Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 41/Phpu. D Vi/2008 Tentang Pilkada Ulang Di Jawa Timur Yogi Prasetyo

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU. D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum & Kebijakan Publik

OLEH: Yogi Prasetyo NIM : S310508016

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2009


(2)

 

Telah Disetujui Pembimbing

Pembimbing Pembimbing

 

17/ 7/ 09


(3)

(4)

SURAT PERNYATAAN  

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yogi Prasetyo

NIM : S310508016

Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa tesis yang berjudul: ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR adalah betul-betul karya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka, saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 22 Juni 2009

Yang menyatakan


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis yang didasarkan kepada laporan hasil penelitian normatif atau doktrinal ini adalah karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat untk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat S-2 Program Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyelesaian tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR“ ini, penulis mendapatkan petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, SpKJ, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan penulis dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan dorongan dan kemudahan untuk menyelesaikan tesis ini. 4. Ibu Dr. Hartiwiningsih, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kelancaran untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, SH, MHum, selaku pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.


(6)

6. Ibu Aminah, SH, MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

7. Para Dosen dan Staf Pengajar Program Magister Hukum Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Seluruh staf Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bantuan serta pelayanan selama penulis menempuh kuliah di pascasarjana.

9. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang berguna untuk menyelesaikan tesis ini

10. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaikan tesis ini

11. Pihak Rektorat Universitas Muhammadiyah Madiun (R. Afri Handoko,

S.Sos, MSi., Mujahidin, S.Sos, MSi., MKPd.(CDR), Drs. Mahfudz Daroini, MSi., MKPd) yang telah memberikan dukungan untuk segera menyelesaiakan tesis ini.

12. Rekan-rekan dosen dan staf di Universitas Pembangunan Teknologi

Pembangunan Surabaya Fakultas Hukum yang telah member dukungan dan semangat untuk menyelesaiakan tesis ini.

13. Rekan-rekan dosen dan staf di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mojokerto yang telah memberikan semangat dan motifasi untuk menyelesaiakan tesis ini

14. Seluruh staf perpustakaan Universitas Merdeka Madiun yang telah

memberikan pelayanan dalam peminjaman buku-buku yang berguna untuk menyelesaikan tesis ini


(7)

15. Rekan-rekan di PDM Kabupaten Madiun ( H. Achmad Zainuri, S.Ag, M.Si., Drs. Budi Utomo, dan Suwandi, SP.) yang telang memberikan semangat untuk menyelesaiakn tesis ini

16. Teman-teman aktivis dan Advokat ( Kholiq. SH., Arief Budiono. SH.

MH., M. Sofyan. SH., dan Nur Sodiq. SH) yang memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini

17. Seluruh mahasiswa di Universitas Muhamadiyah Madiun, Universitas

Teknologi Pembangunan Surabaya, dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mojokerto, yang memberi semangat untuk menyelesaiakan tesis ini

18. Bapak dan Ibu saya yang tiada henti-hentinya mendoakan, mendukung,

dan memberikan nasehat

19. Kakak, adik, dan saudara-saudara yang memberikan dorongan,

semangat, dan doa kepada saya untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena masih terbatasnya kemampuan penulis, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi disiplin Ilmu Hukum, khususnya dalam masalah kebijakan publik.

Surakarta, 22 juni 2009


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Teori Hukum ... 8

1. Pengertian hukum dan fungsi hukum ... 8

2. Teori hukum murni Hans Kelsen ... 13

B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik ... 20

1. Pengertian tentang kebijakan publik ... 20

2. Hubungan hukum dan kebijakan publik ... 24

C. Mahkamah Konstitusi ... 26

1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah konstitusi ... 26

2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi ... 29

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian hasil pemilu ... 31

D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum ... 35

E. Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah ... 37

1. Pemerintahan daerah ... 37


(9)

3. Penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A.Lokasi Penelitian ... 50

B.Data dan Sumber Data ... 50

C.Teknik Memperoleh Data ... 51

D.Teknik Analisis ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil Penelitian ... 52

B. Pembahasan ... 57

1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ... 57

a.Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum ... 57

b.Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan memutus atau memerintahkan pemilihan umum ulang ... 64

c.Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari aliran civil law system ... 72

d.Stufentheory peraturan perundang-undangan ... 79

e.Asas lex superiori derogate legi inferiori ... 84

2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) ... 87

a.Undang-undang sebagai sumber hukum formill dan materiil ... 87 b.Perselisihan tentang hasil penghitungan suara


(10)

pemilihan kepala daerah ... 90

c.Penyelesaian pelanggaran pemilihan kepala daerah adalah tugas dan wewenang Panitia Pengawas pemilihan kepala daerah ... 95

d.Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling akhir tahun 2008 ... 98

BAB V PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Implikasi ... 101

C. Saran ... 102


(11)

ABSTRAK

Yogi Prasetyo, S310508016, ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR.

Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini untuk mengkaji secara yuridis berdasarkan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur.

Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal. Melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah hukum (Historical Approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Lokasi penelitian di Perpustkaan Fakultas Hukum UNS, Pasca Sarjana UNS, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun, perpustakaan IKIP PGRI Madiun, perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Madiun, perpustakaan Kota Madiun, dan di dunia maya. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari peraturan perundang-undangan. Analisis dilakukan dengan analisis logika deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karena dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum bukan untuk memutus pemilihan umum ulang, tidak sesuai dengan aliran hukum civil law

system yang dianut hukum Indonesia, tidak sesuai dengan stufentheory tata urutan

perundang-undangan Indonesia dan asas lex superiori derogat legi inferiori. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU No.32 Tahun 2004 dan diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008) tidak sesuai dengan sumber hukum formil dan materiil, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan perselisihan jumlah suara berupa data angka-angka yang menunjukkan hasil perolehan suara pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah, pelanggaran terhadap pemilihan kepala daerah adalah wewenang panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan perangkat hukum yang ada bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, serta pemilihan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir bulan Nopember 2008 sampai Juli 2009 diselengarakan paling lama pada bulan Oktober 2008 dan jika terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselengarakan paling lama bulan Desember 2008, bukan bulan Januari 2009 seperti yang terjadi di Jawa Timur.


(12)

ABSTRACT

Yogi Prasetyo,S310508016, YURIDIS ANALISIS OF DECISION OF CONSTITUTION OF COURT LAW NUMBER. 41/PHPU.D-VI/2008 ABOUT ELECTION OF REGIONAL LEADER IN EAST JAVA.

Thesis: Sebelas Maret Surakarta University Post Graduate Program.

This research to study yuridisly pursuaht to UUD 1945, UU No.24 of 2003 about Constitution of Court Law, and regulation law of regent of Government (UU No.32 of 2004 and perceive with UU No.12 of 2008 year) to decition of Constitution of Court law No. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java.

