Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon TNUK.

77 Tabel di atas menjelaskan bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat terbatas sifatnya. Kedua Hak tersebut dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas ekosistem konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan sebagaimana tertera dalam tabel tersebut, telah merubah struktur dan relasi agraria masyarakat sekitar hutan. Perubahan ini membawa akibat besar pada kehidupan masyarakat di sekitar hutan yang turun temurun antar generasi telah membangun hubungan yang intim, harmoni dan ‘integratif’ dengan ekosistem hutan. 65 Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan akses dan kontrol masyarakat Legon Pakis sudah terjadi 66 , namun tidak seketat dan sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentuk- bentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror fisik dan psikis oleh polisi hutan dan Pam Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK ditetapkan. 67 65 Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh BOHER Badan Perhutani milik Belanda, lahan yang kemudian menjadi kampung tersebut adalah bentuk hadiah pemerintah Belanda kepada warga karena telah membantu proyek kehutanan Belanda di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus Setelah dikuasai RI. Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS termasuk Penulis, 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 66 Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, terror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga, 2008. 67 Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus Setelah dikuasai RI. Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak 78 Kondisi semcam ini mejadi sumbu ketegangan dan konflik agraria dilahirkan yang masih terjadi hingga kini. Persoalan agraria adalah persoalan politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia 68 Cristodoulou, 1990, M. Tauchid, 2009, Wiradi, 2009 yang membutuhkan tindakan mendasar secara politik, yakni perombakan ketimpangan struktur agraria. Tanpa memahami dasar masalah ini, maka penyelesaian masalah-masalah sengketa agraria akan terjebak menjadi parsial, teknis administratif, dan formalistik 69 . Tak mengherankan jika persoalan kembali muncul secara fluktuatif timbul tenggelam menunggu momenum, seringkali membawa serta masalah turunan yang tak kalah rumit, seperti pengangguran dan kemiskinan. Kondisi sengketa agraria dan proses kemiskinan adalah satu bandul kausalitas yang berkelindan; saling terkait erat satu dengan lainnya. Menurut A.K Ghose 1983: 3, sebagaiamana dikutip Wiradi 2009, masalah pertanahan atau agraria secara umum adalah masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi, dan masalah herarki sosial. Mengungkap persoalan masalah agraria tidak bisa dilepaskan dari masalah turunan yang ditimbulkannya, yakni sengketa agraria, kemiskinan, dan pengangguran. yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS termasuk Penulis, 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 68 Lihat Wiradi, Seluk Beluk ......Op.Cit., hlm. 1. 69 BTNUK pernah mencoba menyelesaikan konflik dan memadamkan tuntutan pengakuan life space warga Legon Pakis dengan cara memindahkan masyarakat transmigrasi lokalrelokasi, misalnya pemindahan warga Legon Pakis pada tahun 1979 ke Kampung Pematanglaja, Desa Karangbolong, Kecamatan Cigeulis. Tetapi pada tahun 1983 mereka kembali ke Legon Pakis lagi karena lahan dan fasilitas yang diberikan tidak seperti yang dijanjikan, sehingga tidak layak untuk hidup dari pertanian sebagaimana dilakukan di Legon Pakis. Hasil wawancara dengan waraga Legon pakis, akhir 2007. Menurut data yang diperoleh di lapangan, proses relokasi hanya dilakukan pada belasan keluarga dari Legon Pakis, khususnya para warga yang merupakan pendatang baru, berasal dari luar Banten. Sementara penduduk yang telah lama tinggal di Legon Pakis tetap bertahan di kampung. Sebagaian besar kelompok keluarga yang relokasi tidak kerasan tinggal di tempat baru, selain lahan nya tidak sesubur di Legon Pakis, fasilitas infrastruktur yang dijanjikan pemerintah tak kunjung datang. Namun, mereka meresa malu untuk kembali ke Legon Pakis. Meskipun ketika masa panen tiba, mereka tetap bersilaturrahmi, sebagian menjadi buruh panen ke Legon Pakis. Dalam proses Relokasi ini, warga yang pindah tidak lagi memiliki lahan di tempat semula. Ketika mereka tidak tahan dan kembali ke daerahnya sendiri, lahan di tempat relokasi yang ditinggalkan statusnya hanya dibiarkan saja. hasil wawancara dengan warga dan aparat desa di Legon Pakis, tahun 2009 79 Pada dasarnya sengketa agraria adalah suatu situasi proses dari interaksi antara dua atau lebih individu atu kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Dalam konteks agraria objek yang