Beragam cara licik telah digunakan oleh Profesor untuk memperoleh pemasukan baginya. Profesor Masina sesungguhnya sudah punya banyak penghasilan dan kedudukan yang tinggi,
namun ia tidak pernah puas dengan kekayaan dan kedudukannya sehingga seringkali mememeras orang-orang yang tidak disukainya.
b. Ambisius, Egois
Prof. Masina termasuk tokoh yang cukup ambisius, hal tersebut terlihat dari keberhasilannya memonopoli kekuasaan di Fraksi PMN. Ia telah menunjukkan
kemampuannya sebagai penguasa dengan mengeliminasi nama-nama pendiri PMN. Prof. Masina merupakan tokoh yang mengorganisir banyak orang sesuai dengan haluan yang ia
inginkan. Selain itu seperti yang dikatakan oleh Wahid, bahwa Profesor sesunguhnya hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mempertimbangkan dengan matang
bagaimana jasa teman-temannya pada masa reformasi 1998 yang berjuang menumbangkan rezim Orde Baru dan termasuk para tokoh yang berjuang keras dalam mendirikan Fraksi
Partai Mandat Nasional. Prof. Masina adalah tokoh yang begitu ambisius dan egois, korup, ia berhasil
menyingkirkan teman-temannya yang dulunya mendirikan PMN, dengan perlahan- lahan, nama para pendiri partai, serta pemilik saham lenyap dari pengetahuan publik.
Prof. Masina menjadikan PMN miliknya sendiri, monopoli kekuasaan, demi mencapai visinya mendirikan republik suap hlm. 575.
Prof. Masina hanyalah tokoh penjilat yang menompang tenar lewat Peristiwa 98, tutur sejumlah Angkatan 1998. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahid
Pratama bersama teman-temannya. Prof. Masina merupakan seorang yang memiliki kekuasaan untuk menjerumuskan
banyak pihak termasuk menuduh sejumlah perkara korupsi kepada Wahid Pratama. Prof. Masina pada waktu menjabat sebagai Ketua Umum Fraksi PMN menjalankan masa
kepemimpinanya dengan otoriter. Seperti halnya ketika ia mengeluarkan fatwa pemberhentian Wahid dari partai. Selain itu Profesor juga menjalin hubungan kerjasama
Universitas Sumatera Utara
dengan beberapa korporat kaya yang turut melakukan korupsi besar-besaran. Salah satunya ialah Christo Sanurbi, yang kemudian ia jadikan Wakil Ketua PMN setelah mendapat Rp 80
miliar. Apa yang paling penting baginya bahwa ia mendapat uang sebagai bagiannnya, tidak peduli dari mana asal muasal uang itu. Meskipun Profesor tahu bahwa uang yang digunakan
untuk menyogoknya adalah hasil korupsi dengan menipu Bank dan PLN, ia tetap menerimanya tanpa rasa malu.
Prof. Masina juga tahu terang benderang sejarah duitnya Christo Sanurbi dari A sampai Z. Sejak kasus utang terakhir Grup Mia sebesar Rp 780 miliar yang dibayar
dengan kurs lama, hingga utang Rp 173 miliar kepada Dirjen PLN yang belakangan diatasnamakan almarhum Abangnya, yang sempat dicecar Fazwa Budaeri di Komisi
XI. Prof Masina juga tahu bahwa duit utangan itu pulalah yang dibayarkan Christo Sarnubi kepadanya, tapi Profesor cuek bebek dengan segala mimik hipokrisi
“Republik Suap-nya” , seolah ia tak ikut jadi penjahat kata Wahid hlm. 757.
Untuk mendudukkan Christo Sanurbi menjadi Wakil Ketua Umum PMN, Prof. Masina menyuap beberapa pemilik hak suara untuk memilih Christo Sanurbi. Tindakan itu sangat
jauh dari sosok seorang Profesor, yang seharusnya mendidik kadernya untuk mampu menilai dan memutuskan secara objektif demi kepentingan rakyat. Prof. Masina sungguh mata duitan
dan ia lebih layak dikatakan sebagi “Profesor Korupsi” yang memimpin dan mengajari anggota partai menyerap setiap tindak-tanduknya secara tidak langsung.
... Prof. Masina berusaha mengumpulkan suara untuk mendukung kebijakannya, dengan lebih dulu mengundang peserta Kongres ke rumahnya di Yogyakarta. Ia
menghadiahi mereka yang datang sebanyak Rp 1 juta per orang agar mereka menyetujui dan mengukuhkan Christo Sanurbi sebagai Wakil Ketua Umum PMN.
Usai pertemuan itu ia mengedarkan secarik kertas berisi nama-nama yang ia rekomendasikan untuk dipilih sebagai calon formatur di floor Kongres, desertai duit
tambahan Rp 1 juta per kertas bagi setiap peserta hlm.758.
Tidak ada alasan rasional untuk mendudukkan Christo sebagai petinggi PMN, seperti yang dikemukakan oleh pihak media Christo ibarat ”orang buta”, tokoh yang tidak pernah sama
sekali menjadi anggota PMN, belum pernah berkecimpung di Ihya Mahdammu, dan tidak punya track record apa pun di bidang politik. Ia sekadar tokoh pengusaha pribumi yang
Universitas Sumatera Utara
masih dianggap muda, dan terlibat masalah dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI yang akhirnya mampu membeli sebuah partai politik dengan uang haram.
Besarnya ambisi Prof. Masina untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, membuatnya nekat untuk menjalin kerja sama dengan para pelaku kejahatan, ia bahkan
menjadi figur pelindung bagi koruptor agar mendapatkan sejumlah kucuran dana. Ia lebih membangun hubungan baik dengan para koruptor sementara kader-kader idealis yang
berujuang untuk rakyat segera dieliminasinya. Motif yang demikian terlihat ketika Prof Masina memecat kadernya Fazwa Budaeri karena begitu tegas dan vokal untuk menuntut
kebenaran mengenai amandemen UUD 45 yang tidak sesuai dengan prosedur perundang- undangan yang fiktif dan penuh muslihat. Kritik itu menurut alasan Prof. merupakan kritik
langsung padanya sehingga Fazwa direcall dengan tuduhan sebagai kader antiamandemen. Hal yang sama juga dilakukan Prof. Masina terhadap Djuju Darussiddin meskipun
akhirnya Surat Pemberhentian itu dibatalkan setelah Djuju Darussiddin membayar Rp 1 miliar kepada Prof. Masina. Mental korup itu menunjukkan sikap semena-mena Prof. Masina
terhadap kader-kadernya. Ia juga merecall Wahid karena sikapnya yang begitu vokal dalam menegakkan keadilan apalagi sedang berusaha menuntaskan keterlibatan para wakil rakyat
dalam hal korupsi. Menyangkut Hak Angket Skandal KKN Bank Marindi yang diajukan dan dipimpin oleh Wahid Pratama akhirnya ditemukan bahwa Prof. Masinalah yang
mengintervensi Hak Angket, sehingga para bad debitor bisa aman tanpa harus mengembalikan kredit macat yang mengakibatkan bangkrutnya Bank Marindi. Pada intinya
semua tindakan Wahid yang menghalangi pemasukan Prof. Masina akan selalu ditentangnya. Bagi Prof. Masina kebenaran dan keadilan itu tidak lebih bernilai dari pada uang.
Pada bidang perpajakan juga Prof. Masina menggunakan kekuasaannya untuk melindungi para koleganya yang korup. Seperti halnya perseteruan hukum antara Poro
Munadhi dengan Asrif Basali seorang analis ekonomi terkemuka yang juga merupakan
Universitas Sumatera Utara
pengurus inti PPIN, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang paling kritis menyuarakan keadilan. Pada saat itu diperdebatkan penipuan Poro Munadhi secara
metodologis yang menyangkut sekitar Rp 30 triliun pendapatan per tahun. Bersamaan dengan itu Wahid merupakan anggota dari Pansus RUU Perpajakan DPR, namun dengan tiba-tiba
digantikan oleh Prof. Masina yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan badan legislatif. Ternyata Prof. Masinalah yang menaruh dan menjamini Poro Munadhi menjadi Dirjen Pajak
agar mendapatkan setoran rutin.
c. Hipokrit