Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kecamatan Sumur

66 67

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon TNUK.

56 Babakan sejarah penguasaan ruang kawasan TNUK, langsung maupun tidak memiliki pengaruh signifikan bagi mekanisme pengelolaan kawasan konservasi dan bagaimana persepsi dan pengelolaan masyarakat di pinggiran kawasan hutan. Secara kronologis periodesasi tersebut dapat dipaparkan dalam beberapa tahapan historis. Periode awal era penguasaan Kolonial Belanda. Upaya perlindungan kawasan pertama kali ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 83 tahun 1919 tanggal 11 Juli 1919 dengan memberikan status perlindungan sebagai Suaka Alam pada Kawasan Krakatau. Kemudian pada tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature, semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan dimasukkan juga sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 60 tanggal 16 November 1921. Selanjutnya, pada tahun 1937, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 17 tanggal 24 Juni 1937, status Cagar Alam diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan tambahan wilayah Pulau Peucang dan Handeuleum –sehingga menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan. Dari sejarah pemukiman masyarakat di sekitar kawasan dapat disebutkan bahwa sejak periode awal kekuasaan Belanda ini kawasan Ujung Kulon telah dihuni oleh warga 6 desa Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. 56 Data ini diolah dari berbagai sumber, selain dari Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon, Laporan Advokasi Hukum PBHI, LSM Pendamping warga Sajogyo Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, LATIN juga hasil wawancara penulis dengan petugas TNUK dan warga di desa Ujungjaya, pada periode tahun 2008, dan 2010. 68 Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada tahun 1977. Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5 kampung: Cikawung Sabrang, Legon Pakis, Cikawung Girang, Sempur, Taman Jaya Girang. Mayoritas dari penduduknya bermata-pencaharian petani telah berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah lahan pertanian sawah dan kebun. Dari penuturan masyarakat, Kampung Cikawung Girang, Legon Pakis, Cikawung Sabrang merupakan hadiah upah kerja dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja pembuatan Lapangan Banteng dan jalan. Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran Desa Taman Jaya pada tahun 1982. terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diserobot oleh TNUK. Ujung Kulon diakui memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna. Atas dasar itu kemudian pada tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan Melalui SK. Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921. Pada tahun 1932, diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui Peta Tanah Milik PTM tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik cap singa bagi masyarakat. Pada tahun 1937, Status Cagar Alam Ujung Kulon- Panaitan diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Keputusan No. 17 Juni 1937. Tahun 1958, oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda. Periode kedua, era Suaka Alam dan Cagar`Alam berlangsung sejak tahun 1965 hingga 1984. Pada periode ini masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status Kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 48UM1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau 69 Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum Pulau Boboko, Pulau Pamanggan. Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16KPTSUM31967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Perluasan areal tersebut juga membuat pemukiman warga sejumlah desa menjadi bagian dari Kecamatan Sumur. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas. SK. Menteri Pertanian No. 39KPTSUM1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang terbagi beberapa desa di kecamatan Cimanggu kedalam kawasan Cagar Alam. Periode ketiga era Taman Nasional, sejak 1984 hingga sekarang. Sejak tahun 1984, Cagar Alam Ujung Kulon yang tadinya dikelola oleh Kehutanan biasa disebut masyarakat sebagai Bohir berubah dengan dibentuknya Taman Nasional Ujung Kulon TNUK melalui SK Menteri Kehutanan No. 96KPTSII1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon TNUK melalui SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SCEco5867.2.409. Sejak penetapan batas TNUK mulai berlaku, yang mengklaim wilayah pemukiman beberapa lahan garapan sawah dan kebun campuran warga mulai meningkat eskalasi ketegangan antara masyarakat di sekitar batas kawasan dengan BTNUK. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunansawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi pemukiman yang mula-mula akan direlokasi. Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang 70 awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan. Masyarakat Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Kampung Pamatang Laja. Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertaniansawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional mengalami intimidasi, kekerasan dari petugas Taman Nasional. Pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap. Kampung Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduknya menyusut menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya, dilarang membangun rumah jumlah rumah dilarang bertambah, sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot. Tahun 1984 saat program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga rumah, tanah pertanian, sekolah dsb. Emil Salim menjanjikan akan melindungi warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi. Namun, hingga saat ini janji Emil Salim belum terwujud, sementara pembatasan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan di TNUK, semakin meningkat. Kebijakan penetapan batas baru pengelolaan TNUK, tahun 1984 dan diperbarui pada tahun 1992, telah menciptakan sumbu konflik yang berlarut, antara pihak negara yang diwakili oleh pengelola Taman Nasional atau Balai Taman Nasional Ujung Kulon BTNUK dengan masyarakat yang telah hidup sangat lama di sekitar hutan TNUK. Simpul konflik yang terjadi bukan hanya 71 pada persoalan ketidakpastian sistem penguasaan pada pembagian batas wilayah mana yang menjadi milik TNUK dan mana yang menjadi milik warga, tetapi juga terkait dengan peruntukan lahan TNUK yang terbagi dalam zonasi-zonasi, yang meliputi wilayah pemukiman, lahan dan kebun warga setempat. Yang pada gilirannya berakibat pada ketidakjelasan pada hak atas tanah dan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak tepat. Perubahan rejim pengelola TNUK juga memiliki arti penting bagi terciptanya situasi-situasi yang mendorong proses sengketa agraria di TNUK yang masih terus berlangsung. Seiring terjadinya perubahan rejim pengelola kawasan TNUK, terjadi pula perubahan terhadap hak-hak agraria masyarakat setempat dalam mengakses sumberdaya hutan di TNUK. Jika sejarah penetapan TNUK ini ditelusuri, akan ditemukan bahwa proses penetapan kawasan yang kini menjadi TNUK, selain kerap tidak ‘partisipatif’ tidak melibatkan suara warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan --kawasan konservasi ini tidaklah berlangsung sekali jadi, tetapi bertahap. Sebagian wilayahnya sejak masa Kolonial ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam sebelum kemudian ditetapkan menjadi kawasan Konservasi. Namun ada sebagian wilayahnya yang status awalnya adalah kawasan hutan produksi, baru jauh belakang waktu kemudian ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam, dan terakhir baru ditetapkan sebagai kawasan konservasi Taman Nasional. Perubahan ini dapat dilihat pada gambar berikut; Gambar 5 57 Gambar 5. Perubahan Status Kawasan dan Rejim Penguasaan di TNUK 57 Tabel dikutip dari, Soeryo Adi Wibowo dkk, Isu Pemukiman....Op.Cit., hlm. 23. 72 Rejim konservasi TNUK dengan segenap peraturan legal formal yang dimiliki sebagaimana diuraikan di atas, telah sukses menempatkan satuan species flora dan fauna di dalam TNUK jauh lebih bermartabat daripada manusia- manusia yang hidup di sekitarnya. Pembatasan akses, teror hingga program relokasi baca: pengusiran paksa telah beberapa kali diprogramkan untuk menjauhan atau memisahkan masyarakat dari ekosistem hutan Ujung Kulon. Akibatnya, masyarakat di sekitar TNUK khususnya di tiga kampung; Legon pakis, Cikaung Sabrang dan Ciakung Girang, ketiganya berada di desa Ujung Jaya terbatasi jalur akses pemenuhan kebutuhan dasarnya. Baik infrastruktur; air, jalan, kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman yang layak. Di sisi lain, belum selesainya pemetaan zonasi dan batas wilayah peruntukan berakibat pula pada ketidaknyamanan dan ketakutan warga saat menggarap lahan sawah, kebun yang sebagaian besar telah ada sebelum Taman Nasional di tetapkan. Dengan demikian, sengketa agraria yang terjadi di TNUK telah menyumbangkan proses pemiskinan masyarakat di sekitar kawasan, khususnya yang terkait dengan akses ruang hidup, akses pengetahuan dan sumber keuangan, yang oleh Friedman 1992 disebut sebagai faktor-faktor yang ikut menentukan pemiskinan masyarakat. 58 Jika sumber agraria yang dikuasai secara tidak adil itu adalah kawasan sumberdaya alam di dalam Taman Nasional, maka ketimpangan agraria yang terjadi akan dialami oleh masyarakat di dusun dan desa di sekitar kawasan. Saat konflik agraria terjadi akibat incompabilities yang belum teratasi sampai ke akar masalahnya, maka yang merasakan dampak kemiskinannya pertama kali adalah masyarakat lemah yang tak punya kuasa di sekitar TNUK. Gejala semacam inilah yang menjadi gambaran umum pengelolaan sumberdaya alam di di dunia ketiga. Peluso 2006 menggarisbawahi bahwa kebanyakan sistem pengelolan hutan di Dunia Ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan di sekitarnya. Beberapa sistem negara bahkan memperparah 58 Friedman menyebut delapan faktor akses yang menentukan pemiskinan masyarakat yaitu; akses informasi yang tepat, pengetahuan dan ketrampilan, ruang hidup, jaringan sosial, surplus waktu, sumberdaya keuangan, organisasi sosial, instrumen kerja dan livelihood. Friedmann, John, Empeworment; The Politics of Alternative Development, Cambridge MA Oxford UK: Blackwell, 1992. 73 kemerosotan hutan karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan 59 . Begitulah gambaran umum yang juga terjadi pada masyarakat di beberapa dusun pinggiran kawasan TNUK. Sejak konflik agraria meletus secara terbuka tahun 2006--kesinambungan dari konflik-konflik kecil, individual, dan diam-diam yang telah terjadi sejak penetapan kawasan TNUK--, masyarakat di sekitar TNUK hidup dalam keterbatasan-keterbatasan akses ruang hidupnya. Dapat dikatakan letupan konflik tersebut hanyalah puncak gunung es yang kelihatan dari hamparan persoalan yang lebih luas yang tidak kelihatan 60 . Kasus-kasus sengketa kecil masih banyak terjadi di lapangan, baik antar pribadi warga dengan Petugas BTNUK, maupun kelompok masyarakat di sekitar kawasan yang tersimpan mengendap dalam batin dan menjadi catatan pribadi-pribadi yang menunggu akumulasi dan momentum untuk keluar; berontak di balik berbagai dimensi kemiskinan yang dialami warga. 61 Tentu saja lintasan sengketa agraria di atas hanyalah sebagian kecil saja dari potret episode panjang kompleksitas sengketa agraria di sekitar kawasan TNUK yang masih terus berlangsung dan ikut menyumbangkan proses kemiskinan warga di sekitarnya hingga kini.