diperebutkan adalah tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang dan udara yang berada di tanah yang bersangkutan. Mengacu pada batasan definisi di atas, pada dasarnya semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasiankesenjangan terkait sumber-sumber agraria, khususnya empat bentuk kesenjangan utama yaitu, kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling bertentangan Wiradi, 2009. Namun, faktor pemicunya bisa beragam, di antaranya, pembangunan yang tidak seimbang, kelemahan sistem hukum, dampak industrialisasi, hak atas tanah yang tidak jelas, kesenjangan ekonomi antar daerah, penguasaan kekuatan ekonomi oleh suatu kelompok etnis tertentu dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat 70 . Proses politik tata ruang TNUK dengan beragam kebijakan dan aturan pembatasan akses dan kontrol masyarakat pinggiran atas ruang hidup live space masyarakat pinggiran hutan atas kekayaan sumberdaya sekitar hutan yang berjalan terus menerus berimplikasi pada penyuburan proses kemiskinan yang bersifat relasional. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama- tama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang Mosse 2007. Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Kenyataan kemiskinan relasional akibat dari penciptaan politik tata kuasa ruang di kawasan konservasi Taman Nasional berkontribusi pada penciptaan ketimpangan struktur agraria yang menjadi embrio dari bentuk-bentuk persoalan sengketa agraria. Masih banyaknya, anak-anak yang kurang gizi di masyarakat akibat akses kesehatan yang minim, tingkat pendidikan yang rendah akibat akses pendidikan yang kurang, sarana air bersih, listrik, rumah yang tidak layak serta akses sumber-sumber matapencaharian yang masih tidak stabil akibat 70 Wiradi, Seluk Beluk… hlm. 194-195. 80 identitas lahan yang belum diakui menjadi realitas faktual yang ditemukan dalam keseharain masayarakat di Legon Pakis. Sifat evolutif petani dan daya adaptasi masyarakat petani pinggiran kawasan memungkinkan mereka tetap mampu survival, dalam kondisi secara ekonomi. Namun ketika kemerosotan ekononomi yang bersifat mengejutkan dan drastis serta tindakan kekerasan yang bersifat massif yang dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat di Legon Pakis telah menjadi pemicu perlawanan mereka atas penguasa TNUK. Perubahan tata batas kelola TNUK yang memakan 100 wilayah life space mereka, teror, kekerasan dan ketidakamanan yang semakin intens menjadi sumber bara perlawanan masyarakat Legon Pakis. Yang berpuncak pada amok massa oktober 2007. Sejak peristiwa kelabu oktober 2007, hubungan disharmoni warga pinggiran hutan khususnya di kawasan Legon Pakis dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon BTNUK semakin tajam. Konflik tersebut telah menciptakan teror baru, ketakutan dan ketidakamanan warga, baik dalam kehidupan sehari-hari dalam aktivitas bersawah dan berkebun maupun dalam aktivitas keseharian lainnya. Sehingga disadari atau tidak juga berpengaruh pada terhambatnya akses kebutuhan dasar mereka; dalam beragam dimensinya. Kondisi ketidaknyamanan dan ketidakamanan warga Legon Pakis semakin parah karena ketiadan kelembagaan dan organisasi sosial yang menopang dan mampu manjadi disementasi sosial sekaligus wadah untuk ikatan bersama secara kolektif “ke dalam” antar warga di satu sisi, dan organisasi kelembagaan sosial sebagai wadah dan pusat “ideologisasi”, pubikasi, kampanye perlawanan dan perjuangan mereka ‘keluar’. Sampai hari ini realitas konflik dalam skala yang lebih kecil; penangkapan paksa dan penahanan warga dengan dugaan ‘illegal logging’ dan perambahan hutan masih berulang. 71 71 Pada 10 April 2009, tiga orang dari Ujung Jaya ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor Sumur- Pandeglang, Banten, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon TNUK, padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Hal yang sama juga terjadi pada Agustus 2009, 5 orang warga kampung Ujung Jaya ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Lebih jauh lihat, laporan Advokasi Hukum Konflik TNUK, IHCS dan KOMNAS HAM Jakarta, 2009. Pada akhir 2009, 3 orang warga Legon Pakis di panggil dan diinterogasi Polsek Cibaliung dengan dugaan menggarap lahan yang sudah ditinggalkan. Januari-Februari 2011, pembabatan tanaman warga terjadi untuk kepentingan pemagaran proyek dari Yayasan Badak Indonesia YABI, beserta bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi guna mencari persetujuan warga untuk proyek ini, termasuk pada jaringan LSMNGO yang mendampingi warga. Hasil kunjungan lapang penulis, Februari 2011. 81 Bisa difahami jika masyarakat Legon Pakis terus melakukan perlawanan untuk menuntut pengakuan hak hidup mereka di pinggiran kawasan TNUK. Selaian klaim sosio-historis mereka yang tinggal jauh lebih lama daripada penetapan TNUK, secara ekonomi sumber mata pencaharian mereka yang mengandalkan hidup dari pertanian sawah dan kebun campuran semakin hari semakin membaik dan mampu menjamin subsistensi mereka. Sebagaimana diuraikan dalam Bab sebelumnya. 72 . Kini, tantangan dan ancaman terbaru bagi kehidupan masyarakat di Legon Pakis adalah poyek bernama Javan Rhino Sanctuary JRS adalah gagasan dan upaya sekelompok konservasionis untuk melestarikan species badak jawa Rhinoceros Sondaicus yang hingga kini hanya berjumlah 28 – 64 individu di dunia; tidak lebih dari 8 individu di Vietnam1 dan 28 – 56 individu di Indonesia. 73 Badak Vietnam hidup di Cagar Alam Cat Loc, berdekatan dengan Taman Nasional Cat Tien, sedangkan di Indonesia, badak jawa hidup di Taman Nasional Ujung Kulon TNUK, Kabupaten Pandeglang, Banten. Menurut Kepala Balai TNUK, lokasi penangkaran badak Jawa dipusatkan di area 3.000 hektare dari luas habitat populasi badak Jawa di TNUK sekitar 38 ribu hektare. Lokasi penangkaran tersebut berada di kawasan Gungung Honje bagian Selatan, yakni dengan cara dilakukan pemagaran beraliran listrik setinggi 2 meter sepanjang 24 kilo meter. Tujuan ekowisata Badak Jawa ini akan menjadi awalan bagi pembangunan sarana infrastruktur lainnya di sekitar Banten, seperti Bandar Udara dan tambahan pelabuhan laut bagi wisatawan yang akan ke TNUK. Sebagimana diungkapkan oleh Gubernur Banten, dalam acara peresmian penangkaran badak Jawa Rhinocerus Sondaicus di Pulau Peucang di Kawasan TNUK, 22 Juni 2010. Dengan adanya daerah tujuan objek wisata tersebut, juga akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan untuk mendorong perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan. Selain 72 Lihat Bab IV, Kondisi Sosial Ekonomi DusunLegon Pakis, Tabel hasil sensus Sajogyo Institute, 2007. 73 Sensus berbasis pengamatan jejak mendata 40-60 individu Badak Banten di TNUK, akan tetapi pengamatan dengan kamera dan video secara sistematis hanya bisa mengidentifikasi 28 individu Badak Banten WWF Indonesia, unplished data. 82 itu juga, objek tersebut akan mendukung pengembangan objek wisata lainnya di Provinsi Banten di antaranya Tanjung Lesung dan Pantai Anyer. 74 Argumen “eko-wisata” demi kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat ini pada praktiknya, ternyata mengabaikan hak hidup dan sumber mata pencaharian utama masyarakat pinggiran kawasan hutan yang menjadi korban utama rencana pemagaran yang memakan sebagian lahan garapan sawah, kebun campuran dan menghilangkan akses masyarakat atas sumberdaya hutan 75 . Selain pengabaian hak hidup dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan hutan, secara konsep konservasi proyek ini masih menjadi polemik di kalangan rimbawan. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah apakah program JRS ini menjadi langkah maju ataukah justru langkah mundur bagi konservasi?. Apakah proyek ini tindakan Konservasi ataukah Pidana Konservasi? 76 Rencana proyek JRS ini telah menjadi simpul konflik baru bukan hanya masyarakat pinggiran hutan dengan pihak BTNUK, tetapi sudah melibatkan multipihak dari “pendukung” masing-masing yang berkonflik. Berikut gambar rencana pemagaran JRSCA dan rencana Pengelolaan Zona Khusus ebagai tawaran penyelesaian konflik, yang tertabrak rencana proyek kurang lebih, 110 ha terdiri dari awah dan kebun campuran warga. 74 Acara peresmian ini juga di dihadiri dan di tanda-tangani oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan. Metrotvnews.com, Serang, 22 Juni 2010. 75 Dari hasil Kajian Tim SAINS, JKPP dan Latin di lapangan dengan melakukan pemetaan partisipatif dan FGD Forum Groups Discussion , tidak kurang 110 ha, lahan warga di Legon Pakis Terkena rencana proyek JRS ini. Laporan Tim Kajian, 2010. Selain memakan ratusan hektar sawah masyarakat Legon Pakis, penebangan dan pengrusakan kebun campuran milik masyarakat Legon Pakis banyak yang ditebang untuk rencana pemagaran JRS. 76 Tulisan kritis tentang persoalan ini bisa dilihat dalam Timmer Manurung dan Retno Styaningrum, Analisis Hukum Proyek Javan Rhino Sanctuary JRS: Tindakan Konservasi atau Pidana Konservasi?. 2011 Selain menyoroti argumen konservasi dan ekologi proyek JRS, tulisan ini juga mempertakan secara kritis legalitas hukum yang banyak dilanggar oleh proyek ini. Makalah belum diterbitkan. 83 Gambar 6. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS JRSCA Tim Era, 2010 Keterangan: 1.Garis warna “merah tua”menunjukkan garis batas Peta Zona Khusus Warga 2.Garis warna “ungu muda”menunjukkan jalur pemagaran JRCA. 3.Luasan Zona Khusus wargayangterkena rencana pemagaran seluas :110ha dari 261,611ha Gambar 7. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS JRSCA yang menabrak wilayah Zona Khusus yang ditawarkan masyarakat Legon Pakis JKPP, SAINS, LATIN, 2010