Dampak Sosial Korupsi dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden Karya Noorca M. Massardi

(1)

Dampak Sosial Korupsi dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden

Karya Noorca M. Massardi

Skripsi

Oleh

Jansudin Saragih Turnip

NIM 070701010

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

Dampak Sosial Korupsi dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden

Karya Noorca. M. Massardi

Skripsi

Oleh

Jansudin Saragih Turnip

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyimpulkan dampak sosial korupsi yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca M. Massardi. Untuk mendapatkan hasil tersebut digunakan teori sosiologi sastra dengan menggunakan persfektif teks sastra dan persfektif biografis pengarang. Metode penelitian yang digunakan adalah library research atau penelitian kepustakaan dan ditambah dengan menjalin korespondensi dengan pengarang novel melalui internet. Analisisnya diawali dengan membahas unsur intrinsik yang dilanjutkan dengan membahas unsur ekstrinsik. Dari hasil analisis tersebut ditemukan bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang tergolong dalam white-collar crime atau kejahatan kelas sosial tinggi. Kejahatan kelas sosial tinggi yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel dikelompokkan dalam occupational crime (kejahatan yang menguntungkan diri sendiri) dan corporate crime (kejahatan yang menguntungkan kelompok atau organisasi). Dapat disimpulkan juga bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh kalangan kelas sosial tinggi merupakan kejahatan yang lebih berdampak buruk dibandingkan dengan jenis kejahatan konvensional. Selain karena status sosial pelaku yang tidak dicurigai, kejahatan korupsi juga dilakukan secara terorganisir sehingga sulit untuk dikenali dan dituntaskan penyelesaiannya. Kejahatan korupsi menimbulkan dampak buruk bagi negara dan akhirnya menyengsarakan masyarakat. Dari penelitian ini juga disimpulkan beberapa cerminan masyarakat yang menunjukkan kleptokrasi, antikorupsi dan kekuatan masyarakat demokratis yang menyongsong reformasi untuk melawan pemerintahan yang korup.

Kata-kata kunci:

Novel, politik, filantropi, dampak sosial, korupsi, kleptokrasi, genosida, reformasi, dan white-collar crime.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skrispi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul ”Dampak Sosial Korupsi dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden Karya Noorca. M. Massardi” disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan banyak bantuan, baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimaka kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., selaku Dekan fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku Ketua Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Haris Sutan, M. Sp., selaku Sekretaris Departeman Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dan Kakak Tika ....? selaku pegawai yang baik hati, di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah banyak

memberikan ilmu dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Gustaf Sitepu, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

memberian masukan, dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sallyanti, M. Hum., selaku dosen penasehat akademik yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama mejadi mahasiswa.

6. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penulis.


(4)

7. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda B. Saragih, dan Ibunda B. Sinaga yang telah setia mendoakan dan mendidik sehingga penulis bisa menyelesaiakn perkuliahan ini.

8. Saudara-saudariku, Candra ST, Spd., Prima Zepri ST, dan Fitryani ST., yang telah

menjadi peneguh dikala bimbang, dan mejadi pembangkit, dikala terjatuh, dan yang telah besabar menunggu dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua organisasi/ komunitas yang turut menjadi bagian hidupku, UKM KMK, St.

Albertus Magnus USU, KMK St. Gregorius Agung (Gregung), IMPERATIF, Komunitas Bawah Tangga, Komunitas Lilin, dan lain-lain.

10.Abang Daniel Limbong, CSS selaku Pemuridku, atau Pembimbing Spiritual (rohani)

yang dengan setia membimbing dan mendoakan saya untuk senantiasa bertumbuh dalam hal rohani dan intelektual.

11.Semua rekan-rekan, abang dan kakak, sahabat stambuk ’05, ’06, ’07, ’08, dan adik-adik ’09, ’10, dan ’01 dari berbagai Fakultas dan Jurusan di Universitas Sumatera Utara.

12.Abang Zakharia Ginting, S.S, yang telah mejadi saudara baik dan suka dan

kesusahan, dan Kakak Hervina Simangunsong, S.S, Spd., yang juga telah menjadi saudara dalam badai dan suka.

13. Semua orang yang telah turut membentuk pribadi penulis menjadi pribadi figur yang lebih makasimal, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempuran, oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.


(5)

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca dan seperti pepatah Latin mengatakan ”Ad Maiorem dei Gloriam” biarlah semua hal terbaik yang kita lakukan dalam hidup ini adalah demi kemuliaan Allah yang lebih lagi. Sekian dan terima kasih.

Medan, November 2011

Penulis,

Nama : Jansudin Saragih Turnip NIM : 070701010


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Dampak Sosial Korupsi

dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden Karya Noorca. M. Massardi” adalah benar hasil karya penulis. Judul yang dimaksud belum pernah dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain demi memperoleh gelar kesarjanaan.

Semua sumber data yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar sesuai aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, November 2011

Penulis,

Nama : Jansudin Saragih Turnip NIM : 070701010


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... Lembar Pernyataan ... Abstrak ... Kata Pengantar ... Lembar Pengesahan ... Daftar Istilah ... Daftar Isi ...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Masalah ...4

1.3 Batasan Masalah ...4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ...6

2.1 d.I.a. cinta dan presiden ...6

2.2 Dampak Sosial ...8

2.3 Korupsi …………...…...8

2.4 Negara ……….. ...9

2.5 Korporasi dan Birokrasi ……...10

2.6 White-Collar Crime (Kejahatan Status Sosial Tinggi) ………...11

2.7 Demokrasi ...12

2.8 Kleptokrasi ...13

2.9 Moralitas dan Etika ...13

2.2 Landasan Teori ...14

2.2.1 Perspektif Teks Sastra ...15

2.2.1 Perspektif Biografis ...18

2.3 Tinjauan Pustaka ...19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data ...25


(8)

BAB IV ANALISIS INTRINSIK

4.1 Penokohan ...37

4.1.1 Tokoh Utama ...38

4.1.2 Tokoh Pendukung ...66

4.2 Latar (Setting) ...72

4.2.1 Latar Fisik Berupa Wilayah dan Bangunan ………73

4.2.2 Latar Sosial ...77

4.3 Tema ...79

4.3.1 Kejahatan Korupsi ...80

4.3.2 Kekuasaan ...85

4.3.3 Reformasi Pemerintahan ...92

4.3.4 Filantropi (Cinta Kasih) ...101

BAB V ANALISIS EKSTRINSIK 5.1 Pola Tindakan Kejahatan Korupsi Dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden...102

5.1.1 Occupational Crime ...103

5.1.2 Corporate Crime ...105

5.2 Dampak Sosial Korupsi Dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden ...109

5.2.1 Kemiskinan Materi (Keuangan) ...111

5.2.2 Kerusakan Lingkungan ...103

5.2.3 Demoralisasi ...113

5.2.4 Mafia Peradilan ...116

5.2.5 Pertentangan Hak Asasi Manusia ...118

5.3 Pandangan Pengarang Terhadap Kejahatan Korupsi ...122

5.4 Cerminan Masyarakat Dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden ...124

5.4.1 Kleptokrasi ...125

5.4.2 Kekuatan Masyarakat Demokratis ...128

5.4.3 Masyarakat Antikorupsi ...133

BAB VI SIMPULAN 6.1 Simpulan ...134

6.2 Saran ...136 DAFTAR PUSTAKA


(9)

Dampak Sosial Korupsi dalam Novel d.I.a. cinta dan presiden

Karya Noorca. M. Massardi

Skripsi

Oleh

Jansudin Saragih Turnip

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyimpulkan dampak sosial korupsi yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca M. Massardi. Untuk mendapatkan hasil tersebut digunakan teori sosiologi sastra dengan menggunakan persfektif teks sastra dan persfektif biografis pengarang. Metode penelitian yang digunakan adalah library research atau penelitian kepustakaan dan ditambah dengan menjalin korespondensi dengan pengarang novel melalui internet. Analisisnya diawali dengan membahas unsur intrinsik yang dilanjutkan dengan membahas unsur ekstrinsik. Dari hasil analisis tersebut ditemukan bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang tergolong dalam white-collar crime atau kejahatan kelas sosial tinggi. Kejahatan kelas sosial tinggi yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel dikelompokkan dalam occupational crime (kejahatan yang menguntungkan diri sendiri) dan corporate crime (kejahatan yang menguntungkan kelompok atau organisasi). Dapat disimpulkan juga bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh kalangan kelas sosial tinggi merupakan kejahatan yang lebih berdampak buruk dibandingkan dengan jenis kejahatan konvensional. Selain karena status sosial pelaku yang tidak dicurigai, kejahatan korupsi juga dilakukan secara terorganisir sehingga sulit untuk dikenali dan dituntaskan penyelesaiannya. Kejahatan korupsi menimbulkan dampak buruk bagi negara dan akhirnya menyengsarakan masyarakat. Dari penelitian ini juga disimpulkan beberapa cerminan masyarakat yang menunjukkan kleptokrasi, antikorupsi dan kekuatan masyarakat demokratis yang menyongsong reformasi untuk melawan pemerintahan yang korup.

Kata-kata kunci:

Novel, politik, filantropi, dampak sosial, korupsi, kleptokrasi, genosida, reformasi, dan white-collar crime.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

“Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiiki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada” (Sumardjo dan Saini, 1991:9). Selanjutnya dikatakan oleh Taine (dalam Endraswara, 2008:17) “sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan”. Hal ini berarti setiap orang dapat melihat realitas sosial dalam sebuah karya sastra bahkan sebagian karya sastra menjadi representasi terhadap kebudayaan masyarakat tertentu. Uraian ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir begitu saja. Ada proses yang mendorong munculnya karya sastra dengan keberagaman tema dan aspek kehidupan masyarakat yaitu proses kreatif pengarang yang berusaha menciptakan karya yang dapat menggambarkan nilai-nilai didaktis dengan kreasi estetis yang menghibur.

Semua hal yang terangkum dalam karya sastra tidak terlepas dari berbagai problematik yang dialami manusia baik secara pribadi maupun secara kolektif. Menanggapi dan menghadapi masalah-masalah tersebut manusia akan melakukan sebuah usaha atau perjuangan menentukan masa depan yang lebih baik berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisinya. Dengan demikian, perjuangan panjang manusia dalam memaknai kehidupan akan selalu melekat dalam teks sastra. Disadari atau tidak karya sastra menjadi model bagi kehidupan pembaca. Setiap persoalan maupun gambaran hidup yang dialami tokoh dalam cerita akan menimbulkan permenungan atau refleksi bagi pembaca dalam menentukan sikap dan tindakannya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang menguatkan teori bahwa penelitian sastra merupakan penelitian tentang manusia dalam masyarakat atau lebih erat dengan istilah sosiologi.


(11)

Roucek (dalam Soekanto 1990:20) mengatakan “sosiologi ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Struktur sosial yang dimaksud adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaedah sosial (norma-norma) lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial”. Sedangkan untuk menunjukkan hubungan Sosiologi dan Sastra, Ratna (2003:25) mengatakan:

Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya, sehingga penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya.

Dua hal ini menjadi tidak terpisahkan, sastra yang merupakan hasil dari masyarakat juga merupakan produk untuk dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian apa yang terkandung dalam karya sastra menjadi penting untuk diteliti. Karya sastra tidak hanya sekedar tulisan yang muncul begitu saja tetapi menjadi rekaman sosial budaya yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Penelitian sastra merupakan sebuah upaya pengembangan dan pengambilan kebijakan dalam memahami kelangsungan hidup manusia.

Bentuk sastra yang beragam masing-masing memiliki keistimewaan untuk diteliti, misalnya untuk estetika lebih mendekati pada penelitian karya berupa puisi namun tidak tertutup kemungkinan terhadap bentuk-bentuk lainnya. Karya tersebut sudah melambangakan nilai estetisnya yang sesuai dengan kata sastra itu. Novel sebagai objek kajian lebih menggambarkan kehidupan sosio-budaya yang bersifat berkelanjutan dengan membentuk koherensi dari beragam aspek kehidupan masing-masing tokoh dalam bermasyarakat. Selanjutnya, novel memiliki hubungan yang erat dengan masalah-masalah sosial.

Dalam sebuah penelitian, topik yang akan dikaji harus menarik dan bernilai guna. Sehubungan dengan uraian tersebut maka dalam karya ilmiah ini, penulis memilih novel d.I.a. cinta dan presiden novel karya ke empat dari salah seorang budayawan Noorca M.


(12)

Masardi. Adapun alasan penulis memilih novel tersebut menjadi bahan analisis yaitu: (1) Luasnya wawasan dan pengalaman pengarang. (2)Topik dalam novel sesuai dengan fenomena korupsi di Indonesia. (3) Keunikan dan keragaman interpretasi dari pembaca.

Dalam novel d.I.a. cinta dan presiden terdapat sejumlah kasus korupsi yang dilakukan oleh para birokrat. Kasus-kasus itu seperti halnya dalam dinas perpajakan, kasus Bank Marindi, kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), korupsi di tubuh dinas pertanian dan kehutanan, ditambah dengan sejumlah praktik korupsi transaksional dalam mendapatkan jabatan-jabatan tertentu. Bentuk tindakan korupsi itu berimplikasi pada masyarakat banyak baik secara moral maupun secara materil.

Posisi pejabat pemerintah seharusnya menjadi pelayan publik, tetapi justru menjadi “perampok” yang memperkaya diri sendiri sehingga tujuan atau cita-cita kemerdekaan melalui pembangunan bangsa menjadi terhambat. Kondisi pemerintahan yang tidak membuahkan kesejahteraan rakyat akan menimbulkan gerakan reformasi yang seringkali menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Melihat berbagai aspek tersebut penulis ingin menemukan masalah-masalah tersebut sebagai upaya menemukan hal-hal yang berguna dalam penelitian sosiologi sastra.

1. 2 Masalah

Masalah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1.2.1 Bagaimanakah unsur intrinsik yang mencakup tema, tokoh, dan latar atau setting

dalam novel d.I.a. cinta dan presiden?

1.2.2 Bagaimanakah unsur ekstrinsik berupa tindakan-tindakan kejahatan korupsi dan dampak sosial korupsi dalam novel d.I.a. cinta dan presiden?


(13)

1. 3 Batasan Masalah

Pembatasan masalah penting dilakukan agar penelitian tidak menyimpang dari masalah yang diteliti. Pembahasan dalam kajian ini dibatasi pada unsur-unsur intrinsik berupa tema, tokoh, dan latar atau setting. Selanjutnya analisis unsur-unsur ekstrinsik berupa pola tindakan kejahatan korupsi dan dampak sosial yang terbatas pada dampak negatif yang merupakan implikasi korupsi yang terjadi dalam novel d.I.a. cinta dan presiden. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan menemukan hal-hal yang menjadi cerminan sosial bagi masyarakat.

1. 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. 4. 1 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik berupa tema, tokoh, dan latar atau setting dalam novel d.I.a. cinta dan presiden..

2. Mendeskripsikan unsur-unsur ekstrinsik berupa pola tindakan korupsi dan dampak sosial dalam novel d.I.a. cinta dan presiden.

3. Mendeskripsikan cerminan sosial bagi masyarakat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden.

1. 4. 2 Manfaat penelitian a. Manfaat Teoretis

1. Menambah kajian sastra dengan menerapkan teori sosiologi sastra.

2. Menambah referensi bagi penelitian sosial (humaniora) untuk mendalami dan

memahami kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

3. Memperkuat teori penelitian sastra sebagai bagian yang sama pentingnya dengan

kajian sosial lainnya demi mengambil peranan dalam meningkatkan tatanan masyarakat yang lebih beradab.


(14)

b. Manfaat Praktis

1. Mempermudah pembaca dalam menghayati nilai-nilai sosial kemanusiaan yang

terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden.

2. Memperluas wawasan pembaca dalam mengenali pola tindakan korupsi serta

dampak-dampak dan antisipasi terhadap kejahatan korupsi.

3. Menumbuhkan kesadaran pembaca dalam mengkampanyekan dan membudayakan


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (2005:88) “konsep merupakan (1) rancangan atau buram surat; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”. Jadi konsep penelitian adalah gambaran mengenai apa yang akan dibahas dan bagaimana masalah-masalah pokok itu akan dipecahkan lewat sistematika penelitian ilmiah. Dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa konsep guna mengantarkan proses penelitian lebih lanjut.

2.1.1d.I.a. cinta dan presiden

Novel d.I.a. cinta dan presiden adalah objek kajian dalam penelitian ini. Judul novel dipertahankan keasliannya sesuai yang terdapat pada sampul buku dan pada katalog perpustakaan nasional. Awal judul d.I.a. dibaca secara terpisah de /d/,

i /I/, a /a/ huruf tersebut merupakan inisial kata yang menyimpan makna penting. Dalam sejumlah bab novel, kata d.I.a. ditemukan dua kali, seperti dalam “Bab 6. Liputan di Jerman” dan pada “Bab 27. Siapa d.I.a?".

Pada bab enam, ketika Anggara sedang liputan bersama rekannya tanpa sengaja Anggara melihat sebuah gedung yang tinggi dengan logo besar “d.i.a”. Hal yang sama ia temukan juga dalam foto-foto yang sempat diambilnya sebelum kembali ke Hotel. Anggara terkejut ketika mendapati logo itu, Namun ia tidak punya waktu lagi untuk mengetahui lebih banyak tentang nama yang dilihatnya pada sebuah bangunan tinggi itu. Selain itu kata “d.I.a.” juga ditemukan pada Bab 27. “Siapakah d.I.a.”. Dalam bab tersebut Anggara Sutomo menemukan sebuah fólder My Computer, di dalamnya terdapat lagi sebuah file dengan judul ”SP” yang merupakan inisial dari ”Sutomo Prastho” dan di dalamnya ada tiga subfolder ”A”, ”D”, dan ”I” yang apabila diurutkan akan menjadi ”D.I.A”. Dalam folder ”A” terdapat nama


(16)

”Anggara” yang disertai dengan dua folder lagi yang berjudul ”Doc” dan ”AV”, dalam folder ”D” ditemukan nama Dewi Mayastari, Ibu tirinya yang tinggal di Paris, di dalamnya juga ditemukan dua buah folder yang berjudul ”Doc” dan ”AV”, kemudian ia beralih pada folder ”I” yang berisi catatan dan rekaman tentang Inka dan Inra adik kembarnya dari Ibu tirinya Dewi Mayastari, dengan keterangan-keterangan dalam format document (doc), dan bentuk audio visual (av).

Dalam komputer yang sama, Anggara kembali menemukan folder di subdirektori

yang berjudul ”d.I.a.”. Dalam folder itu ada subfolder bernama ”DKI” yang berisikan

subfolder ”B-4” dan ”AFT”. Sedangkan dalam subfolder ”B-4” itu ada dua buah subfolder berjudul ”ET’ dan ”UT”. Dalam folder tersebut terdapat semua rekaman penting baik pada detik-detik kemusnahan DKI Jakarta, maupun peristiwa-peristiwa penting pasca bencana. Perubahan situasi politik dan ekonomi yang labil seperti sampai pada peristiwa penggulingan kekuasaan Presiden Sukarto Boediono (SBD), Beddu Jamal Koto (BJK), dan beralihnya tampuk kepemimpinan ke tangan Presiden Wahid Pratama. Dalam folder ”d.I.a.” juga ditemukan sejumlah rekaman masa-masa peralihan pimpinan KMG sampai pada masa KMG semakin berkembang pesat pada masa kepemimpinan Anggara Sutomo setelah menggantikan ayahnya Sutomo Prastho.

Jadi ”d.I.a” itu memiliki sejumlah rahasia penting yang berhubungan dengan bencana dahsyat pada peristiwa lenyapnya DKI Jakarta, yang bertalian erat dengan Sutomo Prasetho. Dalam komputer tersebut tersimpan dokumen yang menunjukkan bahwa bencana di DKI Jakarta itu adalah sebuah proyek pemusnahan yang direncanakan dengan menggunakan kecanggihan teknologi, bukanlah akibat bencana alam seperti yang banyak dipergunjingkan alhi geologi, agama, dan pakar sosial lainnya.


(17)

Secara etimologi dampak sosial berasal dari dua kata yaitu dampak dan sosial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2005) “dampak ialah (1) benturan; (2) pengaruh kuat yang

mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif); Sosial artinya berkenaan dengan

masyarakat”. Pada umumnya dampak sosial itu bersifat negatif, merugikan dan tidak diinginkan oleh masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak sosial itu adalah pengaruh negatif berupa perubahan dalam masyarakat sebagai akibat dari suatu tindakan ataupun keputusan. Penelitian ini berupaya menemukan dampak sosial yang timbul sebagai akibat dari tindakan korupsi yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca. M. Massardi.

2.1.3Korupsi

Semma (2008) mengatakan “korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan”. Korupsi moral merujuk pada berbagai konstitusi yang sudah melenceng, sehingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum yang adil tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri, (Semma 2008:32). Dalam bahasa Latin disebut corruption yang berarti penyuapan, dan corrumpere (dalam bentuk kata kerja) bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Jadi dapat diartikan bahwa korupsi adalah tindakan yang busuk, merusak dan bersifat manipulasi ataupun tindakan kejahatan. Dalam Transparansi Internasional (2011) “korupsi didefenisikan sebagai perilaku pejabat publik baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya mereka yang dekat dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan”. Untuk lebih mudah mengenalinya salah seorang sosiolog yakni Syed Hussein Alatas (dalam Hartati, 2006) mengatakan ada lima ciri-ciri korupsi yakni:

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.


(18)

merajalela dan begitu dalam.

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

4. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.

5. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan. 2.1.4Negara

Halking (dalam kumpulan Dasar-Dasar Ilmu Politik 2008:84) merangkumkan pengertian suatu negara yakni

suatu kelompok, persekutuan, alat, organisasi kewilayahan, sistem politik, kelembagaan dari suatu rakyat, yang merupakan suatu susunan kekuasaan yang memiliki monopoli, kewibawaan, daulat, hukum, kepemimpinan bahkan sistem pemaksaan, sehingga pada akhirnya diharapkan akan memperoleh keabsahan pengakuan dari dalam maupun luar negara dalam rangka mewujudkan tujuan serta cita-cita rakyat.

