Variabel Output Gap Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi

variabel lain Nuryati, 2004. Kebijakan Inflation Targeting yang dilakukan memiliki tingkat fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan moneter, dan memfokuskan pada kestabilan tingkat inflasi dalam jangka panjang, sehingga ketika terjadi peningkatan inflasi pada periode sebelumnya secara langsung otoritas moneter akan berusaha menekan tingkat inflasi pada kondisi yang rendah dan stabil. Dalam jangka panjang tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan menjadi kunci pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian dan pertumbuhan di kawasan tersebut menjadi lebih konsisten atau menuju kekonsistenan.

4.3.3.2. Variabel Output Gap

Berdasarkan hasil estimasi yang telah dijelaskan sebelumnya, diperoleh koefisien dari variabel output gap bertanda positif, yaitu sebesar 0,227. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan output gap sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan inflasi sebesar 0,227 persen, begitu juga sebaliknya. Secara teoritis, perkembangan inflasi merespon perkembangan output gap, dalam artian peningkatan output gap akan mendorong peningkatan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung memberikan tekanan ke atas pada tingkat harga. Koefisien output gap yang bernilai positif merupakan dampak inflatoir dari perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya akan terus terjadi pada periode berikutnya Fauzi, 2007. Hasil estimasi sejalan dengan penelitian yang dilakukan Honohan dan Lane 2003 dimana output gap dapat memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara Eropa. Selain itu, hal senada pun diungkapkan oleh Werdaningtyas 2004 dalam kondisi inflationary gap, apabila pendapatan aktual mengalami kenaikan, maka output gap semakin besar, sehingga dampaknya tingkat harga juga mengalami kenaikan. Output gap selalu menjadi faktor penting dalam memengaruhi perkembangan tingkat inflasi Angeloni dan Ehrmann, 2004. Hubungan positif antara output gap dan tingkat inflasi telah terbukti memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Respon positif inflasi terhadap output gap mengindikasikan jika perekonomian di negara-negara ASEAN+6 dalam kondisi booming akan mendorong kenaikan tingkat inflasi di kawasan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika perekonomian dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Variabel output gap juga dapat merefleksikan siklus bisnis dalam suatu kawasan, seperti halnya di negara-negara ASEAN+6, sehingga pemilihan kebijakan moneter atau fiskal di kawasan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi inflationary gap atau deflationary gap . Pengelolaan stabilitas makroekonomi menjadi hal yang sangat penting, karena guncangan yang terjadi cenderung akan mendorong perubahan dalam jangka waktu lebih lama. Hubungan positif antara output gap dengan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 juga dapat terlihat pada Gambar 4.4a. dan Gambar 4.4b. yang ditampilkan sebelumnya. Secara keseluruhan, perkembangan output gap dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 memiliki pola interaksi yang variatif, dimana output gap dapat memengaruhi pergerakan tingkat inflasi. Implikasinya adalah dengan semakin kuatnya pengaruh tekanan ekonomi yang tercermin oleh perkembangan output gap pada pergerakan tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6, maka semakin penting pula peranan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator sasaran akhir kebijakan makro-moneter. Sensitivitas inflasi terhadap perkembangan output gap mengharuskan negara-negara ASEAN+6 merumuskan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pencapaian sasaran tunggal stabilitas harga, baik kondisi saat kini maupun dimasa yang akan datang. Pengelolaan kebijakan moneter yang tepat dan diimbangi oleh kebijakan fiskal dari pemerintah di masing-masing negara akan mampu memberikan dampak positif dan keseimbangan ekonomi bagi perekonomian di negara-negara ASEAN+6. Penelitian Solikin 2004 menjelaskan bahwa ketidaklinieran atau asimetri hubungan antara kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi memiliki implikasi penting pada kebijakan pengelolaan sisi penawaran supply-management policies dan kebijakan pengelolaan sisi permintaan demand-management policies. Jika dilihat dari sisi penawaran pemerintah negara-negara ASEAN+6 dapat membuat kebijakan dengan membatasi sebagian pengaruh shock positif pada sisi penawaran, sehingga pencapaian pertumbuhan output tidak menimbulkan inflasi. Sedangkan dari sisi permintaan dapat dilakukan dengan merespon shocks pada sisi permintaan demand side. Agar target inflasi rendah dan stabil yang ditetapkan oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 dapat terealisasi, maka rata-rata output riil harus diupayakan untuk berada pada kondisi di bawah tingkat potensialnya. Implikasi dari kondisi tersebut adalah dalam hal output riil berada di atas tingkat potensialnya, maka terdapatnya insentif bagi pengambil kebijakan di negara-negara ASEAN+6 pemerintah atau otoritas moneter untuk mempercepat respon terhadap terjadinya gejala awal inflasi, yaitu saat terjadinya shocks positif pada permintaan agregat di negara-negara tersebut.

4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate NEER