BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan perekonomian banyak perusahaan dalam rangka mengembangkan usahanya melakukan berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhan modal. Kebutuhan modal akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan, hal ini mengharuskan pihak
manajemen untuk memperoleh tambahan dana yang baru diantaranya dengan cara hutang atau dengan menambah jumlah kepemilikan saham dengan penerbitan
saham baru. Penambahan jumlah kepemilikan saham perusahaan dapat dilakukan
dengan menjual kepada pemegang saham yang sudah ada, menambah saham melalui deviden yang tidak dapat dibagi, menjual langsung kepada pemilik
tunggal secara privat private placement, menjual kepada karyawan melalui ESOP Employee Stock Ownership Plan atau dengan melakukan penawaran
sahamnya ke masyarakat umum. Proses penawaran sebagian saham kepada masyarakat melalui bursa efek disebut go public Brigham, 1993:85.
Perusahaan yang melakukan go public ini disebut perusahaan publik. Perusahaan publik ada yang dikategorikan tercatat dan ada yang tidak tercatat.
Perusahaan publik yang tercatat adalah perusahaan yang sahamnya dicatatkan di Bursa Efek, sedangkan perusahaan publik yang tidak tercatat meskipun menjual
sahamnya ke masyarakat luas tetapi tidak dicatatkan di Bursa Efek contohnya
Universitas Sumatera Utara
saham PT. Abdi Bangsa yang dijual kepada masyarakat luas guna membiayai pembangunan pesawat CN 250 Widoatmodjo, 2009:52.
Transaksi penawaran umum penjualan saham perdana atau yang disebut IPO Initial Public Offering untuk pertama kalinya terjadi di pasar perdana
primary market kemudian saham dapat diperjualbelikan di bursa efek, yang disebut sebagai pasar sekunder secondary market. Pasar perdana merupakan
sarana bagi perusahaan yang untuk pertama kali menawarkan saham atau obligasi kepada masyarakat umum Samsul, 2006:48.
IPO Initial Public Offering adalah kegiatan perusahaan menawarkan sebahagian sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal. Sebelum
perusahaan menawarkan sahamnya di pasar sekunder secondary market, perusahaan harus melalui tahap penawaran saham pada pasar perdana primary
market. Dalam melakukan IPO, perusahaan harus menerbitkan prospektus sebelum melakukan listing di BEI. Prospektus adalah dokumen yang berisikan
informasi tentang perusahaan penerbit sekuritas dan informasi lainnya yang berkaitan dengan sekuritas yang ditawarkan. Perusahaan akan melakukan go
public apabila dengan melakukan go public perusahaan akan memperoleh keuntungan dan harga yang ditawarkan pada pasar perdana IPO belum memiliki
harga pasar sekunder. Harga saham yang dijual di pasar perdana IPO telah ditentukan terlebih
dahulu melalui kesepakatan yang dilakukan oleh perusahaan emiten dengan penjamin emisi efek underwriter, sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan
oleh mekanisme pasar yaitu penawaran dan permintaan Samsul, 2006:48. Dalam
Universitas Sumatera Utara
dua mekanisme ini penentuan harga tersebut sering terjadi perbedaan harga terhadap saham yang sama antara di pasar perdana dan di pasar sekunder. Apabila
penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama, maka terjadi apa
yang disebut dengan underpricing. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisasi underpricing karena terjadinya underpricing akan
menyebabkan transfer kemakmuran wealth dari pemilik kepada para investor. Apabila harga pada saat IPO secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama, gejala ini disebut dengan overpricing. Maka investor akan merugi karena mereka tidak menerima
initial return. IR Initial Return adalah keuntungan yang diperoleh pemegang saham saat IPO dengan menjualnya pada hari pertama.
Fenomena underpricing di dalam IPO ini dikenal hampir diseluruh dunia. Mc.Guiness 1992 dalam Jogiyanto dan Ali 2003:42 meneliti tentang fenomena
underpricing terhadap 80 IPO periode 1980–1990 di Hongkong. Dengan hasil yang menunjukkan adanya return yang positif pada hari pertama perdagangan di
pasar sekunder dan kemudian mulai menghilang sesudah hari pertama. Hanafi 2001 dalam Jogiyanto dan Ali 2003:44 mengemukakan adanya underpricing
sebesar 15 pada saat pertama kali saham diperdagangkan pada hampir semua emisi saham perdana selama tahun 1989-1994 di Bursa Efek Jakarta. Jumlah
perusahaan yang sahamnya mengalami underpricing pada tahun 2001-2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Jumlah Underpricing Saham Perusahaan Yang Melakukan IPO
Periode 2001-2009 Tahun
Emiten Yang
Melakukan IPO
Emiten Yang
Mengalami Underpricing
Harga Penawaran
Perdana Rata-rata
Harga Penutupan
Rata-rata Initial
Return
2001 31
31 225,32
359,52 59,56
2002 17
15 275
348 26,55
2003 5
5 780
860 10,25
2004 12
12 320,6
373,5 16,50
2005 8
7 535
621,43 16,15
2006 12
12 242,08
315,41 30,29
2007 24
22 1128,18
1495,27 32,54
2008 17
14 767,14
911,29 18,79
2009 13
13 513,46
628,07 22,32
Sumber: www.e-bursa.com Maret 2010, dimodifikasi.
Data Tabel 1.1 menjelaskan bahwa terjadi underpricing pada sebagian besar penawaran perdana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2001-2009. Tahun 2001 jumlah perusahaan yang melakukan IPO adalah 31 perusahaan dan seluruh perusahaan
tersebut mengalami underpricing dengan rata-rata initial return positif sebesar 59,56. Namun, pada tahun 2002 hingga 2006 terjadi penurunan yang cukup
signifikan terhadap jumlah perusahaan yang melakukan IPO dan juga mempengaruhi jumlah initial return yang diperoleh meskipun masih bernilai
positif. Pada tahun 2007, jumlah perusahaan yang melakukan IPO kembali mengalami peningkatan yaitu sebanyak 24 perusahaan dengan total perusahaan
yang mengalami underpricing sebanyak 22 perusahaan, keadaan ini juga mempengaruhi peningkatan terhadap rata-rata initial return yaitu sebesar 32,54.
Tahun 2008 hingga 2009 jumlah perusahaan yang melakukan IPO terus menurun, namun dapat dilihat 90 perusahaan mengalami underpricing dan masih tetap
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan initial return positif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa sebagian besar saham perusahaan-perusahaan yang melakukan penawaran perdana pada
periode 2001-2009 mengalami underpricing. Sunariyah 2004:75 mengungkapkan bahwa secara mendasar
underpricing disebabkan oleh kepentingan dari pihak-pihak yang terkait dalam penawaran saham perdana. Harga saham yang dijual di pasar perdana ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara penjamin emisi underwriter dan emiten issuers, sedangkan harga dipasar sekunder ditentukan oleh mekanisme
permintaan dan penawaran pasar. Penjamin emisi underwriter berperan aktif dalam menentukan harga jual di pasar perdana saat IPO dengan menggunakan
laporan keuangan sebagai informasi yang akan diberikan kepada investor tentang perusahaan.
Menurut Nasirwan 2002 informasi tersebut yaitu informasi akuntansi dan non akuntansi yang berasal dari laporan keuangan, dan yang tidak terdapat dalam
laporan keuangan perusahaan. Informasi akuntansi meliputi financial leverage, Return On Aset ROA, Return On Equity ROE, dan ukuran perusahaan firm
size, sedangkan informasi non akuntansi yaitu meliputi reputasi underwriter, reputasi auditor dan umur perusahaan.
Financial leverage menggambarkan seberapa baik perusahaan tersebut dalam mengelola aktiva yang digunakan untuk menjamin hutang. Apabila
financial leverage suatu perusahaan tinggi maka tinggi pulalah resiko perusahaan. Berdasarkan pada penelitian Imam Ghozali 2002 dalam Rizky 2006:105
mengemukakan apabila tingkat hutang emiten semakin besar, maka tingkat
Universitas Sumatera Utara
underpricing semakin kecil sehingga financial leverage berhubungan negatif dengan tingkat underpricing. Hal ini menunjukkan bahwa investor pasar modal
Indonesia, khususnya yang membeli saham di pasar perdana adalah investor jangka pendek bukan investor jangka panjang.
Return On Equity ROE merupakan faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap underpricing pada saat perusahaan melakukan IPO. ROE
merupakan rasio yang memberikan informasi kepada investor tentang seberapa besar tingkat pengembalian modal dari perusahaan yang berasal dari kinerja
perusahaan. Semakin besar nilai ROE maka tingkat pengembalian investor akan semakin besar pula. Syahputra 2008:98 dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa variabel Return On Equity ROE tidak berpengaruh terhadap underpricing saham pada perusahaan yang IPO di BEI.
Ukuran perusahaan ditunjukkan melalui total asset yang dimiliki perusahaan, semakin besar asset perusahaan maka semakin besar pula ukuran
perusahaan tersebut. Asset perusahaan yang besar akan memberikan indikasi bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek. Nasirwan 2002:89 tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan dengan tingkat underpricing. Ukuran perusahaan size dapat digunakan sebagai proksi
ketidakpastian uncertainty ex-ante terhadap keadaan perusahaan dimasa yang akan datang. Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan total aktiva
perusahaan pada periode terakhir sebelum melakukan penawaran perdana. Seperti peneliti lain, Schmalensee 1989 dalam Kusuma 2005:82 menggunakan total
aktiva asset sebagai proksi ukuran size perusahaan, dan pengukur tingkat
Universitas Sumatera Utara
keuntungan akuntansi diwakili oleh profit margin dan return on asset. Akan tetapi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Schmalensee 1987 dalam Kusuma
2005:82 menunjukan bahwa ukuran perusahaan firm size dan profitabilitas tidak berhubungan secara signifikan bila perusahaan-perusahaan dalam suatu
industri dikelompokkan ke dalam sub industri. Dengan demikian peneliti yang sama menghasilkan temuan yang berbeda.
Umur perusahaan merupakan hal yang dipertimbangkan investor dalam menanamkan modalnya. Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam mempertahankan eksistensi dirinya di dalam persaingan bisnis. Beatty 1989 dalam Rachmawati 2007:104 menunjukkan hubungan yang signifikan
positif terhadap initial return. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji fenomena
tersebut lebih lanjut dalam penelitian mengenai “Pengaruh Financial Leverage, Return On Equity ROE, Ukuran dan Umur Perusahaan Terhadap Tingkat
Underpricing pada Perusahaan yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia BEI”.
B. Perumusan Masalah