commit to user
31
sidang paripurna MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presidenwakil Presiden dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Presidenwakil
Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum untuk menyatakan
Presidenwakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian hasil pemilu
Kedudukan dan peran Mahkamah Konstitusi berada pada posisi strategis dalam sistem ketatanegara Republik Indonesia, karena Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang yang terkait langsung dengan kepantingan politik . Hal ini menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi berada dalam posisi sentral
sekaligus rawan terhadap intervensi pengaruh kekuatan politik, khususnya dalam memutuskan perselisiahan hasil pemilu, pembubaran partai politik, dan
impeeacment terhadap Presiden. Berdasarkan ketentuan pasl 24 ayat 2 perubahan UUD 1945, ada dua lembaga yang berwenang untuk melakukan
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 dan 10, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Yang sebelumya wewenang ini dipegang oleh Mahkamah Agung. Setelah terbentuk Mahkamah Konstitusi
maka seluruh urusan terkait sengketa hasil pemilihan umum menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Pelimpahan wewenang itu tersirat dalam Pasal 236C UU
No.12 Tahun 2008 perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan bahwa, penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 delapan belas bulan
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
commit to user
32
UUD 1945 pasal 24C dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
UU No.24 Tahn 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 3 d dinyatakan,
Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 b
Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c Pembubaran partai politik
d Perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e Pendapat DPR bahwa presiden danatau wakil presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden danatau wakil presiden sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 10 1dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c Memutus pembubaran partai politik
d Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam pasal 106 ayat 4 UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyebutkan apabila terjadi keberatan terhadap hasil perhitungan suara
Pemilihan Kepala Daerah maka diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian setelah terjadi perubahan atas undang-undang pemerintahan daerah tersebut diganti
dengan UU No.12 Tahun 2008, dalm pasal 236C, maka terkait perselisihan terkait
commit to user
33
hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah Agung di alihkan ke Mahkamah Konstitusi. Dari pengalihan wewenang tersebut tidak
menyebutkan adanya kewenagan dari Mahkamah Konstitusi untuk memutus Pemilihan Kepala Daerah ulang, tetapi hanya sebatas sah tidaknya perhitungan
suara. Disebutkan pula dalam pasal 233 bahwa Pemilihan Kepala Daerah harus dilaksanakan paling lambat bulan desember 2008, sehingga putusan Pemilihan
Kepala Daerah ulang yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari di Sampang dan Bangkalan tidak sesuai hukum.
Dalam Pasal 77 ayat 1 dan 2 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan; apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan atas perkara peselisihan hasil pemilu yang diajukan pemohon adalah beralasan dan memenuhi ketentuan pasal 74 UU No.24 Tahun 2003, maka amar
putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan dikabulkan, sedangkan sebaliknya maka amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
tidak dapat diterima. Pasal 75 jo pasal 77 ayat 3 dan 4 UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, terhadap pemohon yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaaan, kemudian memutuskan dengan menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar dari pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum. Hal ini mempunyai relevansi sebagai dasar hukum penetapan suatu hasil
perhitungan suara pemilu secara nasioal dengan implikasi keabsahan perolehan suara peserta pemilu calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden,
dan Dewan Perwakilan Daerah. Uji atas perhitungan hasil pemilu merupakan kewenangnan Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi dasar hukum yang memberikan keabsahan perolehan suara peserta pemilu dari perhitungan hasil
suara pemilu.
58
58
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Kontitusi, Rineka Cipta, ctk Pertama, 2006,
Jakarta, hlm. 38
commit to user
34
Pasal 75 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam permohonan yang diajukan , pehohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
Ayat 1 Kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkanm Komisi Pemilihan Umum dan hasil perhitungan yang benar adalah menurut pemohon
Ayat 2 Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang
benar menurut pemohon
59
Hakim tidak boleh menolak untuk memutus suatu perkara, karena tidak ada hukum yang mngaturnya. Sehingga hakim diberikan kebebasan untuk
memutuskan suatu hukum, pasal 21 A.B. Kekuasaan keputusan hakim tersebut hanya berlaku terhadap hal yang diputuskan dalam putusan itu dan berlaku bagi
orang tertentu saja. Walaupun hakim dapat menciptakan hukum, namun kedudukan hukum tersebut bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legeslatif
pembentuk undang-undang yang sah, karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku umum.
60
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas bahwa yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah terkait sengketa perhitungan
hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus diadakan atau tidaknya pemilihan ulang. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 75 jo pasal 77 ayat 3 dan 4
UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap pemohon yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaaan, kemudian
memutuskan dengan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar dari pemohon atau oleh Komisi Pemilihan Umum. Termasuk dalam hal putusan
Mahkamah Konstitusi NO.41PHPU.D-VI2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah ulang di Jawa Timur tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut. Sehingga
tidak benar jika Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur memutuskan Pemilihan Kepala Daerah ulang.
59
Lihat UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Kostitusi
60
CST. Kansil, op.cit. hlm. 36
commit to user
35
D. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum