Perkembangan Konsep Kepailitan Kepailitan

30 mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU No. 40 Tahun 2007. Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam 5 lima peraturan perundang-undangan

2. Perkembangan Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure 26 . 26 Sunarmi, Op. cit., hal. 23 31 Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang- hutangnya disebut “insolvency” 27 . Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt” adalah: “ the state or conditional of a person individual, partnership, corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’ dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar insolvency dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar insolvency tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh tempo. Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1 Faillisement Verordening Peraturan Kepailitan Lama yang menyatakan bahwa: “Setiap pihak yang berutang debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya kreditornya, dinyatakan dalam keadaan pailit.” 27 Loc.cit 32 Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang- utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan insolvency untuk dapat memailitkan debitor. Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang menyatakan sebagai berikut: “Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara. Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka Perseroan tersebut demi hukum bubar.” Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50 dari modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari Pasal 1 ayat 1 Failisement Verordening maka akan terlihat korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency. Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang mengalami kerugian 50 tersebut tidak mengumumkan kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit dalam hal ini Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai pihak ketiga – involuntary petition harus membuktikan 33 bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan insolvency dengan cara melakukan insolvency test. Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan, mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya 28 , maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit memastikan kreditor dapat menggunakan laporan keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia confidential. Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement Verordening tidak efektif. Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus perdata. 28 Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat dokumen, dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 KUH Perdata. Lihat: Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 292 34 Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan berkepastian hukum. Perubahan substansial pun dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat dipailitkannya seorang debitur dengan tidak adanya keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat 1 Failisement Verordening yang mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah berhenti membayar utang- utangnya”, diubah menjadi ”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat dit agih” dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1998 29 . Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam Failisement Verordening, hanya diukur dengan kata “selekas-lekasnya”. 29 Perubahan Failisement Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reformasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak vide penjelasan dalam Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia – poin A.1. sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan UU No. 4 Tahun 1998, tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 1 Tahun 1998. Lihat Ricardo Simanjuntak, Op.cit., hal.292 35 Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998 adalah mengenai 30 : a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang- undang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh waktu” vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit danatau penundaan pembayaran utang vide Sub Bab Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per Tingkat Peradilan Matriks 3. Perbandingan Konsep Kepailitan Indikator Failisement Verordening UU No. 4 Tahun 1998 UU No. 37 Tahun 2004 Syarat mengajukan permohonan pailit Mensyaratkan debitor dalam keadaan insolvent melalui Tidak mensyaratan debitor dalam keadaan Tidak mensyaratkan debitor dalam keadaan insolvent 30 Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hal.70 36 Indikator Failisement Verordening UU No. 4 Tahun 1998 UU No. 37 Tahun 2004 pernyataan “Debitor berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang- utangnya” insolvent karena hanya mensyaratkan debitor: “terbukti memiliki minimum dua kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” karena hanya mensyaratkan debitor: mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” Waktu pengajuan permohonan pailit Tidak diatur dengan jelas karena hanya berpedoman pada kata “selekas- lekasnya” Diatur dengan jelas Diatur dengan jelas

3. Definisi Kepailitan