11
1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Nampaknya, hingga kini, kawasan hutan masih menjadi arena pertarungan kepentingan multi pihak yang menyebabkan beragam konflik tenurial masih kerap
terjadi. Menurut data HuMa 2011
20
, tercatat 85 kasus konflik terjadi dikawasan hutan yang tersebar di 10 Provinsi di Indonesia. Dalam konflik ini melibatkan
pertarungan beragam aktor baik para petani dan masyarakat adat, dengan Perhutani, para pengusaha HPH, HTI, Taman Nasional, dan dengan Kementerian
Kehutanan
21
. Konflik tenurial kehutanan ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti pelanggaran terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah
hutan sebagai hutan negara secara sepihak oleh Kemenhut maupun pemerintahan kolonial. Jantung persoalannya adalah pada ketidakpastian ‘aturan main’ yang
ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Secara garis besar, ada beberapa masalah kehutanan yang pada akhirnya
menyebabkan konflik ternurial terus berlanjut dikawasan hutan. Pertama, adalah masalah hak atas tanah atau masalah tenurial. Kedua, masalah yang berkaitan
dengan tertutupterbatasnya akses masyarakat untuk masuk dan mengambilmemanfaatkan hasil-hasil hutan. Ketiga, adalah masalah lingkungan,
yaitu rusaknya hutan akibat ulah manusia yang sewenang-wenang memperlakukan hutan. Kondisi konflik semakin diperparah oleh benturan
kepentingan yang semakin kompleks akibat dari kenyataan bahwa secara de jure kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto
masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan
20
Laporan akhir tahun tentang Konflik Tenurial di Kawasan Hutan, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis HuMa, Jakarta, 2011.
21
Jika dilihat dari aktor yang terlibat terdapat sembilan kategori konflik; 1Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk danatau ditetapkannya wilayah adat
sebagai kawasan hutan negara; 2 Konflik antara masyarakat vs. Kemenhut vs. BPN. 3 Konflik antara masyarakat transmigran vs. masyarakata adatlokalvs. Kemenhut vs. pemerintah daerah
vs. BPN. 4 Konflik antara masyarakat petani pendatang vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah. Misalnya konflik karena adanya gelombang petani yang memasuki kawasan hutan dan melakukan
aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut; 5 Konflik antara masyarakat desa vs. Kemenhut. Misalnya konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa; 6 Konflik antara calo tanah vs.
elite politik vs. masyarakat petani vs. Kemenhut vs. BPN. 7 Konflik antara masyarakat lokal adat vs pemegang izin. 8 Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izinizin lain seperti
pertambangan dan perkebunan. 9 Konflik karena gabungan berbagai aktor 18. Lebih jauh lihat, Menuju Kepastian dan eadilan Tenurial, Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
Tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah Mereformasi Kebijak Penguasaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia, Edisi revisi 2011, hlm. 23-24.
12 hasil hutan Contreras dan Fay, 2009. Akibat konflik, adalah munculnya
kekerasan yang sebagian besar menimpa masyarakat yang hidup disekitar hutan, kriminalisasi terhadap masyarakat yang tinggal disekitar hutan, dan munculnya
masalah sosial yakni kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan. Dalam kasus di masyarakat petani sekitar dan dalam kawasan TNUK,
selain persoalan tenurial, terkait batas kelola dan kepemilikan lahan, pihak otoritas TNUK dalam ragam kebijakan konservasinya masih mengabaikan hak dan akses
masyarakat atas sumberdaya hutan. Padahal masyarakat telah hidup secara turun temurun dan bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Dove 1983 hal ini
merupakan contoh dari apa yang disitilahkannya sebagai “politic of ignorance” dari pemerintah, dalam hal ini otoritas TNUK. Akibatnya, masyarakat perlahan
namun pasti tereksklusi dari ruang hidupnya sendiri. Demi menuntut hak dan akses mereka yang makin terampas, aksi perlawanan mereka lakukan dengan
beragam pilihan cara dan strategi dalam konteks kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini hendak mengungkap dan mendalami lebih jauh tentang bagaimana aksi petani dalam kontestasi politik
penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK. Untuk menjawab persoalan utama tersebut maka studi ini hendak hendak menelusuri tiga
pertanyaan penelitian sebagai berikut; 1. Bagaimanakah konteks historis yang melatarbelakangi lahirnya kontestasi
dalam penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK? 2. Bagaimanakah ragam kepentingan multi pihak dikontestasikan dalam
politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, sehingga berkontribusi pada proses eksklusi masyarakat sekitardalam
kawasan TNUK? 3. Bagaimanakah bentuk-bentuk aksi dan strategi perlawanan petani, dalam
merespon kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK?
13 Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian di atas maka
studi ini bertujuan untuk; 1. Menjelaskan dan menganalisa konteks historis yang melatarbelakangi
kontestasi antara masyarakat di pinggir dan dalam kawasan TNUK, khususnya kampung Legon Pakis dengan pihak Balai Taman Nasional
Ujung Kulon BTNUK beserta para pendukung masing-masing dalam konteks politik penataan dan penguasan ruang di kawasan konservasi
TNUK. 2. Mengurai dan menjelaskan peta kepentingan konservasi, ekologi dan
ekonomi dan para aktor berkontestasi dalam konteks penataan dan pengusaan ruang di kawasan konservasi TNUK.
3. Menejelsakan dan menganalisa beragam bentuk bentuk-bentuk aksi, strategi dan perlawanan masyarakat petani di sekitardalam kawasan
konservasi TNUK, khususnya masyarakat petani Legon Pakis dan sekitarnya dalam merespon politik penataan dan penguasaan ruang
konservasi di TNUK.
14
15
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam
Secara umum konsep konservasi memiliki makna yang dinamis seiring dialektika pengetahuan para perumus konsepsi konservasi dan kontes yang
melatarbelakangi dialektika pengetahuan tentang konservasi. Konsep-konsep konservasi kini mengalami perluasan definisi. Menurut MacKinnon dalam
Alikodra 2010, konsep konservasi yang modern adalah suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini
berdasarkan adanya dua kebutuhan; pertama, kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk
melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini ada yakni memahami konservasi
sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam artian tertutup bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan.
Paradigma yang baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konservasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi
keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan
turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan
kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat
manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan
lingkungannya Alikodra 2010. Ini merupakan salah satu pandangan konservasi ‘klasik’ yang masih melihat manusia sebagai ancaman daripada potensi solusi
bagi pengelolaan kawasan hutan.
16 Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra 2010, manusia seharusnya
mengkhawatirkan fenomena berkurangnya keanekaragaman hayati karena tiga alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan species dominan
di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi semuanya yang telah turut menemani tinggal di alam semesta. Kedua,
manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan, obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.
Ketiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem secara alami, seperti pemeliharaan komposisi gas-gas di atmosfer, proses fotosintesa yang
membuat bumi mengalami kecukupan oksigen. Effendi 2001 mengamati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman
terhadap kawasan konservasi. Ia mengatakan bahwa miskonsepsi itu dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan
sumberdaya alam yang hilang dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pemerintah menunjuk suatu areal
sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konservasi
tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya resources valuation dapat
digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan
mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai alternatif pilihan penggunaan lahan, termasuk kawasan konservasi.
Konservasi sumberdaya alam di kawasan TNUK bertujuan untuk pelestarian species Badak Jawa atau popular dikenal dengan sebutan Rhino, alasan
perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah kawasan hutan
alami dengan kekayaan hutan yang melimpah bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, kawasan TNUK adalah common property yang akan mudah disalah
gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok pengguna yang bertindak atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang rumput milik Hardin,
pemecahan permasalahan common property untuk mencegah tragedy of common
17 adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan sentralisasi atau privatisasi
sumberdaya alam tersebut Hardin 1968. Selain kedua pendekatan tersebut, Ostrom 1990 dalam Van Vugt 2002 mengemukakan pendekatan ketiga berupa
rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang diorganisir dan diatur oleh pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom mengupayakan agar kelompok-
kelompok utama yang berada dalam situasi yang saling bergantung satu sama lain ini mampu mengorganisir dan mengatur dirinya sendiri untuk memperoleh
keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi kendala adanya kelompok pendompleng free rider, tak mematuhi peraturan shirk, atau oportunis.
Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses
individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun
demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam
mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama; individu tidak percaya sistem yang diberlakukan mampu menghentikan mereka
yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu mengkhawatirkan adanya praktik korupsi dan eksploitasi oleh pemerintah itu
sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki alternatif pilihan untuk menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi
menjadi sistem yang sangat tidak populer Van Vugt 2002. Menurut Ostrom dalam Van Vugt 2002, sistem sentralisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi
permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada.
Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuankearifan lokal untuk memonitor kondisi sumberdaya dan merencanakan aturan yang
optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya Van Vugt 2002. Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan Taman Nasional di
Indonesia mengalami permasalahan baik soal pendanaan maupun dalam menghadapi ilegal logging dan perambahan wilayah. Menurut Riyanto 2005,
beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah: 1
18 Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi
sumberdaya alam; 2 Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan suaka alam dan pelestarian alam; 3 Pendanaan dalam bidang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim,
sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut. 4 Peran serta masyarakat di dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati masih
rendah. Menurut Sumardja 2004, kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia
memang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak menerima anggaran reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan
dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif
pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konservasi yang disebut Integrated Conservation and Development Project ICDP yang
didukung oleh Bank Dunia. Begitupula proyek penangkaran Badak untuk tujuan eko-wisata yang diresmikan tahun lalu oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten
hasil kolaborasi Yayasan Badak Indonesia YABI, Internasional Rhino Foundation IRF dan BTNUK yang disebutkan membutuhkan dana 6 milyar,
adalah salah satu upaya untuk mendatangkan dana bagi pengelolaan konservasi di TNUK. Disatu sisi hal ini membantu bagi pengurusan kawasan konservasi, namun
jika hal itu menjadi ketergantungan dan pelaksanaannya tidak memahami prasyarat konservasi secara utuh, justru akan menjadi masalah baru bagi multi
pihak yang berkepentingan dengan TNUK. Di dalam konteks kasus TNUK -dan mungkin pada umumnya di kawasan Taman Nasional lainnya- yang menjadi
korban penderita adalah masyarakat yang hidup di pinggirandi sekitar kawasan konservasi, yang dipaksa dengan beragam cara untuk menyesuaikan diri dengan
tujuan dan target proyek, yang biasanya tanpa mengindahkan hak dan kepentingan dasar subsistensi mereka. Demikianlah yang terjadi di wilayah kawasan kampung
Legon Pakis. Proses marjinalisasi masyarakat di pinggiran kawasan hutan bukan hanya
terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus
19 konservasi negara TNUK dengan msayarakat petani pedesaan tetapi juga terkait
dengan domain paradigmatik atau bangun susun pengetahuan yang mengendap dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut oleh penguasa dalam mengurus penataan
ruang di kawasan konservasi. Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi,
yang dapat berlaku juga pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah; penguasaanpengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga
komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya kekuasaan Weber, 1978 atau sebagai perwujudan kekuasaan Negara atau
perusahaan korporasi. Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan azaz konservasi Taman Nasional dengan species utama Badak Jawa Bercula Satu
inilah, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dan menyingkirkan masyarakat dari pinggirandalam kawasan hutan.
Secara teoritis persoalan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi tidak bisa dilepaskan dari paradigma pengelolaan hutan yang dipakai
oleh otoritas pengelola Taman Nasional, sebab pandangan pengelola terhadap hutan dan kenyataan yang hidup di dalamnya berpengaruh terhadap sistem
pengelolaan hutan yang dipakai. Setidaknya terdapat tiga kelompok pandangan dominan dalam pengelolaan hutan; Pertama, Pandangan Berbasis Ekologis.
Kelompok ini menempatkan hutan sebagai sebuah kawasan ekosistem yang berfungsi sebagai kawasan kehidupan tidak hanya untuk makhluk hidup yang
tinggal di dalamnya, namun secara global berfungsi juga sebagai paru-paru dunia. Maka, keberadaan hutan dan fungsi utamanya itu harus dijaga dan dilestarikan
secara berkelanjutan, sustainability. Kedua, pandangan Eko-Politik. Pandangan ini melihat bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki nilai dan
manfaat ekonomis. Pandangan ini memberi arahan bahwa pengelolaan hutan sebagai sumberdaya ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan. Hutan dipandang sebagai sumber bahan baku produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan.