This research is doctrinal research. With by the way statue approach, historical approach, conceptual approach. Located of research in the library of faculty of law Sebelas Maret University, library post graduate program law sebelas Maret University, library faculty of law Merdeka University Madiun, library Madiun IKIP PGRI, library of university Muhamadiyah Madiun, library of madiun city, and internet. This research had been three type such as primary date, secunder, and tertiary. Collecting date done by reading, study and studies of regulation law. Analysis with done logical deductive analysis.

Pursuant to research result and inferential solution that decision constitution of court law Number. 41/PHPU.D-VI/2008 about Election to Re Regional Leader In East Java that over rule UUD 1945 ang UU No. 24 of 2003 year about Constitution of Court. Election to direct regional leader don’t included in general election category, constitution of court law only authoritative break dispute abaout result of general election is not break the re general election, not appropriate with civil law system that attentive by Indonesia law, not appropriate with stufentheory of arrange the legislation sequence and lex superiory derogate legi inferiori. Decision of Constitution of Court Law Number.41/PHPU.D-VI/2008 about Election of Re Regional Leader In East Java, evaluated from Regulation law of Regent Government (UU No.32 of year ang UU No.12 of 2008 year) not appropriate with formal and material source punish, dispute of election result of regional leader is difference of voice sum in from of the number leader date that show the result acquirement of candidate couple voice participant of election of regional leader, collision to election of regional leader is committee authority supervisor of election of regional leader and peripheral of the law is not authority Constitution of Court Law ang also election of regional leader of it’s tenure end of November 2008 until July 2009 with longest In October 2008 and if happened election of second round regional leader, balloting election of second round regional leader, balloting done with longest of Desember 2008 is not of 21 Januari 2009 such as happened in East Java.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, ketika Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul.

Salah satu bentuk gagasan check and balances dalam perubahan UUD 1945 adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai jawaban atas keinginan agar lembaga yudisial melakukan pengujian atas undang-undang terhadap UUD 1945 yang sebelumnya sama sekali tidak dapat dilakukan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki empat kewenangan. Namun dikalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad 20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima. Pada tanggal 13 Agustus 2003 dikeluarkanlah UU No.24 Tahun 2003

             1 

Ni’matul Huda. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta:UII Press, 


(14)

tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat 6 UUD 1945.2

Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang terdapat dalam UUD 1945, yaitu; Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD 1945.3

Konsekuensi dari reformasi yang terus berjalan di Indonesia sehingga mengakibatkan tuntutan demokrasi yang luas kepada masyarakat. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dibuat sejak awal reformasi tidak lagi sesuai dengan keinginan masyarakat, khususnya terkait hak keikutsertaan mayarakat untuk secara langsung dilibatkan dalam memilih calon kepala daerah untuk masing-masing. Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat di daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dibuat UU No.32 Tahun 2004 sebagai pembaruan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak adanya UU No.32 Tahun 2004 maka kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai institusi hukum yang didirikan dengan tujuan utama sebagai pengawal konstitusi dan salah satunya penyelesai masalah sengketa pemilihan umum, eksistensinya menjadi semakin berat dipandang secara hukum, sebab selain tugas utamanya sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga dipercaya untuk memutus       

      2 

Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia, maklah 

yang disampaikan dalam seminar kerjasama antara Mahkamah konstituse dengan UNS, 2008, 

Hal:33 

      3 


(15)

perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah.4 Dalam pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 atas perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pelimpahan wewenang penanganan perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan.

Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Pada kasus sengketa pemilihan kepala kaerah Provinsi Jawa Timur. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan keberatan dari pasangan Khofifah-Mudjiono terhadap penetapan penghitungan suara hasil pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (Perkara NO.41/PHPU.D-VI/2008. Dibacakan pada 2 Desember 2008) merupakan sebuah masalah yang cukup kontroversial. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi hukum ketatanegaraan, bahwa putusan tersebut melahirkan preseden yang penting untuk melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diperluas melalui putusannya sendiri, khususnya yang menyangkut amar putusan yang memerintah Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di Sampang dan Bangkalan paling lambat 60 hari dan penghitungan suara ulang di Pamekasan paling lama 30 hari setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut.

Negara konstitusonal adalah suatu negara yang melindungi dan menjamin terselenggaranya hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil lainnya serta membatasi kekuasaan pemerintahannya secara berimbang antara kepentingan penyelenggara negara dan warga negaranya.5 Terdapat pula satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang       

      4 

Penyerahan wewenang oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi pada 29 

okktober 2008 oleh ketua MA bagir manan digedung Mahkamah Agung (MA) 

      5 

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 


(16)

dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua

propria)6. Dengan demikian, tidak satupun pasangan calon yang boleh

diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat yang berdasarkan atas hukum.7

Harapan Mahkamah Konstitusi dari putusan yang demikian (ex aequo et

bono)8adalah agar pada masa-masa yang akan datang, pemilihan umum pada

umumnya dan Pilkada khususnya, dapat dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa dicederai oleh pelanggaran serius, terutama yang sifatnya sistematis, terstruktur, dan masif. Pilihan Mahkamah Konstitutusi yang demikian masih tetap dalam ruang lingkup penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia.9

Putusan itu juga sebagai “terobosan”, yang artinya memang karena putusan itu keluarkan untuk mengatasi permasalahan terkait sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Karena begitu komplek dan rumitnya, maka putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap sebagai penyelesaian permasalahan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya pada dasarnya tidak memenangkan siapa-siapa. Karena Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasar atas hukum, maka dalam penyelenggaraan kehidupan Negara harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Kepentingan rakyat yang berdasar atas norma-norma hukum yang ada adalah berada diatas       

      6 

Ibid. hal. 128 

      7

 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. PT Raja Grafindo  Persada, Jakarta, 2008, hlm. 24 

      8

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, dapat diartikan juga menurut 

keadilan atau berarti juga demi keadilan, hlm. 130  

      9 

Opini Prof. Mahfud M.D, ketua MK dalam wawancara pers sesaat setelah selesai sidang 

putusan sengketa pilkada jatim oleh RRI (Radio Republik Indonesia)   Programa 3 Jakarta, 2 


(17)

segalanya dan prioritas utama yang harus dijadikan pertimbangan setiap produk hukum10.

Putusan itu didasarkan adanya fakta hukum di persidangan bahwa pada kabupaten tertentu di Provinsi Jawa Timur nyata-nyata telah terjadi pelanggaran serius pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan

masif 11. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran tersebut bukan hanya terjadi selama proses pemilihan kepala daerah berlangsung, sehingga permasalahan yang terjadi harus dirunut dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum pencoblosan.12 Hal terkait pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah yang begitu komplek tersebut sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Konstiusi. Adanya pelanggaran pidana selama proses pemilu yang seharusnya ditangani oleh Panwaslu, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri.

Berdasarkan UUD 1945, dalam pasal 24C, Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Secara hukum Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan untuk memutus atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada pengambilan keputusan terhadap hasil perhitungan suara sebagai objek perselisihan pemilihan kepala daerah. Sehingga keputusan Mahkamah Konstitusi NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari pendekatan teori hukum murni Hans Kelsen, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengesampingkan dan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18, 22E, dan 24C, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan10, UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pasal 74, 75, 77, 104, dan106, dan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 pasal 233 dan 236C. Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga penulis tertarik untuk       

      10 

Kacung Marijan, Dialog tentang PILKADA JATIM di Metro TV, Pk.20.00, Jumat 9 Januari 

2009 

      11 

www.MahkamahKonstitusi.go.id,(Putusan MK Nomor.41/PHPU.D‐VI/2008), 27 Desember 

2008 

      12 


(18)

menulis tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PILKADA ULANG DI JAWA TIMUR”.

B.Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang diteliti secara jelas, guna memberi jawaban atas persoalan yang akan dipecahkan. Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas tersebut, maka dirumuskan permasalahan yaitu;

1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ?

2. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan UU No. 12 Tahun 2008) ?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisa atau mengkaji secara yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur yang dimungkinkan melampaui wewenang dengan mengesampingkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

2. Menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dikaji dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008.


(19)

D. Manfaat Penelitian 1. Segi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian ini. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan perbandingan dalam bidang hukum dalam pemerintahan dan masyarakat yang akan datang. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hukum juga penuh kelemahan.13

2. Segi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan suatu perselisiahan hasil pemilu. Sehingga keputusan yang di berikan tidak bertentangan dengan hukum dan tidak melampaui wewenang yang telah di atur dalam peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.

             13 


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini disampaikan mengenai landasan teori atau hasil studi kepustakaan, yang merupakan bahan-bahan untuk menganalisa data yang menjadi rumusan masalah.

A.Tinjauan Tentang Hukum dan Teori Hukum Murni

1. Pengertian dan fungsi hukum

Memahami pengertian tentang hukum yang sangat banyak dikemukakan oleh para ahli hukum tidaklah mudah. Pengertian hukum yang beraneka macam tergantung darimana memandangnya. Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan Negara. Hukum juga diartikan serangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antar masyarakat.

C.S.T Kansil berpendapat bahwa hukum adalah semua peraturan-peraturan hukum yang diadakan atau diatur oleh Negara atau bagian-bagiannya dan berlaku pada waktu itu seluruh masyarakat dalam Negara itu. Semua peraturan yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu.14 Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama, keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan berlakunya dengan suatu sanksi.15

Hukum menurut S.M. Amin, dalam Kansil adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.16 Menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam       

      14 

C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 11 

      15 

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1986, 

hlm. 37  

      16 

C.S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, 

Jakarta, 1989, hlm. 38 


(21)

lingkungan masyarakat yang dibuat oleh bada resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan ini berakibat diambilnya tindakan, yaitu hukuman tertentu. Hukum dapat bersumber dari undang-undang, kebiasaan, keputusan hakim, traktat, dan doktrin. Menurut Buys, hukum adalah ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundang-undangan untuk Indonesia, Algemen Bepolingen Van

Wetgeving Voor Indonesia atau A.B. Menurutnya hukum merupakan

undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan pemerintah yang karena cara pembuatannya oleh Presiden dan legeslatif yang mengikat bagi seluruh masyarakat, atau materiilnya. Sehingga hukum dimaknai suatu undang-undang tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah bagi seluruh masyarakat.

Hukum ditinjau dari ilmu politik, menurut Mahfud MD, hukum adalah suatu sarana dari elit penguasa yang memegang kekuasaan dan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekusaannya atau untuk mengembangkannya.17 Menurut Lon Fuller, hukum diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan perilaku manusuia dibawah perintah dari peraturan-peraturan. Lon Fuller beranggapan bahwa segala tindakan manusia diatur oleh hukum, sehingga apa saja tindakan yang dilakukan manusia yang diatur undang-undang menjadi sah menurut hukum. Disini menunjukkan hukum merupakan peraturan tertulis yang sah untuk mengatur segala tindakan manusia.

Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukum yang terkandung dalam hukum adalah:

1) Peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang 2) Tujuannya mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat 3) Mempunyai cirikhas memerintah dan melarang

4) Bersifat memaksa agar ditaati

5) Adanya sanksi bagi yang melanggarnya.18

Menurut Esmi Warasih,19 untuk mengenal hukum dalam suatu sistem, maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan asas hukum (principles of legality), yaitu:

             17 

Mahfud MD, Pergaulan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, 

hlm. 4 

      18 

Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri Perss, 


(22)

1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya hukum tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad

hoc.

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut

4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain

6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan

7) Peraturan tidak boleh sering berubah-ubah

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaanya di lapangan.

Berdasarkan asas hukum yang dikemukakan oleh Esmi Warasih, bahwa Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan yang tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc, yang mana hal itu tidak terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan kepala daerah ulang Jawa Timur. Peraturan yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi tertinggalkan dan cenderung untuk menunjukkan domein hakim untuk memutus perkara tersebut, sehingga keputusan yang bersifat adhoc sangat kuat. Seperti kritik terhadap hukum yang disampaikan oleh Kennedy dan Klare yang memberikan kritik terhadap hukum yang tidak pas dengan hukum itu sendiri dan memberikan khazanah literature hukum yang luas dan kaya bagi perkembangan hukum.20 Dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Jawa Timur tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 dimungkinkan tidak memenuhi asas hukum, karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat bertentangan dengan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sesuai dengan sistem hukum yang menyebutkan bahwa peraturan-peraturan tidak boleh                19 

Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, 

Semarang, 2005, hlm. 31 

      20 


(23)

mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan, karena wewenang Mahkamah Konstitusi sudah jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga apa yang sudah tertuliskan dalam peraturan perundang-undangan menjadi pedoman hukum bagi Mahkamah Konstitusi, agar praktek hukum dilapangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dan semua sistem hukum tersebut menunjukkan kata peraturan yang berarti hukum positif yang telah tersusun dalam suatu undang-undang tertentu.

Fungsi hukum menurut Sjachran Basah dalam Muchsin21 adalah:

1) Direktif, adalah prañata dalam membangun untuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara

2) Integratif, hukum sebagai Pembina kesatuan bangsa

3) Stabilitatif, sebagai pemeliharaan dan penjaga keselarasan, keserasian, dan kesinambungandalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat

4) Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi

Negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan masyarakat

5) Korektif, baik terhadap warga Negara maupun administrasi Negara dalam mendapatkan keadilan

Fungsi hukum perfektif yang dikemukakan oleh Sjachran Basah dalam Muchsin terkit dengan topik penelitian tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur menggambarkan kekurangsempurnaan tindakan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum di Jawa Timur, karena tindakan berupa memutus pemilihan kepala daerah ulang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga tindakan tersebut tidak mendapatkan perfektif hukum yang ada, dan dimungkinkan telah mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada. Tindakan perfektif merupkan tindakan yang dilakukan berdaarkan hukum positif yang berlaku.

Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, hukum berfungsi untuk:

1) Memerintah, yaitu hukum termasuk mengendalikan perilaku kedalam

keinginan langsung melalui sanksi positif dan negatif

2) Distribusi, yaitu hukum membantu dalam distribusi dalam rangka membatasi gap di masyarakat.