5.2 Dinamika Konflik dalam Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di Kawasan Konservasi TNUK

Persoalan utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang ikut meningkatkan eskalasi sengketa agraria di sekitar kawasan Taman Nasional adalah benturan klaim atas identitas sumber-sumber agraria yang dimiliki masyarakat dan batas wilayah kelola BTNUK beserta sistem tenurial dan paradigma pengelolaan sumberdaya kawasan hutan yang masih mengabaikan 59 Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya…Op.Cit., hlm.8. 60 Penulis berkesempatan tinggal bersama live in selama tiga minggu lebih di beberapa dusun Legon Pakis, Cikawung Girang dan Cikawung Sebrang dan di sekitar kawasan TNUK dalam rangka “Riset Mandiri dan Pendampingan Konflik Agraria”Masyarakat sekitar Taman Nasional, di prakasai oleh lembaga Sajogyo Institute SAINS Bogor dan atas undangan tokoh masyarakat di Legon Pakis, Juni-Juli 2007. Melakukan revisiting beberapa kali dan masih berlanjut hingga sekarang dalam upaya advokasi dan mengawal proses mediasi konflik warga berbasis Zonasi Khusus untuk dinegosiasikan dengan pihak BTNUK. Sejak November 2009, hingga sekarang. 61 Untuk memahami lebih jauh multidimensinya kemiskinan ini, dapat menelusuri buah pikir Prof. Sajogyo dalam buku Mukhtar Sarman Ed, “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, Pusat P3R-YAE, 1998. 74 kesejahteraan manusia pinggiran hutan. Menurut Afiff 2005, masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan negara beserta birokrasi dan ‘wakil-wakil’nya dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan praktik-praktik adat setempat. Persoalan peminggiran masyarakat kampung dan desa di pinggiran kawasan TNUK selaras dengan lensa pandang ini. Historisitas keberadaan masyarakat Legon Pakis di kawasan pinggiran hutan Ujung Kulon dengan wilayah pemukiman, sawah dan kebun campuran mereka yang telah hidup secara turun menurun sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, hanya dilihat sebagai ancaman masalah bagi kelestarian ekologi hutan. Sehingga sewaktu-waktu dapat dihilangkan atas nama konservasi dan aturan legal kehutanan lainnya. Tanah mereka dianggap wilayah hutan negara, sehingga jika sewaktu-waktu Negara memintanya kembali, maka mereka tidak boleh menolaknya dan harus menyerahkan kembali. Begitulah seharusnya menjadi warga Negara yang baik. 62 . Atas nama “kewajiban warga Negara” masyarakat Legon Pakis dijauhkan dari “Hak Warga Negaranya” untuk hidup layak dan terpenuhi hak-hak dasarnya yang dijamin secara konstitusional. 62 Argumen seperti ini sering menjadi jurus pamungkas Petugas BTNUK ketika menghadapi tuntutan masyarakat pinggiran hutan atas hak hidup mereka atas kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran yangmereka garap selama ini. Hasil wawancara dan diskusi diskusi dengan masyarakat dan petugas BTNUK, akhir 2010. 75 Akar dari persoalan lainnya adalah pada bagaimana konsep konservasi kawasan hutan hendak difahami dan letakkan dalam pengelolaan ekosistem hutan. Merujuk pandangan Escobar 1998 bahwa wacana konservasi bukanlah wacana netral dan muncul dari ruang hampa. Membincangkan persoalan konservasi tak bisa dilepaskan dari aspek yang melekat di dalamnya yakni aspek kekuasaan, produksi dan makna, baik ditingkat global maupun lokal Brosius, 1997. Bagi sekelompok orang, konservasi adalah daftar jenis satwa atau tumbuhan langka. Bagi aktor lain, konservasi adalah upaya menjamin sumber ekonomi dan devisa negara. Sementara, aktor lain mengartikulasikan sebagai cara untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Artikulasi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa konservasi adalah ruang terciptanya relasi sosial. Hubungan sosial ini memuat kepentingan berbeda dari pihak yang terlibat. Kepentingan yang berbeda memberi peluang bagi pihak-pihak itu menggunakan kekuasaannya power. Dalam pandangan yang lebih kritis, wacana konservasi sering menuai kritik sebagai bias kepentingan negara maju, kepentingan kelas tertentu, dan dapat digunakan untuk memarjinalkan rakyat pedesaan