Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Harga Saham pada Perusahaan yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

TINGKAT

UNDERPRICING

HARGA SAHAM PADA

PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK

INDONESIA PERIODE 2010-2014

Skripsi

Disusun oleh

Ari Suryawan

1111081000056

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Ari Suryawan

2. Tempat, Tanggal Lahir : Wonogiri, 17 April 1993

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Alamat : Jl. Al-Baidho Gg. Makmur 1 No. 7 RT 12/RW

09, Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. 13810

5. Agama : Islam

6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Nama Ayah : Suryadi

8. Nama Ibu : Sukiyem

9. Anak ke dari : 2 dari 2 bersaudara

10.No. Telp : 08999108120

11.Email : arisuryaawan@gmail.com

II. PENDIDIKAN

1. SDN 09 Lubang Buaya, Jakarta Timur Tahun 1999-2005

2. SMPN 81 Lubang Buaya, Jakarta Timur Tahun 2005-2008

3. SMAN 62 Kramat Jati, Jakarta Timur Tahun 2008-2011


(7)

ABSTRACT

Underpricing has become a phenomenon at the time when companies do an IPO. Underpricing is a phenomenon in which the offer of price in primary market is lower than the closing price in secondary market. This study aims to analyze the factors that influence the level of stock price underpricing of IPO companies in Indonesia Stock Exchange within 2010-2014. This study uses 6 variables; company age, company size, CR, DER, ROE and EPS. The data analysis use multiple regression method and the samples of this study use purposive sampling method with the amount of samples are 38 companies from 124 companies that do an IPO in Indonesia Stock Exchange within 2010-2014. The research results show that all of the independent variables; company age, company size, CR, DER, ROE and EPS simultaneously have value significant 0,000 influence toward underpricing. In the other hand, partially, only company age with value significant 0,000 , company size with value significant 0,000 and DER with value significant 0,050 as independent variables have influence significantly while other independent variables such as CR, ROE and EPS don’t have influence significantly toward underpricing. Keyword : Company Age, Company Size, CR (Current Ratio), DER (Debt to Equity Ratio), ROE (Return on Equity) and EPS (Earning per Share), IPO (Initial Public Offering), Underpricing


(8)

ABSTRAK

Underpricing telah menjadi fenomena tersendiri pada saat perusahaan melakukan IPO. Underpricing adalah suatu fenomena dimana harga penawaran di pasar perdana lebih rendah dibandingkan harga penutupan di pasar sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing harga saham perusahaan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode 2010-2014. Penelitian ini menggunakan 6 variabel bebas yaitu umur perusahaan, ukuran perusahaan, CR, DER, ROE dan EPS. Analisis data dilakukan menggunakan metode regresi berganda dan penarikan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 38 dari 124 perusahaan yang IPO di BEI dari tahun 2010-2014. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan seluruh variabel independen yaitu umur perusahaan, ukuran perusahaan, CR, DER, ROE dan EPS berpengaruh secara signifikan dengan nilai 0,000 terhadap underpricing. Sedangkan secara parsial hanya variabel independen umur perusahaan dengan nilai signifikan 0,000, ukuran perusahaan dengan nilai signifikan 0,000 dan DER dengan nilai signifikan 0,050 yang berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing namun variabel independen lainnya yaitu CR, ROE, dan EPS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing.

Kata Kunci : Umur perusahaan, Ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE) dan Earning per Share (EPS). Initial Public Offering (IPO), Underpricing


(9)

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada pemimpin umat Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, danpengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis sangat bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini, sebab dalampenyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat kesulitan. Akan tetapi berkatbantuan, bimbingan, dukungan, serta doa yang penulis dapatkan dari berbagai pihakakhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Ibunda Sukiyem dan Ayahanda Suryadi, yang dengan tulus dan ikhlas memberikan rasa kasih sayang, dukungan, perhatian, serta doa-doanya yang tiada henti kepada penulis.

2. Bapak Dr. Arief Mufraini, LC., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Titi Dewi Warninda, M. SI selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Indo Yama Nasaruddin, SE., MAB selaku dosen pembimbing I yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,

arahan,dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak karena bapak tidak pernah bosan mendengarkan berbagai keluhan penulis dan selalu memberikan solusi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Faizul Mubarok, MM selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak atas semua saran dan


(10)

masukan yang bapak berikan, karena saran dan masukan tersebut sangat bermanfaat bagi penulis.

6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 7. Seluruh staf karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak

memberikan bantuan kepada penulis dalam hal administrasi dan lain-lain.

8. Teman-teman yang saya cintai Agesti Kusumandari dan seperjuangan, Abdul Azis, Aditya Rian Pratama, Akbar Faizal Perwira, Yudho Wijoseno, Musyrifah Ratnasari, Siti Syifa, Siti Asiah, Bingah Pangesti, Suci Romadona, Brian Nur Pratama, Taufan Chaerul, Hilman Azmi, Galih Pangestu, dan teman-teman lainnya dari manajemen 2011, manajemen B, manajemen keuangan, grup share everything, yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis serta kegembiraan yang dapat menghilangkan rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Semua pihak yang terlibat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semua ketidaksempurnaan yang timbul disebabkan oleh keterbatasan kemampuan maupun pengetahuan yang dimiliki penulis. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis berharap pembaca sekalian dapat memaklumi apabila banyak ditemukan kesalahan, kekurangan, ataupun kelemahan yang ditemukan dalam skripsi ini. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk melakukan langkah perbaikan. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis menyerahkan segala urusan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian maupun bagi penulis.

Jakarta, 15 Desember 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengasahan Skripsi ... ii

Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv

Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Abstract ... vii

Abstrak ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Kajian Pustaka ... 18

1. Pasar Modal ... 18

2. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) ... 19

3. Underpricing ... 22

4. Umur Perusahaan ... 25

5. Ukuran Perusahaan ... 26

6. CR (Current Ratio) ... 27

7. DER (Debt to Equity Ratio) ... 28

8. ROE (Return on Equity) ... 29

9. EPS (Earning per Share) ... 30

B. Hubungan Antar Variabel ... 31

C. Penelitian Terdahulu ... 37

D. Kerangka Pemikiran ... 43

E. Hipotesis ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 45


(12)

B. Tehnik Penentuan Sampel ... 45

C. Metode Pengumpulan Data ... 49

D. Tehnik Analisis Data ... 50

E. Operasional Variabel Penelitian ... 60

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 65

1. Sejarah Singkat BEI ... 65

2. Sekilas Tentang KSEI ... 67

3. Sekilas Tentang KPEI ... 68

4. Daftar 38 Perusahaan Sampel Penelitian ... 69

B. Analisis Deskriptif ... 70

1. Umur Perusahaan ... 70

2. Ukuran Perusahaan ... 71

3. CR (Current Ratio) ... 73

4. DER (Debt to Equity Ratio) ... 75

5. ROE (Return on Equity) ... 77

6. EPS (Earning per Share) ... 79

7. Underpricing ... 81

C. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 83

1. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 83

2. Pengaruh Variabel Independen Secara Simultan Terhadap Variabel Dependen ... 90

3. Pengaruh Variabel Independen Secara Parsial Terhadap Variabel Dependen ... 91

4. Koefisien Determinasi (Adjusted R2) ... 95

D. Interpretasi Hasil Penelitian ... 96

BAB V PENUTUP ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Implikasi ... 103

C. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(13)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Halaman

1.1 Perkembangan IPO Tahun 2010 – Agustus 2015 ... 6

2.1 Penelitian Terdahulu ... 37

3.1 Metode Pengambilan Sampel ... 47

3.2 Daftar Sampel Penelitian... 48

3.3 Pengambilan Keputusan Korelasi ... 53

4.1 38 Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 69

4.2 Nilai Ukuran Perusahaan ... 71

4.3 Nilai CR (Current Ratio) ... 73

4.4 Nilai DER (Debt to Equity Ratio) ... 75

4.5 Nilai ROE (Return on Equity) ... 77

4.6 Nilai EPS (Earning per Share) ... 79

4.7 Nilai Underpricing ... 81

4.8 Uji Kolmogorov-Smirnov ... 84

4.9 Uji Multikoliniaritas ... 85

4.10 Output Durbin-Watson ... 86

4.11 Run Test ... 87

4.12 Uji Park ... 89

4.13 Uji F ... 90

4.14 Uji t ... 91


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Halaman

1.1 Persentase Perusahaan yang Mengalami Underpricing 2010-2015... 7

2.1 Proses Emisi Efek ... 21

2.2 Gambar Kerangka Pemikiran ... 43

4.1 Struktur Pasar Modal Indonesia ... 66

4.2 Grafik Normal Probability Plot ... 83

4.3 Scatterplot ... 88


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Halaman

1 Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 108

2 Umur Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 109

3 Ukuran Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 110

4 Current Ratio Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 111

5 Debt to Equity Ratio Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 112

6 Return on Equity Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 113

7 Earning per Share Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 114

8 Underpricing Perusahaan yang Menjadi Sampel Penelitian ... 115

9 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 116


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Di zaman globalisasi ini visi dan misi perusahaan tentunya akan terus mengalami perkembangan guna mencapai keberhasilan perusahaan. Maka dari itu perusahaan tentunya membutuhkan modal untuk pendanaan yang bisa membantu dalam tahap pengembangan perusahaan tersebut. Yaitu salah satunya bersumber dari Pasar Modal. Menurut Riyanto (2013:219) ada 3 sumber extern pendanaan yang utama bagi perusahaan yaitu Suplier, Bank, Pasar Modal. Pasar Modal (Capital Market) adalah suatu pengertian abstrak yang mempertemukan dua kelompok yang saling berhadapan tetapi yang kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal (investor) di satu pihak dan emiten yang membutuhkan dana jangka menengah atau jangka panjang. Dimaksudkan dengan pemodal adalah perorangan atau lembaga yang menanamkan dananya dalam efek, sedangkan emiten adalah perusahaan yang menerbitkan efek untuk ditawarkan kepada masyarakat (go public).

Menurut Brigham dan Houston (2010:190) Pasar Modal adalah Pasar keuangan untuk saham dan utang jangka panjang dan hutang jangka menengah atau jangka panjang panjang satu tahun lebih. Sedangkan Going Public adalah kegiatan menjual saham kepada masyarakat luas yang dilakukan oleh perusahaan korporasi atau pemegang saham utama di Pasar Perdana (Brigham dan Houston, 2010:206).


(17)

Siamat (2005:487) Pasar Modal dalam arti sempit adalah suatu tempat yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu system yang terorganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi Bursa Efek ini antara lain adalah menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui mekanisme permintaan dan penawaran.

Proses penawaran saham perdana kepada publik melalui pasar perdana dikenal dengan istilah Initial Public Offering (IPO) selanjutnya saham dapat diperjual belikan pada pasar sekunder dibursa efek. Harga saham pada pasar perdana ditentukan oleh kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter (penjamin emisi saham) yang telah ditunjuk oleh perusahaan emiten,sedangkan harga saham pada saham sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran) menurut Risqi dan Harto (2013).

Pasar modal dalam bentuk konkrit berupa Bursa Efek (securities / stock exchange). Bursa efek sebenarnya sama dengan pasar-pasar lainnya yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli, hanya yang diperdagangkan adalah efek. Di Indonesia terdapat Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX). Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. Bursa hasil penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007.


(18)

Setiap perusahaan yang akan melakukan IPO harus melalui proses-proses terlebih dahulu, dimana proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang (Manurung, 2013 : 32). Tahapan pertama yang harus ditempuh adanya kesepakatan antara direksi perusahaan, dimana kesepakatan ini melalui sebuah rapat yang dikenal dengan rapat direksi guna mendapatkan kesepakatan atau keputusan diantara direksi guna mendapatkan kesepakatan ini melalui sebuah rapat yang dikenal dengan rapat direksi dalam kerangka kekompakan dan dukungan semua pihak untuk terlaksananya proses IPO yang direncanakan. Selanjutnya, setelah mendapatkan persetujuan pada rapat Direksi dan Komisaris maka keinginan penawaran saham ke publik harus mendapatkan persetujuan dari Rapat Pemegang Umum Saham (RUPS) karena RUPS merupakan organ tertinggi didalam perusahaan.

Tahap ketiga membentuk IPO terlaksana dimana pihak yang harus ada dalam tim tersebut yaitu akuntansi, hukum, corporate finance, dan bidang lain yang dianggap perlu seperti pemasaran, produksi, dan logistic perusahaan. Tahap keempat yaitu melakukan penunjukan kepada pihak-pihak yang berpartisipasi untuk IPO perusahaan. Adapun pihak yang berpartisipasi dalam IPO yaitu perusahaan penjamin emisi saham atau yang lebih dikenal dengan Sekuritas, Akuntan Publik, Konsultasi Hukum, Penilaian, Biro Administrasi Efek, Notaris dan Konsultan Keuangan. Tahap kelima yaitu melakukan penawaran saham ke publik dengan bantuan semua pihak yang berpartisipasi pada penawaran saham ini.


(19)

Namun sebelumnya perusahaan harus melakukan pendaftaran ke BAPEPAM. Perusahaan juga harus melakukan pendaftaran bursa untuk mendapatkan surat dari Bursa Efek Indonesia yang menyatakan bahwa saham perusahaan bisa diperdagangkan dibursa. Tahap keenam yaitu saham perusahaan diperdagangkan sejak hari pertama saham dicatatkan dibursa.

Riyanto (2013 : 220) Adapun fungsi dari BAPEPAM tersebut dalam Keppres No, 53. Tahun 1990 Tentang Pasar Modal yaitu :

1. Mengikuti perkembangan dan mengatur pasar modal sehingga efek dapat ditawarkan dan diperdagangkan secara teratur, wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyrakat umum.

2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga seperti ; Bursa Efek dan Lembaga Kliring Penyelesaian dan Penyimpanan, Reksa Dana (Investmen Fund), Perusahaan Efek, Lembaga Penunjang Pasar Modal, dan

3. Memberikan pendapat kepada Menteri Keuangan mengenai Pasar Modal Setelah perusahaan melakukan proses-proses untuk melakukan IPO, perusahaan juga harus mengetahui terlebih dahulu apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bursa Efek Indonesia mensyaratkan beberapa ukuran yang harus dipenuhi agar saham perusahaan dapat ditransaksikan di bursa (Manurung, 2013 : 37). Adapun syarat tersebut yaitu perusahaan harus telah beroperasi sekurang-kurangnya lima milyar rupiah, memiliki laporan keuangan yang diaudit, menjual saham sekurang-kurangnya lima puluh juta saham atau 35% dari jumlah saham


(20)

Setelah semua tahapan dan syarat-syarat telah dipenuhi, berarti proses IPO siap dilaksanakan. Harga saham yang akan dijual perusahaan dipasar perdana adalah hasil kesepakatan antara emiten dan underwriter sedangkan harga dipasar sekunder adalah hasil dari mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran. Penentuan harga saham pada saat IPO adalah hal yang penting bagi emiten maupun bagi underwriter , karena hal ini berkaitan dengan dengan berapa banyak dana yang akan dihasilkan emiten pada saat IPO.

Menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) underpricing sebagai kondisi dimana harga penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di pasar sekunder.

Hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing adalah signaling hypothesis. Allen dan Faulhaber (1989), Grinblatt dan Hwang (1989), Welch (1989) , Chemmanur (1993) dan Faugeron-Crouzet et al. (2003) dalam Lestari, Hidayat dan Sulasmiyati (2015) mengungkapkan bahwa emiten menggunakan harga penawaran perdana sebagai sinyal yang diberikan atas situasi asimetri informasi, dimana pihak pemilik pertama perusahaan lebih mengetahui keadaan perusahaan dibandingkan dengan investor. Emiten sengaja menetapkan harga perdana saham yang underpricing, agar sinyal positif dapat diberikan kepada investor bahwa kebutuhan total modal emiten dapat terpenuhi meskipun dalam kondisi underpricing.


(21)

Fenomena underpricing terjadi di pasar modal berbagai negara diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, Afrika Selatan, China, Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) dan situs www.idx.com peneliti mendapatkan hasil perkembangan untuk perkembangan underpricing Di Indonesia pada peridode 2010 – Agustus 2015.

Tabel 1.1

Perkembangan IPO Tahun 2010 – Agustus 2015 di Indonesia

Tahun Perusahaan IPO Underpricing

2010 23 22

2011 25 17

2012 22 20

2013 30 21

2014 23 21

Agustus 2015 11 11

Total 134 112

Sumber www.idx.co.id data diolah

Dari (Tabel 1.1) tercatat 134 perusahaan melakukan IPO pada tahun 2010 sampai dengan Agustus 2015, dari data 134 yang kami peroleh, sebanyak 134 perusahaan yang melakukan IPO pada kurun waktu tersebut, 112 saham perusahaan diantaranya mengalami underpricing dan 22 saham perusahaan lainnya mengalami fair ataupun overpricing, atau dapat dikatakan masih banyak perusahaan go public sejak tahun 2010 hingga Agustus 2015 yang mengalami underpricing, sehingga underpricing merupakan kategori fenomena yang sering masih sering terjadi setiap tahunya berdasarkan tabel 1.1 diatas, pada saat perusahaan melakukan IPO (Initial Public Offering) adapun grafik jumlah perusahaan yang mengalami underpricing dapat dilihat pada (Gambar 1.1) dibawah ini.


(22)

Gambar 1.1

Sumber www.idx.co.id data diolah

Dari (Gambar 1.1) tercatat grafik perusahaan yang mengalami underpricing dari tahun 2010 - Agustus 2015 yang tercatat di www.idx.co.id, dimana tahun tersebut hampir seluruh perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing. Pada tahun 2010 sekitar 95,65% perusahaan mengalami underpricing dimana pada tahun tersebut terdapat total 23 perusahaan yang melakukan IPO, pada tahun 2011 sekitar 68% perusahaan mengalami underpricing dengan total perusahaan yang melakukan IPO yaitu 25 perusahaan, pada tahun 2012 sekitar 90,91% perusahaan mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 22 perusahaan, pada tahun 2013 sekitar 70% perusahaan mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 30 perusahaan, pada tahun 2014 sekitar 91,30% perusahaan mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 23 perusahaan, kemudian pada Agustus 2015 sekitar 100% mengalami underpricing dari total seluruh perusahaan yang melakukan IPO yaitu 11 perusahaan.

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

2010 2011 2012 2013 2014 2015

Persentase Perusahaan yang Mengalami Underpricing 2010-2015


(23)

Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa sekitar 83.58% perusahaan yang go public (IPO) sejak tahun 2010 hingga Agustus 2015 mengalami underpricing, Banyaknya fenomena underpricing yang terjadi menunjukkan bahwa harga saham pada saat penawaran perdana di Indonesia pada periode tersebut secara rata-rata dapat dikatakan murah..

Polemik kasus mengenai underpricing IPO yang terjadi pada tahun 2010, yaitu tentang IPO PT Krakatau Steel TBK, soal penetapan harga IPO. Menurut Romli (2010) Proses IPO BUMN tak jarang hanya menciptakan gaung besar dalam wacana publik yang sesungguhnya tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Setelah melalui berbagai proses IPO, KS akhirnya resmi melantai di bursa dan tercatat sebagai emiten ke-413 dengan ticker KRAS pada 10 November 2010.

Pada Tahun 2010 IPO KS masih meninggalkan polemik. Salah satu yang dipersoalkan adalah penetapan harga saham perdana KS sebesar Rp850 yang dianggap terlalu murah dan ditengarai berbau kepentingan politis.Terlebih, setelah harga saham KS melonjak tajam di awal perdagangannya dan menciptakan gain besar bagi investor asing.

Dalam proses IPO, salah satu tahapan yang paling sulit adalah penetapan harga saham perdana (offering price) yang sesuai harga pasarnya. Ini terbukti dari kenaikan harganya secara tajam setelah melantai di bursa. Hasil riset Jay Ritter, seorang Profesor Finance di Universitas Florida, menunjukkan dari 7.921 kasus IPO di AS dalam kurun waktu 1975 hingga 2007 ditemukan rata-rata harga sahamnya naik 17,2 persen di hari pertama masuk bursa.


(24)

Di Indonesia,dari 321 kasus IPO sepanjang 1989-2007, rata-rata harga sahamnya naik 21,1 persen pada hari pertama perdagangannya. Untuk saham KS,pada hari pertama perdagangan ditutup pada level Rp1.270 per lembarnya atau melonjak tajam 49,4 persen. Ini artinya, kenaikan harga saham KS jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata hasil riset di atas dan menjadi indikator bahwa harga saham perdana KS memang terlalu murah. Lantaran KS adalah BUMN, tentu ini menciptakan potential loss bagi KS itu sendiri dan keuangan negara. Satu pembelajaran berharga dari kasus IPO KS adalah bargaining power pemerintah dalam penetapan harga saham perdana KS tampak masih lemah dan terkesan lebih mengutamakan kepentingan investor ketimbang kepentingan KS sebagai korporasi yang membutuhkan dana.

Dalam proses bookbuilding IPO KS,pembentukan harga berada pada kisaran Rp850-1.150, namun mengapa harga yang diambil adalah harga terendah meski penjualan KS saat ini sangat didukung sejumlah faktor positif baik berupa kekuatan (strength) maupun peluang (opportunity) yaitu: Pertama, KS dijual dalam performa terbaiknya. Sejak 2007 hingga 2010, kinerja finansial KS terus membaik secara signifikan. Hingga semester I-2010 saja KS sudah membukukan laba Rp997,75 miliar atau naik fantastis 190,70 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih merugi Rp1,1 triliun. Hingga akhir 2010 diperkirakan laba bersih KS mencapai Rp1,5-2 triliun. Sementara pada 2014, korporasi menargetkan EBITDA akan tumbuh hingga 21,12 persen. Dari pendekatan manajemen strategik, kondisi korporasi saat ini boleh dibilang berada pada fase growth and expansion strategy.


(25)

Pada fase ini,nilai saham korporasi seharusnya dijual pada level lebih tinggi ketimbang fase normalnya; Kedua, hasil rilis World Steel Association di Brussel, Belgia menyebutkan, pada 2010 permintaan baja dunia meningkat 13,1 persen dibandingkan 2009. Untuk 2011, permintaan baja di berbagai negara diperkirakan akan meningkat tinggi. Harga baja dunia juga akan terus melambung dan pada gilirannya akan meningkatkan laba KS sebagai salah satu produsen baja berorientasi ekspor. Ketiga, dari sisi makro, boleh dibilang kondisi fundamental Indonesia saat ini juga berada pada momentum terbaiknya.

Berbagai indikator ekonomi seperti laju PDB, inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah, neraca pembayaran, hingga cadangan devisa relatif stabil dan cenderung terus menguat. Selain itu, peringkat investasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga terus mengalami upgrading menuju investment grade. Hal ini telah meningkatkan kepercayaan investor asing sebagaimana tercermin dari derasnya net foreign buying di pasar saham dalam beberapa waktu terakhir. Ini semestinya bisa meningkatkan bargaining power pemerintah dalam menjual saham KS, khususnya di mata investor asing yang dijatah 35 persen;

Keempat, dalam proses IPO KS, ditunjuk tiga penjamin emisi yaitu Danareksa Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Bahana Sekuritas. Terbentuknya underwriting groups ini menandakan biaya emisi yang ditanggung KS selaku emiten juga semakin tinggi dan sebaliknya risiko yang ditanggung penjamin emisi semakin rendah. Dalam kondisi demikian, pemerintah semestinya menentukan harga saham perdana KS sebesar Rp1.150 atau titik tertinggi selama proses book building.


(26)

Kelima, dari 3,15 miliar saham yang ditawarkan ke publik, jumlah permintaan investor mencapai 30 miliar atau sekitar 9,5 kali lipatnya. Ini maknanya, terjadi oversubscribe yang sangat tinggi dan semestinya bisa dijadikan power untuk menekan investor dan yang keenam, pembelajaran penting lainnya adalah jangan terlalu percaya kepada investor khususnya asing yang berjanji akan memegang saham perdana dalam jangka panjang sebagaimana terjadi pada proses IPO KS beberapa waktu lalu. Pasalnya, karakter berinvestasi saham adalah investasi jangka pendek dan berorientasi margin, berbeda dengan investasi langsung di infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Ketika capital gain di depan, investor dengan sigap akan segera melepas sahamnya dan ini terjadi pada perdagangan saham KS pada waktu lalu. (sumber:http://economy.okezone.com)

Dilihat dari kasus di atas pentingnya studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing pada saat IPO. Seperti yang kita tahu fenomena underpricing masih banyak terlihat sampai tahun ini di Indonesia. Underpricing harga saham IPO terjadi bukan karena adanya kesalahan waktu melakukan evaluasi harga IPO, tetapi underpricing tersebut merupakan kesengajaan dan adanya asimetris informasi yang dimiliki oleh penerbit saham dan underwriter (penjamin emisi). Asimetris informasi ini memberikan harga lebih rendah dari harga intrinsik (harga wajar), sementara tak satu pihak pun yang tahu harga intrinsik tersebut (Manurung, 2013:2).


(27)

Hasil penelitian dari Wahyusari (2013) menunjukan bukti empiris bahwa umur perusahaan berpengaruh terhadap underpricing. Wahyusari (2013) kaitanya umur perusahaan dengan underpricing dimana lama perusahaan berdiri biasanya mempengarui minat investor untuk menanamkan modalnya, Umur perusahaan dihitung dengan mengurangkan antara tahun listing dan tahun berdiri

Hasil penelitian dari Putra dan Damayanti (2013), Kristianti (2013), Retnowati (2013), Hapsari dan Mahfud (2012) dan Sari (2011) menunjukan bukti empiris bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Hapsari dan Mahfud (2012) tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar, sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Berdasar pada teori signaling menurut Kim (1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik.

Hasil penelitian dari Sari (2011) menunjukan bukti empiris bahwa current ratio berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Hapsari dan Mahfud (2012) Current ratio merupakan rasio aktiva lancar terhadap hutang lancar, yang menunjukkan likuiditas suatu perusahaan. Current ratio mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya dari aktiva lancar yang dimiliki.


(28)

Berdasarkan pada teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi Current Ratio suatu perusahaaan berarti semakin kecil risiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Hasil penelitian dari Wahyusari (2013) menunjukan bukti empiris bahwa DER berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Retnowati (2013) dan Wahyusari (2013) DER adalah kemampuan membayar hutang dengan ekuitas yang dimiliki perusahaan.

Hasil penelitian dari Hapsari dan Mahfud (2012) menunjukan bukti empiris bahwa return on assets (ROE) berpengaruh terhadap underpricing. Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi ROE artinya kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba pada masa mendatang juga lebih tinggi. Tingginya minat investor akan meningkatkan harga saham sehingga perubahan harga diantara transaksi yang terjadi semakin kecil. Dengan demikian ada hubungan negatif antara tingkat profitabilitas (ROE) dengan tingkat underpricing (Kusumawati dan Sudento, 2005) dalam Hapsari dan Mahfud (2012).


(29)

Hasil penelitian dari Retnowati (2013) dan Wirawan (2014) menunjukan bukti empiris bahwa earning per share (EPS) berpengaruh terhadap underpricing. Menurut Ang (1997) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi EPS tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang ingin membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penilitian sebelumnya dimana tahun penelitian yang lebih up to date yaitu 2010-2014 dengan 6 variabel independen, Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini terdiri dari Umur Perusahaan, Ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning Per Share (EPS) dengan judul “ Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Harga Saham pada Perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia ( Periode 2010-2014 )”.


(30)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan:

1. Apakah variabel Umur Perusahaan berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

2. Apakah variabel Ukuran Perusahaan berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

3. Apakah variabel Current Ratio (CR) berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

4. Apakah variabel Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

5. Apakah variabel Return on Equity (ROE) berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

6. Apakah variabel Earning per Share (EPS) berpengaruh secara parsial terhadap underpricing.

7. Apakah variabel umur perusahaan, ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS) berpengaruh secara simultan terhadap underpricing.


(31)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk menganalisis variabel Umur Perusahaan secara parsial terhadap underpricing.

2. Untuk menganalisis variabel Ukuran Perusahaan secara parsial terhadap underpricing.

3. Untuk menganalisis variabel Current Ratio (CR) secara parsial terhadap underpricing.

4. Untuk menganalisis variabel Debt to Equity Ratio (DER) secara parsial terhadap underpricing.

5. Untuk menganalisis variabel Return on Equity (ROE secara parsial terhadap underpricing.

6. Untuk menganalisis variabel Earning per Share (EPS) secara parsial terhadap underpricing.

7. Untuk menganalisis variabel umur perusahaan, ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS) secara simultan terhadap underpricing.


(32)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Bagi investor/calon investor, dengan hasil penelitian ini bagi para calon investor dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi pada saat penawaran saham perdana.

2. Bagi perusahaan/emiten, hasil penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing sehingga perusahaan dapat meminimalisir terjadinya underpricing pada saat IPO.

3. Bagi bidang akademik, penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing pada saat IPO dan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Pasar Modal

Menurut Brigham dan Houston (2010:190) Pasar Modal adalah Pasar keuangan untuk saham dan utang jangka panjang dan hutang jangka menengah atau jangka panjang panjang satu tahun lebih. Sedangkan Menurut Riyanto (2013:219) Pasar Modal. Pasar Modal (Capital Market) adalah suatu pengertian abstrak yang mempertemukan dua kelompok yang saling berhadapan tetapi yang kepentingannya saling mengisi, yaitu calon pemodal (investor) di satu pihak dan emiten yang membutuhkan dana jangka menengah atau jangka panjang. Dimaksudkan dengan pemodal adalah perorangan atau lembaga yang menanamkan dananya dalam efek, sedangkan emiten adalah perusahaan yang menerbitkan efek untuk ditawarkan kepada masyarakat (go public).

Menurut Siamat (2005:487) Pasar Modal dalam arti sempit adalah suatu tempat yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu system yang terorganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi Bursa Efek ini antara lain adalah menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui mekanisme permintaan dan penawaran.


(34)

Menurut Keown et al. (2008:12) terdapat dua jenis pasar modal yaitu, Pasar Primer adalah suatu pasar yang memperdagangkan surat berharga yang baru, sedangkan Pasar Sekunder adalah pasar dimana saham yang sebelumnya diterbitkan perusahaan, diperdagangkan.

Menurut Horne dan Wachowics (2005:39) Pasar Primer adalah pasar dimana sekuritas baru diambil dan dijual untuk pertama kalinya, sedangkan pasar sekunder adalah pasar untuk sekuritas yang sudah ada. Menurut Riyanto (2013:219) Pasar Primer adalah pasar bagi efek yang pertama kali diterbitkan dan ditawarkan dalam pasar modal, sedangkan Pasar Sekunder adalah pasar bagi efek yang sudah ada dan sudah diperdagangkan dalam bursa efek.

2. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)

Menurut Brigham dan Houston (2010:206) Pasar Penawaran Saham Perdana (IPO) adalah pasar untuk saham-saham perusahaan yang dalam proses untuk masuk bursa (go public), sedangkan Going Public adalah kegiatan menjual saham kepada masyarakat luas yang dilakukan oleh perusahaan korporasi atau pemegang saham utama. Menurut Keown et al (2008:13) Initial Public Offering (IPO) adalah pertama kali saham perusahaan djual kepada khalayak ramai.

Menurut Siamat (2005:500) Emisi efek atau sering disebut penawaran umum (go public) merupakan suatu proses yang melihatkan lembaga penunjang pasar modal dalam ranka penjualan efek (saham dan obligasi) suatu perusahaan kepada masyarakat umum. Proses emisi efek tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme bursa efek atau bursa pararel.


(35)

Menurut Siamat (2005:500) Adapun tahan proses emisi efek yang berlaku untuk saat ini adalah sebagai berikut (Gambar 2.1) :

a. Perusahaan yang akan menerbitkan efek (emiten atau issuer) menyampaikan penyataan maksud (letter on intent) kepada Bapepam. b. Emiten menghubungi dan menunjuk penjamin emisi (underwriter) serta

lembaga penunjang emisi lainnya.

c. Emiten dan underwriter mempersiapkan dokumen pernyataan pendaftaran emisi efek berikut lampiran dan dokumen emisi lainya.

d. Emiten melalui underwriter menyampaikan pernyataan pendaftaran emisi efek kepada Bapepam.

e. Bapepam melakukan penelaahan kesesuaian dokumen emisi dngan ketentuan yang berlaku.

f. Izin emisi diberikan oleh Bapepam bilama semua dokumen emisis telah lengkap dan memenuhi ketentuan.

g. Pengumuman dan pendistribusian prospektus.

h. Emiten dan underwriter melakukan penawaran efek melalui pasar perdana.

i. Penjatahan saham

j. Pengembalian uang kepada pemesan (refund) k. Penyerahan sertifikat efek


(36)

Gambar 2.1 Proses Emisi Efek

Persiapan Letter of intens Pernyataan

Pendaftaran Evaluasi Bapepam Refund - RUPS - Konsultasi - Bapepam Penunjukan : - Underwrite - Konsultan Hukum - Akuntan - Trustee - Guarantor Lampiran : - Draft Prospektus - Laporan keuangan - Anggaran Dasar Dokumen : - Perjanjian Lembaga Penunjang - Pernyataan Pendapat dari segi hokum - Pernyataan Manajemen dibidang akuntasi,dsb.

Penjatahan PASAR

PERDANA Izin Bapepam Penyerahan Sertifikat Pencatatan di Bursa PASAR SEKUNDER


(37)

3. Underpricing

Apabila harga saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama, maka akan terjadi fenomena yang disebut underpricing. Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena dialami oleh sebagian besar pasar modal di dunia dan seringkali dijumpai di pasar perdana (Ritter, 1991) dalam Rizqi dan Harto (2013).

Sedangkan menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) underpricing sebagai kondisi dimana harga penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di pasar sekunder. Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal, et al. (1994) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) menyimpulkan bahwa fenomena underpricing sering terjadi pada saat IPO.

Hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing adalah signaling hypothesis. Allen dan Faulhaber (1989), Grinblatt dan Hwang (1989), Welch (1989) dan Chemmanur (1993), Faugeron-Crouzet et al. (2003) dalam Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) mengungkapkan bahwa emiten menggunakan harga penawaran perdana sebagai sinyal yang diberikan atas situasi asimetri informasi, dimana pihak pemilik pertama perusahaan lebih mengetahui keadaan perusahaan dibandingkan dengan investor. Emiten sengaja menetapkan harga perdana saham yang underpriced, agar sinyal positif dapat diberikan kepada investor bahwa kebutuhan total modal emiten dapat terpenuhi meskipun dalam kondisi underpricing.


(38)

Indikasi bahwa emiten memiliki kualitas baik juga dapat terlihat dalam kondisi underpricing, dimana emiten dianggap mentransfer sebagian kekayaan pemilik awal perusahaan kepada investor baru sebagai kompensasi harga perdana yang underpriced. Biaya mahal yang perlu dikeluarkan emiten dalam kondisi underpricing inilah yang dapat mengindikasikan emiten sebagai perusahaan dengan kondisi keuangan yang sehat. Perusahaan dengan kualitas lebih rendah tidak mampu mengikuti cara perusahaan yang berkualitas baik, karena kualitas rendahnya dapat terungkap sebelum penawaran perdana. Perusahaan berkualitas lebih rendah akan lebih memilih menawarkan harga saham perdana dengan harga dan kebutuhan modal sesuai dengan yang sebenarnya menurut

Hipotesis selanjutnya yang dapat menjelaskan underpricing adalah market feedback hypothesis seperti yang diungkapkan oleh Jegadeesh, Weinstein dan Welch (1993), Faugeron-Crouzet et al. (2003) dalam Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) Para peneliti ini mengungkapkan pelaku pasar lebih mengetahui nilai emiten yang sebenarnya daripada pemilik saham awal. Informasi ini akan terungkap kepada mereka melalui perubahan harga setelah IPO. Perusahaan yang akan go public harus memenuhi persyaratan bahwa laporan keuangan dua tahun terakhir adalah unqualified opinion. Audit tersebut diperlukan agar publik memperoleh suatu keyakinan bahwa laporan keuangan tersebut bebas dari salah saji yang material, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai informasi yang diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan oleh calon investor.


(39)

Hipotesis lain yang dapat menjelaskan underpricing menurut Baron (1982) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) adalah asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak – pihak yang terlibat dalam penawaran perdana, yaitu emiten, penjamin emisi, dan masyarakat pemodal. Penjamin emisi (underwriter) memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap daripada emiten, sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi emiten.

Besarnya underpricing diukur dengan initial return yakni selisih harga saham atau keuntungan yang didapat pemegang saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana dengan harga jual saham yang bersangkutan di pasar sekunder hari pertama Triani, (2006) dalam Aini (2013), sedangkan menurut Ardiansyah, (2004) dalam Retnowati (2013) tingkat underpricing ini di proxy dengan penghitungan initialreturn dari perusahaan – perusahaan yang melakukan Initial Public Offering, yaitu selisih antara penutupan harga saham pada hari pertama di pasar sekunder dengan harga saham penawaran perdana dibagi dengan harga saham penawaran perdana.

Persamaan yang digunakan untuk menghitung Underpricing mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015), Putra dan Damayanthi (2013), Risqi dan Harto (2013), Retnowati (2013), Aini (2013), Wahyusari (2013), Hapsari dan Mahfud (2012) dan Prastica (2012) yaitu sebagai berikut:

��� ����� �= Harga Closing di Pasar Sekunder−Harga IPO


(40)

4. Umur Perusahaan

Menurut Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam bertahan hidup menjalankan usahanya, sehingga berpengaruh pada tingkat pengalaman yang dimilikinya dalam menghadapi persaingan. Lamanya umur suatu perusahaan akan mengindikasikan semakin banyaknya pengalaman yang dimiliki perusahaan untuk tetap bertahan hidup menjalankan usahanya dan menghadapi hambatannya, maka hal tersebut juga akan berpengaruh pada semakin rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang.

Menurut Wahyusari (2013) Lama perusahaan berdiri biasanya mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya. Umur perusahaan dihitung dengan mengurangkan antara tahun listing dengan tahun berdiri sedangkan, menurut Nurhidayati, 1998 dalam Aini (2013). Umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan dan menjadi bukti perusahaan mampu bersaing dan dapat mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada yang baru saja berdiri. Informasi ini akan bermanfaat bagi investor dalam mengurangi tingkat ketidakpastian perusahaan. Variabel umur perusahaan diukur dengan lamanya perusahaan beroperasi yaitu sejak perusahaan itu didirikan (established date) berdasarkan akta pendirian sampai dengan saat perusahaan melakukan IPO (listing date) (Amelia, 2007) dalam Aini (2013).


(41)

Persamaan untuk mencari umur perusahaan mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015), Wahyusari (2013),

Retnowati (2013), Aini (2013), Safitri (2013), Kristianti (2013), dan Sari (2011) adalah sebagai berikut :

5. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan merupakan cerminan potensi perusahaan dalam menghasilkan arus kas dan kemampuan untuk mengakses informasi yang lebih besar. Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menentukan besar atau kecilnya perusahaan yang ditunjukkan dengan total aset yang dimiliknya. Penggukuran dengan menggunakan total aktiva dianggap lebih baik dari total penjualan karena total aktiva lebih stabil dari total penjualan serta lebih menunjukkan kekayaan perusahaan yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga informasi mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh investor daripada perusahaan berskala kecil. Variabel ukuran perusahaan diukur dengan menghitung log natural total aktiva tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut listing (Suyatmin, 2006) dalam Aini (2013).

Menurut Prisca (2012) Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah total aset yang dimiliki perusahaan. Semakin besar aset perusahaan akan mengindikasikan semakin besar ukuran perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dengan skala ekonomi yang lebih tinggi dan lebih besar dianggap mampu bertahan dalam


(42)

waktu yang lama. Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran dari perusahaan adalah dengan melihat total aktiva dari laporan keuangan perusahaan tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut melakukan IPO di Bursa (Nurhidayati dan Indriantoro 1998) dalam Retnowati (2013). Persamaan yang digunakan untuk Ukuran Perusahaan mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Putra dan Damayanthi (2013) , Retnowati (2013), Aini (2013), Safitri (2013), Hapsari dan Mahfud (2012), Prastica (2012), dan Sari (2011) adalah sebagai berikut :

6. CR (Current Ratio)

Menurut Brigham dan Houston (2010:134) Rasio Lancar atau Current Ratio (CR) adalah rasio yang dihitung dengan membagi aset lancar dengan kewajiban lancar. Rasio ini menunjukan sampai sejauh apa kewajiban lancar ditutupi oleh aset yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam waktu dekat. Menurut Keown et al (2008:75) Rasio Lancar atau Current Ratio (CR) yaitu rasio yang menunjukan likuiditas perusahaan yang diukur dengan membandingan aktiva lancar terhadap hutang lancar (hutang lancar atau hutang jangka pendek).

Menurut Riyanto (2013:332) Rasio Lancar atau Current Ratio (CR) yaitu kemampuan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar. Persamaan yang digunakan untuk mengukur current ratio (CR) mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:134) yaitu sebagai berikut :

Ukuran Perusahaan = Ln(Total Aset)

CR = Aktifa Lancar Hutang Lancar


(43)

7. DER (Debt to Equity Ratio)

Menurut Brigham dan Houston (2010:143) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio total hutang terhadap total aset sedangkan menurut Keown et al (2008:83) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio (DER) yaitu rasio yang menunjukan berapa banyak hutang yang digunakan membiayai aset-aset perusahaan.

Horne dan Machowicz (2005:209) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang menunjukan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang. Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham, dan semakin besar perlindungan bagi kreditor (margin perlindungan) jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian besar sedangkan menurut Riyanto (2013:333) Rasio hutang atau Debt to Equity Ratio (DER) yaitu bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan utang.

Persamaan yang digunakan untuk mengukur Debt to Equity Ratio (DER) mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:143), Keown et al (2008:83), Horne dan Machowicz (2005:209), Wahyusari (2013) dan Retnowati (2013) sebagai berikut :

DER = Total Hutang Jumlah Modal Sendiri


(44)

8. ROE (Return on Equity)

Menurut Brigham dan Houston (2010:149) Pengembalian Ekuitas Biasa atau Return on Equity (ROE) adalah Rasio laba bersih terhadap ekuitas biasa, untuk mengukur tingkat pengembalian investasi pemegang saham biasa sedangkan menurut Menurut Keown et al (2008:75) Pengembalian Ekuitas Biasa atau Return on Equity (ROE) yaitu tingkat pengembalian saham biasa menunjukan rata-rata perhitungan pengembalian atas investasi pemegang saham yang diukur dengan membandingkan pendapatan bersih terhadap ekuitas saham biasa.

Horne dan Machowicz (2005:225) Pengembalian atas ekuitas atau Return on Equity (ROE) adalah mengukur daya untuk menghasilkan laba pada investasi nilai buku pemegang saham dengan membandingkan laba bersih setelah pajak dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan. Dimana ROE yang tinggi akan mencerminkan penerimaan perusahaan atas peluang investasi yang baik dan manajemen biaya yang efektif sedangkan menurut Menurut Riyanto (2013:336) Pengembalian Ekuitas Biasa atau Return on Equity (ROE) yaitu kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan.

Persamaan yang digunakan untuk mengukur Return on Equity (ROE) mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:149), Riyanto (2013:336), Risqi dan Harto (2013), Aini (2013), Hapsari dan Mahfud (2012) sebagai berikut :

��� = Laba Bersih


(45)

9. EPS (Earning per Share)

Menurut Brigham dan Houston (2010:93) Labar Per Saham atau Earning per Share (EPS) adalah jumlah labar bersih dibagi dengan jumlah saham yang beredar di perusahaan tersebut. Dalam laporan laba rugi EPS merupakan pos terpenting bagi pemegang saham. Jika suatu perusahaan memeliki opsi atau konvertibel beredar atau jika perusahaan menerbitkan saham biasa baru-baru ini, maka perhitungan EPS menjadi sedikit lebih rumit.

Menurut Horne dan Wachowicz (2005:5) Labar Per Saham atau Earning per Share (EPS) adalah pendapatan setelah pajak (earning after tax) dibagi dengan jumlah saham biasa yang tersebar. Harga pasar saham perusahan mencerminkan penialaian khusus dari semua pelaku pasar atas nilai suatu perusahaan. Penilaian tersebut memperhitungkan EPS saat ini dan perkiraan EPS di masa mendatang. Menurut Siamat (2005:519) Labar Per Saham atau Earning per Share (EPS) adalah rasio yang menunjukan laba bersih yang berhasil diperoleh perusahaan untuk setiap unit saham selama periode.

Persamaan yang digunakan untuk mengukur Earning per Share (EPS) mengikuti pengukuran yang dilakukan oleh Brigham dan Houston (2010:93), Horne dan Wachowicz (2005:5), Siamat (2005:519), Retnowati (2013), Hapsari dan Mahfud (2012), dan Sari (2011) sebagai berikut :

EPS =Laba Bersih Setelah Pajak Jumlah Saham Beredar


(46)

B. Hubungan Antara Variabel

1. Hubungan antara Umur Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing

Umur perusahaan emiten menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan dan banyaknya informasi yang dapat diserap oleh publik. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada perusahaan yang baru saja berdiri. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing (How et al., 1995) dalam Kristiantari (2013).

Perusahaan yang telah lama berdiri bisa dipersepsikan sebagai perusahaan yang sudah tahan uji sehingga kadar resikonya rendah dan hal ini bisa menarik investor karena diyakini perusahaan yang sudah lama berdiri bisa dikatakan lebih berpengalaman dalam menghasilkan return bagi perusahaan yang pada baik akan lebih dipercaya oleh investor dibandingkan dengan yang tidak memiliki reputasi baik. Hal ini berarti auditor yang memiliki reputasi tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO serta mencerminkan resiko perusahaan IPO tersebut rendah, serta rendah pula tingkat underpricing tersebut Aini (2013). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa umur perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing.


(47)

2. Hubungan antara Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing

Perusahaan berukuran besar umumnya memiliki tingkat ketidakpastian yang rendah dibandingkan dengan perusahaan kecil, karena dengan skala yang tinggi maka perusahaan besar cenderung tidak dipengaruhi oleh pasar, sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Kejelasan informasi tentang perusahaan akan meningkatkan penilaian akan perusahaan, mengurangi tingkat ketidakpastian dan meminimalkan tingkat resiko dan underpricing Sulistio (2005) dalam Aini (2013).

Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar, sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko investasinya lebih besar dalam jangka panjang Nurhidayati dan Indriantoro, (1998) dalam Hapsari dan Mahfud (2012). Berdasar pada teori signaling yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik Kim (1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan berperngaruh terhadap underpricing.


(48)

3. Hubungan antara Current Ratio terhadap Tingkat Underpricing

Current ratio merupakan rasio aktiva lancar terhadap hutang lancar, yang menunjukkan likuiditas suatu perusahaan. Current ratio mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban lancarnya dari aktiva lancar yang dimiliki. Berdasar pada teori signaling Kim (1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi Current Ratio suatu perusahaaan berarti semakin kecil risiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Hal ini menjadikan risiko yang ditanggung pemegang saham juga semakin kecil. Jadi, semakin besar Current Ratio semakin kecil Initial Return. Semakin tinggi Current Ratio suatu perusahaan berarti semakin kecil risiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Sehingga, risiko yang ditanggung pemegang saham juga semakin kecil. Jadi, semakin besar Current Ratio semakin kecil Initial returns atau semakin besar Current Ratio maka semakin besar Underpricing Suyatmin dan Sujadi (2006) dalam Hapsari dan Mahfud (2012). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Current Ratio berpengaruh terhadap underpricing.


(49)

4. Hubungan antara Debt to Equity Ratio terhadap Tingkat Underpricing

Tingkat Debt to Equity Ratio menggambarkan risiko yang diukur dengan membandingkan total kewajiban perusahaan dengan total aset. Menurut penelitian yang dilakukan Kim et al., (1995) dalam Risqi dan Harto (2013) bahwa tingkat Debt to Equity Ratio berkorelasi positif dengan intial return. Dapat disimpulkan bahwa Debt to Equity Ratio tinggi menggambarkan risiko perusahaan yang tinggi pula sehingga investor dalam melakukan keputusan investasi akan menghindarkan penilaian harga saham perdana yang terlalu tinggi yang menyebabkan underpricing.

DER merupakan salah satu informasi yang penting bagi investor untuk menilai resiko suatu nilai saham. Nilai DER yang tinggi menandakan struktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang relatif terhadap ekuitas, sehingga menunjukan resiko financial atau resiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi yang nantinya akan mempengaruhi tingkat return yang akan diterima oleh investor dimasa yang akan datang. Semakin tinggi nilai DER berarti semakin tinggi resiko saham emiten tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan oleh investor, yang berarti juga semakin tinggi tingkat underpricing tersebut Suyatmin (2006) dalam Aini (2013). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Debt to Equity Ratio berpengaruh terhadap underpricing.


(50)

5. Hubungan antara Return on Equity terhadap Tingkat Underpricing

Return on Equity (ROE) merupakan ukuran profitabilitas dimana merupakan informasi yang diberikan kepada investor mengenai seberapa besar tingkat pengembalian modal investor dari perusahaan yang berasal dari kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut Kim (1999) dalam Risqi dan Harto (2013) berdasarkan teori Signalling yaitu untuk mengatasi penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas baik dapat memberikan sinyal bagi investor untuk menunjukan bahwa perusahaan berkualitas baik. Semakin tinggi ROE maka kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba pada masa yang akan datang juga lebih tinggi.

Nilai ROE yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba dimasa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Semakin besar nilai ROE maka mencerminkan resiko perusahaan IPO tersebut rendah, sehingga nilai ROE yang tinggi dapat mengurangi ketidakpastian saham dimasa mendatang serta menunjukkan tingkat keamanan investasi yang tinggi, yang berarti juga semakin rendah tingkat underpricing tersebut Kurniawan (2007) dalam Aini (2013). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa return of equity beperngaruh terhadap underpricing.


(51)

6. Hubungan antara Earning Per Share terhadap Tingkat Underpricing

Menurut Ang (1997) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) dalam Hapsari dan Mahfud (2012) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik. Semakin tinggi EPS tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham. Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang ingin membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Earning Per Share berpengaruh terhadap underpricing.


(52)

C. Penelitian Terdahulu

Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 No Judul

Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

1 Dwijayanti dan Wirakusuma (2015) “Pengaruh Informasi Keuangan dan Non Keuangan pada Return Awal Perusahaan yang melakukan

IPO di BEI periode

2008-2012”

Underpricing Variabel Ukuran perusahaan dan

DER

Regresi linier berganda

Variabel Reputasi

underwriter,

Reputasi

auditor, dan PER

Periode Perusahaan 2008-2012

Variabel reputasi

auditor dan PER memiliki pengaruh

terhadap

underpricing

sedangkan ukuran perusahaan, reputasi

underwriter, dan DER tidak memiliki

pengaruh terhadap

underpricing.

2 Lestari, Hidayat, dan Sulasmiyati (2015) “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham pada Penawaran Umum Perdana

di BEI Periode 2012-2014” (Perusahaan

yang Melaksanakan

IPO di BEI Periode

2012-2014)

Underpricing Variabel Umur perusahaan Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter, Reputasi auditor, Persentase penawaran saham, dan Jenis industri Periode Perusahaan 2012-2014 Variabel reputasi

auditor yang memiliki pengaruh

signifikan dan negatif terhadap

underpricing

Reputasi

underwriter, umur perusahaan, dan jenis

industri berpengaruh tidak signifikan dan

negatif terhadap underpricing, sedangkan persentase penawaran saham juga tidak berpengaruh terhadap underpricing


(53)

No Judul Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

3 Rosyidah

(2014) “Pengaruh Karakteristik Perusahaan, Reputasi Underwriter dan Reputasi auditor terhadap tingkat Underpricing pada perusahaan yang melakukan

IPO di BEI periode

2009-2013”

Underpricing Variabel Umur perusahaan Ukuran perusahaan dan ROE

Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter, Reputasi auditor, Alokasi dana IPO, Jenis industri Periode Perusahaan 2009-2013 Variabel reputasi auditor memiliki pengaruh terhadap underpricing, sedangka reputasi

underwriter, umur, ukuran perusahaan, alokasi dana IPO, jenis industri, dan ROE tidak memiliki

pengaruh terhadap

underpricing.

4 Wirawan (2014)

“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada Perusahaan

yang Go Public di BEI periode

2008-2012

Underpricing Variabel Umur perusahaan, Ukuran perusahaan, CR, dan EPS Regresi linier berganda Variabel ROA, dan Leverage Periode Perusahaan 2008-2012

Variabel EPS, ROA, dan Leverage

memiliki pengaruh terhadap

underpricing,

sedangkan Umur, Ukuran, dan CR

tidak memiliki pengaruh terhadap

underpricing.

5 Putra dan

Damayanthi (2013)

“Pengaruh Size,

Return on Assets dan

Financial Leverage pada

Tingkat

Underpricing

Penawaran Saham Perdana

di BEI Periode 2008-2011”

Underpricing Variabel Ukuran perusahaan Regresi linier berganda

Variabel

Return on

Assets (ROA), dan Financial Leverage Periode Perusahaan 2008-2011 Variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing,

sedangkan Return on Assets dan Financial

Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap


(54)

No Judul Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

6 Risqi dan Harto (2013) “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing

Ketika Intial Public Offering

(IPO) di BEI Periode 2007

-2011”

Underpricing Variabel

Return on

Equity (ROE) Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter, Reputasi auditor, Financial Leverage Periode Perusahaan 2007-2011 Variabel reputasi underwriter berpengaruh negatif signifikan terhadap underpricing. Sedangkan variabel

reputasi auditor,

return on equity, dan tingkat leverage

tidak menunjukkan pengaruh terhadap

underpricing. 7 Aini (2013)

“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing saham pada Perusahaan IPO

di BEI Periode 2007 -2011”

Underpricing Variabel Umur perusahaan, Ukuran perusahaan, dan

Return on

Equity (ROE) Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter, Reputasi auditor, Penggunaan Dana IPO, dan Financial Leverage Periode Perusahaan 2007-2011 Variabel reputasi

auditor berpengaruh negatif terhadap underpricing, sedangkan variabel DER, ROE,ukuran perusahaan, umur peusahaan, reputasi

underwriter dan penggunaan dana IPO untuk investasi

tidak berpengaruh terhadap

underpricing.

8 Wahyusari

(2013) “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing

Saham saat IPO di BEI Periode

2007-2011”

Underpricing Variabel

DER, dan

Umur perusahaan Regresi linier berganda Variabel Solvabilitas, Reputasi underwriter, dan ROA Periode Perusahaan 2007-2011

Variabel solvabilitas, DER, dan umur

perusahaan berpengaruh signifikan terhadap

underpricing, sedangkan ROA, dan

reputasi underwriter

tidak berpengaruh signifikan terhadap


(55)

No Judul Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

9 Retnowati

(2013) “Penyebab Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di Indonesia Periode 2008-2011”

Underpricing Variabel DER, EPS, Umur perusahaan, dan Ukuran perusahaan Regresi linier berganda

Variabel ROA, dan prosentase penawaran saham Periode Perusahaan 2008-2011 Variabel EPS, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawarn Saham, berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing, sedangkan DER, ROA, dan Umur perusahaan tidak

berpengaruh terhadap

underpricing. 10 Safitri (2013)

“ Asimetri

Informasi dan

Underpricing

Periode 2005-2010

Underpricing Variabel Ukuran perusahaan dan

Umur perusahaan Regresi linier berganda

Variabel Reputasi

underwriter,

Reputasi

auditor, dan Proporsi saham yang ditawarkan ke masyarakat Periode Perusahaan 2005-2010 Variabel reputasi

underwriter dan reputasi auditor

berpengaruh terhadap underpricing, sedangkan ukuran perusahaan, umur perusahaan, proporsi saham yang ditawarkan ke masyarakat tidak berpengaruh terhadap underpricing.

11 Kristianti (2013) “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing saham pada Penawaran Saham Perdana

di BEI Periode

Underpricing Variabel Ukuran perusahaan Umur perusahaan Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter, Reputasi auditor, ROA, Financial Laverage

dan Jenis Industri Tujuan penggunaan

Variabel reputasi underwriter, ukuran

perusahaan dan tujuan penggunaan dana untuk investasi

secara signifikan berpengaruh pada

underpricing dengan arah koefisien negatif untuk ketiga variabel. Sedangkan variabel reputasi


(56)

No Judul Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

1997-2010” dana untuk

investasi Periode Perusahaan 1997-2010

auditor, umur perusahaan, profitabilitas perusahaan (ROA),

financial leverage, dan jenis industri

terbukti tidak memiliki pengaruh

signifikan pada terjadinya

underpricing. 12 Hapsari dan

Mahfud (2012) “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing saham pada Penawaran Saham Perdana

di BEI Periode 2008-2010”

Underpricing Variabel CR,

EPS, ROE

dan, Ukuran perusahaan Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter dan Reputasi auditor Periode Perusahaan 2008-2010 Variabel reputasi

underwriter, reputasi

auditor, return on equity (ROE), dan ukuran perusahaan

berpengaruh signifikan terhadap

uderpricing, sedangkan current

ratio (CR), dan

earning per share

(EPS) tidak berpengaruh signifikan terhadap

underpricing.

13 Prastica (2012)

“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing saham pada Penawaran Saham Perdana

di BEI Periode 2007-2010”

Underpricing Variabel Ukuran perusahaan dan ROA Regresi linier berganda Variabel Reputasi underwriter dan Reputasi auditor Periode Perusahaan 2007-2010 Variabel ROA berpengaruh terhadap underpricing, sedangkan reputasi

underwriter , reputasi auditor dan

ukuran perusahaan tidak berpengaruh

terhadap


(57)

No Judul Penelitian

Variabel Dependen

Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian

14 Sari (2011)

“Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana

di BEI Periode 2006-2010”

Underpricing Variabel Umur perusahaan, Ukuran perusahaan, CR, dan EPS Regresi linier berganda Variabel ROI Periode Perusahaan 2006-2010 Variabel Ukuran perusahaan, Return

On Investment

(ROI), dan Current Ratio (CR) berpengaruh secara signifikan terhadap

underpricing, sedangkan umur perusahaan, dan EPS

tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap


(58)

D.Kerangka Pemikiran

Kerangka Pemikiran Gambar 2.2

Variabel Independen : 1. Umur Perusahaan 2. Ukuran Perusahaan 3. Current Ratio 4. Debt to Equity Ratio 5. Return on Equity 6. Earning per Share

Uji Asumsi Klasik :

- Normalitas

- Heteroskedastisitas

- Multikolinearitas

- Autokorelasi

Variabel Dependen :

Underpricing

Uji Regresi Linier Berganda

Uji Hipotesis - Uji t

- Uji F

- Uji R2

Perusahaan go public yang terdaftar di BEI dan mengalami Underpricing

Kesimpulan dan Saran Interpretasi


(59)

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dan perumusan masalah, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

Ha1 :Variabel Umur Perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing. Ha2 :Variabel Ukuran Perusahaan memiliki pengaruh terhadap underpricing. Ha3 :Variabel Current Ratio (CR) memiliki pengaruh terhadap underpricing.

Ha4 :Variabel Debt to Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh terhadap underpricing. Ha5 :Variabel Return on Equity (ROE) memiliki pengaruh terhadap underpricing. Ha6 :Variabel Earning per Share (EPS) memiliki pengaruh terhadap underpricing. Ha7 :Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity

Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap underpricing.


(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mengkaji pengaruh umur perusahaan, ukuran perusahaan, Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS) terhadap underpricing. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari website resmi Bursa Efek Indonesia dan website resmi perusahaan yang menjadi sampel dalam penilitian ini, yaitu berupa laporan keuangan tahunan periode 2010-2014. Perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dimana perusahaan tersebut, mengalami underpricing pada saat penawaran saham perdananya (IPO) periode 2010-2014.

B. Teknik Penentuan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya menurut Sugiyono (2010:115). Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dimana perusahaan tersebut, mengalami underpricing pada saat penawaran saham perdananya (IPO) periode 2010-2014 .


(61)

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut menurut Sugiyono (2010:116). Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono (2010:122) purposivesampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

Beberapa kriteria yang ditentukan dalam penentuan sampel penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Perusahaan go public yang melakukan Initial Public Offering (IPO) selama periode 2010-2014, serta mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang tercantum dalam Indonesian Capital Market Directory (ICMD) secara rutin dalam mata uang Negara Indonesia (rupiah) selama lima tahun sesuai dengan periode penelitian.

b. Perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang memiliki tanggal listing , harga penawaran perdana (offer price), dan juga memiliki data harga pembukuan serta penutupan (closing price) periode 2010-2014. c. Perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang

mempublikasikan datanya secara lengkap, sehingga sesuai dengan informasi yang dibutuhkan untuk menetukan Current Ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Equity (ROE), dan Earning per Share (EPS).

d. Perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mengalami underpricing pada saat melakukan penawaran perdana atau Initial Public Offering (IPO) periode 2010-2014.


(1)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 2.694 .496 5.431 .000

Umur -.011 .002 -.672 -5.841 .000 .809 1.236

Size -.082 .018 -.555 -4.587 .000 .732 1.367

CR -.027 .014 -.255 -1.953 .060 .630 1.588

DER .045 .022 .278 2.039 .050 .576 1.738

ROE .520 .298 .278 1.743 .091 .421 2.374

EPS -.001 .000 -.343 -1.973 .057 .354 2.824

a. Dependent Variable: Underpricing

Coefficient Correlationsa

Model EPS DER Umur Size CR ROE

1 Correlations EPS 1.000 .091 .308 -.412 .137 -.721

DER .091 1.000 -.195 -.275 .571 .147

Umur .308 -.195 1.000 .081 .030 -.288

Size -.412 -.275 .081 1.000 -.098 .202

CR .137 .571 .030 -.098 1.000 .096

ROE -.721 .147 -.288 .202 .096 1.000

Covariances EPS 9.663E-8 6.280E-7 1.786E-7 -2.279E-6 5.883E-7 -6.693E-5

DER 6.280E-7 .000 -8.059E-6 .000 .000 .001

Umur 1.786E-7 -8.059E-6 3.476E-6 2.691E-6 7.836E-7 .000

Size -2.279E-6 .000 2.691E-6 .000 -2.407E-5 .001

CR 5.883E-7 .000 7.836E-7 -2.407E-5 .000 .000


(2)

118

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value -.0565 .4753 .2190 .14966 38 Std. Predicted Value -1.841 1.712 .000 1.000 38 Standard Error of Predicted

Value .030 .081 .048 .013 38

Adjusted Predicted Value -.1412 .4725 .2146 .15314 38

Residual -.25675 .18959 .00000 .10538 38

Std. Residual -2.230 1.647 .000 .915 38

Stud. Residual -2.526 1.798 .016 1.020 38

Deleted Residual -.32955 .24353 .00441 .13182 38 Stud. Deleted Residual -2.789 1.869 .009 1.058 38 Mahal. Distance 1.527 17.559 5.842 3.851 38

Cook's Distance .000 .259 .038 .060 38

Centered Leverage Value .041 .475 .158 .104 38 a. Dependent Variable: Underpricing

Collinearity Diagnosticsa

Model Dimension Eigenvalue

Condition Index

Variance Proportions

(Constant) Umur Size CR DER ROE EPS

1 1 5.138 1.000 .00 .01 .00 .00 .01 .00 .00

2 .789 2.552 .00 .04 .00 .00 .07 .03 .13

3 .622 2.875 .00 .00 .00 .17 .18 .00 .02

4 .275 4.326 .00 .56 .00 .06 .16 .06 .01

5 .103 7.075 .00 .36 .00 .02 .00 .72 .67

6 .073 8.365 .01 .02 .00 .74 .53 .13 .00

7 .001 85.507 .99 .01 .99 .00 .05 .05 .16


(3)

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 38

Normal Parametersa,b Mean .0000000 Std. Deviation .10538376 Most Extreme Differences Absolute .120

Positive .056

Negative -.120

Test Statistic .120

Asymp. Sig. (2-tailed) .182c

NPar Tests

Runs Test

Unstandardized Residual

Test Valuea .00325

Cases < Test Value 19 Cases >= Test Value 19

Total Cases 38

Number of Runs 21

Z .164

Asymp. Sig. (2-tailed) .869 a. Median


(4)

120

Charts


(5)

(6)

122

Lampiran 10

Tabel Durbin-Watson

, α = 5%

n

k=6 k=7 k=8 k=9 k=10

dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 0.2025 0.2681 0.3278 0.3890 0.4471 0.5022 0.5542 0.6030 0.6487 0.6915 0.7315 0.7690 0.8041 0.8371 0.8680 0.8972 0.9246 0.9505 0.9750 0.9982 1.0201 1.0409 1.0607 1.0794 1.0974 1.1144 1.1307 1.1463 1.1612 1.1754 1.1891 1.2022 1.2148 1.2269 1.2385 1.2497 1.2605 1.2709 1.2809 1.2906 3.0045 2.8320 2.6920 2.5716 2.4715 2.3881 2.3176 2.2575 2.2061 2.1619 2.1236 2.0902 2.0609 2.0352 2.0125 1.9924 1.9745 1.9585 1.9442 1.9313 1.9198 1.9093 1.8999 1.8913 1.8835 1.8764 1.8700 1.8641 1.8587 1.8538 1.8493 1.8451 1.8413 1.8378 1.8346 1.8317 1.8290 1.8265 1.8242 1.8220 0.1714 0.2305 0.2856 0.3429 0.3981 0.4511 0.5016 0.5494 0.5945 0.6371 0.6772 0.7149 0.7505 0.7840 0.8156 0.8455 0.8737 0.9004 0.9256 0.9496 0.9724 0.9940 1.0146 1.0342 1.0529 1.0708 1.0879 1.1042 1.1198 1.1348 1.1492 1.1630 1.1762 1.1890 1.2013 1.2131 1.2245 1.2355 1.2461 3.1494 2.9851 2.8477 2.7270 2.6241 2.5366 2.4612 2.3960 2.3394 2.2899 2.2465 2.2082 2.1743 2.1441 2.1172 2.0931 2.0715 2.0520 2.0343 2.0183 2.0038 1.9906 1.9785 1.9674 1.9573 1.9480 1.9394 1.9315 1.9243 1.9175 1.9113 1.9055 1.9002 1.8952 1.8906 1.8863 1.8823 1.8785 1.8750 0.1469 0.2001 0.2509 0.3043 0.3564 0.4070 0.4557 0.5022 0.5465 0.5884 0.6282 0.6659 0.7015 0.7353 0.7673 0.7975 0.8263 0.8535 0.8794 0.9040 0.9274 0.9497 0.9710 0.9913 1.0107 1.0292 1.0469 1.0639 1.0802 1.0958 1.1108 1.1252 1.1391 1.1524 1.1653 1.1776 1.1896 1.2011 3.2658 3.1112 2.9787 2.8601 2.7569 2.6675 2.5894 2.5208 2.4605 2.4072 2.3599 2.3177 2.2801 2.2463 2.2159 2.1884 2.1636 2.1410 2.1205 2.1017 2.0846 2.0688 2.0544 2.0410 2.0288 2.0174 2.0069 1.9972 1.9881 1.9797 1.9719 1.9646 1.9578 1.9514 1.9455 1.9399 1.9346 1.9297 0.1273 0.1753 0.2221 0.2718 0.3208 0.3689 0.4156 0.4606 0.5036 0.5448 0.5840 0.6213 0.6568 0.6906 0.7227 0.7532 0.7822 0.8098 0.8361 0.8612 0.8851 0.9079 0.9297 0.9505 0.9705 0.9895 1.0078 1.0254 1.0422 1.0584 1.0739 1.0889 1.1033 1.1171 1.1305 1.1434 1.1558 3.3604 3.2160 3.0895 2.9746 2.8727 2.7831 2.7037 2.6332 2.5705 2.5145 2.4643 2.4192 2.3786 2.3419 2.3086 2.2784 2.2508 2.2256 2.2026 2.1814 2.1619 2.1440 2.1274 2.1120 2.0978 2.0846 2.0723 2.0609 2.0502 2.0403 2.0310 2.0222 2.0140 2.0064 1.9992 1.9924 1.9860 0.1113 0.1548 0.1978 0.2441 0.2901 0.3357 0.3804 0.4236 0.4654 0.5055 0.5440 0.5808 0.6159 0.6495 0.6815 0.7120 0.7412 0.7690 0.7955 0.8209 0.8452 0.8684 0.8906 0.9118 0.9322 0.9517 0.9705 0.9885 1.0058 1.0225 1.0385 1.0539 1.0687 1.0831 1.0969 1.1102 3.4382 3.3039 3.1840 3.0735 2.9740 2.8854 2.8059 2.7345 2.6704 2.6126 2.5604 2.5132 2.4703 2.4312 2.3956 2.3631 2.3332 2.3058 2.2806 2.2574 2.2359 2.2159 2.1975 2.1803 2.1644 2.1495 2.1356 2.1226 2.1105 2.0991 2.0884 2.0783 2.0689 2.0600 2.0516 2.0437


Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING SAHAM PADA PERUSAHAAN Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan Non-Keuangan Di Bursa Efek Indonesia Tahun Periode 2012-2014.

0 3 15

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT UNDERPRICING SAHAM PADA PENAWARAN SAHAM PERDANA (IPO) DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 2 25

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT IPO UNDERPRICING DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 1 16

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 0 29

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

2 4 3

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia

0 1 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

0 2 109