             21 


(24)

3) Melindungi harapan, yaitu hukum mengungkapkan prediksi antara sejumlah subjek melelui apa yang diharapkan

4) Konflik yang berkepanjangan, hukum membantu memisahkan beberapa

subjek yang sedang berkonflik

5) Nilai-nilai yang diwujudkan dalam gagasan, yaitu berfungsi mengutarakan beberapa gagasan dalam suatu masyarakat.

Fungsi hukum untuk memerintah dengan mengendalikan perilaku yang disertai sanksi, menunjukkan hukum adalah peraturan yang harus ditaati dan yang melanggar akan dikenai sanksi. Mahkamah Konstitusi belum menerapkan fungsi hukum memerintah, karena peraturan perundang-undangan yang memberikan perintah berupa wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan pemilihan kepala daerah di Jawa Timur dikesampingkan. Mahkamah Konstitusi dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Jawa Timur dapat juga menerapkan fungsi hukum untuk membantu memisahkan beberapa subjek yang sedang berkonflik, yaitu khofifah dengan Soekarwo. Dalam menyelesaikan konflik hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.

Menurut Utrecht dalam bukunya yang berjudul “Pengantar dalam Hukum Indonesia”, fungsi hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam kehidupan masyarakat.22 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berarti kepastian hukum yang masih kurang, karena kepastian hukum hanya didapat dari peraturan perundang-undangan. Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan normatif hukum Negara Indonesia yang menganut civil law system. Secara umum hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat yang berdasarkan atas hukum yang berlaku.

             22 

Utrecht dalam M. Sidik, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jetiar Baru, Jakarta, 1983,  hlm. 13 


(25)

2. Teori hukum murni Hans Kelsen

Landasan teori dalam penelitian ini adalah teori hukum murni oleh Hans Kelsens. Dalam teori ini berpendapat bahwa;

1) Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam Negara totaliter

2) Teori hukum murni adalah gambaran hukum yang bersih dalam abstraksinya, ketat dalam logikanya dan mengenyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis yang dianggap irasional

3) Teori hukum murni tidak boleh dicampuri ilmu politik, sosiologi, sejarah, dan pembicaraan tentang etika

4) Grundnorm merupakan alat yang menggerakkan sistem hukum. Menjadi

dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan memberi pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus dipatuhi.

5) Sistem hukum pada hakekatnya adalah sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Siatem hirarkis Hans Kelsen dapat digambarkan sebagai berikut. (Stufentheorie Hans Kelsen)

Teori hukum murni adalah teori hukum umum, bukan penafsiran norma-norma hukum Negara tertentu, yang difokuskan pada pengetahuan subtansinya. Objeknya menjelaskan apa hukum itu dan bagaimana hukum dibuat, bukan persoalan tentang apa seharusnya hukum itu atau bagaimana seharusnya hukum

Grundnorm Norm

Norm

Norm

Norm

Norm Norm Norm Norm

Norm

Menurut UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan. - UUD 1945

- UU/PERPU

- Peraturan Pemerintah - Peraturan Presiden - Peraturan Daerah


(26)

itu dibuat. Teori hukum murni menghilangkan semua hal yang bukan merupakan objek kognisi hukum, yang membebaskan hukum dari semua elemen asing di luar hukum, sehingga sebenar-benarnya hukum adalah hukum yang bersih dan steril.23

Ajaran teori hukum murni Hans Kelsen mengandung prinsip-prinsip:

1) Tujuan hukum untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan

2) Teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3) Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif

4) Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma dan tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5) Teori hukum adalah formal, tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.

6) Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum yang khas dan hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang ada. Terkait dengan teori hukum oleh Hans Kelsen, bahwa hukum sebagai teori tentang norma-norma dan tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum tersebut, maka penelitian tesis ini sesuai dengan teori Hans Kelsen tersebut, dimana dalam penelitian ini yang diteliti dan dibahas adalah tentang norma-norma hukum berupa peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam suatu teks peraturan perundang-undangan

Hans Kelsen beranggapan bahwa hyphotetisch ordeet sebagai bentuk hukum. Hukum untuk dapat berlaku tidak tergantung dari orang yang menerimanya, tetapi asal saja syarat-syarat atau unsur-unsurnya terpenuhi, maka hukum dapat berlaku. Kedudukan hukum lebih tinggi daripada Negara, sehingga segala penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia harus berdasarkan atas hukum,24 sesuai dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa       

      23 

Hans Kelsens dalam Stanley L. Paulson, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 

2008, hlm. 38 

      24 

Hans Kelsen dalam CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid  1, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 106 


(27)

Negara Indonesia adalah Negara hukum. Arti hukum terbentuk pada bentuk hukum, sedangkan keadilan ada hubungannya dengan hukum yang berada diluar pengertian hukum sebagai hukum. Hukum sah asal bersumber dari norma dasar dan mempunyai efektifitas, karena norma dasar atau grundnorm adalah dasar segala kekuasaan dan merupakan legalitas hukum positif. Hukum dapat bertepatan dengan ketidak adilan juga, karena sudut pandang hukum dapat dilihat dari berbagai aspek, sehingga keadilan dan ketidak adilan sangatlah relatif sekali, yag terpenting hukum dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Norma hukum dalam Negara dibagi dalam empat kelompok menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, yaitu.

- Kelompok I. Staats Fundamentalnorm (norma fundamental Negara) yang merupakan pembukaan UUD 1945

- Kelompok II. Staats Grundgesetz (aturan dasar/pokok Negara) yaitu batang tubuh UUD 1945

- Kelompok III. Formell Gesetz (undang-undang formal), seperti UU

- Kelompok IV. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom), seperti PP, Perda, dan peraturan pelaksana lainnya.

Diagram piramid (Theorie Stufenaufbao der Rechtsordnung, Nawiasky-Kelsen)

Konstitusi menggambarkan hukum positif ditingkat tertinggi. Mengambil pengertian kata subtantif dan fungsi esensial konstitusi yang bergantung pada pengaturan alat pemerintah dan proses penciptaan hukum umum, yaitu proses legislasi. Disamping itu konstitusi menetapkan muatan undang-undang dimasa depan.25

             25 

Stanley Poulson, Op.cit, hlm. 106  

I. Staat Fundamentalnorm (pembukaan UUD 1945)

II. Staats Grundgesetz (batang tubuh UUD 1945)

III. Formell Gesetz (Undang-Undang) IV. Verordnung dan Autonome Satzung

(Peraturan Pelaksana, PP, Perda, dll)

I

II

III

IV


(28)

Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie) dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis lapis dala suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlakunya, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi , norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).

Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasr yng merupakan gantungan bagi bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar tersebut dikatakan pre-supposed. Suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasarkan pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum mempunyai masa berlakunya yang relatif, karena masa berlakunya suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya, sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau di hapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.

Norma fundamental Negara merupakan norma tertinggi dalm suatu Negara, yaitu norma yang tidak dapat dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi. Norma fundamental merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang- undang dasar suatu Negara. Hakekat hukum fundamental ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.

Aturan dasar Negara adalah norma hukum dibawah dasar fundamental. Norma dalam aturan dasar ini merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma skunder. Di Indonesia aturan dasar terdapat dalam Pancasila dan batang tubuh UUD 1945. Aturan dasar merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih rendah. Aturan dasar berisi garis-garis besar atau pokok kebijaksanaan Negara, juga terutama aturan-aturan untuk memberlakukan


(29)

norma-norma hukum, peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum.26

Norma dalam undang-undang sudah konkrit dan terperinci dapat langsung berlaku dalam masyarakat. Norma ini bersifat tunggal dan juga sudah bisa dicamtumkan norma-norma yang bersifat sanksi. Peraturan pelaksana adalah berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.

Dalam sistem norma hukum di Indonesia, Pancasila merupakan norma fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh batang tubuh UUD 1945, serta hukum dasar sebagai aturan dasar Negara, undang-undang serta peraturan pelaksana dan peraturan otonom yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan pelaksanaan, dan peraturan otonom lainnya.

Perhatian teori hukum Hans Kelsen adalah menitik beratkan pada keabsahan norma-norma hukum ditetapkan berdasarkan pertimbangan norma ditingkat lebih tinggi berikutnya, dan seterusnya, hinga norma paling tinggi dalam sistem hukum tersebut dicapai level konstitusi. Sistem hirarkis mempengaruhi kepastian hukum, karena hukum di Negara yang beraliran civil law system diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk membuatnya dan mempunyai legalitas hukum. Dalam Negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitaas dalam segala bentuknya, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut menurut Malcolm Waters dalam Otje Salman dan Anton F. Susanto, teori posivistik adalah:

“Teori yang mencoba untuk menjelaskan hubungan secara empiris antara variable dengan menunjukkan bahwa variabel-variabel itu dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan teoris yang lebih abstrak. Teori ini menjelaskan tentang pernyataan-pernyataan yang spesifik, karena teori ini sangat memfokuskan pada hubungan-hubungan empiris tertentu, temuan- temuannya yang belum terbukti mempunyai pengaruh”.27

             26 

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang‐ undangan, ctk. Kesepuluh, Kanisius, 

Yogyakarta, 1998 

      27 

Otje Salman dan Anton Susanto, Teori Hukum, ctk. Kedua, Refika Aditama, Bandung, 


(30)

Dari sudut pandang penerapan termasuk penelitian berfokuskan pada masalah, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah itu ditentukan atas dasar kerangka teoritis. Sehingga penelitian ini menjadi penghubung antara penelitian murni dengan penelitian terapan. Berpijak dari teori hukum murni sebagai teori dasar penelitian tesis, maka secara teori putusan Mahkamah konstitusi yang merupakan praktik hasil dari produk hukum suatu lembaga peradilan Negara tersebut tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum normatif.28

Ada lima konsep hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu:

1) Hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal

2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-

undangan hukum nasional

3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim, inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law

4) Hukum adalah pola prilaku sosial yang terlambangkan, eksis sebagai variable sosial yang empirik

5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.29

Konsep hukum adalah suatu asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal merupakan sifat dasar hukum. Thomas Van Aquino berpendapat bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu undang-undang abadi yang menjadi dasar kekuasaan dari peraturan lain. Terkait dengan asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yaitu, bahwa hukum tidak dapat berlaku surut, undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang kedudukannya lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, hukum yang mengatur lebih khusus diutamakan dari yang bersifat umum, hukum yang baru dapat mengalahkan hukumyang lama, dan undang-undang tidak dapat diganggu gugat.30

             28 

Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universtas Sebelas Maret, Surakarta, 2002, hlm. 6 

      29 

Ibid, hlm. 20 

      30 


(31)

Konsep hukum kedua adalah konsep hukum normatif. Konsep normatif hukum adalah suatu norma yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah dirumuskan jelas dalam undang-undang (ius constitutum) untuk menjamin kepastian hukum. Sehingga seluruh produk hukum harus berdasarkan aturan yang telah tertulis dalam undang-undang. Menurut pandangan legisme, yang sesuai dengan konsep kedua, bahwa hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Hukum terbentuk hanya oleh undang-undang (Wetgiving) hakim secara tegas terikat pada peraturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga peradilan adalah hal menerapkan secara mekanisme dari ketentun undang-undang pada kejadian-kejadian yang konkrit. Dalam aliran legisme segala sesuatu telah ditentukan oleh hukum/undang- undang, diluar undang-undang bukan merupakan hukum. Peradilan hanya sebagai lembaga pelaksana undang-undang. Aliran legisme berpendapat bahwa putusan hakim tidak penting, karena hukum adalah undang-undang. Hukum adalah semuanya telah diatur dan ditulis dalam teks undang-undang, jadi yang tidak tersebut ditulis dalam teks bukan termasuk dari hukum.31

Asas hukum atau undang-undang adalah jiwa dari hukum tersebut. Asas-asas yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yaitu:

1) Undang-undang tidak dapat berlaku surut

2) Asas Lex Superiori Derogat legi Inferiori, Undang-undang yang dibuat

penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan lebih tinggi pula

3) Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis, undang-undang yang lebih

khusus mengalahkan undang-undang yang bersifat umum

4) Asas Lex Pasteriore Derogat Lex Priori, undang-undang yang baru

diutamakan daripada undang-undang yang lama 5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.32       

      31 

Muchsin, op.cit, hlm. 8 

      32 


(32)

Jika dikaitkan dengan tesis yang penulis teliti, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dimungkinkan melanggar norma-norma positif yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang, karena di dalamnya tidak mengatur kewenangan untuk memutus atau menyuruh Pemilihan Kepala Daerah ulang, tetapi terkait perselisihan hasil pemilihan umum, dalam Pasal 24C UUD 1945. Kaitan dengan tesis yang penulis teliti, konsep ketiga bahwa hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto adalah apa yang diputuskan oleh hakim,

inconcreto, dan tersistematis sebagai judge made law. Maka Putusan Mahkamah

Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 dapat termasuk dalam konsep ketiga ini, karena putusan Mahkamah Konstitusi itu diputuskan oleh hakim Mahkamah Konstitusi yang merupakan penyelenggaraan atas kekusaan kehakiman. Hakim dapat membentuk hukum atas dasar bahwa hakim tidak dapat menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara. Walaupun hakim dapat menemukan atau menciptakan hukum, bukan berate hakim bebas membuat hukum sendiri, karena kedudukan hakim bukan pemegang kekuasaan legeslatif atau badan pembuat undang-undang. Keputusan hakim tidak punya kekuatan hukum yang bersifat umum, keputusan hakim hanya berlaku pada pihak-pihak tertentu saja.33Menurut aliran legisme bahwa putusan hakim kurang dianggap penting, karena sumber hukum dari aliran legisme adalah undang-undang, hakim hanya sebagai pelaksana dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang.34

B.Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik

1. Pengertian tentang kebijakan publik

Menurut James E Anderson, kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku       

      33 

CST. Kansil, Op.cit, hlm 36  

      34 


(33)

atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah. Carl.J.Frledrick mengatakan, kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.35 Edwards dan Sharkansky mengemukakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang- undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat pemerintah atau berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.36

Menurut Bambang Sutiyoso perbuatan pemerintah atau Negara yang disebut juga kebijakan pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu.

