Politik Tata Ruang dan Sumberdaya Alam
32 Selain itu, berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda berdasarkan
sistem ekonominya. Marzali membagi dua pandangan ilmuwan yang berbeda satu sama lain acuannya. Pertama, berangkat dari pendapat Firth, Marzali mengatakan
bahwa petani mengacu pada suatu sistem ekonomi yang khas yang memfokuskan pada sistem ekonomi petani, yaitu sistem ekonomi dengan teknologi dan
keterampilan sederhana, sistem pembagian kerja yang sederhana, hubungan dengan pasar yang sangat terbatas, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan
secara non-kapitalsitik, skala produksi kecil, hubungan produksi lebih bersifat personal dan keagamaan lebih diutamakan dari pada aspek materi, dan
seterusnya.
38
Untuk para aktor-aktornya, petani yang dimaksudkan oleh Firth adalah seluruh masyarakat pedesaan di negara-negara sedang berkembang beserta
sistem eknominya.
39
Kedua, berangkat dari pendapat Wolf dan Ellis, Marzali mengatakan bahwa petani setidaknya mengacu pada jenis mata pencaharian hidup yang khas.
Wolf
40
berpendapat bahwa yang disebut petani adalah mereka yang masuk pada golongan petani pemilik-penggarap. Pendapat ini kemudian disempurnakan oleh
Ellis yang berpendapat bahwa petani adalah rumah tangga petani yang hidup dari tanah milik sendiri dan dikerjakan sendiri, terkait kepada pasar secara partial, dan
pasar tersebut tidak sempurna. Sementara itu, Sajogyo berdasarkan studi empirik yang ia lakukan Survei
Agro EkonomiSAE, definisi petani cenderung kepada pendapat yang dikemukan oleh ilmuwan Antropologi, Ekonomi Moral Scott, Marx dan Weber dengan
beberapa unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut, yaitu: pertama, petani adalah komunitas yang mempunyai pola budaya spesifik antropologi, kedua, petani
merujuk ke sifat ketergantungan sosial tinggi yang mencirikan komunitas petani, ketiga, petani cenderung dekat dengan garis subsistensi dahulukan selamat,
keamanan security dan kesejahteraan welfare, keempat, petani adalah mereka– petani–yang menguasai dan memiliki tanah.
41
Dari SAE yang dilakukan oleh
38
. Firth dalam Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
MT Felix Sitorus et. al.Penyunting, Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi, Yayasan Akatiga: Bandung, Cetakan Pertama, 2002. hlm. 36.
33 Sajogyo dan beberapa pengertian petani di atas, Sajogyo membagi tiga lapisan
sosial masyarakat petani di pedesaan Jawa, yaitu: petani kayapengusaha petani kepemilkan lahan seluas 0,5-1 Ha dan di atas 1 Ha, petan gurem kepemilikan
lahan di bawah 0,5 Ha dan buruh tani tidak memiliki lahan sama sekali. Sedangkan dalam kajian Studi Dinamika Pedesaan SDP, petani didefinisikan
pada dua fokus, pertama, petani adalah pengusaha-pengolah tanah, dan kedua, petani adalah mereka-petani-yang menguasaimemiliki tanah.
Dari segi aktifitas, petani adalah orang yang terlibat langsung dalam proses cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam. Dalam
formasi sosial dewasa ini yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil, kelompok terakhirlah yang paling tidak memiliki kekuasaan. Diantara jumlah penduduk
Indonesia yang paling banyak mengisi formasi sosial terutama kelompok masyarakat sipil dan yang paling tidak memiliki kekuasaan adalah kaum petani.
Sedangkan gerakan radikalisasi petani merupakan gambaran gerakan tindakan yang dilakukan oleh dan dengan cara-cara khas kaum petani. Tindakan
perlawanan dan kekerasan dapat dilakukan karena beberapa asumsi antara lain, perasaan kecewa yang terakumulasi karena system yang dianggap tidak
memberikan nilai keadilan. Dari ketidakadilan tersebut memunculkan kesenjangan sosial dan terakumulasi menjadi sebuah momen anarkis para pelaku
kerusuhan, pendudukan, dan penguasaan. Model gerakan radikalisasi yang ditampilkan petani adalah model gerakan Perlawanan Nekad meminjam istilah
Anton Lucas, walaupun perlawanan mereka tergolong pasif namun seringkali juga menampilkan dengan model gerakan fisik dengan melakukan upaya-upaya
menentang, pendudukan perusahaan, pengumpulan massa dengan jumlah ribuan orang.
