Asas lex superiori derogat legi inferiori

commit to user 84

e. Asas lex superiori derogat legi inferiori

UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut masih belum sempurna, karena permasalahan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan belum berakhir, oeh karena itu diskusi dan kajian panjang terhadap permasalahan tersebut perlu dilakukan agar kepastian hukum dapat dicapai dengan maksimal, namun undang-undang itulah yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berlaku dan menjadi dasar hukum untuk menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. 121 Untuk berlakunya suatu hukum tentunya harus memperhatikan asas-asas hukum yang ada. Asas-asas peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu lex superiori derogate legi inferiori yang artinya peraturan perundang- undangan yang memiliki hierarki lebih tinggi dapat mengalahkan peraturan perundangan di bawahnya. Sehingga segala peraturan yang ada dibawahnya harus berdasarkan peraturan yang ada di atasnya. Hal ini didasarkan pada sifat hukum yang selalu mendasarkan pada sumber hukum yang lebih tinggi. Karena hukum yang lebih tinggi tingkatannya menjadi sumber hukum bagi peraturan- peraturan yang dibawahnya. Menurut Peter Mahmud Marzuki,apbila terjadi pertentangan antara hukum yang secara hierarki lebih rendah dengan tingkatan yang lebih tinggi, maka hukum yang ditingkatan rendah harus disisihkan. 122 Dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika dikaitkan dengan penulisan tesis tentang analisis putusan Mahkamah Konstitusi NO.41PHPU.D- VI2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur, maka putusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan asas lex superiori derogate legi inferiori. Karena putusa Mahkamah Konstitusi secara hukum bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang lain seperti UU No.24 Tahun 2003 121 Maria Faria Indrati, loc.cit. 122 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 99 commit to user 85 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal-pasal UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang lain jelas tidak menyebutkan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dengan putusan berupa pemilihan umum ulang. Kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan ulang terhadap hasil suara pemilihan umum yang diperselisihkan oleh peserta pemilihan umum. Ditambah lagi pemaknaan pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi. UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi dalam susunan peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan pemilihan kepala daerah langsung kedalam pemilihan umum. UUD 1945 sebagai Konstitusi menggambarkanhukum positif pada tingkat tertinggi. Mengambil pengertian kata subtansif dan esensial konstitusi yang bergantung pada pengaturan alat pemerintahan dan proses penciptaan hukumnya, yaitu proses legeslasi. 123 Sehingga penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala langsung daerah tidak dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi seperti terhadap perselisihan pemilihan umum. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sendiri menyebutkan wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada hasil perselisihan suara pemilihan umum, bukan untuk menghakimi terhadap suatu pelanggaran hukum yang sifatnya pidana pemilihan umum, karena itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga lain yang berwenang. Hans Kelsen dalam Soedikno Merto Kusumo berpendapat, suatu kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah hukum secara hierarki. Grundnorm atau norma dasar terdapat dasar berlakunya kaedah hukum. kaedah yang berasal dari suatu tata hukum dari aturan dasar itu hanya dapat dijabarkan berlakunya kaedah hukum bukan isinya. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan bahwa, berlakunya hukum itu 123 Stanley L. Poulson, op.cit, hlm. 106 commit to user 86 berhubungan dengan das sollen, sedangkan pengertian hukum berhubungan dengan das sein. 124 Asas lex superiori derogate legi inferiori meunjukkan hukum yang dibuat oleh lembaga Negara yang lebih tinggi memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi pula. Walaupun di Indonesia sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi atau lembaga tinggi Negara, tetapi perlu diingat bahwa lembaga legeslatifDewan Perwakilan Rakyat dan lembaga eksekutifPresiden merupakan lembaga yang mengusulkan, memilih, dan mengangkat hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 24C 3 disebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Sehingga lembaga yang dibentuk oleh suatu lembaga lain, maka lembaga yang membentuk adalah lembaga yang memiliki power yang lebih tinggi kedudukan kewenangannya dalam ketatanegaraan. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, seperti UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tingkatan lebih tinggi lex superiori dibandingkan dengan putusan hakim inferiori. Selain dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menjadi pedoman mengenai tata urutan susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia disebutkan tata urutan perundng-undangan yang berada pada tingkatan tertinggi sampai peraturan tingakat terendah, juga peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga yang sah secara hukum diberikan wewenang untuk membentuk hukum. 125

2. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah kedua

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

0 83 187

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

KAJIAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TIMUR

0 3 18

KONTRADIKSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008) Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 2 18

SKRIPSI Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 2 16

PENDAHULUAN Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

0 3 13

Pembingkaian Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya (Studi Analisis Framing Tentang Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya Pada Surat Kabar Jawa Pos dan Surya edisi 1 s.d 6 Juli 2010.

0 0 118

TEROBOSAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI (Analisis Tentang Putusan MK Nomor: 41PHPU.D-VI2008)

0 0 9

Pembingkaian Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya (Studi Analisis Framing Tentang Berita Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Coblos Ulang Pilkada Surabaya Pada Surat Kabar Jawa Pos dan Surya edisi 1 s.d 6 Juli 2010

0 1 21