Berdasarkan kutipan tersebut, negara dapat diartikan sebagai lembaga-lembaga pemerintahan yang terdiri dari lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita rakyat dengan demikian aparatur negara berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada warga negaranya. Kesanggupan sebuah negara dalam memberikan kesejahteraan tersebut akan tercermin pada pendekatan dan kebijakan politiknya. Permasalahan yang sering kali timbul yakni tindakan dan sikap para birokrasi yang menjadi korporat. Artinya telah terjadi pergeseran fungsi dari pelayan publik menjadi pengusaha publik yang memanfaatkan semua fasilitas mencari laba atau keuntungan untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok. Pergeseran ini jelas merupakan tindakan korup yang dapat merusak dan membahayakan sistem pemerintahan dalam mencapai visi kesejahteraan rakyat (Mustofa, 2010).


(19)

2.1.5 Korporasi dan Birokrasi

Mustofa (2010:117) mendefisikan ”korporasi sebagai salah satu bentuk dari organisasi yang kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan bisnis”. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya berupa keuntungan keuangan. Menurut Clinard dan Yeager (dalam Mustofa 2010: 117) dikatakan “ciri badan usaha diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan ganda yaitu pertumbuhan dan keuntungan; mempunyai struktur hierarki yang kompleks; manajemen lebih berperan dalam kegiatan operasi dibandingkan pemegang sahamnya”. Korporasi inilah yang seringkali menjadi jalan mulus bagi para birokrat dalam memperhalus penggelapan dana dari pemerintahan. Sistem korporasi yang kompleks ini kemudian memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan lewat penguasaan sumber daya yang ada dalam suatu sistem perekonomian maupun pemerintahan.

Syukur Abdullah (dalam Alfian dan Nazaruddin, 1991:229) mengemukakan

Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga nondepartemen, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan dan tingkat kelurahan.

Birokrasi pemerintahan memiliki aturan dan prosedural yang sudah ditata rapi sesuai agar memudahkan pelaksanaanya, namun pada implementasinya seringkali layanan publik menjadi terkendala akibat adanya kemacetan di bagian birokrasi. Misalnya saja ketika departemen hukum menerima sejumlah pengaduan mengenai kasus korupsi, seringkali kasus atau perkara besar diperlama atau bahkan didiamkan. Hal ini mengingat birokrasi merasa memiliki wewenang untuk menyeleksi berbagai kasus.

Dalam perjalanannya birokrasi pemerintahan cenderung tidak lagi bertujuan untuk melayani publik atau masyarakat banyak tetapi malah menjadi alat kekuasaan kelompok tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Birokrasi pemerintahan memiliki peluang untuk menjadi korporasi yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, seperti yang sering terjadi dalam dinas perpajakan dengan modus penunggakan pajak.


(20)

2.1.6 White-Collar Crime (Kejahatan Status Sosial Tinggi )

Bidang sosiologi yang memfokuskan penelitian pada kejahatan atau pelanggaran yang dikenal dengan istilah kriminolog menggolongkan tindakan korupsi dalam ruang lingkup white-collar crime yang merupakan bentuk-bentuk tindakan yang jauh lebih merugikan masyarakat dibandingkan kejahatan konvesional. Istilah white-collar crime pertama kali digunakan oleh Shutherland pada tahun 1939 untuk membahas mengenai gejala kejahatan. Dalam Mustofa (2010: vi) Shutherland menggunakan istilah white-collar crime untuk menyebutkan orang yang mempunyai status sosial tinggi yang melakukan pelanggaran norma

atau hukum dalam jabatan pekerjaannya yang sah. Istilah white-collar yang dikenal

masyarakatnya menandakan status pekerjaan yang terhormat sedangkan blue-collar digunakan merujuk kepada status pekerjaan seorang tukang yang dianggap tidak terhormat. Di Indonesia, jika diterjemahkan secara harfiah, white-collar crime menjadi berarti penjahat kerah putih, kejahatan orang berdasi dan kejahatan kaum priyayi. Namun seperti yang dikatakan oleh Musofa (2010) bahwa istilah yang diterjemahkan tersebut kurang tepat digunakan karena di dalam masyarakat Indonesia tidak dikenal istilah pekerjaan terhormat dan pekerjaan tidak terhormat (white-collar dan blue-collar dalam istilah Sutherland). Sutherland pada makalahnya yang berjudul The White- Collar Criminal yang disampaikannya sebagai pidato sambutan sebagai Ketua The American Sociological pada pertemuan tahunan yang ke tiga puluh empat pada tahun 1939 menegaskan bahwa pengertian dasar dari white-collar crime adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran (Mustofa, 2010). White- collar crime memiliki siklus pertumbuhan yang sangat tinggi dan terlindungi karena terkait dengan status profesinya sehingga hasil korupsinya seolah-olah merupakan kemakmuran yang diperoleh dari jerih payah yang sah.


(21)

2.1.7 Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang melibatkan seluruh rakyanya untuk turut memerintah dengan perantaraan wakilnya. Pemerintahan demokrasi memiliki kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dengan gagasan dan pandangan hidup mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam sistem demokrasi, para pejabat pemerintah adalah wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk melayani publik, demi mencapai kesejahteraan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang mengikutkan rakyatnya untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Rakyat bersama dengan wakil rakyat memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan serta mengunjuk rasa (demonstrasi) baik sebagai bentuk dukungan maupun sebagai tanda keberatan terhadap putusan ataupun kebijakan pemerintah. Di sisi lain, Joseph Schumpeter (dalam Surenson, 1985) mengartikan bahwa demokrasi sebagai jalan kompetisi memperoleh suara rakyat. Konsep demokrasi tidak hanya untuk membuka jalan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dalam hal kontrol tetapi seringkali diambil-alih atau dipergunakan oleh para penguasa untuk mencapai tujuan partai atau kelompoknya. Sistem demokrasi tidak akan mencapai tujuannya apabila pemerintah membatasinya.

2.1.8 Kleptokrasi

Green (dalam Mustofa, 2010: vii) merujuk rumusan Weber tentang kleptokrasi menjelaskan defenisi kleptokrasi yaitu “memperoleh keuntungan melalui korupsi sebagai tujuan organisasi”. Dapat juga digolongkan apabila sebuah organisasi diarahkan untuk memperoleh kepentingan negara, dan kepentingan penguasa termasuk dengan melakukan terror, kejahatan perang, penganiayaan bahkan genosida. Kleptokrasi juga dapat mengacu pada sebuah keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh para pejabat korup atau para pencuri.


(22)

Kata lain yang digunakan sebagai padanan dari kleptokarsi adalah korupsi tingkat tinggi (heavy corruption). Pelakunya adalah orang-orang yang tidak mengalami kesulitan ekonomi, bahkan tidak jarang adalah orang yang dikenal publik, seperti pesohor atau figur pemimpin. Dalam sebuah pemerintahan yang sudah tergolong kleptomani alasan atau aturan-aturan moral maupun hukum seringkali dianggap tidak perlu mendapat perhatian selain dari tujuan yang harus dicapai. Hal itulah yang memungkinkan terjadinya genosida yaitu berupa tindakan pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras, guna mencapai tujuan tertentu.

2.1.9 Moralitas dan Etika

Burhanuddin dalam bukunya Etika Sosial, mengatakan “moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia”. Ia juga menambahkan bahwa moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaiman ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Frans Magnis Suseno (dalam Burhanuddin, 1997:1) menambahkan “moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaiman kita harus hidup”. Dalam konteks korupsi masalah moral menjadi pokok penting yang menjadi dasar untuk menilai tindakan korupsi itu.

Frans Magnis Suseno (dalam Burhanuddin,1997:1) mengatakan “etika ialah ilmu yang memberi manusia norma tentang ajaran bagaimana seharusnya hidup sebagai manusia. Etika merupakan sikap kritis setiap pribadi dan kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas.” Dengan demikian etika membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat.


(23)

2.2 Landasan Teori

Menjawab masalah dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1998) mengatakan ”bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa dalam menyajikan kehidupan-kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial meskipun dirangkai secara mimetis” (1984:109). Artinya bahwa hasil dari sastra sebagai institusi sosial baik berupa puisi, cerpen, drama, maupun novel menunjukkan kenyataan sosial yang dirangkai secara tiruan. Soemanto, dalam Ratna (2003) mengatakan

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient beings, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa sosiologi sastra merupakan sebuah teori yang

berupaya menemukan sisi sosial karya sastra. Dalam pengaplikasiannya Endraswara (2008:80) mengatakan ”ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk meneliti sosiologi sastra yaitu (1) perspektif teks sastra, (2) perspektif biografis, (3) perspektif reseptif.” Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua buah perspektif yang bertalian erat dalam memecahkan masalah yaitu perspektif teks sastra dan perspektif biografis. Dengan menggunakan dua buah persepektif tersebut maka dampak sosial korupsi akan lebih mudah ditemukan dalam novel d.I.a. cinta dan presiden. Lebih lanjut kedua hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Perspektif Teks Sastra

Perspektif teks sastra artinya peneliti menganalisis karya sastra sebagai sebuah

refleksi kehidupan masyarakat. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya. Perspektif teks sastra berupaya menemukan makna jelas yang terdapat dalam teks. Seperti yang ditambahkan oleh Wimsatt dalam (Endraswara


(24)

2008:31) ”sebuah karya sastra sesungguhnya telah menjadi milik umum. Apa yang terkandung dalam teks sastra tidak harus bergantung pada pengarangnya”. Untuk itu salah satu proses yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan intrinsik guna menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra itu. Stanton (dalam Suwondo, 2001: 56) mengatakan, unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri dari tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji dan cara pemilihan judul. Dalam kesempatan ini penulis membatasi penelitian unsur intrinsik berupa tema, tokoh, dan latar atau setting. Ketiga hal tersebut merupakan unsur yang dapat menyingkap situasi dan iklim sosial yang terjadi pada saat karya itu dituliskan.

Tema dan fakta cerita yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca M. Massardi, berupa sejumlah tindakan korupsi yang dilakukan oleh berbagai profesi. Tindakan korupsi merupakan tindakan kejahatan yang menjadi penyakit yang dimusuhi oleh masyarakat karena akan menimbulkan dampak sosial yang sangat merugikan pertumbuhan masyarakat sehingga tema dan fakta tersebut merupakan masalah sosial yang perlu diteliti lebih lanjut. Untuk memperoleh analisis yang tepat mengenai dampak sosial korupsi maka penulis menggunakan pendekatan kriminologi, yakni bidang ilmu sosiologi yang mempelajari tentang kejahatan dalam masyarakat. Kejahatan dapat diartikan sebagai hal-hal yang tidak baik yang bersifat merugikan pihak tertentu. Mustofa (2005:6) mendefenisikan kriminologi secara umum yakni “pola tingkah laku yang merugikan masyarakat”. Lebih lanjut Ross (dalam Mustofa, 2010: 38) dengan menggunakan istilah criminaloid mengatakan;

Orang yang memperoleh kemakmuran dengan melakukan tindakan yang memalukan, tetapi belum merupakan tindakan yang dilarang oleh masyarakat. Sesungguhnya mereka bersalah menurut kacamata hukum; namun karena di mata masyarakat dan menurut dirinya sendiri adalah tindakan tidak bersalah, tindakannya tidak disebut sebagai kejahatan pembuat hukum dapat saja menyatakan tindakannya yang tidak benar tersebut sebagai kejahatan, namun karena moralitas berpihak padanya, mereka luput dari hukuman dan celaan.


(25)

Dapat dimengerti bahwa tidak semua pelaku kejahatan yang dikenakan tindakan pidana atau hukum. Untuk sebagian kasus pelaku kejahatan korupsi itu malahan menjadi semakin makmur dan diterima oleh masyarakat. Salah satu bentuk kejahatan demikian ialah tindakan korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh Ross di atas, ada tindakan kejahatan yang merupakan tindakan yang memalukan tetapi belum dilarang oleh masyarakat, hal itu dikarenakan minimnya pengetahuan dan daya kritis masyarakat mengenai cara seseorang mendapatkan penghasilan tersebut. Salah satu tindakan yang demikian digolongkan dengan white-collar crime. Shuterland (dalam Mustofa 2010:vi) menggunakan istilah white-collar crime untuk menyebutkan orang yang mempunyai status sosial tinggi yang melakukan pelanggaran hukum dalam jabatan pekerjaannya yang sah. Pelaku kejahatan itu lebih berbahaya dibandingkan dengan jenis kejahatan konvensional lainnya seperti perampokan, dan prostitusi. Pelaku kejahatan yang tergolong dalam white-collar crime cenderung diperlakukan secara positif oleh masyarakat karena menganggap kemakmuran yang dimilikinya sebagai hasil dari jerih payah yang sah dari pekerjaannya. Berbeda halnya dengan masyarakat biasa yang tiba-tiba memiliki kekayaan atau uang dalam jumlah besar yang di simpan di bank, akan terkesan mencurigakan. Dalam objek penelitian ini para penyelenggara negara dengan status sosial tingggi yang melakukan korupsi tergolong dalam white-collar crime. Shuterland (dalam Mustofa, 2010) juga menegaskan ”white-collar crime digunakan untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaan”. Artinya, pelanggaran itu bukan berupa kesilapan atau ketidaksengajaan, tetapi merupakan tindakan yang direncanakan. Hal tersebut guna memperoleh keuntungan yang besar baik bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok.

Konsep mengenai white-collar crime dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu


(26)

berkaitan dengan pekerjaan pelaku; (2) corporate crime yaitu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan korporasi. Dalam penelitian ini, sejumlah pelaku kejahatan korupsi yang terdapat dalam novel akan diklasifikasikan pada dua tipe kejahatan korupsi seperti di atas. Berdasarkan teori tersebut jelaslah bahwa tindakan korupsi tergolong dalam tindakan kriminal atau kejahatan yang merugikan pihak tertentu.

Dalam novel d.I.a. cinta dan presiden terdapat sejumlah kejahatan korupsi yang tergolong dalam kejahatan kelas sosial tingga yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan Indonesia. Sejumlah penyelenggara negara baik itu lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif melakukan penyelewengan terhadap keuangan milik negara. Tindakan-tindakan demikian berimplikasi pada masyarakat yang seharusnya disejahterakan oleh penyelenggara negara namun kenyataan dalam novel tersebut, penyelenggara negara semakin kaya sedangkan masyarakat miskin semakin terlantar hak-haknya dalam mencapai kesejahteraan sosial. Para penyelenggara negara memperkaya diri sendiri dengan mengambil keuangan negara sebagai miliknya sendiri.

2.2.2 Perspektif Biografis

Perspektif biografis yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan korespondensi dengan penulis untuk mendapatkan informasi lebih banyak mengenai keterkaitan pengalaman, dan peristiwa yang terjadi pada masa hidup pengarang. Selain itu sejumlah literatur yang mendukung berupa pandangan dan karya-karya pengarang semasa hidup, kemungkinan besar memiliki hubungan yang erat dengan karyanya sebagai objek penelitian. Endraswara (2008:33) juga menambahkan hal-hal yang perlu diungkapakan yaitu (1) latar belakang kelahiran pengarang, pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya, (2) seberapa jauh karya sastra mencerminkan kepribadian pengarang, apakah pengarang termasuk orang yang egois, emosional, agresif dan lain-lain.


(27)

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis komentar Noorca M. Massardi yang terdapat pada halaman xvii, novel d.I.a. cinta dan presiden. Pada bagian itu disampaikan sejumlah pandangan mengenai isi dari novel tersebut. Selanjutnya penulis juga menggunakan biografi Noorca M. Massardi yang baik dimuat pada lembaran 893 maupun referensi tambahan. Lembaran tersebut menjelaskan latar belakang pengarang dari lahir hingga pada saat pengarang menerbitkan objek penelitian ini. Selain itu untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan pengarang, penulis juga menggunakan internet sebagai sumber bahan tambahan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, penulis menemukan sejumlah buku-buku dan laporan penelitian yang relevan membahas mengenai korupsi baik secara umum maupun secara spesifik. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Widowati dan

Rahmat Djoko Pradopo, (2006) dengan judul Korupsi Dalam Novel Orang-Orang Proyek

Karya Ahmad Tohari: Kajian sosiologi Sastra, menyimpulkan bahwa novel Orang-Orang Proyek merupakan ”representasi” kehidupan bangsa Indonesia pada masa pemerintah Orde Baru. Korupsi menjadi bagian kehidupan bangsa Indonesia yang menonjol pada periode 1990-an, yang terlihat dari kelonggaran kebijakan dan hukum yang bersifat elastis, sehingga korupsi dapat dilakukan oleh semua kalangan tanpa melihat status sosial. Korupsi yang menyebabkan pembodohan dan kemiskinan itu seringkali dijadikan sebagai wadah untuk mencari muka oleh para pejabat yang ingin mendapatkan kekuasaan lebih. Aksi sosial menjadi andalan untuk merebut hari para rakyat yang dilanda kekeringan maupun wabah penyakit. Hal itu tidak begitu disadari oleh masyarakat. Masyarakat merasa puas dengan sarana dan prasarana yang dibangun meski dalam operasionalnya tidak berhasil membawa masyarakat pada kesejahteraan. Kekhawatiran memang muncul dalam masyarakat, namun


(28)

ketidakberdayaan menjadikan mental masyarakat lembek sehingga masyarakat menjadi begitu toleran terhadap praktik korupsi. Selain itu dalam ulasannya disampaikan juga bahwa Ahmad Tohari juga memberikan beberapa solusi untuk mengatasi korupsi pada waktu itu. Beberapa ide yang ditawarkan lewat novel itu antara lain, kejujuran (temen), sederhana (prasajo), dan selalu ingat pada Tuhan (eling).

Johan (dalam IACC Hongkong, 25 Maret 2010) yang berjudul “Sastra Dan Seni

Untuk Membasmi Korupsi” mengulas peranan penting sastra dan seni dalam melawan korupsi. Dijelaskan bahwa negara maju seperti halnya Francis telah menggunakan sastra dan seni sebagai penetrasi dan pengontrol jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sastra dan seni merupakan media alternatif yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi masyarakat dalam menentukan sikap menentang korupsi. Sastra menjadi media perlawanan yang kreatif dalam mengusung gerakan moral antikorupsi.

Ajaran moral yang disuguhkan dalam sastra menjadi harapan dan kekuatan untuk menguatkan idealisme pembaca dalam menentukan sikap terhadap praktik korupsi. Pandangan sastra yang memperlihatkan dampak-dampak yang akan terjadi melalui tokoh-tokohnya menjadi imaji rasional yang sangat berpengaruh bagi perkembangan mental dan sikap pembacanya ketika berhadapan dengan konteks korupsi. Dalam tulisan tersebut juga diulas secara singkat mengenai keragaman sastra dan seni yang telah mampu mendidik masyarakat lewat kritik maupun imaji intelektualnya seperti dalam bentuk novel, puisi, cerpen, esai, film, drama, monolog, dan musik. Peningkatan apresiasi sastra dan seni bagi para pejabat negara dan semua jurusan dalam perguruan tinggi merupakan tongkat harapan untuk menuntaskan korupsi.

Ruhman, (Kompas, Minggu 16 Mei 2004) dalam hasil analisisnya ”Metamorfosis Korupsi dalam Sastra; Kesaksian Sastrawan atas Korupsi Selama Dua Abad di Nusantara”,


(29)

menjelaskan bagaimana fenomena perubahan korupsi itu hidup dalam karya sastra. Seperti yang diawali dengan karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker yang merekam korupsi dalam novelnya yang berjudul Max Havellar (1859). Dalam novel tersebut dideskripsikan korupsi pada jajaran birokrat Hindia Belanda yang disistemasi sedemikian rupa demi memperkukuh hadirnya kekuasaan kolonial. Selanjutnya pada tahun 1901, sastrawan F. Wiggers dalam karyanya Lelakon Raden Beij Soerio Retno mengusung ide untuk menentang korupsi dengan seorang tokoh yang berusaha menjaga kepercayaan Gubernur Hindia Belanda yang telah memberikan Plakat penghargaan atas jasanya menyimpan uang kas belanda. Pemberian Plakat merupakan bentuk penghargaan dan kepercayaan bagi organ kekuasaan yang tidak terpengaruh pada “virus” korupsi. Pada tahun 1957 Pramudya Ananta Toer menerbitkan novelnya yang berjudul Korupsi. Dalam novel tersebut dijelaskan seorang pegawai yang bernama Bakir yang melakukan kejahatan korupsi pengadaan barang. Tindakannya itu sejak semula sudah ditentang oleh keluarganya namun Bakir tetap bersikeras untuk memanipulasi dana pengadaan barang dari pemerintah. Mengetahui kenyataan itu, istri dan anak-anaknya menjadi bertentangan, mereka tidak mau menggunakan uang hasil korupsi itu. Akibat hal itu, Bakir pun menghabiskan duit itu untuk bersenang-senang dan berfoya-foya dengan kemewahan dan wanita simpanan. Akirnya Bakir terperangkap dalam satu kasus penggunaan uang palsu yang diperangkap oleh seorang pengusaha hingga masuk ke penjara. Sejak dari situ Bakir menjadi insyaf akan kesalahannya dengan meminta maaf kepada keluarga yang datang mengunjunginya. Bakir juga kemudian menjadi penasehat dan pendukung generasi muda untuk mengurangi ataupun menghentikan tindakan korupsi.

James (dalam Kompas, Senin 7 Juli 2008), mengulas karya Massardi dengan judul “Buku Baru: Cinta Noorca dan Presiden”. Dalam tulisan tersebut James mengkomparasikan novel d.I.a. cinta da presiden dengan novel September yang lebih dulu terbit pada tahun 2007. James mengatakan, pada novel September digunakan latar kejadian berupa rangkaian


(30)

sejarah politik pada tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya, sedangkan pada novel d.I.a. cinta dan presiden menggunakan setting rangkaian sejarah politik pada tahun 1998. Dalam pandangan James, Noorca Massardi telah berhasil merajut sebuah novel politik dengan sangat menarik, tidak hanya membawa pembacanya mengerutkan dahi karena serius, tetapi Noorca juga berhasil membawa pembacanya untuk bertamasya lewat setting sejarah dunia yang benar-benar ia pahami dengan wawasan jurnalisnya itu.

Mustopa (2010) meneliti mengenai pola tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Dalam bukunya ia menyimpulkan bahwa kasus-kasus kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari persekongkolan birokrat-birokrat. Dia menyimpulkan fakta bahwa pola tindakan korupsi yang terjadi ialah pola white chollar crime. Kejahatan korupsi seperti ini merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Para pelakunya adalah tokoh-tokoh yang terpandang di mata publik. Pada umumnya tindakan para koruptor seperti ini jarang diketahui atau disadari oleh kalangan umum sehingga dana yang dikorupsi terbilang begitu banyak. Mostopa juga menyimpulkan bahwa sesuai dengan indentifikasinya bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merupakan kleptokrasi yakni sebuah keadaan yang genting bagi suatu bangsa. Hal itu dikarenakan para pemimpinnya tidak ada lagi yang layak dipercayai oleh rakyat untuk mencapai visi. Para pemimpin tersebut tidak lagi memiliki orientasi pada kesejahteraan publik, melainkan mempemainkan kepercayaan publik sebagai kesempatan untuk mengumpulkan uang pribadi maupun kelompok-kelompok tertentu. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa pelaku korupsi di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan publik yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Mansyur (2008) dalam bukunya Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik menjelaskan mengenai sejumlah pemikiran Mochtar Lubis terhadap korupsi yang terjadi di


(31)

Indonesia. Dalam buku ini diulas mengenai watak korupsi dalam birokrasi patrimonial, ditambah dengan sikap masyarakat yang menganggap bahwa korupsi itu sudah menjadi kebiasaan. Selain itu juga dibahas mengenai sejarah korupsi hingga kondisi berkembangnya korupsi pada lembaga-lembaga negara. Sehingga menjadi penghambat utama dalam mewujudkan tujuan akhir negara yakni mensejahterakan rakyat. Latar belakang Mochtar Lubis baik sebagai jurnalis senior, sastrawan maupun budayawan dikenal sebagai tokoh yang sangat kritis dalam memerangi korupsi. Kekayaan pikiran dan pandangannya dalam menentukan sikap untuk memerangi korupsi sebagai musuh yang harus diberantas.

Dalam Kompas (Kamis, 10 Maret 2011) “Laporan

Khusus-Korupsi dan Kemiskinan” dijelaskan bahwa tindakan kejahatan korupsi tidak hanya menimbulkan kemiskinan masyarakat secara ekonomis tetapi juga meliputi pemiskinan karakter kejujuran. Pola pikir untuk hidup enak tanpa kerja keras menjadi tontonan yang kemudian menimbulkan niat dan sifat mencari jalan pintas sampai melakukan tindakan kejahatan, pencurian. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa sikap atau mental yang tidak benar itulah yang kemudian semakin mengakar sehingga menjadi kebiasaan atau membudaya. Artinya bahwa sikap ingin diistimewakan tanpa dasar yang logis malah akan terus melahirkan generasi yang korup yang hanya mementingkan diri. Dalam laporan tersebut juga ditambahkan pandangan beberapa pengamat sosial yang menegaskan bahwa peran figur publik seperti lembaga pemerintahan harus dikonsistensikan sebagai patron yang menjadi teladan bagi masyarakat bukan dengan menampilkan figur publik korup yang jauh dari idealisme teladan.

Dari beberapa hasil penelitian itu telah disimpulkan beragam hasil yang menunjukkan hubungan sastra itu dengan masyarakat sosial. Kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam karya sastra menjadi sebuah penelitian kenyataaan sosial yang yang penting diperhatikan. Dari beberapa tinjauan pustaka itu, belum ditemukan penelitian terhadap novel


(32)

d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca. M. Massardi yang membahas dampas sosial korupsi dalam novel. Untuk itulah penulis melanjutkan penelitian ini. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra meliputi persfektif teks sastra dan persfektif biografi pengarang, maka akan ditemukan hasil penelitian yang berarti bagi masyarakat pembacanya.


(33)

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di perpustaakaan yakni dengan memilih objek penelitian berupa buku-buku. Dalam hal ini novel merupakan buku yang tergolong dalam kategori karya sastra. Semi (1988:8) mengatakan, objek penelitian berupa buku-buku atau alat audiovisual diteliti dengan menggunakan metode library research atau penelitian yang dilakukan di ruang kepustakaan. Penulis memilih novel d. I. a. cinta dan presiden, karya Noorca M. Massardi terbitan tahun 2008 sebagai objek atau bahan penelitian. Untuk mendukung penelitian itu penulis melakukan korespondensi dengan pengarang melalui internet, mengumpulkan referensi yang bersesuaian dengan topik penelitian ini misalnya buku tentang ilmu sastra, teori sosiologi sastra, dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan korupsi dari tinjauan humaniora. Selain itu penulis juga memanfaatkan media informasi baik media cetak maupun elektronik yang memuat hasil-hasil analisis terhadap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Data tersebut berguna sebagai bahan pendukung maupun bahan pembanding. Dengan demikian hubungan karya sastra dalam mencerminkan kenyataan sosial dapat disimpulkan secara lebih akurat.

Pradopo (2002:84) mengatakan, dalam penelitian sastra metode pembacaan heuristik dan hermeneutik sangat perlu dilakukan sebelum sampai pada tahap analisis. Dijelaskan bahwa sebuah novel atau karya sastra harus terlebih dahulu dibaca secara berulang-ulang dan dilanjutkan dengan pemberian makna berupa simpulan-simpulan yang mudah dimengerti. Proses tersebut perlu dilakukan untuk menggali makna secara lebih mendalam. Dari hasil itulah kemudian disimpulkan sejumlah garis-garis besar yang dituangkan dalam sinopsis cerita.

a. Bahan Analisis


(34)

Karya : Noorca M. Massardi

Penerbit : Kolibri, Rajagrapinfondo Persada

Tempat; tahun : Jakarta, 2008

Jumlah halaman : 895 halaman

Ilustrator sampul : Denny Salazie Murdaine

Cetakan; ukuran : Pertama; 19 x 12 cm

Deskripsi sampul : Sebuah wilayah perkotaan yang digenangi lumpur dengan

kepulan awan berwarna emas di atas gedung-gedung tinggi.

b. Sinopsis Novel d.I.a. cinta dan presiden

Reformasi masih menjadi langkah yang harus ditempuh dalam pemerintahan Indonesia. Kesejahteraan rakyat belum juga terwujud meski Indonesia telah merdeka dari penindasan bangsa penjajah. Masa-masa awal-awal kemerdekaan merupakan keadaan pemerintahan yang tidak stabil pada saat itu sekitar Oktober 1955, Presiden Soekarno mempertentangkan banyaknya partai politik sebagai pemicu ketidakstabilan nasional. Kemudian timbul reaksi dari Natsir mengecam bahwa kebijakan Presiden Soekarno yang berusaha memangkas partai-partai merupakan bentuk awal dari “pemerintahan diktator” yang akan menjadi malapetaka bagi Republik Indonesia. Berbeda dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta berusaha menginternalisasikan demokrasi sebagai bagian dari pendidikan tanggung-jawab di bawah pemerintahan yang memiliki kewibawaan, menghindari anarkisme politik yang rakus akan kekuasaan. Bentuk pembusukan moral telah diwariskan dari para penjajah, niat untuk mendapatkan kekuasaan begitu keras dengan ragam upaya yang membentuk iklim politik yang berubah-ubah. Korupsi moral telah menjadi pemicu berbagai gerakan politik untuk mendapatkan kedudukan sebagai penguasa. Krisis pun mengguncang Indonesia, pemberontakan banyak terjadi, perebutan provinsi Irian Barat muncul, puluhan surat kabar dibredel, kekuatan militer tampil sebagai kekuatan baru, penolakan Rencana Anggaran Belanja Negara ditolak , pemberontakan RRI dan DPR hasil pemilihan pemilu 1955 dibubarkan. Krisis di Indonesia semakin memburuk hingga disertai dengan pertumpahan darah.

Pada tahun 1960 kemudian muncul seorang Brigadir Jenderal Soeharto menjadi pemimpin baru republik. Melalui “Dokrtin Misi Sipil dan Manajemen Teritorial” yang diseminarkan pada Seminar Angkatan Darat 1, namanya menjadi mahsyur di tengah


(35)

Departemen Angkatan Darat, dari situ kemudian ia dipromosikan mengepalai beragam misi militer. Ia jugalah yang menjadi Panglima Angkatan Darat pasca Gerakan 30 September 1965, Komando Pemulihan Keamanan, Ketertiban (Pangkopkamtib), dan pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Presiden Soeharto telah memerintah lebih dari 30 tahun dengan menggunakan kekuatan militer sebagai pemulus kekuasaanya. Meski demikian, umur yang cukup lama itu juga tidak berhasil memakmurkan dan menyejahterakan Indonesia bahkan masa-masa itu menjadi pembiakan korupsi bagi para pejabat-pejabat pemerintah yang dilindungi oleh militer. Demokrasi mati, tidak ada kritik yang muncul kepermukaan, sebab kritik berarti siap lenyap. Banyak orang hilang dan banyak asset negara yang dikuasai oleh pihak-pihak asing tanpa pemasukan bagi negara. Kekayaan birokrat semakin menjadi-jadi, kemakmuran dan ketenteraman seolah hanya milik kelompok yang berpihak pada ideologi Soeharto. Akhirnya rezim tersebut berhasil digulingkan pada Mei 1989 dengan disertai pertumpahan darah yang tidak sedikit.

Peristiwa sejarah tersebut melekat dalam diri Wahid Pratama yang pada saat itu menjabat sebagai kader Partai Mandat Nasional. Saat itu merupakan periode pemerintahan Soekarto Boedhiono (SBD) dengan wakilnya Beddu Jamal Koto. Selama 3 tahun lebih masa kepemimpinan pasangan tersebut, Indonesia tidak jauh mengalami perubahan, bahkan telah terjadi kemerosotan moral maupun dari segi materil. Kabinet Kita Bisa ternyata ditumpangi oleh sejumlah menteri yang korup. Dari berbagai bidang dan departemen ditemukan skandal korup yang berlarut-larut dan tidak menunjukkan adanya penyelesaian seperti misalnya kasus Bank Marindi, Bantuan Likuidiasi Bank Indonesia (BLBI), Korupsi di tubuh Dinas Perpajakan, Kelautan dan Kehutanan, dan sejumlah kasus lainnya.

Pada suatu ketika, seorang lelaki misterius berulang kali datang ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat, menurut pengakuan Satpam, lelaki itu harus menyampaikan sesuatu secara langsung kepada Wahid Pratama, namun waktunya tidak tepat karena Wahid Pratama sedang mendapat bencana berupa tuduhan sejumlah perkara ke pengadilan. Prof. Masina yang menjabat Ketua Umum PMN tiba-tiba memecat Wahid dari Partai Mandat Nasional. Akibatnya kurir itu hanya memiliki waktu beberapa detik sebelum bencana dahsyat yang ingin di sampaikan itu terjadi. Hampir sembilan puluh persen dari wilayah DKIJ itu lenyap, menghilang ke dalam perut bumi. Bencana itu sekitar pukul 11.00 dalam hitungan detik gedung-gedung tinggi, beton, apartemen, dan perumahan di sekitar gedung DPR mejadi luluh lantak.


(36)

ketakutan. Tidak ada api yang muncul namun perut bumi mengeluarkan lumpur hitam dan menggoyang kawasan perkotaan DKIJ hingga menyedot sejumlah bangunan dan kehidupan di wilayah tersebut. Dalam peristiwa yang menyedihkan itu Indonesia dilanda duka yang sangat besar. Pemerintahan pusat negara Indonesia lenyap, kantor Gubernur DKI, Istana Presiden, Bank Indonesia, dan pusat bisnis menjadi berantakan. Ribuan warga jadi korban, demikian halnya dengan para abdi negara yang berada pada jam kerja tersebut.

Melihat kejadian itu, Wahid Pratama bersama sejumlah pewarta yang menyaksikan langsung dari Gedung Parlemen, menyesalkan bagaimana saat itu ia harus berhadapan dengan pihak pengadilan dan wartawan yang berusaha memastikan statusnya setelah di recall oleh Profesor. Tuduhan itu sesungguhnya tidak logis, hanya rekayasa Prof. Masina untuk menyingkirkan Wahid Pratama yang dikenal khalayak luas sebagai wakil rakyat yang sangat vokal dalam menuntaskan perkara korupsi. Peristiwa itu tidak lama setelah ia kembali dari luar negeri untuk merampungkan Undang-Undang Perjudian yang akan di berlakukannya di dalam negeri. Alasan itu ternyata menjadi pemicu amarah Profesor yang merasa terhalangi dan terintimidasi, karena seperti penuturan Wahid bahwa Partai Mandat Nasional bersama sejumlah partai lainnya menerima sejumlah aliran dana dari para penguasa rezim Orde Baru. Kekecewaan itu disampaikan oleh Wahid dengan penuh duka ketika menyampaikan ungkapan bela sungkawanya di depan kamera wartawan beberapa waktu setelah bencana berlangsung. Wahid menghimbau agar para korban yang masih selamat tetap bersabar dan beharap positif dengan mejaga ketertiban dan keamanannya sebelum tim penanggulangan bencana segera turun ke lapangan.

Bencana itu memang ganjil, berbagai pakar geologi telah berusaha memberikan sejumlah analisis namun tidak satu pun yang dapat menjelaskan keadaan yang sesungguhnya terjadi. Berbagai kalangan profesi turut memberikan pandangannya sesuai dengan bidangnya masing-masing, dari praktisi kesehatan, ekonomi, budayawan dan rohaniawan. Banyaknya opini yang disiarkan di jaringan TV ternyata memperkeruh keadaan sehingga penjarahan dan kerusuhan muncul di berbagai titik. Melihat kondisi yang labil itu, para mahasiswa yang tersisa segera menyatukan diri untuk mengamankan instansi-instansi pemerintahan. Namun ketika mengetahui bahwa Presiden Indonesia masih berada di luar negeri guna menyelesaikan kunjungan kerjanya ke Helsinki dan Mesir dan Wakil Presiden yang masih berada di Sulawesi dalam kunjungannya terhadap kerajaan bisnisnya yang sangat pesat, massa menjadi gerah dan emosi. Perubahan sosial politik dan ekonomi menggerakkan massa untuk melakukan hal-hal di luar dugaan. Mulailah banyak opini-opini negatif bertebaran hingga


(37)

menyampaikan pidato singkatnya untuk memutuskan kejadian itu sebagai bencana nasional. Reaksi keras massa menyimpulkan beberapa butir tuntutannya: (1) membubarkan Kabinet Indonesia Bisa, sesegera mungkin; (2) menurunkan Presiden dan Wakil Presiden; (3) Menuntut pembentukan Presidium Kabinet Darurat; (4) Menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR secepatnya; dan (5) Melaksanakan pemilihan umum Presiden dalam tiga bulan.

Sehari sebelum Presiden kembali dari Mesir, gabungan massa melakukan doa bersama dengan long march di sepanjang jalan yang menjadi jalur untuk kedatangan rombongan Presiden. Unjuk rasa itu dilakukan sebagai tanda damai dengan memberikan mawar putih sebagai simbol berkabung nasional. Namun mendekati sore hari ketika gabungan demonstrasi sepakat untuk pulang, tiba-tiba salah seorang dari massa berlari keras menuju arah petugas keamanan dan suara tembakan pun keluar beriringan. Pasukan berseragam yang tidak jelas satuan asalnya berusaha mencegat dan menembaki mahasiswa sehingga korban pun berjatuhan. Darah dan luka kengerian menyelimuti, mahasiswa tumbang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Malam harinya rombongan Presiden tiba di bandara, dikawal ketat oleh petugas keamanan. Dengan rasa sedih Presiden mengungkapkan rasa kesalnya atas tindakan aparat yang menembaki mahasiswa itu. Setelah itu Presiden langsung menayakan wakilnya Beddu Jamal Kotto (BJK) perihal reshuffle kabinet, penggantian menteri-menteri yang dinilai korup yang terlibat dalam kasus pencucian uang maupun yang tidak sesuai dengan visi yang mereka bawakan. Namun alangkah terkejutnya Presiden setelah mengetahui reshuffle itu tidak bisa dilakukukan karena sebagian besar dari menterinya telah lenyap bersama lumpur. Sementara itu Sekretaris Jenderalnya memberikan salinan makalah Wahid Pratama yang berjudul “Semuanya Harus Berakhir dengan Baik”, makalah itu berisi tuntutan dan jalan akhir yang seharusnya ditempuh oleh Presiden SBD demi keutuhan NKRI. Sekretaris Jenderal segera mengundang Wahid Pratama untuk memperjelas isi makalah. Pembicaraan yang hangat pun terjadi antara Presiden dan Wahid Pratama diawali dengan mengulas perkara korupsi yang mewarnai pemerintahan SBD hingga ke masalah inti. Dalam pembicaraan mereka berdua didapatkan kesepahaman bahwa jalan tengah yang akan ditempuh oleh Presiden harus sesuai dengan yang dibahas oleh Pratama dalam makalahnya. Presiden pun memutuskan akan sesegera mungkin membuat pernyataan politiknya di hadapan publik dengan permintaan satu syarat yakni setelah ia bertemu dengan sejumlah tokoh terpandang republik. Keesokan harinya dalam perbincangan tersebut Wahid tiba-tiba merasa tersentak dan merasa dipermainkan setelah menyimak arah pembicaraan Presiden dengan tokoh lainnya yang


(38)

sangat tidak setuju apabila Wakilnya BJK diangkat menjadi Kepala Negara. Untuk itu ia segera berencana membentuk tim pembuat Undang-Undang baru dan membentuk Tim Reformasi untuk mengontrol jalannya proses reformasi dengan baik. Pernyataan itu menyulut reaksi keras dari semua kalangan, dengan segera tuntutan yang begitu lantang dan berani mereka sampaikan, Wahid memutuskan untuk menggelar Doa Bersama dan Long March di halaman Istana Presiden sampai Presiden SBD mengundurkan diri. Rencana Wahid itu disambut baik oleh jutaan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan kekhwatiran yang luar biasa. Sejumlah pengamat politik, rohaniawan, ekonom dan kalangan profesi lainnya khawatir akan ada lagi pertumpahan darah. Apalagi ditambah dengan satuan pengaman yang lengkap dengan persenjataan panser yang dikerahkan ke jalan-jalan, apartemen bahkan seluruh lokasi yang dianggap beresiko tindakan anarkis. Kapolri juga mengeluarkan status Wahid Pratama sebagai buronan.

Dengan rasa kecewa dan dilema, Wahid pun segera menarik pernyataannya dan membatalkan aksi tersebut demi keselamatan masyarakat. Namun ternyata pada keesokan paginya hampir ribuan jiwa massa sudah memadati jalan-jalan dan Istana Darurat Presiden, kemungkinan besar mereka tidak lagi sempat mendengar penarikan pernyataan Wahid. Acara doa bersama berjalan dengan tertib dan aman ditambah dengan sambutan dari beberapa praktisi politik yang kembali menyuarakan solusi yang terbaik. Mahasiswa kemudian menggelar diskusi terbuka disertai dengan orasi-orasi yang terkendali sampai pada malam harinya. Tanpa di duga-duga Pemerintahan Amerika Serikat yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri, kepada saluran televisi CNN yang disiarkan di seluruah dunia, menyerukan agar Presiden SBD segera mengundurkan diri dengan memberi keamanan masa transisi demokratis di Indonesia. Ditambahkan juga bahwa seorang Presiden dituntut tidak hanya mampu memimpin tetapi turut memelihara warisannya bagi generasi berikutnya. Pernyataan itu pun menghebohkan penjuru dunia. Tanpa berlama-lama Presiden akhirnya mengundurkan diri di hadapan Mahkamah Agung sehingga jabatan kepala Negara Indonesia beralih kepada Beddu Jamal Koto (BJK) mantan Wakil Presiden.

Proses pergantian itu berlangsung aman dan tenteram meskipun masyarakat tidak percaya lagi pada kinerjanya. Bagi masyarakat nama Beddu Jamal Koto sudah terlanjur dibenci dalam hati para pendemo sehingga tidak henti-hentinya mereka mengkrtitisi semua proses kebijakan dalam masa kepemimpinan presiden Beddu Jamal Kotto (BJK). Sementara itu Wahid menjadi dipenuhi dengan kepercayaan massa apalagi sesudah ia berhasil membuktikan dan membalikkan semua tuduhan Prof. Masina dan tokoh-tokoh lainnya yang


(39)

korupsi yang melibatkan orang-orang besar di Indonesia semakin terungkap. Pengusaha papan atas ternyata memainkan peranan penting dalam memanipulasi maraknya tuduhan suap yang semula diarahkan pada Wahid. Partai politik menjadi milik para pengusaha dan pejabat elit yang diarahkan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia. Lebih dari apa yang pernah diwacanakan ternyata penyeludupan prostitusi asing pun menjadi sumber korupsi yang tidak tanggung-tanggung yang dilakukan oleh Dirwas-dakim (Dinas Pengawasan- Perdagangan). Beberapa kasus yang buruk menjadi terungkap, tingkah para pengacara yang memperjual belikan posisi menang dan kalah dalam pengadilan, pencabutan nyawa yang terkdang dijadikan solusi jitu, dan kasus KKN Bank Marindi yang tidak pernah tuntas dalam pemerintahan dalam pemerintahan SBD-BJK.

Dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang diadakan oleh Partai Mandat Nasional (PMN) Wahid berhasil menggulingkan kekuasaan dan kediktatoran Ketua Umum PMN Prof. Masina yang korup. Dalam kongres tersebut usaha dan manuver suap Prof. Masina untuk memenangkan tim formatur dan kandidat ketua jauh meleset. Jumlah suara yang dihasilkan 80 berbanding 10 suara sehingga Wahid Pratama terpilih menjadi Ketua Formatur sekaligus Ketua Umum Partai. Keadaan tersebut semakin memperkuat posisi dan pengaruh Wahid dalam mengkritisi dan menentukan haluan kebijakan pemerintah.

