya dan masalah apa saja yang muncul oleh keberadaan kultur sekolah,

b. mengembangkan sistem assessment kultur sekolah sejalan dengan tujuan perbaikan sekolah yang diinginkan,


(39)

23

c. melakukan kegiatan assessment sekolah guna mendiagnosis permasalahan yang ada dan tindakan kultural yang dapat dilakukan,

d. mengembangkan visi strategis dan misi perbaikan sekolah, e. mewaspadai perilaku negatif,

f. merancang pola pengembangan kultur,

g. melakukan pemantauan terhadap perkembangan kultur sekolah dan dampaknya.

Sekolah sebagai sebuah lembaga penyelenggara pendidikan tentu saja menginginkan memiliki kualitas yang baik sehingga dapat menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk membentuk anak didik menjadi generasi penerus bangsa yang positif dan berkarakter. Penanaman kultur positif pada suatu sekolah secara perlahan akan meningkatkan kualitas dari sekolah tersebut. Akan tetapi sekolah harus dengan sabar melalui serangkaian proses untuk dapat termasuk dalam sekolah yang memiliki kultur yang positif.

Untuk membentuk kultur sekolah yang positif sekolah pertama kali harus melakukan analisis situasi sekolah. Kultur apa yang terbentuk, apakah positif atau negatif. Jika negatif maka perlu dianalisis bagaiamana cara untuk memperbaiki keadaan tersebut. Jika kultur yang ada sudah bersifat positif maka sekolah perlu mengembangkan kultur yang ada agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Setelah upaya perbaikan atau pengembangan dilakukan, maka sekolah perlu melakukan kontrol agar kondisi yang diinginkan dapat tercipta serta mengevaluasi hal-hal apa saja yang menghambat agar dapat dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.


(40)

24

Selanjutnya menurut Barnawi & M. Arifin (2013: 71) ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengukur kuat atau tidaknya suatu budaya, yaitu dengan melakukan uji nilai secara berkala dan melihat kenyataan apakah sekolah telah benar-benar kompak atau belum. Ukuran uji nilai dapat dilihat dari seberapa jauh komunikasi di tingkat manajemen puncak sekolah ke tingkat yang paling bawah. Apabila deviasinya kurang dari 20% maka masih dapat di toleransi, apabila deviasi menyimpang antara 20%-30% maka perlu diwaspadai, dan apabila deviasinya lebih dari 30% maka situasi sekolah termasuk dalam golongan krisis budaya. Budaya yang kuat akan mendorong kerja sama yang baik sehingga tujuan sekolah yang diinginkan mudah tercapai

Tidak kalah penting adalah nilai budaya sekolah haruslah benar-benar tertanam dan didukung oleh suatu sistem yang berlaku di sekolah tersebut. Biasanya penerapan budaya pada sekolah baru akan lebih mudah dibandingkan dengan sekolah yang lama. Di sekolah baru, budaya informal para guru, karyawan, dan siswa belum terbentuk sehingga budaya yang ditentukan oleh manajemen sekolah akan lebih mudah untuk diterapkan. Meskipun dalan suatu sekolah para siswa masuk dan keluar (lulus), namun biasanya terdapat pewarisan budaya yang dilakukan siswa senior kepada juniornya. Artinya, ada pewarisan budaya antar-siswa yang terjadi. Penerapan budaya pada sekolah baru relatif lebih mudah dikarenakan siswa benar-benar baru atau belum terkontaminasi oleh seniornya. Penerapan budaya sekolah tersebut tentu saja memerlukan dukungan dari regulasi yang mengandung reward dan punishment. Dukungan tersebut menunjukkan suatu nilai budaya yang memang serius untuk diterapkan.


(41)

25 5. Identifikasi Kultur Sekolah

Stolp dan Smith dalam Farida Hanum (2013: 204) membagi tiga lapisan kultur yaitu artifak di permukaan, nilai-nilai dan keyakinan di tengah, dan asumsi di dasar.

a. Artifak

Artifak merupakan lapisan kultur sekolah yang paling mudah diamati seperti berbagai kegiatan sehari-hari di sekolah, berbagai upacara, benda-benda simbolik di sekolah, serta aneka ragam kebiasaan yang berlangsung di sekolah. Keberadaan kultur ini dengan cepat akan dirasakan ketika orang mengadakan kontak dengan suatu sekolah.

b. Nilai-Nilai dan Keyakinan

Nilai dan keyakinan menjadi salah satu ciri utama suatu sekolah yang sebagian berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, air beriak tanda tak dalam, dan berbagai gambaran nilai dan keyakinan yang lainnya.

c. Asumsi

Asumsi merupakan simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak nampak secara kasat mata tetapi secara terus menerus berdampak pada perilaku warga sekolah.

Lapisan kultur sekolah tersebut dapat dituangkan dalam gambar seperti dibawah ini:


(42)

26

Gambar 1. Lapisan –Lapisan Kultur Sekolah Stolp dan Smith dalam Farida Hanum (2013: 204)

Wirawan (2007: 41) berpendapat bahwa artifak merupakan dimensi isi budaya organisasi yang dapat dirasakan dengan panca indera. Saat kita memasuki satu lingkungan organisasi, kita dapat melihat dan merasakan dengan jelas artifak budaya organisasinya. Dalam hal ini, artifak merupakan bagian dari budaya sekolah dimana budaya tersebut dapat dilihat dan dirasakan ketika kita berada di lingkungan sekolah tersebut.

