68 C.
Kepailitan Perseroan Terbatas
Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah Perseroan Terbatas
62
. Untuk dapat memahami kepailitan Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara
Kepailitan Perseroan
Terbatas dengan
kebangkrutan Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan.
1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas
dengan Kebangkrutan
Perseroan, Pembubaran
Perseroan Dan Likuidasi Perseroan
Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga
63
dimana sebuah Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti
tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi
hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum
public attachment yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang
berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.
62
Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat
Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004.
63
Dalam konteks Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal UU No. 37 Tahun 2004
69
Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004
tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan
dapat ditagih tersebut disebabkan karena Perseroan sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar
unwilling to pay debt atau tidak mampu membayar utang unable
to pay
debtinsolventtersebut kepada
kreditornya
64
. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam
keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka
debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis menyatakan bahwa Perseroan sebagai debitor pailit
tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya unable to pay debtinsolvent.
Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat,
namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah
asetnya ketika dipailitkan yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih.
Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya
64
Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal.
294
70
kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat
mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144
UU No. 37 Tahun 2004 dimana bila usulan perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh
kreditornya, maka
apabila perdamaian
tersebut diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit
dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37 Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan
Pasal 205 UUK
65
. Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut
ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai debitor
pailit tersebut
tidak mengajukan
usulan perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37
Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent. Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent,
kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh
kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya kepailitan
ataupun kewajiban-kewajiban
kepada kreditornya
66
. Kebangkrutan
Perseroan adalah
keadaan dimana
Perseroan mengalami krisis keuangan sehingga total kewajiban liability melebihi total aktiva asset
67
. Krisis
65
Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184
66
Loc.cit.
67
Lihat: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen Keuangan, 2004, Yogyakarta:
BPFE UGM, hal. 638
71
keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri dari cashflow test dan balance sheet test
68
. Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar
utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow test
” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher
69
berikut ini:
“Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and
contingent- exceeds the total value of all assets.
Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan laporan keuangan yang berbeda.
Menurut Professor Goode
70
, cash flow test relatif lebih mudah
untuk diaplikasikan
dalam praktek,
agar pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan,
namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk
menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent:
“The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is
not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”
Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan
keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow
68
R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and
Maxwell, 1990, hal. 26
69
Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 5
70
Loc. cit. hal. 27