Variabel Lag Dependent Inflasi

dengan validitas instrumen. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak bias unbiased, dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien hasil estimasi berada di atas efek fixed effect dan di bawah estimasi OLS ordinary least square. Namun, pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien AB-GMM berada di bawah koefisien estimasi fixed effect, sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis ini adalah bias biased atau instrumen yang digunakan masih lemah. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas berukuran kecil, hal tersebut dapat terjadi ketika tingkat lag lagged level dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah Blundell Bond, 1998. Verbeek 2004 menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya memerlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen. Secara keseluruhan hasil estimasi di atas telah memberikan informasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabel- variabel yang signifikan atau berpengaruh nyata dalam memengaruhi tingkat inflasi, serta bagaimana regresor memengaruhi variabel dependen sesuai dengan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4.. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

4.3.3.1. Variabel Lag Dependent Inflasi

Berdasarkan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4., diperoleh koefisien dari variabel lag dependent inflasi bertanda negatif, yaitu sebesar - 0,424. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi pada periode atau tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh penurunan inflasi sebesar 0,424 persen, begitu juga sebaliknya. Hubungan negatif ini merupakan respon dari kebijakan moneter di negara-negara ASEAN+6 untuk dapat mengendalikan laju inflasi dan menstabilkan kondisi makroekonomi di masing-masing negara. Kebijakan moneter yang diterapkan oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 diarahkan kepada pencapaian pentargetan inflasi, dan berusaha menurunkan atau mengendalikan pergerakan inflasi di masa mendatang untuk berada pada tingkat yang rendah dan stabil. Fleming 1971 dalam Mongelli 2008 ketika laju inflasi antar negara di dalam suatu kawasan berada pada tingkat yang rendah dan stabil dari waktu ke waktu, maka kondisi tersebut juga akan diikuti oleh kestabilan perdagangan di negara- negara tersebut. Kenaikan inflasi pada periode atau tahun sebelumnya menjadi sebuah tanggung jawab pemerintah di negara-negara ASEAN+6 untuk mampu menekan pergerakan laju inflasi agar tidak terlalu tinggi. Sebagian negara anggota ASEAN+6 memilih untuk menggunakan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting IT dalam menstabilkan kondisi ekonomi di negaranya. Seperti halnya Thailand, New Zealand, Korea Selatan, Filipina, Australia, dan Indonesia memilih konsep Inflation Targeting Framework ITF untuk menekan dan menurunkan tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh oleh negara-negara tersebut sebagai langkah antisipatif untuk mencapai sasaran inflasi yang akan ditetapkan di masa yang akan datang. Selain itu, kebijakan moneter yang dilakukan berorientasi pada kondisi masa depan, karena fakta empiris menunjukkan bahwa terdapat tenggang waktu dari pengaruh perkembangan suatu variabel ekonomi terhadap variabel lain Nuryati, 2004. Kebijakan Inflation Targeting yang dilakukan memiliki tingkat fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan moneter, dan memfokuskan pada kestabilan tingkat inflasi dalam jangka panjang, sehingga ketika terjadi peningkatan inflasi pada periode sebelumnya secara langsung otoritas moneter akan berusaha menekan tingkat inflasi pada kondisi yang rendah dan stabil. Dalam jangka panjang tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan menjadi kunci pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian dan pertumbuhan di kawasan tersebut menjadi lebih konsisten atau menuju kekonsistenan.

4.3.3.2. Variabel Output Gap