Lapisan kultur yang lebih dalam dapat berupa nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang berada di sekolah, yang merupakan ciri utama sekolah tersebut. Sebagian dapat berupa norma-norma perilaku yang diinginkan oleh sekolah seperti ungkapan rajin pangkal pandai, tong kosong nyaring bunyinya, serta penggambaran nilai dan keyakinan lainnya.

Lapisan paling dalam di kultur sekolah adalah asumsi-asumsi yaitu dapat berupa simbol-simbol, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat langsung dikenali namun terus-menerus berdampak terhadap perilaku warga sekolah.

ARTIFAK

NILAI & KEYAKINAN


(43)

27

Kepala sekolah sebagai pemegang peran utama dalam pengembangan kultur sekolah harus bisa menjadi teladan dalam berinteraksi didalam sekolah. Kepala sekolah berusaha keras untuk menciptakan kultur kolaboratif di kalangan komunitas sekolah termasuk guru, staf, siswa, orang tua, dan komite sekolah, dalam hal itu, ia melakukan koordinasi dengan mereka dalam membuat keputusan dan mengimplementasikan program-program (Raihani, 2010: 135).

a. Kultur Positif, Negatif, dan Netral

Kultur sekolah sangatlah berpengaruh pada kegiatan sekolah sehari-harinya, oleh karena itu setiap warga sekolah perlu memiliki wawasan bahwa unsur dari kultur tersebut bersifat positif, negatif, dan netral. Menurut Jumadi dalam Evi Rovikoh Indah Saputri (2012: 23) Kultur sekolah yang bersifat positif adalah kultur yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Kultur yang bersifat negatif adalah kultur yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan, sedangkan kultur yang bersifat netral adalah kultur yang tidak mendukung maupun menghambat peningkatan kualitas pendidikan.

Selanjutnya menurut Mardapi dalam Srinatun (2011: 64) kultur positif dan negatif dapat tercermin dalam beberapa hal. Artifak kultur positif dapat dilihat dengan adanya kerja sama dalam mencapai prestasi, penghargaan terhadap prestasi, dan komitmen dalam belajar. Kultur negatif menurut Mardapi yaitu kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan. Artinya, kebal terhadap perubahan yang ada, dapat berupa siswa yang takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa yang jarang melakukan kerja sama untuk memecahkan


(44)

28

masalah. Kultur yang netral menurut Mardapi dapat terlihat dari adanya kegiatan arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa, dan lain-lain.

Beberapa artifak terkait kultur positif dan negatif disampaikan oleh Farida Hanum (2013: 206). Artifak terkait kultur positif terdiri dari: (1) ada ambisi untuk meraih prestasi, pemberian penghargaan pada yang berprestasi; (2) hidup semangat menegakkan sportifitas, jujur, mengakui keunggulan pihak lain; (3) saling menghargai perbedaan; (4) trust (saling percaya).

Artifak terkait kultur negatif antara lain (1) banyak jam kosong, absen dari tugas; (2) terlalu permisif terhadap pelanggaran nilai-nilai moral; (3) adanya friksi yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya kelompok yang saling menjatuhkan; (4) penekanan pada nilai pelajaran bukan pada kemampuan; (5) artifak yang netral muatan kultural; (6) kegiatan arisan sekolah, jumlah fasilitas sekolah, dan sebagainya.

b. Artifak, Nilai, keyakinan, dan Asumsi

Kultur sekolah merupakan suatu aset yang besifat abstrak dan unik dimana satu sekolah dan sekolah lainnya tidak akan sama. Menurut Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2003:12) dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan kultur sekolah, yang perlu dipahami bahwa kultur hanya dapat dikenali melalui pencerminannya pada berbagai hal yang dapat diamati disebut dengan artifak. Artifak ini dapat berupa:

1) Perilaku verbal: ungkapan lisan atau tulis dalam bentuk kalimat dan kata-kata


(45)

29

3) Benda hasil budaya: arsitektur, eksterior dan interior, lambang, tata ruang, meubelair dan sebagainya

Dibalik artifak itulah tersembunyi kultur yang dapat berupa: 1) Nilai-nilai: mutu, disiplin, toleransi, dan sebagainya

2) Keyakinan: tidak kalah dengan sekolah lain bila mau bekerja keras

3) Asumsi: semua anak dapat menguasai bahan pelajaran, hanya waktu yang diperlukan berbeda

Kultur sekolah memiliki beberapa lapisan, dimana setiap lapisan tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Lapisan pertama disebut dengan artifak, atau bisa disebut juga dengan hal-hal yang dapat secara langsung dilihat oleh mata. Artifak ini terdiri dari artifak fisik dan non fisik. Artifak fisik terdiri dari gedung-gedung dan fasilitas yang ada, sedangkan artifak non fisik berisi kebiasaan-kebiasaan yang berada di sekolah tersebut.

