Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya
59 4.2.2 Kesejarahan dan Kearifan Lokal
Secara historis, hingga pertengahan dekade 1970an, Legon Pakis Desa Ujungjaya, hanya dimukimi oleh beberapa rumah tangga saja. Saat tersebut
kawasan hutan sekitar Legon Pakis masih berstatus sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani melanjutkan rejim pengelolaan hutan produksi di
masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda - yang di mata masyarakat dikenal sebagai hutan Bouwheer. Ketika Cagar Alam CA Gunung Honje diperluas ke
wilayah Utara pada tahun 1979, Legon Pakis ditetapkan sebagai bagian dari CA Gunung Honje. Kemudian ketika CA Gunung Honje dan CA Ujung Kulon,
Panaitan dan Pulau Peucang dideklarasikan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon pada tahun 1980, pemukiman Legon Pakis otomatis masuk sebagai bagian dari
taman nasional Adiwibowo dkk, 2009. Sejak penatapan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon tahun 1984, dan
diperbaharui 1992, keseluruhan pemukiman Dusun Legon Pakis masuk di dalam kawasan TNUK, beserta sebagain besar pekarangan, sawah dan kebun campuran
mereka. Hal inilah yang membedakan dengan kampung dan dusun lain yang berbatasan dengan TNUK, misalnya kampung Cikaung Girang dan Ciakaung
Seberang yang hanya sebagian wilayahnya saja yang masuk di dalam kawasan TNUK, meski sama-sama di dalam wilayah administratif desa Ujung Jaya. Posisi
ini pula yang membuat masyarakat Legon Pakis memiliki resistensi lebih tinggi dan dampak langsung dari sebagian dan keseluruhan kebijakan, peraturan dan
program konservasi di wilayah TNUK. Selain itu, seluruh warga di Kampung Legon Pakis tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, seperti Cap Girik, Cap
Garuda, atau bukti-bukti lainnya yang menunjukkan sejarah kepemilikan lahan mereka—kecuali hak historis mereka--, sebagaimana dimiliki sebagian warga di
dusun tetangga mereka Cikaung Sebrang, Cikaung Girang, Tanjung Lame, di desa yang sama yakni Ujung Jaya. Dengan kenyataan semacam ini, masyarakat
di Legon Pakis sering menjadi sasaran dan objek kekerasan fisik maupun non- fisik atas nama konservasi, ketika mereka dianggap ‘melanggar’ aturan dan tata
tertip pengelolaan kawasan TNUK. Dari garis keturunan, menurut informasi lisan dari para sesepuh dusun
yang masih hidup Abah Suhaya, Abah Zaman dan Ki Misra diketahui bahwa
60 mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun AbahBapak
Pelen
53
dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak. Mereka kemudian menyebar di sekitar hutan dan pesisir Pantai Ujung Kulon dan tinggal dikelilingi
batas sungai Cilintang di sebelah Selatan dan Sungai Cihujan sebelah Timur. Masyarakat Legon Pakis secara turun temurun telah mengenal Hutan
Tutupan dan Hutan Titipan. Menurut pemahaman masyarakat Legon Pakis Hutan Tutupan menunjuk pada hutan yang tidak boleh diganggu ataupun dirusak dan
harus dihormati sebagai “warisan” leluhur. Batas wilayah hutan Tutupan ini menurut keyakinan para sesepuh dan diyakini juga oleh masyarakat Legon Pakis
sekarang adalah sungai Cilintang dan Sungai Cihujan ke arah dalam hutan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan batas kelola yang dibuat oleh PemerintahPerhutani
tahun 1982 dan sejak ditetapkannya TNUK yang garis batasnya “memakan’ keseluruhan wilayah Legon Pakis dan sebagian kampung sekitarnya. Sedangkan
pengertian Hutan Titipan menunjuk hutan yang boleh dikelola dan dijadikan tempat tinggal oleh masyarakat setempat. Menurut pandangan masyarakat Legon
Pakis daerah hutan Titipan adalah arah keluar dari hutan Tutupan juga dengan batas sungai Cihujan dan Cilintang
54
. Menurut cerita lisan beberapa sesepuh kampung Legon Pakis, masih
terdapat pemahaman tradisional yang dipegang teguh masyarakat hingga sekarang misalnya pandangan bahwa “Hutan itu adalah perkampungan hidup yang punya
tata tertib, aturan dan norma sendiri, sehingga hutan harus dihormati dan dilestarikan sebagaimana seharusnya”. Keyakinan semacam ini memunculkan
“etika berhutan” yang sangat dipatuhi secara turun temurun di masyarakat LP, diantaranya: 1 . Jangan memotong dahanranting pohon dengan tangan kosong,
harus dengan parang. 2 Jangan makan dan minum dengan berdiri. 3. Jangan
53
Menurut cerita lisan masyarakat BapakAbah Pelen adalah seorang sosok tokoh populer dan legendaris di mata masyarakat Legon Pakis, Cikawung Girang, Cikawung Sebrang dan beberapa
kampung dan desa di sekitar Ujung Kulon. Beliau dianggap sebagai seseorang yang sakti mandraguna Jawara yang membuka pertama kali hutan Ujung Kulon. Diceritakan secara lisan
oleh para muridnya, Abah Pelen telah datang ke Ujung Kulon sekitar tahun 1918. Selain sebagai seorang pemimpin kharismatik dalam politik, gerakan, pendakwah, beliau diklaim masyarakat
sebagai kawan karib Ir Soekarno Presiden RI I. Di hampir setiap kampung, masyarakat bercerita perkawanan antara Abah Pelen dan Soekarno, bahkan beberapa sesepuh kampung yang masih
hidup mengaku pernah melihat langsung Soekarno dengan bersama BapakAbah Pelen. Hasil wawancara penulis, dengan sesepuh dusun Legon Pakis, oktober 2008, dan akhir tahun 2009.
54
Hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dusun Legon Pakis dan murid-murid Bapak Pelen yang masih hidup. Juni 2009.
61 kencing dengan berdiri. 4. Jangan bersiul, 5. Kalau duduk di hutan harus pakai
alas. 6 Jangan bekerja jika sudah magrib, 7 Jangan menebang dan merusak hutan Tutupan . Jika hal-hal di atas dilanggar maka, menurut keyakinan warga akan ada
sesuatu yang menimpa sang pelanggar, bahkan hingga berujung kematian. Dengan pemahaman semacam ini masyarakat Legon Pakis sebenarnya
telah memiliki pemahaman dan kesadaran ekologis yang terpelihara bagi tata kelola bagi pelesatarian kawasan konservasi TNUK. Perubahan tata batas
kawasan TNUK pada tahun 1982 ikut merubah juga wilayah kelola masyarakat, termasuk akses dan kontrol masyarakat atas kawasan hutan TNUK. Baik untuk
kepentingan mata pencaharian mereka sehari-hari maupun jangka panjang, misalnya kebutuhan kayu bagi perbaikan rumah mereka, yang kadangkala
memaksa masyarakat mengambil kayu di wilayah zona inti yang berakibat pada penangkapan dan pemenjaraan warga dengan tuduhan perambahan hutan. Satu
kasus yang paling sering terjadi hingga kini, dan kerap menciptakan ketegangan dan disharmoni masyarakat dan BTNUK.
4.2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Legon Pakis mempunyai 3 pola pemanfaatan sumberdaya di
dalam, yaitu penggunaan lahan, pengambilan sumberdaya alam, dan pemanfaatan sumberdaya hayati.
Penggunaan lahan terutama untuk kegiatan pertanian tanaman semusim misalnya padi, dan jagung. Ada dua jenis tanaman perkebunan
yang dominan dilakukan oleh masyarakat, yakni kelapa dan umum kopi, melinjo, nangka, ubi batang dan lain-lain. Masyarakat legon pakis 70 bertani, 30
usaha lain dagang, kerja di kotaluar daerah, buruh bangunan dan lain-lain
55
. Jadi, pengambilan kayu bukan merupakan salah satu sumber pendapatan
masyarakat legon pakis. Penebangan kayu dilakukan untuk kebutuhan sendiri bahan bakar dan bangunan, tidak untuk tujuan komersial dijual ke
luarpasar. Pada umumnya yang mengambilpengguna kayu yang berasal dari TNUK tidak hanya masyarakat Legon Pakis saja melainkan banyak penduduk
55
Hal ini selaras dengan data BPS Pandenglang 2010, yang menyebutkan bahwa 95 masyarakat di desa Ujung Jaya adalah Petani.
62 sekitar yang mengambil kayu dari TNUK dan itu untuk kebutuhan konsumsi
sendiri bukan untuk dijual. Perubahan rejim pengelolaan hutan ini – dari hutan produksi ke cagar alam
kemudian ke taman nasional – membawa pengaruh besar pada denyut kehidupan masyarakat yang bermukim di Legon Pakis. Menurut warga Legon Pakis, di masa
rejim hutan produksi Bouwheer dan Perum Perhutani, mereka diperbolehkan akses ke kawasan hutan untuk keperluan budidaya pertanian. Struktur akses ini
berubah ketika kawasan hutan Perum Perhutani berubah menjadi Cagar Alam dan kemudian Taman Nasional. Terlebih ketika batas kawasan TNUK telah selesai
ditata. Walau upaya memindahkan warga keluar dari dan melarang warga baru
masuk ke Legon Pakis telah dimulai sejak dideklarasikannya TNUK, namun langkah-langkah serius baru dimulai setelah tahun 1992 yakni ketika TNUK telah
mempunyai kawasan hutan yang ditunjuk untuk itu Sementara areal pemukiman, sawah serta kebun kelapa di Legon Pakis perlahan-lahan meluas akibat proses
transisi yang berlangsung selama 12 tahun tahun 1980 sampai 1992. Di mata warga Legon Pakis, keberadaan mereka yang “diijinkan” dikawasan TNUK
selama lebih dari dua dekade, dan besarnya investasi yang telah mereka tanamkan untuk membangun pertanian di Legon Pakis, telah menjadikan Legon Pakis
sebagai ‘tanah air’ dimana hidup bergantung. Ketergantungan tersebut sulit dibantah, jika dilihat dari hasil sensus aset agraria dan produksi pertanian di
kampung ini. Adiwibowo, dkk, 2009.
63
Tabel 6. Aset Agraria Legon Pakis Masyarakat di Dusus Legon Pakis
Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007 GAMBARANASETAGRARIAMASYARAKATKAMPUNGDI
WILAYAHKONFLIK
Jenis Pemanfaatan
Luas ha
Status Keterangan
”Pemilik” org
Penggarap org
Sawah 89,1 59
8 Penggarap rata-rata
memiliki sawah juga, meskipun tidak terlalu luas
Kebun Kelapa 30,421 56
- Kebun ini hanya ditanami
pohon kelapa saja Kebun
Campuran 83,675 56
- Umumnya kebun
campuran ditanami pohon kelapa juga
Total lahan pertanian
203,196
Rumah Tinggal
24,487 67 Total luas
227,683
LEGONPAKIS
Tabel 7. Produkivitas Sumberdaya Pertanian di Wilayah Legon Pakis
Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007
PRODUKTIVITASSUMBERDAYAPERTANIANDI WILAYAHLEGONPAKISSensus,2007
Jenis Komoditas
Volume Produksi per
tahun Frekuensi
Produksi per tahun
Nilai Produksi per tahun
Keterangan
Gabah 320,8 ton
1-2 kali Rp 705.760.000
Harga gabah Rp 2.200 per kg
Kelapa 752.840 buah
6 kali Rp 376.420.000
Harga kelapa per butir Rp 500
Kopi 5.930 kg
1 kali Rp 118.600.000
Harga Kopi Rp 20.000 per kg
Pete 26220
1 kali Rp 5.240.000
Harga pete Rp 20.000 per 100
papan empong Melinjo
280 kg 1 kali
Rp 840.000 Harga Melinjo Rp
3000 per kg Jengkol
161 kg 1 kali
Rp 322.000 Harga jengkol Rp
2000 per kg Mahoni
20 papan 1 kali
Rp 400.000 Harga mahoni Rp
20.000 per papan Jumlah bruto
Rp 1.207.582.000
Pada tahun 2009, dalam rangka pendampingan untuk penyelesaian konflik, dilakukan kajian ulang tentang sumberdaya ekonomi di Legon Pakis.
Berdasarkan pola sebaran pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria lokal, maka pola pelapisan ekonomi Rumah Tangga Petani RTP di Legon
Pakis dikelompokkan ke dalam 3 lapisan yakni, RTP golongan mampu, sederhana
dan tidak mampu. Menurut informasi yang digali di masyarakat diketahui bahwa
64 dari 73 RTP yang tercatat, 40 RTP masuk dalam kategori tidak mampu yang di
antaranya tidak memiliki lahan 5 RTP dan janda 8 RTP. Sementara, untuk golongan sederhana terdiri 16 RTP sedangkan untuk golongan mampu sebanyak
17 RTP. Selain ukuran pemilikan dan penguasaan lahan, profesi dan status sosial turut menentukan ukuran tingkatan kesejahteraan suatu RTP. Ukuran
kesejahteraan RTP di Legon Pakis dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 8. Ukuran Kesejahteraan Masyarakat di Dusun Legon Pakis
UkuranPenanda Mampu
kaya Sederhana
sedang Tidak Mampu
miskin
Sawah 21 kotak
16 – 21 kotak 0 – 16 kotak
Kebun Kelapa 500 pohon
50 – 500 pohon 0 – 50 pohon
Kebun kopi, cengkeh, Meninjo
Punya Tidak punya
Tidak punya Jenis pekerjaanstatus
sosial Ustadz, penadah, tokoh
masyarakat Petani
Petani dan buruh tani Jumlah RTP
17 RTP 16 RTP
40 RTP
Sumber: Kajian Sosial-Ekonomi Tim SAINS, JKPP dan Latin 2009
Data ini menunjukkan bahwa ada kondisi kesejahteraan yang belum merata lapisan masyarakat di Legon Pakis. Kemampuan pengelolaan dan akses
atas sumberdaya hutan dan daya adaptasi atas tekanan dan ancaman dari BTNUK menentukan tingkat kesejahteraan ini. Ketidakmerataan sosial-ekonomi ini masih
dialami oleh masyarakat Legon Pakis hingga sekarang. Hampir separoh kehidupan masyarakatnya tergolong miskin dan memiliki keterbatasan beragam
akses bagi kepentingan pemenuhan basic right mereka sehari-hari, seperti baik yang nyata bagi kehidupan mereka seperti kesehatan, pendidikan, informasi, juga
hal-hal yang lebih substansial yakni keamanan, keadilan dan kebebasan. Sebab mereka hanya punya satu pilihan untuk patuh dengan aturan kebijakan BTNUK,
mengingat kawasan mereka kini seratus persen berada di dalam kawasan TNUK. Padahal jika merujuk pada pemikiran Amartia Sen 2009, tanda
kemiskinan yang paling substansial adalah ketidakadilan, dan kebebasan, semata persoalan ekonomi. Di titik ini “masyarakat yang adil” mestinya dipahami
sebagai hasil dari institusi-institusi negara yang berjalan secara adil, dengan adanya pengaturan sosial serta hak-hak warga. Masih banyaknya penangkapan,
kekerasan, pembatasan dan tekanan-tekanan psikologis dari wakil Negara dalam
65 hal ini BTNUK, menyisakan beragam hambatan akses bagi peningkatan dan
kemajuan sosial-ekonomi warga. Selaras dengan pandangan Sen 2000 bahwa penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun
keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Dalam hal ini, kemiskinan diakibatkan oleh keterbatasan akses.
Masyarakat dibatasi pilihanya dalam menentukan keberlangsungan untuk kehidupannya. Apabila manusia dibatasi dan tidak diberikan akses maka itu
artinya manusia hanya melakukan apa yang terpaksa dilakukan bukan apa yang seharusnya dilakukan. Atas dasar itu, maka potensi untuk mengembangkan hidup
menjadi terhambat dan pada akhirnya menimbulkan kontribusi untuk menciptakan kesejahteraan bersama yang lebih kecil. Kondisi keterbatasan akses dan masih
banyaknya ketidakdilan akibat kebijakan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK selama ini telah menyebabkan proses ketidakmerataan
sosial-ekonomi warga di Legon Pakis.
66