Sejak peralihan zaman dari orde lama menuju orde baru dan reformasi, kaum petani merupakan sebuah kekuatan besar yang ngambang sehingga sangat
sarat potensi sebagai komoditi politik. Pangan sebagai produksi petani merupakan komoditi politik dari rejim ke rejim pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya
kebijakan pemerintah yang jarang memihak petani, maka kondisi ini akan menciptakan potensi-potensi radikalisasi petani yang memungkinkan mengarah
pada terjadinya revolusi oleh kaum petani. Dan kondisi-kondisi tersebut sangat
34 dipengaruhi oleh kesenjangan dan ketidakadilan kebijakan yang dilakukan oleh
rejim penguasa yang ada. Banyak kasus-kasus yang tidak pula terselesaikan menyangkut eksisistensi diri sebuah komunitas, tentu saja dalam hal ini sangat
merugikan petani. Dan fenomena-fenomena demikian menyulut, terkumpul dalam diri dan menjadi pilar-pilar perlawanan menjadi potensi radikalisasi petani menuju
lahirnya revolusi kaum petani. Kehadiran petani sebagai suatu komunitas mempunyai ciri-ciri dinamika
yang tidak dapat disamakan dengan komunitas lainnya dalam masyarakat. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, dinamika petani sangat terkait dengan sistem ekonomi,
sosial, budaya dan politik yang mereka anut dan sudah mejadi kepercayaan yang melekat. Sistem ekonomi petani secara khusus didefinisikan oleh Wolf dan Ellis
yang mengatakan bahwa petani peasant memiliki arti yang khas yaitu petani subsis-tensi yang hidup dari usaha pengelolahan tanah milik sendiri.
42
Petani dengan sosial-kutural, menurut Marzali, terdiri dari: 1 secara umum masyarakat
peasant berada di antara masyarakat primitif dan masyarakat modern; 2 peasant adalah masyarakat yang hidup menetap dalam kominitas-komunitas pedesaan; dan
3 peasant berada pada tahapan transisi antara petani primitif dan farmer.
43
Sementara itu, dari dimensi politik penjelasan Kuntowijoyo dapat menjadi acuan yang baik. Kuntowijoyo mengatakan bahwa terdapat dua tesis untuk
memahami keterlibatan politik dari petani, pertama, tesis yang menekankan adanya polarisasi masyarakat pedesaan yang susunan kelasnya terdiri atas tuan
tanah dan petani penggarap, yang keduanya berada dalam kedudukan kesenjangan, dan kedua, tesis yang menekankan ketegangan kultural, yaitu antara
mereka yang kuat agama santri dan yang tidak taat beragama abangan.
44
Pendapat Kuntowijoyo di atas, diperkuat dengan penelitian sejarah yang dilakukan oleh Kartodirdjo mengenai pemberontakan petani Banten. Menurutnya,
pemberontakan petani Banten tidak hanya berkisar pada persoalan konflik ekonomi dari stratifikasi sosial tertentu, akan tetapi lebih dari itu, pemberontakan
yang terjadi tidak lain merupakan suatu konflik sosial–budaya yang kemudian
42
. Wolf dan Ellis dalam Marzali, A., Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Journal Antropologi No. 54, 1993.
43
. Marzali, Ibid, 1993.
44
. Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang,Yogyakarta, 2002.
35 berimbas kepada konflik politikkekuasaan, yang akhirnya melahirkan sebuah
pertarungan sosial antara stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Banten saat itu.
45
Untuk itu, fenomena konflik atau pemberontakan di atas, dari sudut pandang agraria, menurut Sitorus 2002 tidak dapat dipisahkan dengan struktur
agraria, yang mana antara subyek atau pelaku baca: petani tidak dapat dipisahkan dengan obyek atau sumber-sumber agrariaya. Subyek agraria dapat
dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 1 komunitas sebagai satu kesatuan dari unit- unit rumah tangga; 2 pemerintah sebagai representasi negara; dan 3 swasta
private sector. Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria tersebut melalui
institusi penguasaanpemilikan tenure institutions. Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja, dalam
hubungan-hubungan agraria. Sekaligus dimensi kerja itu menunjuk pada artikulasi kepentingan-kepentingan sosial eko-nomi masing-masing subyeknya
berkenaan dengan penguasaanpemilikan dan pemanfaatan sumber agraria tersebut.
46
Dalam ranah teoritik khazanah perlawanan petani dalam ruang lingkup gerakan sosial pedesaan dapat dikategorikan secara garis besar menjadi dua;
Pertama gerakan sosial pedesaan lama yang berbasis teori klasik petani. Kedua, dapat dikategorikan sebagai kelompok teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru
GSPB dengan ciri-ciri tertentu. Untuk kategori gerakan social pedesaan lama sebagiman dirumuskan oleh beberapa teoritikus klasik Shohibuddin, 2009 di
antaranya; 1 Scott 19761979 menjelaskan ciri-ciri khusus Ekonomi Moral yaitu: Tatanan sosial yang didasari oleh tertib moral subsistensi yang memberikan
jaminan keamanan subsistensi minimum. Dan Risk aversion sebagai karakter pokok masyarakat tradisional. Sehingga ciri Pemberontakan Petaninya adalah: a
Tatanan kolonialisme melahirkan: eksploitasi, diferensiasi sosial, dislokasi agraraia dan kemerosotan moral. b Pemberontakan petani: respon niscaya untuk
45
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta,
1984.
46
. MT Felix Sitorus et. al.Peny., Op.Cit, hlm. 36.
36 mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi
kapitalisme. 2 Popkin 1979 petani Rasional: a Masyarakat tradisional yang ditandai solidaritas moral adalah ilusi.
Masyarakat pra-kapitalis tak kurang eksploitatif ketimbang kolonialisme. b Para petani memiliki rasionalistas untuk memberikan tanggapan yang berbeda-
beda atas kapitalisme yang menyediakan berbagai kesempatan yang berbeda-beda. Perlawanan petani bukan bersifat restorative, tetapi: a Petani melakukan
perlawanan dalam upaya mencari jalan untuk mejinakan kapitalisme, lalu bekerja di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu. b Dalam upaya ini, para
pemimpin gerakan dan elit sosial bertindak sebagai entrepreneur politik. 3 Paige 1975 Kepentingan kelas: a Petani berada pada situasi nyata di dalam suatu
proses produksi, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan lainnya. b Inilah yang mendasari kepentingan kelas yang berbeda-beda yang
tidak ada kaitannya dengan rasionalitas atau moralitas tindakan mereka. Ciri Ekonomi Moral masih melekat yang menimbulkan: a Pemberontakan agraria dan
bentuk-bentuk ekspresi perlawanan petani akan terjadi manakala: i suatu kelas penguasa tanah berkuasa melulu atas dasar penguasaan tanahnya, ii para petani
dihambat kemungkinan mobilitas vertikal, iii kondisi kerja dan karakter pedesaan petani memungkinkan pembentukan solidaritas. b Perlawanan petani
itu, tergantung pada tipe struktur kelas agraria yang melingkupi, bisa mengambil bentuk rebellion, labour reform movement, dan commodity reform movement.
Sedangkan kategori kedua, yang dapat dikategorikan sebagai kelompok teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
1 Webster 2004: a Aksi kolektif pedesaan tidak lagi dapat disempitkan sekedar sebagai perjuangan-perjuangan petani. b Garis batas spasial dari petani
yang pernah ada telah diporak-porandakan oleh migrasi musiman; mobilitas petani generasi muda; diversifikasi dan komodifikasi produksi agraria; munculnya
pola-pola konsumsi baru dengan berbagai implikasi budaya, sosial dan ekonomi yang menyertainya; dan tentunya, akses kepada bentuk-bentuk baru transmisi
budaya dengan telivisi, radio, dan kadangkala juga, yang lebih mutakhir adalah internet. 2 Petras 1997: Suatu generasi baru pimpinan petani yang terdidik
muncul dan berkembang lebih setahun belakangan ini dengan kemampuan