Lapisan kedua berisi nilai-nilai dan keyakinan. Dalam lapisan ini kultur sekolah biasanya berisi sederet norma-norma yang diinginkan sekolah dan kebanyakan tertuang dalam bentuk slogan-slogan yang ditempelkan di lingkungan sekolah.

Kemudian lapisan yang terakhir adalah asumsi. Berupa nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan yang tidak terlihat langsung oleh mata akan tetapi sangat berpengaruh pada perilaku warga sekolah.

Untuk dapat mengamati kultur yang ada di sekolah, aspek-aspek yang harus dinilai menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Umum dalam Moerdiyanto (2012: 7) meliputi: (1) Aspek budaya sosial, yaitu interaksi yang


(46)

30

terjadi antara warga sekolah baik yang bersifat positif maupun negatif yang di dalamnya meliputi rasa saling memaafkan, menolong, memberi penghargaan dan hal lainnya yang meliputi interaksi sesama warga sekolah, (2) Aspek budaya akademik, yang meliputi pengawasan dalam kemajuan belajar, persaingan dalam meraih prestasi, strategi belajar mengajar, serta ketepatan media pembelajaran yang digunakan, (3) Aspek budaya mutu, yang meliputi pemahaman terhadap budaya utama sekolah yang meliputi budaya jujur, saling percaya, kerjasama, kegemaran membaca, disiplin, bersih, berprestasi, penghargaan dan efisien, (4) Aspek artifak, yang meliputi pemahaman terhadap artifak fisik yang berada di sekolah dan artifak perilaku warga sekolah.

6. Fungsi dan Peran Kultur Sekolah

Fungsi kultur sekolah menurut Stoll dalam Rahmani Abdi (2007: 25) yaitu budaya pada dasarnya adalah memberikan dukungan serta identitas pada sekolah dan selanjutnya membentuk kerangka kerja (framework) bagi kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, pengertian budaya sekolah lebih berfungsi sebagai pembentukan kinerja warga sekolah dan kemudian menjadi identitas sekolah.

Berdasarkan berbagai definisi yang ada, menurut Noor Tri Widianingsih (2012: 18-19) fungsi kultur sekolah adalah sebagai berikut:

a. Sebagai identitas suatu sekolah dimana diantara satu sekolah dengan sekolah yang lainnya tidak akan sama. Identitas tersebut dapat berupa sejarah sekolah, kondisi, dan sistem yang ada di sekolah tersebut.


(47)

31

b. Sebagai sumber, kultur sekolah merupakan sumber inspirasi, kebanggan dan sumber daya yang dapat dijadikan arah kebijakan (strategi) lembaga pendidikan tersebut.

c. Sebagai pola perilaku, dimana kultur sekolah menentukan batas-batas perilaku yang telah disepakati oleh seluruh warga sekolah

d. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Dalam dunia yang berubah dengan amat pesat, kunci keberhasilan suatu organisasi umum maupun lembaga pendidikan dalam meningkatkan efektivitas yang terletak pada fleksibilitas dan kemampuan inovatifnya. Oleh karena itu lembaga pendidikan mau tidak mau harus berani melakukan perubahan guna peningkatan mutu lembaga tersebut. Salah satu jalan untuk melakukan strategi perubahan tersebut adalah dengan merubah kultur di lembaga pendidikan itu.

e. Sebagai tata nilai. Kultur sekolah merupakan gambaran perilaku yang diharapkan dari warga sekolah dalam mewujudkan tujuan institusi pendidikan tersebut. Tata nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah aktualisasi dari keyakinan seseorang sebagai pemberian makna terhadap pekerjaan dam sebagai pengabdian kepada Tuhan YME

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah memiliki peran yang besar terhadap mutu suatu sekolah, yang mencakup berbagai aspek seperti norma, intelektual, moral dan sosial. Kultur sekolah berkembang secara dinamis dan bersifat kompleks dimana dalam pelaksanaannya di sekolah dibutuhkan peran serta seluruh komponen warga sekolah demi terwujudnya tujuan bersama.


(48)

32

7. Pengembangan Kultur Sekolah

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah adalah dengan mengembangkan kultur sekolah. Kultur sekolah yang sudah bernilai positif agar terus ditingkatkan, serta kultur yang negatif diminimalisir. Cara mengembangkan kultur sekolah menurut Rudi Prihantoro (2010: 156) pertama-tama adalah dengan memotret kultur sekolah, menganalisis, menilai, merancang tindakan pengembangan, melaksanakan tindakan, memonitoring dan mengevaluasi, dan yang terakhir adalah pelaporan.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memotret atau melihat terlebih dahulu kultur apa saja yang terdapat di sekolah. Selanjutnya dilakukan analisis dan penilaian untuk kemudian dapat dirancang tindakan pengembangan kultur yang akan dilakukan. Setelah rancangan tindakan pengembangan sudah ditentukan kemudian rancangan tersebut dilaksanakan dengan tetap diawasi dalam pelaksanaannya. Setelah periode waktu tertentu pelaksanaan rancangan kegiatan di evaluasi, kemudian dinilai kembali apakah kultur yang berjalan di sekolah sudah sesuai dengan rancangan yang ditentukan atau belum.

Selanjutnya menurut Serasson dalam Moerdiyanto (2010: 11), kultur sekolah dapat dikembangkan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendapat lain mengenai pengembangan kultur sekolah disampaikan (Sastrapratedja Dinamika Pendidikan, 2001) dalam Ariefa Efianingrum (2008: 7) bahwa pendekatan budaya untuk meningkatkan kinerja sekolah lebih efektif jika dibandingkan dengan pendekatan struktural. Pendekatan budaya dengan pusat perhatian pada budaya keunggulan menekan perubahan pada


(49)

33

pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, serta hati setiap warga sekolahnya. Pendekatan budaya dalam upaya mengembangkan budaya sekolah dapat dilakukan dengan dengan beberapa kegiatan berikut.

a. Pembentukan tim kerja dari berbagai unsur dan jenjang untuk saling berdiskusi dan bernegosiasi. Tim kerja ini terdiri dari kepala sekolah, guru, konselor, karyawan/ staf administrasi.

b. Dengan berorientasi pada pengembangan visi. Pendekatan visioner menekankan pandangan kolektif mengenai hal yang ideal.

c. Hubungan kerjasama, melalui kerjasama tim, akan muncul bagaimana sikap saling menghargai serta memperkuat identitas kelompok, bersama-sama dan saling mendukung.

d. Kepercayaan dan dukungan. Saling percaya (trust) serta dukungan (support) merupakan salah satu unsur penting bagi bekerjanya sebuah organisasi. Tim dapat bekerja secara sinergis dan dinamik jika kedua tersebut ada.

e. Nilai dan kepentingan bersama. Sebuah tim harus dapat mendamaikan berbagai kepentingan. Akan menjadi tugas seorang pemimpin untuk mendamaikan kepentingan tersebut.

f. Akses pada informasi. Mereka yang bekerja dalam suatu organisasi hanya akan dapat menggunakan kemampuannya secara efektif dan mereka dapat memperoleh akses pada informasi yang mereka butuhkan.

g. Pertumbuhan sepanjang hidup. Lifelong learning dibutuhkan dalam dunia yang berubah dengan begitu pesat. (Ariefa Efianingrum, 2008: 7)


(50)

34

Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menghidupkan kultur kelas atau sekolah yang kondusif bagi pendidikan nilai di sekolah menurut Ariefa Efianingrum (2008: 8)

a. Hadap masalah/ Problem Solving

Murid diajak berdiskusi untuk memecahkan satu masalah konkrit. b. Reflective Thingking/ Critical Thinking

Murid secara pribadi atau kelompok diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan atas sebuah artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain-lain. c. Dinamika kelompok (Group Dynamic)

Murid dilibatkan dalam kerja kelompok secara kontinyu untuk mengerjakan suatu proyek kelompok.

d. Membangun suatu komunitas kecil (Community Building)

Murid satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini dengan tatanan dan tugas-tugas yang mereka putuskan bersama secara demokratis.

e. Membangun sikap bertanggung jawab (Responsibility Building)

Murid diserahi tugas atau pekerjaan yang konkrit dan diminta untuk membuat laporan yang sejujurnya.

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Istifaiyah (2012) dengan judul “Studi Kebijakan Sekolah Dalam Pengembangan Kultur Sekolah di SMP Negeri 2 Yogyakarta”


(51)

35

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 2 Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa SMP Negeri 2 Yogyakarta telah memiliki kultur positif yang dapat terlihat dari artifak fisik yang dimiliki. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh SMP Negeri 2 Yogyakarta ini pun sudah cukup lengkap dan memadai. Selain itu kultur positif terkait dengan nilai dan keyakinan tercermin dengan adanya kultur kebersihan, kedisiplinan, gemar membaca, berprestasi, yang sudah terlaksana dengan baik. Namun untuk kultur berperilaku di sekolah tersebut masih tergolong kurang karena masih kurang terjalin sesuai dengan yang diinginkan sekolah. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kultur di sekolah tersebut tergolong positif dan sudah membudaya pada warga sekolah.

Kebijakan yang dilakukan sekolah untuk menciptakan kultur atau budaya sekolah positif yang dikembangkan dan difokuskan di SMP Negeri 2 Yogyakarta meliputi:

1) Budaya kebersihan dengan disediakannya tong sampah di setiap sudut sekolah dan di setiap depan ruangan, adanya kesepakatan bersama dalam menjaga kebersihan, dan pengadaan lomba kebersihan, serta mengikutsertakan sekolah dalam ajang lomba kebersihan sekolah tingkat kota.

2) Budaya kedisiplinan dengan pembuatan tata tertib sekolah yang tegas dan jelas.

3) Budaya berperilaku dengan mencantumkan tata pergaulan pada tata tertib siswa.


(52)

36

4) Budaya berprestasi dengan mengikutsertakan siswa dalam berbagai perlombaan, pembinaan khusus siswa yang akan mengikuti perlombaan, penambahan jam pelajaran bagi siswa kelas IX, adanya aturan resmi untuk penghargaan siswa berprestasi dalam tata tertib, dan adanya program pertukaran pelajar ke Korea.

5) Budaya religi dengan penyediaan tempat ibadah yang cukup, penyediaan guru pembina agama yang cukup, dan kewajiban warga sekolah dalam kegiatan keagamaan.

Penelitian di atas menunjukkan bagaimana gambaran kultur sekolah yang terjadi terdapat di SMP Negeri 2 Yogyakarta serta kebijakan yang diambil oleh sekolah dalam mengembangkan kultur sekolah di SMP Negeri 2 Yogyakarta, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggambarkan kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman, kemudian bagaimana program sekolah dalam mengembangkan kultur sekolah.

2. Penelitian Srinatun (2011) tentang “Upaya Meningkatkan Kinerja Guru Melalui Kultur Sekolah”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya kultur sekolah yang diterapkan di SMA Negeri 4 Semarang menghasilkan guru yang berprestasi mulai dari tingkat kota hingga tingkat nasional. Kemudian di bidang sertifikasi, guru-guru di SMA Negeri 4 Semarang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Beberapa bidang lain yang mengalami peningkatan juga terdapat dalam bidang akreditasi sekolah, serta kenaikan pangkat guru.


(53)

37

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa penerapan kultur sekolah yang ada di SMA Negeri 4 Semarang tidak dapat dipungkiri lagi telah menimbulkan aspek yang positif di beberapa bidang.

Hubungan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penerapan kultur sekolah dapat berpengaruh pada kualitas dan mutu sekolah seperti yang peneliti lakukan di SMP Negeri 1 Sleman.

C. Kerangka Pikir

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan atau pengembangan program guna meningkatkan kualitas sekolah itu sendiri. Kultur sekolah diyakini memiliki peran yang besar dalam memperbaiki kualitas sekolah, baik dari kepala sekolah, guru, maupun siswa. Beberapa unsur dari kultur sekolah tersebut antara lain berupa artifak, nilai, keyakinan, dan asumsi menyatu dengan komponen sekolah yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan staf atau karyawan membentuk hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi.

Dari hubungan yang saling mempengaruhi tersebut kemudian akan terbentuk kultur yang sudah diidentifikasi sebelumnya yaitu kultur positif, kultur negatif, dan kultur netral. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki wewenang untuk membentuk program sebagai upaya untuk membentuk kultur atau budaya di sekolah masing-masing. Dari pelaksanaan program sekolah itulah nantinya akan terbentuk kultur baik positif maupun negatif. Peneliti akan berusaha mengidentifikasi kultur yang terdapat di SMP Negeri 1 Sleman.


(54)

38

Berikut adalah bagan yang menunjukkan kerangka berpikir dalam penelitian:

Bagan 1. Kerangka pikir Sekolah

KULTUR SEKOLAH SMP NEGERI 1 SLEMAN

1. Gambaran Kultur Sekolah SMP Negeri 1 Sleman

2. Program Pengembangan Sekolah Kultur Sekolah

Unsur Kultur Sekolah:

 Artifak

 Nilai dan Keyakinan

 Asumsi

Warga Sekolah:

 Kepala Sekolah

 Guru

 Siswa

 Staff/ Karyawan


(55)

39 D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pertanyaan penelitiannya yaitu: 1. Bagaimanakah gambaran artifak fisik di SMP Negeri 1 Sleman?

2. Bagaimana deskripsi mengenai artifak non-fisik yang ada di SMP Negeri 1 Sleman?

3. Apa saja program yang diterapkan sekolah untuk mengembangkan kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?

4. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan sekolah yang mendukung terciptanya kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman?


(56)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif. Metode penelitian ini digunakan untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa pendidikan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya dalam konteks ruang dan waktu serta situasi lingkungan pendidikan secara alami dan tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga pada saat peneliti memasuki obyek, saat berada di obyek dan setelah keluar dari obyek keadaannya relatif tidak berubah. Oleh karena itu peneliti harus terjun langsung dan membaur dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dapat berasal dari hasil pengamatan, hasil wawancara, dokumentasi, analisis dokumen, dan catatan lapangan yang disusun oleh peneliti di lapangan kemudian dituangkan dalam bentuk narasi, bukan dalam bentuk angka.

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif karena peneliti akan mendeskripsikan tentang kultur sekolah yang teridentifikasi dari data lapangan baik yang berbentuk lisan maupun tertulis.

B. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015-Januari 2017 dan dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sleman yang terletak di Jalan Bhayangkara no. 27 Medari Caturharjo Sleman.


(57)

41 C. Subjek Dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian adalah warga sekolah SMP Negeri 1 Sleman yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan. Sedangkan objek pada penelitian ini adalah kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman.

D.Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data utama dimana peneliti dan sumber data bertemu melakukan serangkaian diskusi untuk saling bertukar informasi dengan menggunakan instrumen wawancara. Prof. Dr. Burhan Bungin dalam (Jamal Ma’mur Asmani, 2011 : 122) menyampaikan bahwa wawancara mendalam yaitu suatu proses memperoleh keterangan dengan tujuan penelitian melalui cara tanya jawab dan bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau yang diwawancarai, dengan menggunakan pedoman wawancara.

Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai subjek penelitian kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa dengan tujuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka terkait topik permasalahan penelitian untuk memperoleh data tentang pengembangan kultur sekolah. Dalam mewawancarai peneliti menggunakan pedoman wawancara. Pemilihan narasumber wawancara peneliti menggunakan teknik snowball sampling dimana jumlah awal narasumber sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal tersebut dilakukan karena dari jumlah sumber data


(58)

42

yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sample sumber data akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2015: 219). Proses pengambilan sample ini dibantu oleh pelaksana harian kepala sekolah dengan menunjuk beberapa narasumber yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan terkait kultur sekolah.

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian dilakukan terhadap objek di tempat berlangsungnya suatu peristiwa. Dalam penelitian ini observasi dilakukan untuk mengamati kondisi artifak sekolah baik fisik seperti halaman, gedung, dan lain-lain maupun non fisik seperti interaksi, nilai, keyakinan, dan lain-lain. Pada saat melakukan observasi ini peneliti menggunakan 3 bentuk observasi yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur yaitu peneliti melakukan observasi tanpa guide, serta yang terakhir observasi terus terang atau tersamar untuk mendapatkan gambaran realistik fenomena yang terjadi di sekolah.

3. Studi Dokumen

Menurut Sugiyono (2010 : 329) dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen biasanya berbentuk tulisan, gambar, atau hasil karya. Pengambilan dokumen yang dilakukan oleh peneliti berupa catatan peristiwa yang bersangkutan yaitu profil sekolah, sejarah sekolah, arsip sekolah, data guru, data karyawan, data siswa, dan foto-foto.


(59)

43 E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yaitu alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi atau melakukan pengukuran terhadap subjek dan objek penelitian. Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pedoman Observasi

Pedoman observasi dapat berupa butir-butir pertanyaan dalam garis besar mengenai hal-hal yang akan diobservasi, kemudian akan diperinci dan dikembangkan pada saat pelaksanaan penelitian dengan maksud untuk mendapatkan data yang fleksibel, lengkap, dan akurat. Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera.

Tabel 1. Fokus Pedoman Observasi

Aspek yang diamati Indikator yang dicari

Kultur sekolah

 Artifak fisik

- Arsitektur, tata ruang, simbol, logo, slogan, gambar, tanda, cara berpakaian, sarana prasarana

 Artifak non fisik

- Interaksi, perilaku, sopan-santun, budaya akademik (dilihat dari piala, dan sertifikat-sertifikat)

2. Pedoman Wawancara

Dalam pedoman wawancara berisikan tentang pertanyaan-pertanyaan secara garis besar dan saat pelaksanaan wawancara dilakukan dapat dikembangkan secara mendalam untuk mendapatkan data penelitian yang dibutuhkan. Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan alat bantu berupa buku catatan, kamera, dan handphone sebagai alat untuk merekam suara.


(60)

44 Tabel 2. Fokus Pedoman Wawancara

No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari Sumber data 1 Nilai dan Keyakinan Nilai-nilai yang

dianut (terbentuknya visi & misi)

- Kepala sekolah - Guru

- Karyawan - Siswa

2 Asumsi Label sekolah

3. Pedoman Studi Dokumen

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang terangkum dalam buku/ arsip, data tertulis, foto serta segala sesuatu yang berhubungan mengenai kultur sekolah di SMP Negeri 1 Sleman. Adapun kisi-kisi pedoman kajian dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Fokus Pedoman Studi Dokumen

No Aspek yang Dikaji Indikator yang Dicari Sumber Data

1. Profil Sekolah a. Sejarah sekolah

b. Letak geografis sekolah

c. Struktur organisasi sekolah

d. Sarana dan prasarana

sekolah

e. Kebijakan Sekolah

a. Dokumen/

arsip

b. Foto-foto

2. Data Sekolah a. Data siswa

b. Data guru

c. Data prestasi (akademik dan

non-akademik)

3. Profil Guru a. Jenjang pendidikan

b. Kemampuan dalam

melakukan pengajaran

c. Kemampuan guru dalam

berinteraksi kepada peserta didik


(61)

45

F. Keabsahan Data

Menurut Sugiyono (2010: 366) uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), uji tranferability (validitas eksternal), uji dependability (reliabilitas), dan uji confirmability (objektivitas). Uji validitas data ini penting dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan dapat di pertanggungjawabkan keaslian dan kebenarannya.

Dalam penelitian yang dilakukan keabsahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut.

Pengujian dengan triangulasi

William Wiersma dalam (Sugiyono, 2010 : 372) berpendapat bahwa triangulasi dalam pengujian keabsahan data ini diartikan sebagai pemeriksaan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dalam penelitian ini dilakukan pengecekan dari beberapa sumber, seperti dari kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan. Kemudian dilakukan triangulasi teknik yaitu berupa teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari hasil triangulasi yang dilakukan ditemukan kesesuaian antara sumber yang satu dengan yang lainnya.

G.Teknik Analisis Data

Jamal Ma’mur Asmani (2011: 87) menyampaikan bahwa analisis data kualitatif yang meliputi pengolahan dan pemaknaan data dimulai sejak peneliti memasuki lapangan. Selanjutnya, hal yang sama dilakukan secara kontinu pada saat pengumpulan sampai akhir pengumpulan data hingga yang diperoleh adalah data jenuh (tidak diperoleh lagi informasi baru). Selanjutnya mengutip konsep


(62)

46

Miles and Hubberman dalam Sugiyono (2015: 91) yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian hingga tuntas dan datanya sampai jenuh. Oleh karena itu aktivitas analisis data yang akan dilakukan adalah data reduction, data display, dan data conclusion drawing/verification. Oleh karena itu data yang diperoleh di lapangan direduksi, dirangkum, dan dipilih hal-hal yang pokok untuk kemudian difokuskan sesuai dengan rumusan masalah. Setelah reduksi, tahapan yang dilakukan selanjutnya adalah penyajian data sederhana kemudian peneliti melakukan pengambilan kesimpulan atas data yang diperoleh. Selanjutnya model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 2. Komponen dalam analisis data interactive model Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2015: 92)

Data

Collection Data Display

Data Reduction

Conclusions: drawing/ verifying


(63)

47 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Setting Penelitian

a. Sejarah Sekolah

SMP Negeri 1 Sleman, dulu dikenal dengan nama SMP Medari, berdiri sejak 1 Agustus 1946 berstatus swasta. Status negeri disandang sejak 10 Januari 1951. Sekolah ini berlokasi di Dusun Jetis, Kelurahan Caturharjo, Kecamatan Sleman dengan luas tanah 13.550 m² berstatus hak pakai dari Kasultanan Yogyakarta.

Mulai tahun 2000 sekolah ini melaksanakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dengan Visi “Berkualitas Internasional Berdasarkan Taqwa dengan misi: Peningkatan Standar Kurikulum, Standar Proses, Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan, Standar Kelulusan, Standar Pengelolan dan Manajemen, Pembiayaan, Penilaian, serta pengembangan pendidikan berbasis Keunggulan Lokal, Imtaq Budaya dan Lingkungan secara Internasional. SMP Negeri 1 Sleman menjadi Sekolah Efektif dengan serangkaian kegiatan di bawah panduan Konsultan Internasional Sekolah Efektif dari Canedcom Canada. Dua tahun kemudian, pada tahun 2003 SMP Negeri 1 Sleman ditetapkan sebagai salah satu dari lima SMP Andalan kabupaten Sleman oleh Bupati Kepala Daerah Tk.II Kabupaten Sleman.

Berbagai kegiatan digelar di SMP Negeri 1 Sleman dalam rangka mewujudkan mutu peserta didiknya, baik mutu akademik maupun non akademik sekaligus mewujudkan visi yang telah ditetapkan/ dipilihnya. Pada akhir tahun


(64)

48

pelajaran 2003/ 2004 tepatnya 5 Juli 2004, SMP Negeri 1 Sleman ditetapkan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN) pertama di Kabupaten Sleman oleh Direktorat PLP Departemen Pendidikan Nasional setelah melalui serangkaian proses verifikasi. Luas lahan, kondisi fasilitas dan prasarana juga menjadi hal yang menentukan ditetapkannya sebagai SSN.

Letak geografis yang sangat memungkinkan, dapat dijangkau dari berbagai arah, karena SMP Negeri 1 Sleman berada di pinggir jalan raya Jogja Magelang, selain ditunjang dengan lokasi yang luas, sarana prasarana pendidikan yang lengkap, guru-guru yang memiliki dedikasi yang tinggi, serta tenaga kependidikan yang mampu melayani berbagai kegiatan manajemen pendidikan, SMP Negeri 1 Sleman terus maju hingga akhirnya memperoleh predikat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional pada tahun 2009.

Berbagai upaya pembenahan dilakukan dalam memberikan pelayanan sekaligus melengkapi berbagai media pembelajaran melalui media cetak, elektronik, internet, pelayanan manajemen berbasis teknologi modern, sehingga sekolah mendapatkan pengakuan Internasional dengan diberlakukannya ISO 9001: 2008 di SMP Negeri 1 Sleman.

Berikut ini merupakan tabel profil sekolah dari SMP Negeri 1 Sleman sebagai berikut.


(65)

49 Tabel 4. Identitas Sekolah

No IDENTITAS SEKOLAH

1 Nama Sekolah SMP NEGERI 1 SLEMAN

3 Alamat Sekolah Jalan Bhayangkara 27 Medari 5 Desa/Kelurahan Caturharjo

6 Kecamatan Sleman

7 Kabupaten/ Kota Sleman

8 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

9 Kode Pos 55515

10 Telp/ Faks (0274) 868810

12 Status Sekolah Negeri

17 Tahun Berdiri 1946 (Swasta) 18 Tahun Perubahan 1951 (Negeri) 20 Bangunan Sekolah Milik Sendiri

22 Luas Tanah 13.550 m2

23 Email smpnsatusleman@yahoo.com

25 Website www.smpn1sleman.sch.id

Sumber: Dokumentasi Profil Sekolah b. Visi dan Misi Sekolah

Setiap sekolah pastilah memiliki visi dan misi yang digunakan sebagai pedoman dalam mewujudkan tujuan serta harapan sekolah masing-masing.

Visi dan Misi SMP Negeri 1 Sleman, sebagai berikut: 1) Visi Sekolah SMP Negeri 1 Sleman

Terwujudnya insan yang bertaqwa, berprestasi, berbudaya, dan berwawasan global.

2) Misi Sekolah SMP Negeri 1 Sleman


(66)

50

b) Melaksanakan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional

c) Melaksanakan pengembangan pembelajaran yang efektif

d) Melaksanakan pengembangan fasilitas pendidikan yang memadai dan inovatif

e) Melaksanakan pengembangan lulusan yang berkualitas, berkepribadian, tangguh dan berdaya saing tinggi

f) Melaksanakan pengembangan kelembagaan dan manajemen sekolah yang komprehensif

g) Melaksanakan pembiayaan pendidikan dengan prinsip berkeadilan secara transparan dan akuntabel

h) Melaksanakan pengembangan sistem penilaian yang berencana dan berkala

i) Melaksanakan pengembangan penghayatan dan pengamalan ajaran agama, etika moral dan karakter bangsa

j) Melaksanakan pengembangan penataan lingkungan, budaya sekolah yang kondusif, dan mitigasi bencana

c. Tujuan Sekolah

Berdasarkan visi dan misi diatas, pendidikan di SMP Negeri 1 Sleman memiliki berbagai tujuan antara lain:

1) Terwujudnya kurikulum berbasis kompetensi, yang mendorong peserta didik berprestasi secara global baik dalam bidang akademis maupun non akademis


(1)

206 sampai hari kamis, setiap hari senin

sampai kamis 15 menit pada pukul 07.00 sampai 07.15 itu sudah dijadwal, selain itu guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk eksplorasi itu memperluas pengetahuan, dari pelajaran tentang lingkungan, tak wulang karena jadwalnya 3 jam to, sekarang mulangnya 2 jam yang 1 jam silahkan bereksplorasi nyari sesuatu di perpustakaan tetapi tetap di bawah pengawasan, di perpustakaan itu boleh

browsing boleh baca.”

siswa untuk bereksplorasi. Dari 3 jam pelajaran 2 jam teori nanti 1 jam nya digunakan untuk eksplorasi siswa.

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bereksplorasi. Dari 3 jam pelajaran, 2 jam nanti digunakan untuk pemberian teori dan 1 jam nya digunakan untuk eksplorasi siswa.

dapat berupa novel atau komik sesuai dengan keinginan siswa. Setelah membaca kemudian siswa diminta untuk menceritakan kembali.

Narasumber (AS)

“Ada. kadang-kadang itu tu pas mau

pelajaran itu tu 10 menit kita suruh baca buku yang dari rumah, boleh novel boleh gitu gitu pokoknya.

Kadang-Pada saat mau pelajaran disuruh membaca buku yang dibawa dari rumah, boleh novel dan buku non fiksi lainnya. Nggak setiap bulan

Pada saat mau mulai pelajaran disuruh membaca buku yang di bawa dari rumah, bukunya boleh novel dan buku non fiksi lainnya.


(2)

207 kadang sih biasanya senin rabu kamis,

tapi satu bulan iya satu bulan enggak. Nggak setiap bulan.

Itu nggak setiap bulan ada.

Narasumber (MIH)

“Kalau minat baca itu bener, tidak

hanya hari Jumat. Kalo kemarin itu tiap bulan, semenjak bulan Februari itu Kementerian Dinas itu memberikan surat kepada SMP Negeri 1 Sleman bahwasanya memerintahkan itu siswa itu peningkatan minat baca. Jadi dari hari senin, selasa, rabu, kamis itu 15 menit sebelum pembelajaran akan dimulai baca buku, tapi guru wali kelasku kan menyarankan buku yang mungkin banyak memiliki manfaat

kaya ensiklopedia, atau buku lainnya”

Minat membaca itu tidak hanya hari Jumat. Kemarin setiap bulan semenjak Februari Kementerian Dinas memberikan surat untuk sekolah agar meningkatkan minat baca siswa. Setiap Senin sampai Kamis 15 menit sebelum pembelajaran dimulai membaca buku. Wali kelas menyarankan buku yang dibaca yang memiliki manfaat seperti ensiklopedia.

Minat membaca itu tidak hanya dilaksanakan pada hari Jumat. Kemarin setiap bulan semenjak Februari

Kementrian Dinas

memberikan surat yang ditujukan untuk sekolah agar meningkatkan minat membaca siswa. Setiap Senin sampai Kamis 15 menit sebelum pembelajaran dimulai siswa membaca buku. Wali kelas menyarankan untuk membaca buku yang memiliki manfaat


(3)

208

seperti ensiklopedia. Narasumber (SN)

“Setiap pagi itu setelah bel masuk kita

ada menyanyikan lagu Indonesia Raya, terus habis itu ada anak-anak disuruh baca buku, nanti kemudian diceritakan kembali, kaya resensi buku gitu ya mbak.. Kalau bukunya itu terserah, sesuai keinginannya anak sendiri

biasanya.”

Setiap pagi setelah bel masuk dan menyanyikan lagu Indonesia Raya anak-anak membaca buku dan kemudian diceritakan kembali. Bukunya bebas.

Setiap pagi setelah bel masuk sekolah dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, anak-anak diminta membaca buku dan kemudian menceritakan kembali. Bukunya bebas terserah kepada anaknya.


(4)

(5)

(6)