83
Gambar 6. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS JRSCA Tim Era, 2010
Keterangan:
1.Garis warna “merah tua”menunjukkan
garis batas Peta Zona Khusus
Warga
2.Garis warna “ungu muda”menunjukkan
jalur pemagaran JRCA.
3.Luasan Zona Khusus wargayangterkena
rencana pemagaran seluas
:110ha dari
261,611ha
Gambar 7. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS JRSCA yang menabrak wilayah Zona Khusus yang ditawarkan masyarakat Legon Pakis JKPP, SAINS, LATIN, 2010
84
5.3 Kontestasi antar Aktor dan Kepentingan dalam Kawasan TNUK
Untuk memotret kontestasi beragam aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan di wilayah konservasi Ujung Kulon setidaknya dapat ditelusuri
dari dua babak momentum penting yang terjadi, yakni; Pertama, momen penetapan kawasan hutan Ujung Kulon menjadi Taman Nasional tahun 1984 dan
diperbaharuhi tahun 1992 dan turunan masalah yang mengikutinya. Kedua, masuknya program Pemagaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia YABI atau
yang popular dengan Javan Rhino Sunctuary JRS tahun 2010 dengan segenap persoalan yang mengikutinya hingga sekarang. Di kedua momen ini nampak
bagaimana beragam pihak yang berkepentingan dengan wilayah kawasan konservasi Ujung Kulon saling mempertarungkan kepentingan masing-masing.
Sebagian besar turunan masalah yang ditimbulkan dari kedua momen ini menjadi tonggak penting bagi perubahan tata kelola dan kebijakan penataan ruang di
kawasan TNUK hingga sekarang. Babak pertama yang menjadi simpul dari kontestasi adalah momen
penetapan hutan lindung Ujung Kulon menjadi Taman Nasional pada tahun 1984 dan perbaharui tahun 1992. Penetapan ini di dasarkan oleh SK Menteri Kehutanan
No. 96KPTSII1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan
seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan
menjadi Taman Nasional Ujung Kulon TNUK melalui SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Dan pada tahun yang sama
Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SCEco5867.2.409.
Di satu sisi penetapan kawasan ini membawa kekuatan legal tersendiri yang berujung pada peningkatan kekuatan pengelola kawasan TNUK untuk
menguasai wilayah tenurial yang lebih luas dan otoritas yang lebih tinggi. Selain itu cakupan wilayah yang dimiliki juga semakin luas. Termasuk di dalamnya
kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran warga di beberapa kampung di desa Ujung Jaya, dan dusun Legon Pakis sejak saat itu 100 seluruh kawasan
pemukiman, sawah dan kebun campurannya masuk dalam kawasan TNUK.
85 Selain perubahan tata zonasi baru, penetapan ini juga diikuti perubahan tata batas
wilayah kawasan TNUK. Batas lama yang sebelumnya disepakati bersama warga berbatasan langsung dengan sungai Cihujan dan Cilintang berubah lebih lebar
hingga kurang lebih 10 km ke arah selatan menuju desa Ujung Jaya. Perubahan zonasi dan tapal batas ini menjadi simpul utama persoalan yang muncul antara
kelompok masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK. Tak terkecuali masyarakat di dusun Legon Pakis yang kini separoh wilayahnya dianggap masuk
di wilayah zona inti dan sebagian adalah zona penyangga. Ketidakpuasan dan ketidakterimaan warga masyarakat di Legon Pakis
khususnya dan dusun-dusun di sekitar batas bari kawasan TNUK, misalnya kampung Cikaung Sabrang, Ciakung Girang dan sebagian kecil Tanjung Lame,
pada awalnya tidak muncul menjadi perlawanan terbuka. Kuatnya para pengaman hutan hasil kolaborasi Pam Swakarsa, Ranger dan Polisi Hutan yang dibentuk
oleh BTNUK dan sebagian besar adalah anggota masyarakat juga, dan sebagian tetap tinggal membaur dengan masyarakat lokal menjadi faktor penting mengapa