1) Mengeluarkan perundang-undangan (regelling) 2) Mengeluarkan suatu keputusan (beschikking) 3) Melaksanakan perbuatan material (materielle dood)

Perbuatan pemerintah yang mengeluarkan perundang-undangan tersebut dapat dinilai dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menguji secara materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam melaksanakan kebijakan pemerintah sering melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan masalah.37 Kebijakan menurut Edi Suharto erat kaitannya dengan sistem demokrasi, karena penentuan kebijakan dirumuskan melalui persetujuan rakyat menurut sistem demokrasi yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.38Lembaga pemerintah dalam mengeluarkan undang-undang yang bersifat umum mengikat semua orang, berisi kaidah hukum yang melindungi banyak orang.39

             35 

Setiono. Hukum dan Kebijakan Publik. Bahan Matrikulasi Program Magister (S2) Ilmu 

Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2008, hlm. 3 

      36

 Jamal Wiwoho, Bahan Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana  Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 6 

      37 

Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, ctk. Pertama, Raja Grafindo 

Persada, Jakarta, 2004, hlm. 37 

      38 

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Jakarta, 2005, hlm. 72 

      39 

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Liberty, 


(34)

Menurut Bambang Sunggono terdapat beberapa pendapat tentang konsep kebijakan.40 Seperti, Kleijn mengartikan kebijakan sebagai tindakan secara sadar dan sistematis, denga mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan langkah demi langkah. Kuypers berpendapat, kebijakan sebagai suatu susunan dari tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan kelompoknya dan sarana-sarana yang dipilih olehnya. Menurut Harold D.Daswell, kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai, dan praktek terarah. Kebijakan publik menurut Joko Widodo adalah suatu kegiatan yang terkait dengan perumusan masalah, agenda kebijakan ditentukan, perumusan kebijakan, keputusan kebijakan diambil, kebijakan dilaksanakan, dan kebijakan dievaluasi.41

Kebijakan menurut Taliziduhu Ndraha adalah suatu pilihan yang terbaik, usaha untuk memproses nilai pemerintah yang bersumber pada kearifan pemerintahan dan mengikat secara formal, etika dan moral yang diarahkan guna untuk menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan dalam lingkungan pemerintahan dengan dasar pertimbangan kemanusiaan, kependudukan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan hubungan pemerintahan.42

Kebijakan publik oleh James E Anderson dalam Jamal Wiwoho merupakan: 1) Kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau tindakan yang

berorientasi pada tujuan

2) Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah

3) Bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusn pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

4) Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu dilandaskan pada

peraturan perundang-undangan.43

             40 

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 13 

      41 

Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan 

Publik, Bayumedia Publising, Malang, 2007, hlm. 17  

      42 

Taliziduhu Ndraha, KYBERNOLOGI, Ilmu Pemerintahan Baru, ctk. Pertama, Rineka Cipta, 

Jakarta, 2003, hlm. 498 


(35)

Thomas R. Dye dalam Setiono menjelaskan bahwa kebijakan Negara atau

public policy is whatever government choose to do or not to do, yaitu pilihan

tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah44. Kebijakan publik adalah suatu produk hukum pemerintah. Adanya pemisahan kekuasaan lembaga Negara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang dianut di negara Indonesia menjadikan segala keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga Negara tersebut adalah suatu kebijakan publik, termasuk keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang telah mengeluarkan putusan terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur. Menurut Dror, aktor yang berperan dalam membuat kebijakan suatu Negara berkembang yaitu:

- Individu secara perorangan sebagai pemilih - Golongan intelektual

- Para pejabat yang menduduki posisi penting dalam pembuatan kebijakan - Badan legeslatif

- Badan eksekutif - Birokrasi pemerintah

- Badan peradilan

- Partai- partai politik - Golongan militer45

Keputusan Pengadilan menurut civil law system adalah jurisprudensi yang merupakan sumber hukum, tetapi masih sekunder. Keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga Yudikatif Negara. Mengingat kewenagannya untuk menguji undang-undang di bawah Undang-Undang Dasar menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai sumber hukum di Negara Indonesia.46

Menurut Jimly Asshidiqie, adanya pemisahan kekuasaan dari lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudikatif menjadikan produk hukum yang dihasilkan dari lembaga-lembaga tersebut adalah sama berupa kebijakan Negara. Karena       

      44 

Setiono, loc.cit, hlm. 3  

      45 

Dror dalam Jamal Wiwoho, op.cit, hlm. 27 

      46 

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press & PT Cipta Media, Jakarta, 2006, hlm. 343 


(36)

kebijakan Negara yang diambil oleh lembaga yudikatif untuk mengatasi permasalahan Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur adalah dengan putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan bentuk kebijakan publik.47

Karena kebijakan publik itu merupakan seluruh pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 juga merupakan kebijakan pemerintah, karena Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari lembaga negara. Sesuai dengan pendapat Dror yang menyatakan putusan pengadilan termasuk suatu kebijkan publik, sehingga saya mengambil pemahaman bahwa putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang termasuk dalam kajian hukum kebijakan publik.

Sesuai dengan pendapat James E Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan, maka keputusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur yang juga merupakan kebijakan publik, dimungkinkan tidak berlandaskan peraturan perundang-undangan yang ada, karena tidak sesuai dengan UUD 1945, UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004, dan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2. Hubungan hukum dan kebijakan publik

Hubungan hukum dan kebijakan publik memilki keterkaitan yang sangat erat. Hukum dan kebijakan publik berangkat pada fokus yang sama dan berakhir pada muara yang sama pula. Pada proses pembentukan hukum hasil akhirnya lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang, sedangkan pada proses pembentukan kebijakan publik hasil akhirnya pada terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian permasalahan.48 Mengambil dari pendapat Anderson, bahwa Kebijakan pemerintah dalam arti positif selalu       

      47 

Ibid 

      48 


(37)

dilandaskan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan hubungan hukum dan kebijakan publik sangat erat. Dalam setiap membuat suatu kebijakan pemerintah harus memperhatikan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak menyalahi hukum, maka kebijakan dikontrol atau didasarkan pada hukum yang ada. Dapat diambil makna, jika kebijakan publik tidak berdasarkan hukum, maka kebijakan publik tersebut dapat dikatakan melanggar hukum, sehingga kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sah.

Kebijakan publik sangat membantu memaparkan kandungan yang ada dalam sebuah produk hukum. Karena kebijakan publik sebagai sarana untuk menyukseskan pelaksanaan hukum. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa kebijakan publik yang dibuat pemerintah bukanlah bermaksud untuk melakukan suatu yang bertentangan dengan aturan hukum.

Penerapan hukum sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apa saja yang harus dilakukan, agar penerapan hukum yang ada dapat berjalan dengan baik.

Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. kebutuhan tersebut semakin dirasakan seiring dengan semakin meluasnya peranan pemerintah memasuki bidang kehidupan masyarakat. Menurut Setiono,49 pada dasarnya di dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur:

1) Unsur hukum 2) Unsur struktural 3) Masyarakat 4) Budaya  

             49 

Setiono, op.cit, hlm. 6 


(38)

Unsur hukum disini adalah teks aturan-aturan hukum. Semua kebijakan publik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah harus berlandaskan undang-undang yang telah ada. Teks yang ada merupkan acuan yang jelas tertulis, sehingga kebijakan publik yang dibuat tidak menyimpang dari peraturan yang menjadi dasar hukum kebijakan publik.

Terkait dengan tesis yang ditulis, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur dimungkinkan tidak memenuhi unsur hukum yang ada. Karena secara normatif dianggap melanggar ketentuan hukum dasar, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004.

Unsur struktural adalah lembaga-lembaga atau organisasi yang membuat dan melaksanakan hukum. Lembaga yang membuat dan menerapakan hukum merupakan lembaga yang berwenang untuk itu. Sehingga salah apabila suatu produk hukum dibuat oleh lembaga yang tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan yang dimaksud.

Seperti yang terjadi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan diadakannya Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur. Itu menunjukkan adanya ketidaksesuaian struktural hukum. Mahkamah Konstitusi yang hanya diberikan wewenang untuk memeriksa perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan umum. Jadi Mahkmah Konstitusi secara sturktural tidak sesuai dengan kewenangan hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.Mahkamah Konstitusi

1. Konsep dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali.


(39)

Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi konstitusi.50 Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang secara khusus melakukan pengujian terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and

balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan

perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.51 Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung.

Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sesuai dengan gagasan Hans Kelsen tentang perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi. Adanya konflik antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang dengan putusan Pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dengan dan undang-undang. Jadi Mahkamah Konstitusi awalnya dibentuk untuk

      

50 Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”. 

      51 

Jimly Assiddiqie, Model‐Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Konstitusi 


(40)

menguji undang-undang terhadap konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut pengawal konstitusi atau the guardian of the constitution.52

Menurut Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Fungsi dari Mahkamah Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awalnya diarahkan untuk:

1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan

4) Mengadili pembubaran partai politik

5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau instansi pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah

6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang

7) Memberikan putuan gugatan yang berdasarkan UUD 1945

8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara Presiden.53

Melalui pendekatan konsep sejarah (historical approach) dari awal pembentukan Mahkamah Konstitusi oleh badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak ada wewenang untuk menyelesaiakan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal Wiwoho,54 ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yaitu;

1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.

             52 

Jamal Wiwoho, Lembaga‐Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD 1945, UNS 

Press, ctk. Pertama, 2006, Surakarta, hlm. 226 

      53 

Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan 

dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 

20  

      54 


(41)

3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.

Begitu pula menurut I. Gede Pantja Astawa, latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak untuk menyelesaikan perelisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena pada dasarnya terkait masalah perselisihan hasil pemilihan umum telah ada lembaga yang kompeten untuk menanganinya.

2. Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi

Jimly Asiddiqie dalam Fatkurrohman55 Judicial review adalah upaya pengujian oleh lembaga Yudicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan Yudikatif. Sesuai dengan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ayat (2), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.56

Wewenang menguji udang-undang terhadap UUD dengan pengujian formal dan pengujian secara materiil. Pengujian formal adalah wewenang untuk menilai apakah produk hukum legislatif dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan sesuatu peraturan. Hak uji materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan

             55 

Fatkurrohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT Citra 

Aditya, 2004, Bandung, hlm. 25 

      56 

Lihat UUD pasal 24C dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, pasal 1  dan 10 


(42)

perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.57

Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara adalah untuk menyelesikan perselisihan atas kewenangan lembaga Negara yang diberikan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam perimbangan kekuasaan lembaga Negara merupakan fungsi kontrol badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga Negara dengan menempatkan kekuasaan menjadi kewenangan lembaga Negara sesuai dengan proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.

Dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pembubaran partai politik menjadi syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan pembubaran partai politik. Karena tanpa ada dasar hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara pembubaran partai politik, pemerintah tidak berhak membubarkan partai politik. Sehingga Mahkamah Konstitusi disini sebagai lembaga yang sangat menentukan eksistensi keabsahan partai politik dan pelindung dari pembubaran partai politik dari penguasa pemerintahan.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan umum diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan penyelesian perselisihan hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, UU No.32 Tahun 2004 yang diperbaruhi denganUU No.12 Tahun 2008. Karena dalam Negara yang baru menginjak alam demokrasi banyak terjadi pelanggaran atau perselisihan hasil pemilu.

Dalam Negara hukum seperti Indonesia ini, maka segala penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Sebagai lembaga peradilan yang menjunjung tinggi hukum dan menegakkan kedilan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan Putusan tentang pendapat DPR yang selanjutnya diteruskan dalam       

      57 


(43)

sidang paripurna MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden/wakil Presiden dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Presiden/wakil Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum untuk menyatakan Presiden/wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian hasil pemilu

Kedudukan dan peran Mahkamah Konstitusi berada pada posisi strategis dalam sistem ketatanegara Republik Indonesia, karena Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang yang terkait langsung dengan kepantingan politik . Hal ini menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi sentral sekaligus rawan terhadap intervensi pengaruh kekuatan politik, khususnya dalam memutuskan perselisiahan hasil pemilu, pembubaran partai politik, dan impeeacment terhadap Presiden. Berdasarkan ketentuan pasl 24 ayat (2) perubahan UUD 1945, ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Yang sebelumya wewenang ini dipegang oleh Mahkamah Agung. Setelah terbentuk Mahkamah Konstitusi maka seluruh urusan terkait sengketa hasil pemilihan umum menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Pelimpahan wewenang itu tersirat dalam Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan bahwa, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.


(44)

UUD 1945 pasal 24C dinyatakan,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum.

UU No.24 Tahn 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 (3) d dinyatakan,

Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:

a) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 c) Pembubaran partai politik

d) Perselisihan tentang hasil pemilihan umum

e) Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 10 (1)dinyatakan,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

c) Memutus pembubaran partai politik

d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam pasal 106 ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyebutkan apabila terjadi keberatan terhadap hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah maka diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian setelah terjadi perubahan atas undang-undang pemerintahan daerah tersebut diganti dengan UU No.12 Tahun 2008, dalm pasal 236C, maka terkait perselisihan terkait


(1)

i. Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan

j.Melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.

Pasal 81 dinyatakan,

(1)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenal sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye.131

Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut terdapat aturan-aturan yang menunjukkan adanya panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang berwenang untuk menyelesaikan permasalahan terkait pelanggaran pemilihan kepala daerah, sehingga bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus telah terjadi pelanggaran pemilihan kepala daerah. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 105 dinyatakan,

Pengawasan pelaksanaan pemilihan dilaksanakan panitia pengawas pemilihan yang bertanggung jawab dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 108 dinyatakan,

Panitia Pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang: - Menerima laporan pelanggaran perturan perundang-undangan

- Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan - Meneruskan temuan kepada instansi yang berwenang

Pasal 113 dinyatakan,

Penyidikan terhadap laporan sengketa yang mengandung unsure tindak pidana yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan

KUHAP

Pasal 114 dinyatakan,

Pemeriksaan atas tindak pidana dalam peraturan pemerintah ini dilaksanakan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum.132

      

      131 


(2)

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepla Daerah menunjukkan secara normatif hukum, bahwa adanya lembaga yang khusus berwenang menangani masalah pelanggaran pemilihan kepala daerah, yaitu panitia pengawas pemilihan yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Dan adanya jenis pelanggaran pidana yang di selesaikansesuai dengan KUHP melalui lembaga yang berwenang. Sehingga dari peraturan perundang-undangan ini tidak bisa Mahkamah Konstitusi Memutus pemilihan kepala daerah ulang karena adanya pelanggaran pemilihan kepala daerah, sebelum ada keputusan tetap dari lembaga peradilan.

d. Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan paling akhir tahun 2008 Agenda politik pemerintah yang padat membuat waktu pemilihan kepala daerah langsung diatur sedemikian rupa sehingga tidak terbentur dengan agenda politik yang lebih besar, yaitu pemilihan umum legeslatif dan pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Sehingga dalam penyusunan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233 (2), Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang ini paling lama pada bulan Oktober 2008. (3) Dalam hal terjadi pemilihan kepala daerah putaran kedua, pemungutan suara diselenggarakan paling lama pada bulan Desember 2008.133 Mellauipendekatan konsep perundang-undangan jelas telah disebutkan dalam pasal 233 (2 dan 3) bahwa pemilihan kepala daerah dan pemilihan putaran kedua kepala daerah jika terjadi, maka harus diselenggarakan paling lama bulan Oktober 2008, sehingga penyelenggaraan pemilihan putaran ketiga yang terjadi di Jawa Timur berakibat tidak sah. Alasan pertama, bahwa di dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004        

      132 


(3)

tentang Pemerintahan Daerah hanya mengenal pemilihan kepala daearah putaran kedua, sehingga pemilihan ulang kepala daerah putaran ketiga di Jawa Timur tidak sesuai dengan undang-undang ini, kedua, bahwa waktu penyelenggaraan yang seharusnya dilakukan akhir tahun 2008 tetapi dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2009, sehingga pemilihan kepala daerah putaran ketiga yang dilaksanakan di Jawa Timur tersebut tidak sah.

Pemilihan kepala daerah ulang yang merupakan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi terlalu memaksakan kehendaknya. Karena secara hukum Indonesia civil law system yang mendasarkan segala sesuatunya pada perturan perundang-undangan putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak dibenarkan hukum. Dan waktu pemilihan yang telah kedaluwarsa tetap dipaksakan untuk melakukan suatu pemilihan umum pada bulan januari tahun 2009, yang sebenarnya tidak diijinkan oleh undang-undang untuk melakukan pemilihan kepala daerah pada tahun 2009.

Berdasarkan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam pasal 233 (2) dan (3) tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan perturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas. Sehingga pemilihan kepala daerah ulang di jawa timur tidak memenuhi syarat berlakunya hukum dan diragukan keabsahannya. Asas kepastian hukum tidak lagi diperhatikan. Padahal kepastian hukum akan menjamin tercapainya hukum secara benar untuk mencapai keadilan. Kepastian hukum ditandai dengan bukti tertulis dari hukum yang ada. Bahkan Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan hukum tertinggi menganut kepastian hukum, ditandai dengan bukti tulis dari norma-norma hukum yang disebutkan dalam sila-sila, butir-butir Pancasila, pembukaan dan batang tubuh yang berisi bab-bab, pasal-pasal, dan ayat-ayat dalam UUD 1945. Begitu pula dengan peraturan yang lain


(4)

Pemilihan umum dilakukan melalui tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, hingga tahap akhir pengumuman suara pemenang pemilihan umum. Kesemuanya tentunya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan pemilihan umum, khusus untuk pemilihan kepala daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sehingga tahapan yang panjang tersebut tidak mungkin untuk dipaksakan berlakunya. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur selain menurut aturan dilarang, juga waktu yang digunakan untuk melakukan pemilihan ulang melampaui batas waktu yang telah ditentukan.


(5)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dituliskan di depan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 pasal 18, 22E, 24C, dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1, 10, 74, 75, 77. Peraturan yang tersebut dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut tidak diperhatikan dalam membuat suatu keputusan hukum oleh hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah Jawa Timur, dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dikategorikan putusan Ultra Petita.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan undang-undang Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004 pasal 57, 78, 81, 103, 104, 106 dan UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 233 dan 236), dimana peraturan tersebut sebenarnya yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah.

B. Implikasi

1. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D- VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, yang dapat dikategorikan putusan Ultra Petita, maka akan berimplikasi menjadi preceden yang akan terulang dikemudian waktu terkait dalam penyelesaian permasalahan perselisihan hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.


(6)

2. Mahkamah Konstitusi secara hukum mendapatkan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 236 UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang mana putusan Mahkamah Konstitusi akan berimplikasi; demi keadilan yang demokratis putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yang harus diterima oleh semua pihak bersengketa.

C. Saran

1. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, maka semua yang dilakukan harus berdasarkan atas hukum. UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tingkat tertinggi (grundnorm) harus ditaati, karena UUD 1945 sebagai sumber hukum bagi peraturan hukum di bawahnya. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan UUD 1945 terkait wewenang Mahkamah Konstitusi menjadi acuan bagi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas wewenang dan kewajibannya. Karena undang-undang tersebut menjadi aturan yang dijadikan pedoman untuk menyelesaikan permasalahan hukum.

2. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah dan UU No.12 Tahun 2008 atas perubahan kedua UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara khusus mengatur pemilihan kepala daerah dan penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan dengan konsisten terkait masalah perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Sehingga permasalahan perselisihan pemilihan kepala daerah tidak merugikan rakyat di daerah dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang berdemokratis.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

0 83 187

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

KAJIAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TIMUR

0 3 18

KONTRADIKSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008) Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 2 18

SKRIPSI Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 2 16

PENDAHULUAN Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 3 13

Pembingkaian Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya (Studi Analisis Framing Tentang Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya Pada Surat Kabar Jawa Pos dan Surya edisi 1 s.d 6 Juli 2010.

0 0 118

TEROBOSAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI (Analisis Tentang Putusan MK Nomor: 41PHPU.D-VI2008)

0 0 9

Pembingkaian Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya (Studi Analisis Framing Tentang Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya Pada Surat Kabar Jawa Pos dan Surya edisi 1 s.d 6 Juli 2010

0 1 21