Dengan demikian, segala hal yang dianggap menghambat pencapaian tujuan tersebut mesti dihilangkan. Ketiga, pandangan Sosial-Budaya. Padangan ini lebih
menitik beratkan pada fungsi dan potensi hutan sebagai bagian dari kehidupan
20 keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kehidupan hutan dipandang
sebagai suatu kegiatan kehidupan dengan nilai-nilai dan ritual kemasyarakatan termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan menuju
keberlanjutannya untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat manusia di dalamnya, dan di sekitarnya.
22
Dilihat dari tiga model pandangan di atas, kasus pengelolaan TNUK lebih terlihat dominannya padangan yang kedua; nalar eko-politik. Digtum
pembangunanisme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi cara melihat dan memperlakukan Sumberdaya Alam, dalam hal ini kuasa atas
TNUK, yang lebih berorientasi ekonomistik. Sehingga segala peluang yang dapat menunjang pemanfaatan dalam meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya
akan terus dilakukan, baik melalui regulasi, kebijakan dan usaha-usaha ekonomis lainnya dengan ragam pihak pengusaha, swasta dan juga pemodal asing yang
segaris dengan ‘ideologi’ pembangunanisme yang dianut. Sebaliknya, segala hal yang diangap menghambat dan menghalangi pencapaian keuntungan ‘ekonomis’
ini akan dengan sengaja baik halus maupun kasar akan dihilang-paksakan. Dalam sudut pandang yang serupa, model konservasi sumberdaya alam
secara teoritis jika dilihat dari aliran pemikiran school of thought terdapat tiga aliran besar yang berpengaruh yaitu; konservasionis, eko-populis dan
developmentalis Witter dan Bitmer, 2005. Aliran pemikiran pertama konservasionis bergumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara
hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekologi. Pada dasarnya pemikiran ini mengangap bahwa penduduk
setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Aliran
pemikiran kedua, eko-populis berargumen bahwa masyarakat adat dan lokal adalah penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga
mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku
konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodoks mengenai ilmu-
22
Karyono, Pemberdayaan.....Op.Cit, hlm. Vii.
21 ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap
pengetahuan lokal. Sementara aliran ketiga developmentalis mempunyai anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan,
sehingga penanganan dan kebijakanya lebih berwatak ‘pembangunanisme’. Mereka beranggapan bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat
masyarakat lokal, sedang kaum konservasionis dianggap tidak memperhatikan persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan konservasi
23
. Bentuk-bentuk teror, pembatasan akses melalui regulasi, peningkatan
kontrol oleh Polhut yang dipersenjatai dengan senjata api, dan pemaksaan dan preasure lain dalam usaha untuk ‘mengkosongkan’ wilayah TNUK baik dengan
merelokasi warga sekitar hutan maupun mendesak dan mempersempit gerak kehidupan pemukim di sekitar TNUK semakin hari semakin intensif dilakukan
merupakan bukti bagaimana pandangan konservanisonis masih dominan di anut pengelola TNUK. Pada titik inilah tarik ulur ketegangan antara ruang ekonomi
dan ruang ekologi dalam mekanisme saling meniadakan zero sum game satu sama lain terjadi. Program yang menekankan peningkatan ekonomi akan merusak
fungsi ekologis dan sosial dari SDA, sebaliknya, program yang mengutamakan perlindungan SDA secara berlebihan dan abai atas fungsi ekologis dan sosialnya
berakibat pada terkurangnya manfaat ekonomi.
24
Atas nama komuditas ekonomi dengan payung ‘konservasi’ berwatak pembangunanime, kesejahteraan warga pemukiman di kawasan TNUK diabaikan,
bahkan jika perlu ‘dianggap tidak ada’. Nampaknya nalar developmentalisme juga masih menjadi cara pandang dominan dalam mempersepsi kawasan konservasi
dan masyarakat di sekitar Taman Nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana minimnya pengembangan corak pandang eko-populis dalam
pengelolaan lahan konservasi. Padahal sudut pandang inilah yang memberi peluang besar bagi penghormatan yang utuh atas ekosistem hutan beserta mahluk
hidup yang ada di sekitarnya. Dalam kerangka pemetaan paradigma pengelolaan sumberdaya alam semacam inilah yang akan dipakai untuk melihat kontestasi
kepentingan dan aktor yang bertarung dalam konteks penataan dan penggunaan kawasan konservasi TNUK hendak ditelisik lebih jauh dalam penelitian ini.
23
Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik Op.Cit.
24
Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik....,Ibid., hlm 46-47.