Blaike, 1985; Escobar, 1996; Li 2002. Konservasi bisa menjadi alat hegemoni baru, dimana berbagai aktivis, donor, wakil pemerintah bisa bersepakat bersama Li, 2001. Namun, platform konservasi belum tentu disetujui masyarakat yang hidup langsung dengan keragaman hayati. Dalam pemahaman semacam ini maka membincangkan persoalan konservasi sumberdaya alam tidak bisa dipisahkan dari relasi sosial, kekuasaan dan dinamika ditingkat lokal berlangsung. Di sisi lain, ketimpangan struktur agraria menjadi penyumbang lain dari merebaknya konflik. Sejarah penguasaan kawasan konservasi di TNUK telah menunjukkan bahwa atas nama pemeliharaan dan pelestarian Badak Jawa, perluasan batas kelola dilakukan sepihak mengambil paksa wilayah life space masyarakat pinggiran kawasan hutan. Sejak kawasan hutan Cagar Alam Ujung Kulon ditetapan sebagai kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, pada tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992 dengan luas kawasan total 122.956 Ha, telah menelan seluruh area kawasan kampung Legon Pakis --salah satu kampung di pinggiran hutan dengan luas 261, 6 ha, terdiri dari kawasan pemukiman di huni 99 KK, pekarangan rumah, 76 pertanianlahan sawah dan kebun campuran, masuk menjadi wilayah konservasi TNUK, termasuk beberapa kampung lainnya yaitu kampung Cikaung Sabrang dan Cikaung Girang, kedua kampung ini berada di desa yang sama yaitu desa Ujung Jaya—meski kedua kampung terakhir hanya sebahagian saja wilayahnya yang terkena klaim batas baru penetapan kawasan TNUK-- 63 . Proses evolutif eksklusi masyarakat atas nama konservasi di kawasan TNUK langsung maupun tidak telah berdampak besar pada akses masyarakat terhadap wilayah hutan. Sebab, dengan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, maka sesuai ketentuan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta peraturan pelaksanaannya berlakulah sejumlah larangan kegiatan di dalam kawasan taman nasional sebagai berikut; Tabel 9. Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan Taman Nasional. 64 63 Untuk kawasan hutan Ujung Kulon, mulai ditetapkan sebagai Taman Nasional, dari status sebelumnya sebagai kawasan Cagar alam, sejak tahun 1984 dan perluasan wilayahnya di tetapkan pada 1992. Evolusi kebijakan dan perubahan tata kelolan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon TNUK ini bisa dilihat lebih jauh dalam Adi Wibowo, Isu Pemukiman...Op. Cit., hlm. 23. 64 Ibid, hlm. 13 77 Tabel di atas menjelaskan bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat terbatas sifatnya. Kedua Hak tersebut dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas ekosistem konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan sebagaimana tertera dalam tabel tersebut, telah merubah struktur dan relasi agraria masyarakat sekitar hutan. Perubahan ini membawa akibat besar pada kehidupan masyarakat di sekitar hutan yang turun temurun antar generasi telah membangun hubungan yang intim, harmoni dan ‘integratif’ dengan ekosistem hutan. 65 Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan akses dan kontrol masyarakat Legon Pakis sudah terjadi 66 , namun tidak seketat dan sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentuk- bentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror fisik dan psikis oleh polisi hutan dan Pam Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK ditetapkan. 67 65 Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh BOHER Badan Perhutani milik Belanda, lahan yang kemudian menjadi kampung tersebut adalah bentuk hadiah pemerintah Belanda kepada warga karena telah membantu proyek kehutanan Belanda di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus Setelah dikuasai RI. Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS termasuk Penulis, 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 66 Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, terror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga, 2008. 67 Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus Setelah dikuasai RI. Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak