102 Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan
sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan
mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di
kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan
mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa kejadian dan peristiwa sebelumnya--.Di sisi lain rejim BTNUK memiliki gaya
koersi dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan milisi sipil “Jawara” Banten dengan istilah Pam Swakarsa yang dikendalikan
melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik oleh beberapa senior BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan
“horizontal”. Kondisi semacam ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal
yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari BTNUK. Pada titik inilah strategi kolaboratif dalam pengelolaan kawasan
konservasi di kawasan TNUK diinginkan oleh masyarakat. Meski terdapat hal-hal yang spesifik terjadi di TNUK, namun pada irisan tertentu konflik dan cara
penyelesaian yang muncul bisa jadi memiliki irisan yang sama dengan fenomena umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan kepentingan yang berujung
konflik agraria di kawasan Taman Nasional Indonesia. Di satu sisi, tawaran pengelolaan Zona Khusus memiliki peluang untuk membuka dialog ke arah
kolaborasi yang menguntungkan kedua belah pihak masyarakat sekitardalam kawasan dan BTNUK.
Namun karena belum adanya kesetaraan pengetahuan dan kekuatan antara keduanya gagasan ini masih belum sampai pada kesetaraan. Sehingga dalam
momen tertentu, sebagaimana pertemuan di Hotel Kharisma, tahun 2010, masyarakat dipaksa harus menurut dan mengalah pada kepentingan pihak
BTNUK dan YABI untuk pemagaran Badak dan merelakan 110 ha lahan kebun campuran mereka masuk kawasan lagi. Dengan demikian proses menuju
pengelolaan kolaboratif mesti memenuhi prasyarat kesetaraan politik,
103 pengetahuan, tujuan, dialogis dan terbuka untuk saling dikritisi, sehingga dalam
prosesnya ada take and give secara seimbang. Dengan kata lain kolaborasi mesti berorientasi problem-solving, mutual benefit. Mensyaratkan mutual-trust, open
sharing of information, dan kreatifitas. Yang terjadi baru pada tahap akamodasi, sebab masih ada salah satu yang memiliki kekuasaan power lebih kuat dibanding
lainnya. Pasya dan Sirait, 2010. Dengan demikian, sulit diharapkan jika masih tahap akomodatif semacam
itu mampu menghasilkan penyelesaian konflik yang konperhensif dan bisa diterima kedua belah pihak. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk
pengulangan negosiasi dan membangun kembali ke arah idealisasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi, selama prasyarat-prasyarat di atas dapat
dipenuhi. Pada titik inilah aksi kolektif warga mesti mampu meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pada upaya negosiasi dan dialog yang setara
sekaligus mampu berjejaring lebih luas tidak hanya mampu sebagai preasure groups.
Secara umum pasang surut aksi dan perlawanan petani di Legon Pakis khususnya dan masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK dalam periode
waktu bentuk aksi dan faktor pendukungnya dapat disingkat dalam tabel berikut;
Tabel 10. Bentuk, Periode, Faktor PendukungPembentuk dan AksiTindakan
Perlawanan Petani
N O
Bentuk Perlawanan
Petani Periode Perlawanan
Faktor Pendukung dan Pembentuk
Aksi Tindakan Perlawanan
1. Diam-diam
Terselubung
Sebelum Penetapan Kawasan TN Era
Kolonial-Akhir Orde Baru
Banyak terjadi di sepanjang era Kolonial
sampai dengan masa akhir orde baru. Selain
banyak lokasi desa yang cukup terisolasi dari
dunia luar, juga menyebabkan belum
masuknya kelompok LSMNGO dan Aktivis
pendamping lainnya ke desa-desa sekitar dan
dalam kawasan TNUK 1. Ketiadaan intervensi
dari luar 2. Lokasi-lokasi desa yang
masih isolatif 3. Masih tersedianya akses
dan harmonisasi hubungan antara
masyarakat dan BTNUK yang masih
bisa saling dinegosiasikan
4. Belum adanya kelembagaan sosial
untuk media kolektif perlawanan.
5. Tekanan dan ancaman yang diterima
masyarakat dianggap belum mengancam
1. Ketidakpatuhan atas aturan dan peraturan
yang berlaku seperti; tetap membangun
rumah semi permanen, buat
tempat ibadah, buat jalan, saluran listrik,
dll
2. Ketidaksingkronan antara yang dikatakan
dan yang diperbuat 3. Gosip miring dan
pemberian julukan miring bagi petugas
BTNUK. 4. Mematikan tanaman
di pekarangan rumah secara diam-diam
104
batas subsistensi mereka.
memelihara ternak. 2.
Konfrontatif Terbuka
Awal Penetapan Kawasan TN- Puncak
Konflik sejak 1984, 1992-2007
Perlawanan bersifat konfrontatif mulai
terjadi sejak ada pergeseran batas
TNUK memakan sebagain dan seluruh
dusun termasuk di dalamnya kebun dan
sawah. Hingga terjadi korban penembakan
warga oktober 2006. 1. Semakin terhambatnya
akses dan kontrol akibat penetapan kawasan TN
dan pergeseran batas 2. Mulai masuknya aktivis
mahasiswa dan LSM Advokasi Hukum dan
Riset Partisipatoris 3. Mulai munculnya
kesadaran kolektif dalam kelembagaan
sosial 4. Semakin represifnya
tindakan penanganan BTNUK terhadap
aktifitas masyarakat sekitar dan dalam
kawasan 1. Melakukan aksi
massa bersama Aktivis Mahasiswa di
tinggkat lokal dan nasional
2. Kampanye dan mengundang ke
beberapa lembaga LSMNGO Hukum
dan Lingkungan Lokal-Nasional
3. Audiensi dengan pemerintah daerah
dan Pusat yang terkait 4. Pembentukan Serikat
Tani 5. Pendidikan Advokasi
dan Perlawanan 3.
Kolaboratif- Negosiatif
Pasca Penetapan Pasca Konflik Terbuka
2007- 2010
Fase ini dilakukan sejak ‘perlawanan
konfrontatif’ dianggap kontraproduktif,
menguras banyak energy, dana dan efek
balik yang merugikan keseharian warga
1. Masuknya kelomppok LSMNGO yang
mampu bermain dan memiliki kemampuan
diplomasi dua belah pihak Masyarakat dan
BTNUK.
2. Terbitnya Permenhut no 5 2006 tentang
pengaturan kembali Zonasi dalam kawasan
TN. Lebih khusus menggunakan peluang
Zona Khusus bagi pengakuan pemukiman
dan sarana pendukungnya.
3. Terbukanya kesempatan politik yang lebih besar
akibat pergantian Kepala Balai TNUK
4. Kesadaran untuk membangun hubungan
harmoni kembalai dengan BTNUK demi
kepentingan jangka panjang.
1. Pelatihan Pemetaan Partisipatif
untukmemetakan kembali wilayah
masyarakat untuk kepentingan Zona
Khusus
2. Pembentukan Tim 10 sebagai negosiator
perundingan dan pelatihan negosiasi
3. Penyusunan konsep tawaran Zona Khusus
sebgai win-win solution 4. Mengundang untuk
forum perundingan dan negosiasi multi pihak
5. Memperluas dukungan multi pihak
LSMNGO, Aktivis Lingkungan, Pemda,
dll untuk negosiasi menemukan ‘jalan
tengah; penyelesaian konflik.
105
BAB VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI
DAN MARJINALISASI PETANI
6.1 Dinamika Pengelolaan Kawasan Hutan Konservasi; Era Orde Baru dan Desentralisasi
Hutan, dalam beragam jenis pengelolaannya, termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional secara normatif disebut sebagai wilayah state acces akses
[kuasa] negara namun hakekatnya adalah open acces akses terbuka. Sebab, dalam banyak kasus pengelolaan kawasan hutan di Indonesia penguasa kehutanan
sangat ditentukan oleh seberapa kuat aktor utama mampu mempengaruhi kebijakan pengelolaan kawasan hutan baik dengan kekuasaan politik, ekonomi
maupun pengetahuan. Hal ini dapat dirunut pada potret historis kondisi pengelolaan kawasan kehutanan secara khusus dan pengeloaan sumberdaya alam
Indonesia yang dapat dikatakan sebagai “residual consequences” sisa-sisa akibat
85
dari warna zaman Orba, yang jika dilacak lebih jauh, merupakan warisan gaya pengeloaan kehutanan Kolonial Belanda. Peluso, 2009.
Simpul utama perubahan kebijakan pengelolaan kehutanan terjadi sejak zaman pemerintahan Orde Baru yang mengesahkan Undang-Undang Pokok
Kehutanan No. 51967 sebagai landasan untuk memanfaatkan hutan seluas 143 juta Ha atau hampir tiga perempat dari luasan daratan Indonesia. Berdasarkan UU
tersebut pemerintah memberikan Hak Penguasaan Hutan HPH kepada berbagai pihak, dengan mengabaikan hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan. Pada
saat kekuasaan Orba ini mudah dipetakan siapa yang mendapat akses utamanya, yakni kroni-kroni di sekitar rejim Orba. Merujuk Hariadi dkk 2006 investor
85
Istilah ini digunakan oleh Gunawan Wiradi, yang artinya bahwa kondisi di era reformasi sekarang ini hakekatnya merupakan bagain konsekuensi dari efek kebijakan yang dilakukan oleh
rejim Orde Baru. Dengan demikian sebenarnya, tidak jauh berbeda kondisi yang ada sekarang ini dengan masa Orde Baru, sebab banyak hal secara substantive wataknya masih Orde Baru,
misalnya soal pandangan konservasi hutan yang masih mengabaikan hak-hak dasar manusia berserta life space nya yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Lebih jauh lihat, Gunawan
Wiradi, Organisasi Kaum Tani Dalam Konteks Perubahan Masyarakat, disampaikan dalam acara Konferensi Nasional Gerakan Tani yang diselenggarakan oleh Pergerakan, pada tanggal 7
Desember 2011, di Bandung. Makalah Belum Diterbitkan
106 besar pada zaman Orba kebanyakan kerjasama dengan militer dan politikus-
birokrat yang mempunyai kaitan dengan dengan presiden Soeharto untuk memperoleh konsesi Ross, 2001.
Dalam kerjasama tersebut, militer dan politikus-birokrat biasa disebut sebagai “ongkang-ongkang di atas kursi” silent partner yang menerima ekuiti 20
sampai 25 tanpa ikut dalam kegiatan manajemen di lapangan, namun bertanggungjawab atas keamanan dari dan memberi perlindungan politik bagi
keberadaan HPH tersebut. Konsesi HPH yang dilakukan tanpa prosedur lelang antara 1967-1980 diberikan kepada 519 HPH dengan luas wilayah 53 juta Ha.
Sejak itu produksi kayu gelondongan log meningkat 470 dari 6 juta m3 pada 1966 menjadi 28, 3 juta m3 pada tahun 1973. Sampai dengan pertengahan tahun
1990-an, terdapat 10 perusahaan yang menguasai 228 HPH, meliputi 27 juta Ha hutan alam produksi atau 45 dari 60 juta Ha hutan yang dialokasikan untuk
HPH. Dalam hal ini, BUMN kehutanan Inhutani I, Inhutani II, dan Inhutani III menguasai lima konsesi HPH seluas 3,8 juta Ha. Kelompok pengusaha ini juga
memiliki 48 perusahaan kayu lapis dari 132 perusahaan kayu lapis dari 132 industri kayu lapis pada tahun 1990, atau kurang dari 40 kapasitas produksi
industri panel kayu Indonesia.
86
Pasca Soeharto runtuh pengaruh kekuatan ekonomi global, seperti IMF, Bank Dunia, CGI Consultative Gropus on Indonesia salah satunya dengan
Structural Adjustment Program SAP Program Penyesuaian Struktural kepada Negara-negara berkembang dan reformasi kebijakan kehutanan yang harus
dimasukkan sebagai salah satu syarat untuk resrukturasi hutang menjadi faktor global yang melanjutkan ketimpangan penguasaan sumberdaya hutan di
Indonesia yang berpusat pada segelintir penguasa modal dan politik nasional dan internasional.
Kondisi ketimpangan akibat pemusatan kekuasaan politik dan ekonomi di pusat medorong upaya desentralisasi, yang diwujudkan dalam UU Otonomi
daerah No. 22 Tahun 1999. Yang secara spesifik mengatur tanggung jawab politik administratif dari pemerintah daerah di setiap tingkat. Praktiknya, menyangkut
keuangan publik, suatu proporsi pendapatan 70 yang berasal dari eksploitasi
86
Data lebih detail tentang produksi dan ekspor kayu bulat 1965-1800 dan data Perusahaan HPH dapat dilihat dalam Hariadi dkk, Politik Lingkungan…., Op. Cit, hlm. 27 dan 28.
107 hutan dapat dipertahankan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota,
sedangkan pemerintah pusat harus mengalokasikan 25 persen dari pendapatan tersebut ke tingkat kabupaten 90 dan provinsi 10. Pemerintah daerah
diintruksikan untuk secara aktif mencari pilihan-pilihan lain untuk mengembangkan sumber kekayaannya sendiri.
87
Meski demikian, desentralisasi kekuasaan ini bukan berarti tanpa jebakan berdampak negatif. Secara normatif kebijakan desentralisasi mengasumsikan
pelimpahan yang lebih besar secara politik, ekonomi dan kewenangan pemerintahan di daerah sebagai antitesis atas kejayaan sentralisme kekuasaan
yang direformasi pada tahun 1998, mengandaikan sebuah hasil praktik-praktik pemerintahan yang baik, yang melibatkan partisipasi publik yang lebih luas dalam
pembangunan, namun sampai saat ini belum dapat berjalan ideal. Menurut Hadiz 2005, praktik desentralisasi justru kadang dapat menjadikan koordinasi
kebijakan nasional lebih kompleks, dan menjadikan berbagai jabatan direbut oleh elit-elit lokal.
Akibatnya, desentralisasi berubah fungsi menjadi pelayan perkembangan dari apa yang diistilahkannya dengan “Bentuk Desentralisasi Baru yang melayani
Jaringan-jaringan Patronase Predator newly decentralized, predatory networks of patronage” Hadiz, 2004, yang berpengaruh pada rumus-susun program dan
kebijakan di daerah.
88
Pandangan semacam ini dapat menjadi kacamata kritis untuk memeriksa praktik pengelolaan atas nama Otonomi Daerah yang sedang
berjalan saat ini, tak terkecuali dalam ranah pengelolaan sumberdaya alam. Meski demikian secara umum desentralisasi masih dapat menawarkan
sejumlah peluang bagi masyarakat di daerah untuk mendapatkan ruang aspirasi yang lebih besar dalam penyusunan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk
kawasan hutan. Desentralisasi juga mengarah pada akuntabilitas lebih besar di tingkat lokal, meningkatkan keadilan dan pada beberapa kasus, pemanfaatan
sumberdaya hutan secara lebih berkelanjutan. Semestinya, pemerintah yang terdesentralisasi akan lebih dekat kepada masyarakat dan oleh karenanya harus
87
Orlando Contreras dan Chip Fay, Memperkokoh… Op. Cit. hlm. 47- 48.
88
Lebih jauh lihat, Hadiz, Verdi, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca- Soeharto, LP3ES, Jakarta, 2005
108 lebih tanggap terhadap tuntutan lokal dibandingkan dengan skema pemerintahan
yang terpusat Contreras dan Fay, 2006. Namun, apa yang terjadi di TNUK memiliki dinamika lokal yang sedikit berbeda.
Otoritas BTNUK yang berada di wilayah kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten nampak kurang harmonis hubungannya dengan pemerintah daerah. TNUK
yang kawasan pengeloaannya adalah hutan konservasi masih merasa tanggung jawab dan keberadaannya adalah bagian struktural dari kepanjangan-tangan
Departemen Kehutanan pusat, dalam hal ini adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Kawasan Konservasi Alam PHKA, yang memiliki aturan dan batasan
tersendiri, tidak berhubungna langsung dengan kewenangan yang ada di daerah. Sementara hubungan-hubungan yang terjadi dengan pemeintah daerah lebih
bersifat koordinatif semata, tidak masuk pada persoalan pengelolaan dan pengurusan kawasan TNUK. Sehingga sedikit sekali pengalaman dan kerjasama
yang dilakukan antara pemerintah daerah dan BTNUK guna penyelesaian masalah dan konflik yang selama ini terjadi di kawasan konservasi TNUK. Jikapun terjadi
kerjasama lebih banyak pada soal pengamanan kawasan hutan dan kasus-kasus yang sudah termasuk kategori pidana serta penanganan keamanan lainnya.
Namun, pada saat proyek besar pemagaran listrik JRSCA yang di dukung pendanaannya oleh International Rhino Foundation IRF masuk ke TNUK, serta
merta dapat berkawin dengan rencana beragam pembangunan daerah untuk perbaikan infra struktur, berupa rencana pembangunan bandara, pelabuhan, dan
sarana pendukung lainnya dalam payung proyek bersama eko-wisata dengan Badak Jawa sebagai ikonnya. Sehingga penandatanganan proyek ini pada bulan
Juni 2010, dilakukan secara bersama-sama oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten dan Kepala Balai TNUK. Kejadian ini menjadi tonggak penting bagi
kolaborasi multi pihak pusat dan daerah dalam pengelolaan agenda bersama di kawasan konsevasi TNUK. Dan telah dikampanyekan sebagai satu agenda
unggulan daerah provinsi Banten. Sayangnya, dalam proses penyusunan dan pelaksanaan proyek tersebut
mengabaikan suara masyarakat kecil para petani yang hidup di sekitar dan dalam kawasan TNUK yang terkena dampak langsung dari proyek besar tersebut. Baik
109 yang terserobot sawah dan kebun campuran secara langsung,
89
maupun ancaman berkurangnya hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan sebagai ruang
hidup mereka secara turun temurun. Akibatnya, proyek pemagaran JRSJRSCA menimbulkan pro-konta dan konflik antara masyarakat di sekitar dan dalam
kawasan dengan otoritas TNUK hingga sekarang. Terlihat pada tingkat tertentu hubungan pemerintah daerah dengan BTNUK nampak kurang harmonis, namun
dapat bertemu dan sailng mendukung pada tingkat yang lainnya. Baik tidaknya hubungan-hubungan dan perubahan kondisi di era disentralisasi sekarang ini akan
mepengaruhi bentuk dan skema kolaboratif pengelolaan kawasan hutan konservasi ke depan hendak dilakukan bersama multi pihak. Sebab kini daerah
lebih memiliki kewenangan politik ekonomi dibandingkan pusat. Diantara sejumlah implikasi yang terjadi atas pengelolaan hutan, meliputi; aturan “main
baru” yang jelas pusat dan daerah, menurunnya kontrol dan kendali pusat atas daerah, alokasi penyelesaian konflik, wewenang penerbitan perijinan eksploitasi
sumberdaya alam, penyikapan atas dampak pengelolaan kawasan hutan bagi masyarakat lokal.
90
Praktiknya sejak era Orde Baru hingga era Reformasi sekarang ini, sebagian besar kebijakan pengelolan kawasan hutan, baik oleh pemerintah daerah
maupun TNUK, masih tidak banyak mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan di sekitar pinggiran dan dalam kawasan TNUK. Hal ini nampak
pada masih minimnya ruang hak dan akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar basic right mereka sehari-hari, salah satu contohnya adalah
masyarakat dusun Legon Pakis. Terutama kepentingan akses pemanfaatan sumberdaya lahan, akses pemanfaatan hasil kayu dan non kayu dan akses
kesehatan. Sebagai contoh, di Legon Pakis, akses terhadap penerangan listrik baru diberikan ijin sekitar tahun 2009 akhir, itupun dengan banyak prasyarat dan
tuntutan, dan akibat desakan beragam pihak. Padahal masyarakat Legon Pakis
89
Setelah mendapatkan desakan dari banyak pihak, menurut beberapa informasi dari warga Legon Pakis, bagi yang terkena lahan dan kebunnya akan dijanjikan ganti rugi yang sepadan. Namun,
hingga hari ini, masyarakat tidak menerima ganti rugitersebut, kecuali dana ‘perhatian’ sebesar 1, 5 juta. Dan tidak semua warga yang terkena dampakendapatka dana perhatia tersebut. sehingga
sempat menimbulkan kecemburuan sosial di antara warga sendiri, termasuk di Legon Pakis Hasil wawancara via telpon dengan warga di Legon Pakis pasca masuknya proyek JRSA, September
2011
90
Orlando Contreras dan Chip Fay, Memperkokoh… Op. Cit. hlm. 50-51
110 telah tinggal di dalam kawasan jauh sebelum hutan Ujung Kulon ditetapkan
menajadi Taman Nasional 1984. Dalam seluruh model pengelolaan kawasan hutan yang masih
konservasionis-developmentalistik semacam ini, tentu saja hak-hak dasar penghidupan masyarakat di sekitar maupun dalam kawasan hutan tidak menjadi
perhatian serius—untuk tidak mengatakan mengabaikan sama sekali--. Kondisi ini masih berlanjut pada beragam program dan kebijakan lain sejenis yang
dikembangkan dalam rangka dan atas nama pengelolaan kawasan hutan, baik kepentingan ekonomi, konservasi, isu perubahan iklim, atau proyek eko-wisata
dengan ikon Badak Jawa, sebagaimana diuraikan sebelumnya.
6.2 Skema dan Proses Marjinalisasi Petani
Secara teoritik politik lingkungan hidup dibentuk oleh sudut pandang utama; pertama, pandangan yang meletakkan lingkungan hidup sebagai komoditi.
Kedua, lingkungan hidup sebagai sesuatu yang harus dilindungi acardia. Ketiga, lingkungan hidup sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Multi pihak negara,
pengusaha, LSMNGO dan masyarakat bisa saling berbeda posisi sesuai kepentingan ekonomi dan politik masing-masing. Proses eksklusi masyarakat di
pinggiran kawasan hutan bukan hanya terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus konservasi negara TNUK dengan
masyarakat petani pedesaan tetapi juga terkait dengan domain paradigmatik atau bangun-susun pengetahuan yang mengendap dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut
oleh penguasa dalam mengurus penataan ruang di kawasan konservasi. Orientasi konservasi klasik yang mendewakan species sebagaimana dipraktikkan oleh
BTNUK dan para pendukungnya dan iqnorence atas kesejahteraan manusia di sekitar kawasan dapat menjadi simpul utama bagaiamana tata kelola dan
penguasaan sebuah kawasan konservasi diurus. Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi,
yang dapat berlaku juga pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah; penguasaanpengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga
komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya kekuasaan Weber, 1978 atau sebagai perwujudan kekuasaan negara atau
111 perusahaan korporasi. Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan
azaz konservasi TNUK dengan species utama Badak Jawa, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dengan tujuan utama menyingkirkan
masyarakat dari pinggiran hutan. Hutan masih dipersepsi dalam sudut paradigma konservasi klasik yang melihat kawasan hutan sebagai wilayah yang tidak
berpenghuni. Selama ini pengelolaan sumberdaya hutan oleh pemerintah dan swasta mayoritas memandang kawasan hutan sebagai kawasan kosong manusia,
hanya terdiri dari aneka ragam kayu komersial, flora dan fauna yang memiliki nilai tinggi secara ekonomi dan konservasi Tadjudin, 2000. Padahal Masyarakat
lokal adalah bagian sub-sistem hutan yang tak terpisah dan setara dengan tumbuhan dan binatang.
Pembatasan akses dan kontrol masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan
masyarakat dari ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian Ribot dan Peluso 2003: 1 akses diartikan sebagai kemampuan
untuk memperoleh manfaat dari sesuatu the ability to derive benefit from things. Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan
sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu “the right to benefit from things”. Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” “a
bundle of powers” berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” ”bundle of rights”. Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat
pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses
ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja.
Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso 2003, diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan
ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” bundle of powers dan “jaringan kepentingan” “web of powers” yang kemudian
menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai
mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang
112 atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Mengingat elemen-
elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan
waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-
beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda
91
. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami mengapa sebagian orang
atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh haknya terhadap
sumberdaya tersebut. Dalam sudut pandang ini, proyek JRS yang digusung BTNUK, YABI dan Pemerintah Pusat-Daerah dengan mengatasnamakan demi
konservasi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat, perlu dianalisa dan dipertanyakan ulang, siapa yang diuntungkan dalam proyek ini?
Merujuk pada Ribot dan Peluso 2003 dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property. Jika property lebih
pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan
dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property. Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu
antara akses dengan ‘property’, sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi
diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya, transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang , institusi,
atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya
maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak. Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara :pertama
kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain Webber 1978 dan Lukes 1986.
Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang- orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan
91
Nancy L. Peluso, Jesse, C Ribot, “A Theory of Access”, dalam Rural Sociology. June 3, 2003.
113 sosial. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses
harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi
dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan. Menurut Blaikie 1985 tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan
identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa
bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.
Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat Legon Pakis dan masyarakat lainnya di sekitar
kawasan TNUK lambat laun telah mendorong penurunan akses dan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari
sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut
mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang berwatak
konservasionis-developmentalistic tersebut ikut menghambat warga sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi lain,
kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal
92
yang telah hidup dan diyakini lama oleh masyarakat semakin terkikis dan akhirnya luntur akibat penggerusan paksa
aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari Barat. Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan
hak dan akses masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses pemiskinan yang semakin masif. Tanpa membongkar struktur ketimpangan-
ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi. Sebab, pada umumnya,
menurut Shohibuddin dan Soetarto 2009 kemiskinan oleh para perencana
92
Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen
penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman ed.
Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP, Jakarta: 2007, hlm. 11.
114 pembangunan dan pengambil kebijakan lebih sering dilihat sebagai sebuah
“kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”. Tanpa memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan mekanisme-mekanisme sosial
yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut bahkan dicipta kembali, maka penetapan level-level kesejahteraan maupun introduksi program-program
pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal dapat menjawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. Mosse 2007.
Kemiskinan hanyalah salah satu dari hasil proses eksklusi. Proses eksklusi ini tidak bisa hanya dilihat pada sudut pilihan “baik atau jelek” atau apakah suatu
hal yang menyenangkan atau tidak, sebab ia bukanlah opposisi biner dari inclusive, pun enclousure. Tetapi eksklusi lebih tepat dihubungkan dengan konsep
akses, sebagaimana dijelaskan Ribot dan Peluso 2003. Dalam pandangan di atas maka dapat dijelaskan, sebagaimana diuraikan pula dalam Hall, et.al 2011,
bahwa proses eksklusi bebeda dengan proses deferensiasi, baik dari segi proses maupun aktornya. Jika dalam deferensiasi, prosesnya adalah: Pertama, melalui
proses perubahan pada penajaman-penajaman persoalan perbedaan hubungan- hubungan produksi, ketimpangan akses atas tanah dan konsentrasi lahan land
consentration. Kedua, Perubahan-perubahan hubungan antara produser dan non produser yang dilihat dari bagaimana proses dan mekanisme dalam transfer dan
mekanisme ekstraksi surplus. Seperti; rent labor service, cash, kind, surplus value in wage, sale purchase, taxes, interests .Ketiga, Bentuk-bentuk
kehadiran sekaligus antara proses polarisasi dan deferensiasi.. Sedangkan para aktornya adalah: local powers Seperti, tuan tanah, penyewa, lintah darat,
pemungut cukai dan Negara.
93
Sedangkan dalam eksklusi prosesnya adalah: Pertama, melalui empat powers dominan yaitu: Regulasi regulation, Tekanan force, Pasar market,
Legitimasi legitimation. Kedua, Yang membentuk enam proses: 1 Regulasi akses atas tanah. Seperti sertifikasi, legalisasi aset, transmigrasi, dll ; 2 Ekspansi
spasial dan intensifikasi untuk usaha konservasi hutan dengan pembatasan untuk petanian. Seperti pelarangan aktifitas petani di sekitar hutan atas nama konservasi,
93
Derek Hall dkk, Powers…Op.Cit.
115 yang biasanya berakhir dengan bentuk-bentuk eko-fasism 3 ‘Boom crops’
bentuk baru dan konversi lahan untuk produksi monocrops. Seperti, Booming Sawit, Karet, Jarak, dll ;4 Konversi lahan untuk pemanfaatan post agrarian.
Seperti pembangunan Perumahan, Pertokoan, Perkantoran Mall, POM Bensin di lahan-lahan subur bekas pertanian, dll. 5 Formasi kelas agraria dalam “intimate”
dalam skala desa. seperti persoalan pribumi dan pendatang dan persoalan lain yang sangat intim di pedesaan 6 Mobilisasi Kolektif untuk mempertahankan
dan meneguhkan akses mereka atas lahan. Sedangkan actor dalam proses eksklusi ini adalah: Petani kecil, perkebunan skala besar, aktor-aktor negara, LSM
Transnasional, Lembaga Donor, Gerakan Sosial LokalNasional dan Perusahaan Transnasional dan Nasional.
Dalam kasus konservasi, apa yang terjadi di masyarakat pinggiran Taman Nasional Ujung Kulon TNUK barangkali dapat menjadi contoh. Bagaimana
tekanan force negara melalui Balai Taman Nasional Ujung Kulon BTNUK baik melalui regulasi regulations berupa kebijakan konservasi dan legitimasi
legitimation sebagai penguasa hutan konservasi negara, melakukan proteksi ketat bagi pelestarian dan perlindungan Badak Jawa yang dikatakan sebagai
warisan dunia yang sudah sangat langka dan hampir punah. Namun niat baik konservasi Rhino, telah nyata-nyata menyebabkan ekslusi bagi masyarakat yang
telah lama tinggal dan hidup bergantung dari sumberdaya hutan di sekitar TNUK, sehingga mereka makin hari kehilangan akses atas ruang hidup dan hak-hak dasar
basic of right mereka. Dengan pandangan semacam ini, dapat diperiksa dan petakan lebih lanjut
apakah kebijakan dan program-program atas nama konservasi di TNUK sejak sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional dan setelahnya, Kekuasaan-
kekuasaan powers apa yang dominan mempengaruhi kebijakan mereka? Siapa dan bagaimana atau dengan mekanisme apa kekuasaan tersebut dimainkan? Siapa
aktor utamanya dan dan siapa yang diuntungkan dalam beragam arena dan waktu? Namun yang sudah nampak jelas adalah bahwa masyarakat miskin di sekitar dan
dalam kawasan selalu dan tetap menjadi korban dan kelompok marjinal. Setidaknya terdapat empat bentuk perlakuan pemerintah yang
menyebabkan masyarakat menjadi “marjinal”. Pertama, pengingkaran terhadap