commit to user
41
dengan Stufentheory, karena secara hirarkis bertentangan dengan sistem hukum di atasnya.
3. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Apabila mengacu UUD 1945 dan UU No.24 Tahun2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Namun sejak diserahkannya wewenang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi terkait sengketa
pemilihan kepala daerah sehingga terkait masalah pemilihan kepala daerah diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah.
Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia, kehidupan sistem pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan. Segala urusan pemerintah daerah di atur
dan diurus oleh pemerintahan daerahnya sendiri. Dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah masyarakat di daerah berhak untuk memilih Kepala
Daerahnya sendiri secara langsung. Demokrasi yang diharapkan oleh masyarakat guna untuk mewujudkan masyarakat daerah yang adil, makmur, dan sejahtera.
Akan tetapi proses demokrasi tersebut sering diwarnai oleh perselisihan atau sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Terkait tentang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 103, 104, dan 106, yang diperbaruhi dengan UU No.12
Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 233 dan 236.
UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 103 dinyatakan,
2 Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
3 Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.
4 Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU KabupatenKota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang
terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 satu tingkat di bawahnya.
Pasal 104 dinyatakan,
commit to user
42
1 Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang
mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan Maka tidak dapat dilakukan.
2 Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu
atau lebih dari keadaan sebagai berikut: a. pembukaan kotak suara danatau berkas pemungutan dan penghitungan
suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus ,menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara
yang sudah digunakan; c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali
pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah
digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; danatau
e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Pasal 106 dinyatakan, 1
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 tiga hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
2 Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon
Melihat dari ketentuan pasal-pasal UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah adalah
perselisihan jumlah suara pemilihan kepala daerah, bukan perselisihan tentang pelanggaran pemilihan kepala daerah, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap
pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang kesemuanya diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 57, 78, dan 81.
commit to user
43
UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 233 dinyatakan,
2 Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008
sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang- Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008.
3 Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.
Pasal 233 diatas menunjukkan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah harus diselesaikan paling akhir bulan oktober 2008, tetapi pemilihan kepala daerah
ulang di Jawa Timur putaran ketiga dilakukan pada tanggal 21 Januari. Pasal 236C dinyatakan,
Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan
kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 delapan belas bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan
. Pasal 236 tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mendapatkan
wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dari pelimpahan tugas oleh Mahkamah Agung. Sejak dikeluarkan UU No. 12 Tahun
2008 tentang pemerintahan daerah, maka seluruh perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Begitu juga
sengketa pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, dimana pihak Khofifah-Mujiono sebagai peserta pemilihan umum yang keberatan dengan
hasil perhitungan suara dan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi hingga menghasilkan sebuah putusan Mahkamah Konstitusi NO.41PHPU.D-
VI2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur.
commit to user
44
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam penelitian tesis ini digunakan metode penelitian doktrinal atau normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis logika
deduksi, yang dilakukan melalui pendekatan terhadap peraturan perundang- undangan statute approach, pendekatan sejarah hukum Historical Approach,
dan pendekatan konsep conceptual approach. Menurut Soerjono Soekanto dan Srimamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka, penelitian ini disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Untuk
memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dengan hukum positif perlu ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.
72
Penelitaian hukum normatif menurut Amiruddin dan Zainal Asikin adalah penelitian hukum doktrinal, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
perturan perundang-undangan Law in Books, hukum dikonsepsikan sebagai kaidah-kaidah atau norma yang menjadi patokan perilaku manusia. Bahan
penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer yang terdiri dari Pancasila, batang tubuh UUD, dan Peraturan perundang-undangan. Bahan hukum
sekunder yaitu, hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum. Bahan hukum tersier seperti kamus dan ensikopedie.
73
Fungsi dogmatik hukum hukum menurut Meuwissen adalah untuk memaparkan, menganalisa, menyistemasi, dan
menginterpretasikan hukum yang berlaku. Dengan memberikan penilaian terhadap isi dan struktur hukum positif, maka tidak diperlukan metode empiris.
74
72
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, ctk. Kelima, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001, hlm. 13
73
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ctk. Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 118
74
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Ctk Kedua, Bayumedia,
Malang, 2006, hlm. 51