masyarakat tidak melakukan perlawanan terbuka. Model-model perlawanan diam-diam atau terselubung menjadi pilihan bagi masyarakat untuk meluapkan
ketiadakterimaan atas perubahan kebijakan zonasi dan kebijakan tapal batas baru. Mulai dari ketidak patuhan diam-diam atas aturan konservasi yang telah
ditetapkan, mencuri kayu di zona inti, memburu beberapa jenis burung untuk dijual, menangkap penyu dan kepiting secara diam-diam, mematikan tunas pohon
di sekitar pemukiman, dan menggosipkan keburukan-keburukan BTNUK. Perang mulut dan bentrok fisik ringan antar pribadi kerap terjadi antara
warga dengan petugas BTNUK di lapangan. Namun, saat itu kebanyakan para petugas masih bersenjata parang. Sehingga masyarakat yang juga terbiasa
membawa parang untuk kepentingan keseharian mereka dalam bekerja di ladang sawah dan hutan tidak takut untuk berhadap-hadapan secara fisik. Namun tidak
lama kemudian, setelah penetapan tahun 1984 terdapat kebijakan untuk memberikan senjata api sebagai perangkat utama bagi para petugas hutan,
khususnya Ranger dan Polisi Hutan. Persoalan senjata api yang dimiliki para petugas BTNUK ini menjadi
tonggak penting bagi meningkatnya resistensi masyarakat atas BTNUK dan
86 sebaliknya meningkat pula represi petugas BTNUK terhadap warga. Kondisi
ketegangan ini semakin hari semakin meningkat. Beberapa masalah pribadi yang sudah ada sebelumnya dan belum sempat terselesaikan kadang menemukan
momentum kembali untuk dipertarungkan. ‘Kegagahan’ petugas dengan senjata api-nya juga memantik respon yang negatif dari warga. Sebab para petugas juga
berubah perilaku semakin menekan dan menteror tidak langsung kepada warga dengan mempertontonkan senjata api tersebut dalam banyak kesempatan.
Puncak dari akumulasi bara dalam sekam antar warga dan petugas meletus ketika salah seorang warga bernama Komar dari dusun Cikaung tertembak senjata
api dadanya oleh salah seorang petugas BTNUK bernama Untung. Yang kemudian disusul amok massa dari beberapa desa sekitar kawasan TNUK di
sekitar desa Ujung Jaya sebagaimana diceriakan pada Bab sebelumnya. Bisa dikatakan pada babak ini, pertarungan yang terjadi melibatkan aktor-aktor yang
diwakili oleh kelompok warga dan petugas BTNUK yang banyak dilapangan. Pada tahap ini belum ada intervensi dari pihak luar NGOLSM, aktivis
mahasiswa, dll secara intens. Kalaupun masuk tokoh-tokoh tertentu yang berperan lebih karena kedekatan hubungan pribadi dengan para warga. Seperti
Haji A yang banyak membantu secara finansial dan advokasional hukum bagi para warga yang ditahan dan diproses hukum karena dituding provokator dalam
peristiwa amok massa bulan oktober tahun 2007 itu. Pertarungan yang terjadi lebih bersifat horizontal dan lebih banyak individual. Dengan model perlawanan
terselubung. Namun sejak peristiwa tewasnya warga tersebut, masyarakat mulai
bergerak secara kolektif meski masih belum memiliki kelembagaan formal dan belum melakukan perlawanan terbuka, kecuali amok massa tersebut. Hal ini
dilatari beberapa hal; 1 ketiadaan akar budaya lokal yang dapat dijadikan pemersatu secara historis dan budaya bagi masyarakat di sekitar Ujung Jaya,
sehingga dapat memanggil perasaan senasib dan sependeritaan dengan lebih utuh. 2 ketiadaan ketokohan atau pemimpin yang bisa dianut dan dihormati bersama
oleh semua warga di beberapa desa. Jikapun ada, tokoh tersebut hanya berlaku dan mengikat hanya pada satu dusun atau desa saja, dan tidak berlaku pada desa
dan dusun lainnya. 3 ancaman represifitas petugas dan jaringan keamanan
87 BTNUK yang semakin meningkat, bergandengan dengan petugas Kepolisian
sebagai ujung tombaknya. 4 belum adanya kelembagaan sosial yang menjadi sandaran bersama untuk melawan, seperti serikat tani, paguyuban warga, dll.
Akibatnya pasca penembakan dan amok massa, justru masyarakat semakin traumatik dan terancam akibat tindakan represif aparat keamanan yang merasa
memiliki legitimasi melakukan tidakan keamanan pada warga. Perasaan traumatik berhadapan dengan pihak Kepolisian dan di dalam penjara masih terekam kuat
hingga sekarang bagi sebagian warga, lebih-lebih yang terlibat. Sehingga mereka tidak ingin berurusan lagi dengan pihak kepolisian dalam bentuk apapun,kecuali
terpaksa. Namun demikian, momentum konflik terbuka ini juga menjadi tonggak
penting masuknya pihak luar ke dusun Legon Pakis dan Desa Ujung Jaya. Beberapa aktivis mahasiswa dan LSMNGO baik yang mendengar dari berita
mass media muapun yang di undang warga sendiri umumnya mulai masuk setelah peristiwa oktober kelabu ini terjadi. Setelah itu, mulailah babak baru masyarakat
mengenal pergerakan dan perlawanan dengan tahapan-tahapan secara sistematis dan membangun jaringan luar. Front Perjuangan Pemuda Indonesia FPPI ikut
membuka jaringan untuk advokasi konflik ini hingga ke Jakarta, baik melalui aksi ke Parlemen, Kementrian Kehutanan, KONTRAS hingga ke KOMNAS HAM.
Sejak itulah warga mulai memahami sedikit demi sedikit pentingan berjejaring dan akses informasi.
Pada tahap yang tidak lama, beberapa LSM yang diundang untuk ikut membantu warga untuk penyelesaian konflik ini mulai masuk. Sajogyo Institute
SAINS yang bekantor di Bogor yang pada tahun 2006 telah melakukan riset tentang pemukiman di wilayah TNUK, dundang datang untuk membantu advokasi
konflik dengan bekerja bersama aktifis FPPI. Pembagian tugas yang disepakati adalah pihak FPPI untuk meneruskan advokasi hukum dan pihak SAINS
mempertebal argumentasi sosial-ekonomi-agraria berbasis riset untuk negosiasi dan menuntut pengakuan hak dasar masyarakat atas sumber agraria yang telah
dimilikinya. Selang satu tahun dari peristiwa oktober kelabu 2007. Untuk sebuah
advokasi, penguatan masyarakat dan penyelesaian konflik agraria Jaringan Kerja
88 Pemetaan Partisipatif JKPP dan LATIN yang juga berpusat di Bogor ikut serta
bergabung dalam pendampingan masyarakat di desa Ujung Jaya, dan lebih khusus di dusun Legon pakis. Pendampingan masyarakat untuk penyelesaian konflik
kemudian mengembang pada upaya mencari titik temu dan win-win solution selaras dengan keinginan warga menyudahi kondisi ketegangan, ketidakamanan,
keresahan dan teror terus menerus atas kehidupan keseharian mereka dengan beragam cara. Yang kesemuanya berlandasakan pada atauran legal penetapan
batas baru TNUK dan pengaturan zonasi baru atas kawasan yang telah menajdi TNUK.
Pelarangan dan pengurangan akses masyarakat atas sumberdaya hutan semakin dikikis, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas sumber
pangan, tempat tinggal, air bersih, kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, penerangan, jalan dst, yang selalu dihambat atas nama kekuatiran mengganggu
kawasan konservasi. Singkatnya atas nama demi konservasi Taman Nasional, masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK, termasuk di dalamnya
masyarakat dusun Legon Pakis secara sistematis dijauhkan dan hendak dipisahkan dari kawasan TNUK. Usaha relokasi pun pernah dilakukan sekitar tahun 1987.
Namun akhirnya gagal akibat tidak tersedianya sumber kehidupan sebagaimana pernah dirasakan di tempat sebelumnya.
Kekerasan, teror, pembatasan akses, peminggiran dan proses pemiskinan struktural masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan atas nama konservasi
inilah yang menjadi dasar argumen beberapa lembaga dan aktivis yang akhirnya ikut mengawal dan membantu warga hingga peran-peran intermediary role
dengan beragam pihak di sekitar BTNUK. Gagasan Zona Khusus yang disusun dan disepakati bersama warga secara partisipatif menjadi ujung bagi proses
negosiasi untuk penyelesaian konflik menuju kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi yang menguntungkan kedua belah pihak dengan memperhatikan aspek
sosial, ekonomi dan ekologi. Ditengah usaha negosiasi multi pihak, gagasan ini berbenturan dengan proyek besar YABI untuk membuat eko-wisata badak dengan
pembangunan pagar berlistrik yang popular dengan nama JRS atau JRSCA.
89 Babak kedua adalah masuknya program Pemagaran Badak atau dikenal
dengan JRS dan belakangan berubah menjadi JRSCA
77
. Atas nama “langkah konservasi” Kementrian Kehutanan Kemhut beserta jajaran lembaga di bawah
koordinasinya dan Yayasan Badak Indonesia YABI mendukung proyek Javan Rhino Sanctuary JRS di TNUK Kompas, 2107. Dalam dokumen Analisis
Risiko Lingkungan ERA Rencana Pembangunan JRSJRSCA November 2010 dipaparkan, pemagaran berlistrik akan dilakukan di sisi timur 20 kilometerkm
dan sisi barat 2 km. Pemagaran di kedua sisi menempatkan JRS di tengah Taman Nasional Ujung Kulon TNUK dengan luasan 3.000-4.000 hektar,
dibatasi laut di sisi utara dan selatan. Dengan dana sebasar 6 milyar berasal dari beberapa lembaga konservasi Badak internasional, proyek ini telah dijalankan
sejak 20 Juni 2011, dengan cara membelah dan membuldozer kawasan Taman Nasional sepanjang 5 kilometer dengan lebar 30 meter.
Siaran pers Koalisi Penyelamatan Konservasi Ujung Kulon yang menolak rencana pemagaran ini menyebutkan bahwa pembangunan JRSCA yang dilakukan
dengan membuka hutan akan mengakibatkan Taman Nasional Ujung Kulon terbelah dan terfragmentasi. Akibatnya, kondisi ekologis rusak dan berpotensi
memicu pembalakan liar. Pro-kontrapun muncul. Benarkah ini semata-mata demi alasan konservasi? Atau demi kepentingan lain yang tersembunyi dibalik proyek
konservasi? Proyek JRS resmi ditandatangani Menteri Kehuatanan Zulkifli Hasan,
Gubernur Banten Ratu Atut, dan kepala TNUK Agus Priambudi pada 21 Juni 2011. Proyek ini telah disosialisasikan dalam banyak kesempatan sebagai tiang
pancang eko-wisata unggulan di Ujung Kulon dengan ikon Badak Jawa. Karena itu proyek ini sejak awal sudah dilengkapi dengan agenda pembangunan
‘infrastruktur’ pendukunganya. Seperti rencana pembangunan Bandara, Pelabuhan Wisata, jalan raya dan perbaikan infrastruktur lainnya. Singkatnya, proyek JRS
adalah bagian dari domain kepentingan pembangunan pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten Pandegalang dan Provinsi Banten. Klaim pembangunan dengan
watak pertumbuhan ekonomi melalui proyek JRS merupakan pengejawantahan model kebijakan yang mengandalkan model ekonomi “ujung pipa” end pipe
77
Penjelasan tentang babak kedua ini diolah ulang dari tulisan Eko Cahyono, Dilema Konservasi Ujung Kulon, dimula dalam koran Kontan, tanggal 1 Agustus 2011.
90 policies. Atas dasar proyek besar konservasi Badak Jawa dan masuknya invenstor
ekonomi diharapkan akan otomatis meningkatkan pendapatan daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rakyat. Artinya, kesuksesan
proyek JRS diyakini para pendukungnya dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar yang nantinya dapat meningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di
sekiar kawasan proyek dan masyarakat Pandeglang secara umum. Sebab eko- wisata merupakan daya tarik ekonomis yang dianggap terbukti ampuh
mendatangkan inverstor dan injeksi ekonomi ke daerah. Namun, praktiknya sebagaimana juga banyak terjadi di dalam proyek
pembangunanisme di negara dunia ketiga lainnya, asumsi kesejahteraan dengan mengandalkan ‘tetesan dari ujung pipa’ ini ternyata hanya menguntungkan
segelintir atau kelompok elit yang berada di “pangkal pipa”, dan kerap menciptaan korban dan penderitaan bagi kelompok masyarakat di ujung pipa.
Elite pemilik kuasa politik-ekonomi selalu memiliki power yang lebih besar di bandingkan masyarakat untuk menentukan kepada dan ke arah mana aliran modal
yang dialirkan melalui pipa tersebut? Sekaligus mampu menciptakan beragam hambatan-hambatan ‘rasional’ agar aliran tersebut tidaktetap berada di sekitar
pangkal pipa. Atau kalaupun bisa mengalir, disusunlah strategi agar tetap dalam kendali jaringan kelompok mereka sendiri.
Inilah barangkali penjelasan sederhana dari “kartel ekonomi” yang pernah ‘dipopulerkan’ mantan menteri keuangan Sri Mulyani sebelum akhirnya ‘dialih
tugaskan’. Beragam bentuk kebijakan dan program ekonomi pemerintah pusat dan daerah, sejak Orde baru hingga era Reformasi ini disusun dan dilaksanakan dalam
warisan watak demi kesejahteraan yang diasumsikan bisa turun dari atas lapisan elit ekonomi kepada masyarakat umum. Maka, ada koherensi yang jelas antara
proyek JRS dengan klaim untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi TNUK dengan watak paradikmatik ekonomi yang dijalankan, yakni
sama-sama percaya kesejahteraan melalui model ujung pipa. Di masa Orde Baru kartel ekonomi ini berpusat di kekuasaan birokrasi
yang lambat laun membentuk oligarki ekonomi pengendali penuh kekuasaan negara. Bahkan ada periode kelompok oligarki ekonomi ini mengambil alih dan
menundukkan birokrasi negara. Jika dalam era Orde Baru kekuatan yang di susun
91 panjang sejak awal-awal naiknya kekuatan Orde Baru, berpusat pada kekuasaan di
sekitar Soeharto dan Cendana, maka pasca era reformasi dan desentralisasi kekuatan ini menyebar dan membangun oligarki, bahkan lebih kuat di daerah.
Vedi Hadiz, 2009. Semangat Reformasi hanya mampu membuka kran politik dan demokrasi
dengan cara pelengseran Soeharto secara politik. Akan tetapi sebenarnya pemilik kekuatan ekonomi politik Orba tidak serta merta ikut runtuh, tetapi mampu
merestorasi kekuatannya dan menyebar di dearah-daerah. Dalam makna ini, maka bisa difahami jika banyak persoalan di daerah saat ini selalu berpusat pada
perebutan sumberdaya alam dan aset-aset ekonomi lainnya, yang dulunya sempat disandera elit penguasa Orba di Jakarta. Proyek-proyek pembangunan di daerah
hari ini tidak bisa dilepaskan dari jejaring kekuatan ekonomi politik yang terwarisi dari masa-masa Orba. Aset daerah berupa laut, tambang, mineral, emas, hutan dan
seterusnya menjadi arena pertarungan kepentingan di daerah yangtak lagi terlalu tunduk pada kekuatan pusat.
Proyek JRS yang merupakan perkawinan kepentingan pusat Kementrian Kehuatanan dan Pemerintah Daerah yang dikemas dalam agenda konservasi
Badak Jawa dan Eko-Wisata eco-tourism telah menarik 6 milyar modal ke daerah. Satu pintu ekonomi yang dapat membuka pintu modal ekonomi lainnya.
Dana Corporate Social Responsibility dari Asia Pulp Paper APP kelompok Sinar Mas Groups yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat juga
dimasukkan menjadi “salah satu pendukung” program JRS di Ujung Kulon. Namun, undangan masuknya modal ekonomi dari luar ini tidak pernah
mempertimbangkan “potensi” ekonomi yang sudah ada dan berjalan dalam masyarakat secara turun temurun.
Masyarakat di kampung-kampung sekitar TNUK telah lama hidup dalam kehidupan agraris mereka jauh sebelum Taman Nasonal disahkan tahun 1984.
Menurut satu kajian sosial-ekonomi tahun 2007, ditunjukkan aset yang berputar dari pertanian dan kebun campuran warga di salah satu kampung desa Ujung Jaya
bisa mencapai 1,2 milyartahun Sajogyo Instutute, 2007. Sumber ekonomi berbasis pertanian agraris dan kebun campuran ini adalah sumber utama
gantungan hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK. Atas nama konservasi
92 Badak Jawa berwatak ekonomi ‘ujung pipa’ kurang lebih 110 ha kawasan tersebut
akan terampas proyek JRSJRSCA. Klaim sepihak pemerintah atas kawasan pemukiman dan garapan warga sebagai “tanah negara” menjadikan masyarakat
tak punya daya dan terlucuti hak-hak kewarganegarannnya. Momen ini menjadi potret pertarungan dan kontestasi beragam pihak beserta aneka kepentingan, baik
dari kalangan pemerintah daerah, Hingga kini persoalan JRSJRSCA ini masih menjadi pro kontra banyak
kalangan dan mengundang semakin banyak aktor dan kepentingan baru yang terlibat, baik lokal maupun nasional. Perdebatan wacana yang dimunculkan
berkisar setidaknya pada tiga wlayah; argumen hukum, argumen ekologis- konservasionis, dan argumen sosial-ekonomi. Masing-masing kelompok baik pro
maupun kontra memiliki pendukung hingga ke basis masyarakat. Mendekati PILKADA Banten, kasus ini menjadi lebih hangat dan terbuka masuk pada
agenda politik masing-masing kandidat yang bertarung. Pada perkembangannya secara garis besar pertarungan wacana mengarah pada perpaduan ideologi
pengelolaan kawasan korservasi berwatak konservasionis-developmentalistik menjadi mengental di satu sisi yang diusung BTNUK, Pemerintah Daerah, YABI,
JRF dan para pendukungnya berhadapan dengan gerakan eko-populis yang diusung kalangan LSMNGO pendamping masyarakat, aktivis mahasiswa dan
jaringannya di sisi lain.
5.4 Aksi Petani; Bentuk dan Strategi Perlawanan
Meskipun ketegangan, teror dan konflik terus dialami masyarakat Legon Pakis, berangsur-angsur warga berinisiatif untuk melakukan tindakan bersama
guna memperjuangkan nasib dan hak atas kawasan live space mereka di kawasan TNUK yang hendak terampas paksa, khususnya program JRSJRSCA yang di
dukung oleh Yayasan Badak Indonesia YABI, BTNUK, Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah. Sejak konflik terbuka 2007, masyarakat Legon Pakis
berjuang dengan beragam bentuk dan strategi perlawanan yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi internal dan ekternal para lembaga pendamping serta
kondisi semangat dan ketebalan kesolidan dan persatuan warga. Setidaknya terdapat tiga periode bentuk aksi perlawanan masyarakat Petani Legon Pakis yang
93 di dukung oleh sebagian warga disekitarnya dalam memperjuangkan hak dan
nasib mereka selama ini sebagai masyarakat yang berada di dalam dan pinggiran kawasan hutan konservasi TNUK, yakni aksi perlawanan diam-diamterselubung,
aksi perlawanan konfrontataif dan aksi perlawanan yang negosiatifkolaboratif. Pertama, periode perlawanan terselubungdiam-diam. Aksi perlawanaan
pada periode ini dilakukan lebih banyak sendiri-sendiri atau bersifat individual. Kalaupun berkelompok bukanlah disebabkan karena ikatan ideologi dan strategi
yang sistemik tertentu tetapi lebih banyak karena kesepakatan yangbersifat sementara. Aksi diam-diam ini lebih banyak dilakukan masyarakat petani Legon
Pakis jauh sebelum hutan Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional pada tahun 1984, hingga akhir Orde Baru. Pada saat itu, para petugas TNUK masih
bersenjata parang, belum senjata api. Sehingga tingkat “wibawa” dan kegalakannya tidak seperti ketika bersenjata api pasca penetapan kawasan hutan
Ujung Kulon menjadi Taman nasional. Banyak ditemukan dari cerita warga yang tinggal di dalam dan pinggiran kawasan bahwa sebagian besar pernah bahkan
sering secra personal sering bertengkar mulut, bahkan beberapa kali kotak fisik dengan petugas, meski tidak sampai adakorban jiwa, dan jarang terekspose keluar.
Pertengkaran biasanya menyangkut larangan batasan garapan, pengambilan sumberdaya non-hutan madu, rotan, kadang juga pertengkaran akibat
pengambilan binatang tertentu seperti burung, kepiting, ikan, penyu dan lain-lain di laut sekitar kawasan TNUK, dan juga pengambilan dan penebangan kayu
untuk kepentingan sendiri, tidak komersil. Konflik-konflik kecil semacam itu dianggap warga untuk menunjukkan eksistensi dan hak mereka sebagai
masyarakat yang hidup bertahun-tahun di sekitardalam hutan. meskipun mereka tidak tahu-menahu persisnya hak-hak legal normatifnya.
Selain itu, aksi perlawan atas pelarangan dan tekanan dari beragam aturan normatif TNUK yang harus mereka taati sehari-hari mereka ekpresikan dengan
mbalelo ketidak patuhan secara diam-diam atas aturan yang telah ditetapkan. Misalnya, membangun pondasi rumah dan bangunan rumah secara semi
permanen, membangun tempat ibadah permanen, memasukkan penerangan dengan listrik dari dusundesa sebelah, memperbaiki jalan utama, membangun
sumur permanen dan sejenisnya. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang selam ini
94 menjadi larangan. Dengan larangan tersebut otoritas TNUK mengharapka agar
masyarakat lambat laun akan pindah dan gampang direlokasi dari wilayah tersebut sewaktu-waktu. Dalam hal lain, masyarakat juga punya strategi sendiri untuk
menolak program penanaman bibit tanaman di pekaranga sekitar rumah dan lahan garapan mereka, yang dipersepsi sebagai upaya terselubng untuk mempersempit
ruanghidup mereka. Cara yang dipakai adalah memelihara ternak ayam dan kambing dan di biarkan untuk memakan bibit tanaman muda yang diberikan pihak
TNUK, atau kadang memotong akar tanaman agar lambat laun menjadi mati da banyak lagi bentuk sejenisnya untuk menggagalkan secara diam-diam program
dan agenda pihak otoritas TNUK. Dalam kehidupan sehari-hari ketidaksetujuan mereka atas aturan-aturan
pelarangan akses atas sumberdaya hutan mereka ekspresikan dengan cara menggosip miring pribadi-pribadi kelakukan para petugas TNUK, dan
membincangkannya dalam guyonan dan obrolan sehar-hari. Dalam beberapa kasus, masyarakat kadang bersikap diam atau acuh tak acuh atas kedatangan
petugas di dusun mereka, atau bahkan lebih baik menghindari atau tidak menjumpainya. Termasuk ketidakpatuhan diam-diam dalam kegiatan dan aktifitas
yang ditetapkan baik mingguan atau bulanan oleh TNUK. Ketidak hadiran masyarakat dalam beragam kegiatan tersebut adalah bagian dari sikap mbalelo
atas kebijakan TNUK. Pada periode ini,bentuk perlawanan diam-diam atau terselubung ini
dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor; 1 belum adanya pendamping dari luar masyarakat baik aktivis gerakan mahasiswa, maupuan LSMNGO lokal
maupun nasioal yang masuk ke dusun mereka. 2 lokasi pemukinan masyaraat masih terpencar dan isolative dari dunia luar mereka, termasuk dengan desa
tetangga. 3 adanya hubungan yang masih cukup harmonis dengan otoritas TNUK waktu itu. Pada saat itu masih banyak petugas TNUK yang dekat dan dihormati
masyarakat karena mau mendengar dan mengayomi kebutuhan masyarakat. Sehingga dianggap belum perlu untuk perlawanan langsung. 3 belum adanya
kelembagaan sosial kolektif sebagai media perlawanan. Aksi perlawanan lebih bersifat individual atau paling besar adalah satu keluarga. 5 tekanan dan
ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam batas subsistensi