Hubungan kepercayaan antara nasabah dan bank Loyalitas nasabah bank

tinggi dalam bentuk bunga atau feeatau mengurangi pelayanan dan kemudahan convenience, namun suatu bank yang mengambil keuntungan dari situasi yang demikian ,pastilah akan menyesal nantinya. 46

d. Hubungan kepercayaan antara nasabah dan bank

Pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap bank telah menciptakan hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya menjadi penting. Hal ini terjadi karena bank memiliki status yang unik ditengah masyarakat - selain bank sebagai sandaran suatu kepercayaan ia juga menempati posisi khusus sebagai tempat yang aman. Di samping itu, dalam menjalankan kegiatan usahanya bank juga terlibat dengan masalah-masalah internal perusahaan dan individu sehingga peranan bank telah melampaui hubungan tradisional antara debitur dan kreditur. Dengan karakteristik demikian itu, maka hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kepercayaan. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam praktik perbankan modern yang melibatkan struktur yang sangat kompleks dan seringkali menyebabkan bank berperan sebagai penasehat keuangan financial adviser bagi nasabahnya sehingga menciptakan hubungan kepercayaan dan kerahasiaan confidentiality yang pada gilirannya menghasilkan suatu fiduciary duty terhadap bank ke yang pada gilirannya menghasilkan suatu fiduciary duty terhadap bank ketika berurusan dengan nasabahnya. Dengan hubungan yang demikian itu, maka bank memiliki kewajiban untuk mengungkapkan a duty to disclose seluruh fakta material kepada nasabahnya, apabila bank memiliki pengetahuan yang mungkin sangat penting bagi nasabah 47 46 Drs. A. Hasyimi Ali,op.cit, hal.6-7 47 Makalah_lps.pdf , by Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M, PENTINGNYA KEBERADAAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM SISTEM PERBANKAN hal.2-3 Universitas Sumatera Utara

e. Loyalitas nasabah bank

Isu mengenai loyalitas ganda di kalangan nasabah bank memang bukanlah hal yang baru di industri perbankan. Fakta mengenai hal ini bisa saja diperoleh melalui observasi atau survai nasabah, baik individual maupun korporasi, terhadap jumlah dan aktifitas kepemilikan rekening mereka di bank. Memang, adanya kecenderungan nasabah memiliki rekening di beberapa bank seolah merupakan fenomena biasa dan sering dianggap praktik yang lumrah dalam industri yang terfragmentasi seperti halnya perbankan di negeri ini. Benarkah demikian? Telaah lebih jauh justru mengindikasi sebaliknya, yaitu adanya suatu celah di mana hubungan antara bank dan nasabah tidak sepenuhnya mencerminkan pemenuhan kebutuhan terhadap fungsi transaksi. Bukan hal yang tidak mungkin kalau sebenarnya hal itu mengindikasi adanya asymmetric information dari ancangan program atau kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hubungan antara bank dan nasabah-nya customer relationship management. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa keberadaan unit-unit pengelolaan hubungan nasabah di lembaga perbankan tidak sepenuhnya mampu mengendalikan perilaku nasabah agar mereka tidak beralih ke sumber layanan keuangan lainnya? Sudah tentu jawaban atas pertanyaan itu akan sangat bergantung pada kemampuan para pelaku perbankan dalam memaknai arti penting kepuasan dalam bertransaksi dan implikasi logis dari loyalitas nasabah. Secara eksplisit, tulisan ini mencoba menguak kembali mengapa kepuasan nasabah terhadap suatu produk perbankan tidak sepenuhnya cukup untuk menjadi dasar pengelolaan bisnis perbankan dalam jangka panjang. Debat literatur mengenai kepuasan nasabah customer satisfaction pada umumnya terjebak pada upaya simplifikasi atau pemodelan yang mengedepankan faktor-faktor penentu kepuasan, namun sangat jarang yang mengungkap tentang bagaimana proses konversi Universitas Sumatera Utara kepuasan menjadi loyalitas nasabah bank itu terjadi. Kompleksitas hubungan antar faktor yang membentuk perilaku nasabah ditengarai menjadi penyebab mengapa loyalitas nasabah seringkali luput dari perhatian para pelaku perbankan. Sisi Gelap Kepuasan Nasabah,Hal menarik yang dapat dicerna dari adanya perubahan orientasi fungsional yang terjadi dalam industri perbankan adalah perlunya meredefinisi kembali mengenai arah dan tujuan yang ingin dicapai bisnis tersebut dalam jangka panjang. Sebagai suatu lembaga perantara yang dikelola dengan aturan yang sangat ketat, bank sebenarnya memiliki keunikan karakter tersendiri yang dibutuhkan dalam mengelola hubungan dengan para nasabahnya. Hanya saja, kepuasan nasabah seolah menjadi suatu konsep baku yang hanya bertumpu pada persepsian nasabah terhadap faktor bunga bank atau bentuk insentif lain yang setara dengan hal itu. Kalau demikian halnya, maka hubungan antara bank dan nasabah terjadi semata-mata berdasar pada logika ekonomi baku mengenai besaran kemanfaatan dan biaya dari suatu transaksi perbankan. Nilai kepuasan yang semestinya diarahkan untuk pemenuhan terhadap ekspektasi atau harapan kedua belah pihak seringkali hanya diujudkan dalam bentuk pemenuhan terhadap suatu transaksi, sehingga yang muncul kemudian adalah berapa besaran yang diperoleh atau diberikan oleh masing-masing pihak dari aktifitas pertukaran yang terjadi. Perilaku semacam ini bukan tidak mungkin dalam jangka panjang akan mendorong kedua belah pihak melanggengkan pandangan oportunistik dalam berbisnis. Dalam pandangan oportunistik, hubungan antara bank dan nasabah dipersepsikan tidak lebih sebagai bentuk hubungan transaksi jual-beli untuk produk-produk perbankan yang bersifat baku atau standar. Dengan cara itu, pola interaksi antara kedua belah pihak yang kemudian berkembang adalah tarik-menarik kekuatan atau kendali yang mengarah pada upaya dominasi peran untuk memperoleh kemanfaatan maksimal bagi dirinya. Durasi penguasaan terhadap aktifitas transaksi menjadi sesuatu yang krusial untuk menentukan besaran kemanfaatan yang Universitas Sumatera Utara diperoleh dari masing-masing pihak. Itu sebabnya, tidak jarang ditemui kalau para nasabah akan selalu mencari alternatif pembanding terhadap layanan jasa keuangan yang dibutuhkan. Seorang nasabah bank kini seolah tidak cukup hanya mengandalkan pada layanan yang diberikan oleh satu bank saja, walaupun pihak bank seringkali sudah menawarkan jasa keuangan dengan pola ”one-stop-shop” bagi nasabahnya. Bagi nasabah, perilaku beralih bank dapat dianalogikan sebagai biaya pembelajaran yang dibutuhkan untuk mendapat kemanfaatan baru atau seperangkat harapan terhadap pemenuhan jasa keuangan dan perbankan. Dalam kondisi seperti itu, sensitifitas dalam pengendalian biaya untuk beralih layanan switching costs pada bank yang lain menjadi konsiderannya dalam memilih bank. 48

f. Nasabah berfungsi sebagai pembeli