Presiden Beddu Jamal Kotto (BJK) beberapa waktu setelah pelantikan merekomendasikan jejak pendapat warga Timon-Timun untuk menentukan nasib Propinsi Timon Timun yang menuntut memisahkan diri dari NKRI. Pandangan ini ternyata banyak ditentang oleh tokoh-tokoh masyarakat sebab keputusan itu akan merusak keutuhan dan kesatuan NKRI yang diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan bangsa terdahulu. Wahid segera tampil dengan vokal dengan menentukan dasar kebijkan Presiden yang salah akibat UUD 1945 telah diamandemen pada pasca Soeharto. Amandemen itu menurut Wahid merupakan mainan politik dari Prof. Masina dan kawan-kawannya demi kepentingan tertentu. Wahid menyayangkan bahwa seharusnya dalam UUD 1945 itu harus diatur bagaimana seorang Presiden memiliki hak untuk bertanya langsung kepada rakyat mengenai hal-hal menyangkut kehidupan, keselamatan dan kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara yang ditentang di parlemen. Karena fokus menjadi terarah pada masalah amandemen sementara Presiden BJK punya alasan lain maka Presiden memutuskan untuk mengambil dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai landasan untuk melakukan jajak pendapat di Pulau Timon-Timun.


(40)

memilih melepaskan diri ketimbang bergabung dengan negara kesatuan. Hal itu dikarenakan kelompok minoritas bersenjata yang selalu meneror dan memaksa mayoritas sipil dengan cara kekerasan dan intimidasi agar mengikuti kehendak setuju atau mati. Wahid kembali mendapat dukungan dari kalangan mahasiswa, partai-partai, DPR, LSM, bahkan kelompok

agama yang radikal menyarankan impeachment atau pemakjulan Presiden. Atas dasar

dukungan banyak pihak, Wahid berhasil memprakarsai pembentukan kaukus atau “Poros Kesatuan” di DPR/MPR untuk menentang niat Presiden BJK yang akhirnya sepakat mereka sebut sebagai “Penghianat Bangsa.”

Melihat perkembangan wacana itu Anggara Sutomo, dari KMG yaitu jaringan informasi terbesar di Indonesia yang menguasai televisi, berita online, media cetak, dan radio segera menunjukkan dukungannya dengan meminjamkan suara dari mulut para narasumber serta melalui kolom dan artikel opini para pakar pelbagai bidang keilmuan yang intinya mendukung sikap “ Poros Kesatuan” dan terutama visi Wahid Pratama untuk menyelamatkan NKRI. Sesuai dengan pertimbangan Sepuluh Hakim Konstitusi, enam diantaranya menyatakan setuju dan empat menyatakan tidak setuju. Permohonan DPR/MPR untuk

melakukan impeachment terhadap Presiden Republik Indonesia Beddu Jamal Koto (BJK)

yang mengarah pada pengkhianatan kepada bangsa dan negara, diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Sidang Istimewa MPR segera berlangsung selama tiga hari penuh. Dari hasil sidang itu ditetapkan tiga hingga enam bulan ke depannya akan diadakan Pemilihan Umum secara langsung. Jabatan Kepala Negara sementara diserahkan kepada Ketua MPR serta sejumlah ketentuan dalam masa transisi.

Tidak lama setelah itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (capres-cawapres) pada masa pendaftaran muncul 3 pasangan kandidat yang berasal dari generasi lama yang menandakan hasil dari generasi korup. Kemenangan telak menjadi milik kandidat nomor Wahid pasangan Wahid-Sandy sebab Jauh sebelum momentum pemilihan tersebut sebenarnya Wahid sudah menyiapkan strategi untuk memenangkan pemilihan dengan membangun jaringan massa yang sangat banyak dengan program Warung Prasajanya yang sampai ke semua penjuru nusantara. Warung Prasaja itulah yang menjadi wadah penggodokan bagi para pemilih pasangan Wahid Pratama. Gagasan untuk mendirikan Warung Prasaja tersebut semula merupakan ancang-ancangnya untuk mendirikan partai baru, apabila ia secara resmi keluar dari PMN. Pada masa pemerintahan Presiden Wahid dan Sandy berusaha memulihkan keadaan Indonesia dari keterpurukan Indonesia yang dilanda korupsi.


(41)

Beberapa waktu kemudian Anggara, pewaris tahta KMG itu mendapat undangan dari temannya Lucky untuk mengikuti perkembangan ekonomi Jerman lima belas tahun setelah reunifikasi. Perjalanan itu memang tergolong singkat namun telah membukakan tabir hidup keluarganya yang telah lama tersimpan rapih. Melalui pertemuan yang tergolong ganjil, Anggara mendapati bahwa ayahnya Sutomo Prasetho memiliki seorang istri yang tinggal di Paris, dengan seorang anak yang ternyata kembar dengan sekretarisnya Inka yang masih di Jakarta. Selain itu Anggara juga mendapatkan wanita yang kemudian menemaninya hingga ujung hidupnya. Perempuan itu bernama Kartika, seorang aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat yang sedang menjalankan tugasnya di Jerman. Anggara dan Kartika menjalani hubungan sebagai pasangan yang berpacaran, mereka memutuskan untuk tidak menikah sebelum saling mengetahui lebih dalam lagi tentang arti pernikahan, arti pertemuan, dan arti kehidupan Pria dan Wanita. Mereka sepakat untuk merayakan ulang tahun pertemuan di Jerman dengan kewajiban menghabiskan waktu bersama selama 24 jam setiap tahunnya selama belum ada kesepakatan menikah atau menarik diri.

Pada hari jadi yang ke tiga, mereka memilih menghabiskan waktu bersama di pinggiran DKI Jakarta yang dulunya sudah tenggelam ditelan bencana. Dengan pedebatan ringan namun menyenangkan, akhirnya mereka pun sepakat untuk segera menikah. Namun ketika mereka berjalan untuk segera kembali untuk mempersiapkan pernikahan tiba-tiba sebuah Sepeda Motor yang ditunggangi seorang berbusana hitam melaju begitu cepat sehingga hampir mencelakai mereka berdua. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari pengendara itu sampai pergi dengan mencampakkan sebuah amplop yang di permukaannya dialamatkan kepada Bapak Anggara Sutomo. Mereka segera mendapati bahwa isinya adalah sebuah kepingan DVD polos tanpa menunjukkan gambar atau ilustrasi apa pun. Di Hotel mereka mengetahui, ternyata tayangan tentang bencana yang menenggelamkan DKI Jakarta persis seperti yang kerap kali di siarkan stasiun televisi baik dari KMG sendiri. Namun tanda tanya besar masih menyelemutinya sehingga memutuskan untuk meneliti kepingan DVD tersebut di ruangan pribadi ayahnya yang sangat lengkap dengan peralatan canggih. Dengan teliti Anggara berusaha melihat setiap detil yang bisa memberikan informasi mengenai video tersebut. Tayangan dalam video itu menunjukkan rekaman dari lantai 19 Gedung DPR RI Senayan yang merekam bencana dahsyat yang menelam DKIJ beberapa tahun lalu. Rakaman itu mirip dengan video yang biasanya ditayangkan dalam acara peringatan peristiwa itu, namun Anggara menemukan keganjilan-keganjilan, beberapa yang hal ia siimpulkaan tidak bisa menjawab pertanyaan besar yang baru ia dapati. Kemudian ia beralih pada folder “My


(42)

berjudul “SP” yang merupakan inisial Sutomo Prasetho nama ayahnya itu. Dalam folderl itu Anggara menemukan dokumen-dokumen pribadi Ayahnya mengenai Ibunya, dan Anggara sejak dari kecil hingga besar baik dalam format foto maupun video. Selain itu ia juga menemukan folder “D” yang merupakan inisial Dewi istrinya yang kedua dalam file tersebut tersimpan dokumen berbentuk “doc”, dan AV. Sedangkan dalam folder “I” berisi catatan dan rekaman tentang si kembar Inka dan Indra baik dari kecil hingga dewasa. Rasa haru dan takjub terhadap memori yang disimpan rapih oleh ayahnya itu membuatnya sempat meneteskan air matanya hingga ia memutuskan untuk menutup semua file tersebut. Sejenak kemudian ia tertarik melihat sebuah folder yang berjudul “d.I.a”, dari dalamnya terdapat subfolder bernama “DKI”. Masing-masing folder itu berisi rekaman vidio langsung dari satelit mengenai bencana alam yang menimpa DKI Jakarta. Dalam folder itu ia juga

menemukan subfolder “B-4” atau be fore yang mengacu pada hal sebelum kejadian, dua

buah sub folder di dalamnya berjudul “ET” (extra terrestrial) menunjukkan rekaman kejadian yang muncul dari atas permukaan bumi dan “UT” (under terrestrial) menunjukkan rekaman kamera yang menunjukkan peristiwa bencana dari bawah tanah. Semua dokumen itu menjadi lebih mengejutkan baginya karena kehancuran DKI Jakarta pastinya tidak bisa dilepaskan dengan ayahnya yang kemungkinan besar menyimpan rahasia besar di balik bencana sebelumnya. Ia semakin kuat menduga bahwa bencana DKI itu bukan murni bencana alam tetapi merupakan pekerjaan manusia dengan teknologi canggih.

Anggara juga menemukan sebuah folder “AFT” yang dipanjangkan menjadi after (setelah) folder itu berisi rekaman mengenai peristiwa reformasi hingga digantikannya Presiden SBD, BJK menjadi Presiden Wahid Pratama. Termasuk juga dalam rekaman bagaimana Wahid dengan Warung Prasajanya menarik massa dan memberdayakan kaum pengangguran hingga membawanya ke puncak karir politik. Ia juga melihat rekaman mengenai perkembangan KMG di tangan Anggara. Belum juga keheranan dan rasa penasaran dan kebingungannya tuntas terjawab tiba-tiba Ibunya mengetuk pintu memberikan sebuah paket untuknya yang dikirimkan seseorang kepadanya. Ternyata isinya adalah sebuah penunjuk lokasi atau Global Position System (GPS) disertai dengan secarik kertas yang berisi prosedur tambahan. Anggara pun mengikuti sinyal merah yang berkedip-kedip menuju lokasi yang dimaksud. Ternyata Anggara dituntun hingga turun di ruang Parkir Gedung Opera Manggarai dari sana kemudian memasuki lift yang terkontrol secara digital. Dengan terkejut Anggara menyadari bahwa arah lift itu melaju jauh ke ruang bawah tanah. Lalu seorang wanita berseragam hitam dengan helm yang di sertai lingkaran kamera kecil di


(43)

kening menuntunya menuju sebuah ruangan yang memperlihatkan wajah Sutomo Prasetho dan sosok Presiden RI Wahid Pratama.

Di sanalah kemudian Anggara mengetahui dengan pasti dan sangat jelas bahwa bencana dahsyat yang menimpa DKI Jakarta itu adalah proyek Anggara Sutomo. Tanpa rasa bersalah Ayahnya dan Presien Wahid Pratama menjelaskan bahwa mereka jugalah yang juga memporak-porandakan Aceh pada 26 Desember 2004. Selain itu Presiden Wahid menambahkan bahwa strategi itu telah dijalankan sejak Presiden pertama hal itu

dikatakannya dengan menunjukkan slide dokumenter yang memperlihatkan Sutomo dengan

beberapa tokoh terpenting di Indonesia. Mereka melakukannya dengan alasan untuk menyongsong sebuah reformasi memperbaiki moral dan mental bangsa. Anggara tidak mampu lagi berdebat panjang meski emosinya saat itu sungguh tidak terbendung, batinnya terkejut tidak mampu lagi melihata kenyataan bahwa pelaku genosida itu ialah Ayahnya, dan sahabatnya Presiden Wahid Pratama.

Anggara dan Kartika akhirnya menikah di Gedung Manggarai itu dengan undangan dan acara mewah yang dihadiri para mantan presiden yang masih hidup, pejabat negara, praktisi media beserta keluarga Inka dari Paris. Beberapa lama kemudian Anggara dengan dukungan Kartika memutuskan untuk hanya mengabdikan karya, jiwa dan raga mereka untuk membantu, menyantuni, membimbing, dan melindungi para korban kelaparan, korban pembodohan, dan korban pelbagai malapetaka akibat pengambilan kebijakan yang tidak lagi berperikemanusiaan.

3. 2 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif. Cara kerja metode ini ialah dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Hal itu dapat dilakukan dengan menganalisis masalah-masalah intrinsik dalam novel d.I.a. cinta dan presiden kemudian dilanjutkan dengan masalah ekstrinsik berupa masalah kejahatan korupsi dan dampak sosialnya. Analisis tersebut didasari dengan teori-teori dan literatur-literatur pendukung yang berhubungan dengan topik penelitian. Dengan mendeskripsikan analisis secara benar dan terperinci maka akan dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil penelitian.


(44)

BAB IV ANALISIS INTRINSIK 4.1Penokohan

Tokoh merupakan pelaku yang terlibat dalam karya sastra. Tokoh itu bisa berupa manusia, hewan maupun mahluk lain yang dijadikan lebih hidup. Dalam novel d.I.a. cinta dan presiden para tokohnya adalah manusia. Sebagai salah satu unsur pembangun kesatuan dalam karya sastra, tokoh merupakan unsur yang sangat penting. Kehadiran tokoh akan sangat mempengaruhi perkembangan peristiwa ataupun konflik dalam cerita. Menurut Abrams, (dalam Aminuddin, 2000:20), “penokohan itu adalah perwatakan yaitu mengenai sifat tokoh, tabiat, atau perangai tokoh yang terdapat dalam cerita atau drama”. Watak selalu diinterpretasikan oleh pembaca sebagai pembawaan disertai moral kualitas disposisional (pembawaan, sifat) yang diekspresikan melalui dialog dan lakon (action) Dalam karya sastra, tokoh itu memiliki peranan yang berbeda-beda. Tokoh dapat berupa tokoh datar dan tokoh bulat. Wellek (1989: 28) mengatakan tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita yang hanya mempunyai satu dimensi sifat. Tokoh seperti itu dapat juga disebut tokoh pipih yang sangat sederhana. Tokoh bulat ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita yang memiliki sifat lebih dari satu dimensi.

Tokoh utama adalah tokoh yang bersifat kompleks karena mengalami perubahan-perubahan dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan istilah yang berbeda Aminuddin (1987:79-80) memaparkan bahwa seorang tokoh yang memiliki peranan paling penting dalam sebuah cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan pendukung atau pelengkap disebut tokoh tambahan. Kehadiran tokoh-tokoh dalam karya sastra juga memberikan pengaruh yang berbeda beragam, ada yang menjadi tokoh

protagonis dan ada pula yang menjadi tokoh antagonis. Aminuddin (1987:80) menjelaskan

bahwa tokoh protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca karena memiliki watak. Tokoh antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi


(45)

pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca. Kedua tokoh ini memiliki peran yang kontradiksi atau saling berlawanan.

Untuk menentukan perwatakan (Wellek & Warren, 1956:219) mengatakan bahwa

watak tokoh itu bisa saja diterangkan satu persatu, baik keadaan jasmani maupun keadaan rohani tokoh (block characterization). Ciri-ciri watak itu dapat diterangkan dengan tindakan (action), kata-kata (mimicry or pantomime), serta dapat pula dengan menggunakan lambang literer (symbolization). Selain itu untuk mempermudah penentuan tokoh, Sudjiman (1988:19) memaparkan beberapa kriteria dalam menentukan tokoh utama: (1) Bagaimana intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4) Tokoh utama selalu bisa mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul cerita, ada kalanya judul cerita mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan bab penutup dilakukan oleh tokoh yang sama.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa tokoh yang memiliki peranan penting di dalam cerita yaitu tokoh utama. Dalam novel inti tokoh utama menjadi tumpuan ide yang diinginkan pengarang. Sedangkan tokoh pendukung atau tambahan menjadi bagian pelengkap dalam mengokohkan tujuan pengarang. Dalam kesempatan ini penulis akan membahas tokoh-tokoh penting saja berupa tokoh utama dan tokoh pelengkap dengan perwatakan yang paling menonjol dan berperan penting. Tokoh-tokoh dalam dalam novel d.I.a. cinta dan presiden akan dipaparkan sebagai berikut:

4.1.1 Tokoh Utama 4.1.1.1 Wahid Pratama

Wahid Pratama merupakan tokoh utama yang memegang peranan penting dalam keseluruhan cerita baik dari awal maupun di akhir cerita. Wahid Pratama adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berumur 45 tahun termasuk dalam Komisi III yang


(1)

Kecaman masyarakat terhadap pemimpin yang korup merupakan salah satu bentuk sikap antikorupsi yang sudah menjadi budaya masyarakat. Tuntutan reformasi yang menekankan digantikannya presiden serta para pejabat korup membuktikan kesungguhan rakyat rakyat yang anti terhadap kejahatan korupsi.


(2)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan

Berdasarkan uraian yang dilakukan terhadap novel d.I.a. cinta dan presiden dapat dihasilkan beberapa simpulan berikut ini yakni:

1. Unsur intrinsik berupa tokoh dan latar cerita merupakan fakta cerita yang menunjukkan tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat negara. Tindakan kejahatan yang dilakukan para pelaku korupsi dalam novel digolongkan dalam white-collar crime atau kejahatan kelas sosial tinggi.

2. Ada dua pola tindakan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh tokoh dalam novel yakni pola occupational crime (kejahatan individual) dan corporate crime (kejahatan bersekongkol).

3. Dampak sosial kejahatan korupsi yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden meliputi kerugian pada berbagai hal berikut ini:

a. Kemiskinan materi atau keuangan. b. Kerusakan lingkungan.

c. Demoralisasi. d. Mafia peradilan. e. Genosida.

f. Kegagalan pencapaian visi negara.

4. Pandangan pengarang terhadap kejahatan korupsi dalam novel d.I.a. cinta dan presiden diwujudkan melalui tokoh utama Wahid Pratama. Melalui tokoh tersebut pengarang menyampaikan kritikan terhadap pemimpin Indonesia yang dilanda mental korup. Pengarang juga membangun sebuah tatanan Indonesia baru dengan memilih seorang tokoh yang berbeda dari semua pemimpin yang pernah memerintah Indonesia. Melalui seorang tokoh yang


(3)

cerdas, kritis dan berhati mulia, pengarang berusaha mengembalikan peradaban Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudaya.

5. Cerminan sosial masyarakat ataupun refleksi masyarakat dari novel d.I.a. cinta dan presiden meliputi hal-hal berikut ini:

a. Kleptokrasi.

b. Kekuatan masyarakat demokratis. c. Masyarakat antikorupsi.

6.2 Saran

Novel d.I.a cinta dan presiden sangat kaya akan pemikiran, keindahan, dan pergolakan masalah sosial. Hasil permenungan Noorca M. Massardi dengan latar belakang wawasan intelektual dan budaya yang luas membuat novel tersebut mampu merekam dan mengimbangi realitas yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia secara global. Pengarang mampu meramu beragam topik hangat dan penting yang menjadi pergunjingan dalam dunia nyata ke dalam sebuah perjalanan imajinatif yang didasarkan pada fakta sejarah kontemporer Dengan mengetahui gambaran atau kualitas novel d.I.a. cinta dan presiden maka novel ini tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian dari unsur beragam unsur sosial lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresisasi Sastra. Sinar Baru. Jakarta. Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Endraswara. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epsitemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.

Damono, Supardi. 1984. Pedoman Penelitian Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Hartati, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta. Sinar Grafika.

Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta. Hamidita Graha Widia.

Jacob, T. 2004. Tragedi Negara Kesatuan Kleptokasi: Sebuah Catatan di Senjakala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Johan. ”Sastra dan Seni Untuk Membasmi Korupsi”, (IACC Hongkong, Kamis, 25 Maret 2010).

KBBI offline versi 1.1, terbitan Pusat Bahasa tahun 2010.

Masarrdi, Noorca. 2008. d.I.a. cinta dan presiden. Jakarta : Kolibri.

Mustofa, Muhammad. 2010. Kleptokasi: Persekongkolan Birokrat-Korporat Sebagai Pola White Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana.Media Grup.

Nazaruddin, Alfian. 1991.Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Grafiti. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Pradopo, Rahmad. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yokyakarta. Gama Media. Raman, Selden.1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.


(5)

_____________. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salam, Burhanuddin, 1997. Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Semi, Atar. 1988. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Situr Rohman. ”Metamorfosis Korupsi dalam Sastra; Kesaksian Sastrawan Atas

Korupsi Selama Dua Abad di Nusantara”. (Kompas, Minggu, 16 Mei 2004). Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali. Sujiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob dan Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suwondo, Tirto. 2001. Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitan Sastra. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Surenson, Georg. 1985. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teew, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Dosen Mata Kuliah Politik. Dasar-Dasar Ilmu Politik. 2008. Medan: Universitas Negeri Medan.

Wellek dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Widjaja. 1991. Etika Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara.

Widowati dan R. D. Pradopo.”Korupsi Dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari: Kajian sosiologi Sastra”. (Humanika, 19 Juli 2006).


(6)

Referensi dari Internet

www.ensiklopediaindonesia.co.id.2011.

www.transparansiinternational.co.id. 2011. www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi. 2011.


Dokumen yang terkait

MASALAH SOSIAL DAN STRUKTUR NOVEL TASBIH CINTA DILANGIT Masalah Sosial dan Struktur Novel Tasbih Cinta Di Langit Moskow Karya Indah El Hafidz: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya dalam Pengajaran Sastra di SMA.

1 24 19

MASALAH-MASALAH SOSIAL DALAM NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA.

0 2 38

ASPEK RELIGIUS DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY ASPEK RELIGIUS DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY TINJAUAN: SOSIOLOGI SASTRA.

0 0 12

PENDIDIKAN AQIDAH DALAM NOVEL BUMI CINTA KARYA PENDIDIKAN AQIDAH DALAM NOVEL BUMI CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY.

0 0 14

ASPEK RELIGIUS DALAM NOVEL BUMI CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY: TINJAUAN Aspek Religius Dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Kajian Semiotik.

0 6 11

REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA A.N.M MASSARDI : Tinjauan Hegemoni Gramsci.

0 2 26

Inkonsistensi Tokoh Utama dalam Novel 180 Karya Muhammed Cevy Abdullah dan Noorca M. Massardi (An

0 0 9

Kata kunci: Kritik Sosial, Sosiologi Sastra, Novel Surat Cinta untuk Kisha. PENDAHULUAN - KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL SURAT CINTA UNTUK KISHA KARYA BINTANG BERKISAH

0 0 13

RELASI INTERTEKSTUAL ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS NOVEL DALAM MIHRAB CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY DAN NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY

0 0 9

ASPEK KEMANDIRIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL SETELAH 17 TAHUN KARYA NOORCA M. MASSARDI KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA - repository perpustakaan

1 0 12