Skema dan Proses Marjinalisasi Petani

120 Merujuk pandangan Karl Polanyi 1944 dalam karya klasiknya The Great Transformation, menegaskan, bahwa tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah dan alam sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan goncangan-goncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlajutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Memasukkan tanah dan juga tenaga kerja dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar, dengan sendirinya akan melahirkan gejolak perlawanan. Seturut dengan dasar pandangan Polanyi di atas, meski kondisi masyarakat Legon Pakis secara sosiologis merupakan masyarakat yang “cair” akibat belum terpenuhinya prasyarat sebagai sebuah masyarakat yang solid secara sosial ekonomi, ternyata tetap mampu menumbuhkan kesadaran dan melakukan perlawanan sebagai respon atas politik pengelolaan dan penguasaan kawasan TNUK yang mengeksklusi dari ruang hidup mereka. Aksi perlawanan dengan beragam strateginya muncul karena mereka hendak dipaksa terpisah dari hubungan panjang dan turun temurun dengan tanah dan sumberdaya hutan ruang hidup mereka selama ini. Dengan beragam jalan- jalan kebijakan konservasi dan aksi kekerasan yang nampak ternaturalisasikan. Sehingga ketidakadilan struktural yang terjadi nampak dipermukaan nampaknya seperti wajar-wajar saja. Klaim tanah negara dan atas nama konservasi pemagaran Badak Jawa membolehkan pengambilalihan lahan warga, pengusiran dan relokasi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan sebagaimana dialami masyarakat Legon Pakis menjadi salah satu contohnya. Dengan beragam cara, otoritas TNUK menyelubungi kebijakan tersebut sehingga, di mata masyarakat, hal itu adalah wajar, sebab BTNUK adalah wakil Negara di wilayah hutan. Namun, sebenarnya telah mengabaikan hak warga negara yang hidup di wilayah tersebut yang juga harus dihormati, sebagaimana mandat konstitusi UUD 1945, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. 121 Dengan demikian, secara empirik dan teoritik titik penting yang bisa menjadi kontribusi dalam kasus aksi petani di TNUK setidaknya terletak pada dua hal; pertama, upaya menelusuri dan memaparkan bagaimana proses naturalisasi kekerasan fisik dan non fisik yang berujung pada ketidakadilan struktural, mencipta konflik dan proses eksklusi masyarakat petani di sekitar dan dalam kawasan konservasi Taman Nasional. Kedua, menelusuri dan menjelaskan upaya-upaya keras masyarakat petani pedesaaan di kawasan konservasi yang “rapuh” secara sosial-ekonomi, membangun aksi perlawanan mereka secara bertahap, kemudian mampu menawarkan konsep dan argumen untuk membangun proses negosiasi multi pihak secara terus menerus kepada otoritas pengelola Taman Nasional. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kasus marjinalisasi petani yang terjadi di masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK adalah satu bentuk contoh apa yang dikemukakan oleh Hall, Philip, Li 2011 sebagai bentuk proses eksklusi masyarakat petani atas nama konservasi. 122 123

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi pihak di kawasan konservasi TNUK dipengaruhi oleh benturan ragam sistem pengetahuan dan paradigma konservasi yang dianut para aktor dan melekat pada kepentingan serta tujuan yang ingin dicapai. Para pemangku kepentingan di BTNUKpara pendukungnya nampak lebih berwatak konservasionis-developmentalistik sementara masyarakat petanipara pendukungnya bercorak eko-populis. Watak paradigmatik ini menentukan pola hubungan, model dan produk politik kebijakan serta program pengelolaan, penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, termasuk posisi masyarakat di sekitardalam kawasan TNUK. Hal lain yang menjadi latar historis kontestasi multi pihak adalah persoalan relasi kekuasaan yang timpang unequal power relation antara masyarakat dan badan otoritas TNUK. Di satu pihak otoritas TNUKpara pendukungnya sebagai “wakil negara” beserta klaim kewenangan berikut argumentasinya. Di pihak lain, masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUKpara pendukungnya sebagai “warga negara” beserta hak dan kewajibannya. Kontestasi ini terkait erat dengan beragam kepentingan sosial, politik-ekonomi di tingkat lokal, nasional dan internasional secara simultan dengan proyek pembangunanisasi. Bentuk kontestasi meliputi persoalan politik tata batas dan tata kelola, perebutan pemanfaatan sumberdaya hutan, pertarungan ideologi konservasi-ekologi dan pro-kontra atas masuknya proyek-proyek pembangunan daerah. 2. Ragam kepentingan multi pihak dipertarungkan dalam beragam konteks dan tingkatan. Baik dalam konteks kebijakan politik, ekonomi, ekologi dan konservasi yang ada di tingkat lokal maupun nasional. Terdapat dua simpul 124 moment kontestasi; penetapan kawasan TNUK 1984 dan proyek pemagaran Badak 2010. Kontestasi multi pihak di TNUK dilandasi oleh beberapa hal; Pertama, pespektif atas manusia di sekitardalam kawasan TNUK yang masih dipandang sebagai ‘ancaman’ daripada ‘solusi’ dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua, sumberdaya hutan konservasi TNUK difahami sebagai “kawasan yang unik, khas dan utuh untuk dilindungi dan awetkan” yang tidak boleh ada sentuhan tangan manusia. Meskipun di sisi lain sudah mulai muncul pemahaman bahwa sumberdaya hutan sebagai ‘aset pembangunan’ commodity. Namun, kedua pemahaman ini sama-sama mengabaikan pemahaman konsep hutan sebagai ‘konstruksi sosial’, antara masyarakat dan ekositem di sekitarnya, yang meniscayakan ruang hidup life space dan bagian integral ekosistem hutan. Akibatnya, pengelolaan kawasan konservasi TNUK lebih ke arah model pengelolaan semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang bertaut erat dengan kepentingan politik-ekonomi dan agenda pembangunanasisasi di tingkat daerah, nasional dan internasional dalam beragam variasi dan bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa beragam proyek- proyek atas nama ekologi dan konservasi berikut argumenasinya secara simultan juga merupakan bagian tak terpisahan dari kepentingan proyek ekonomi-politik berikut argumenasinya. 3. Aksi petani dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, dengan beragam bentuk pilihan strategi perlawanannya sangat ditentukan oleh kemampuan artikulatif atas persoalan yang dihadapi, sumberdaya manusia, pengetahuan, power relation, modal sosial-ekonomi yang dimiliki masyarakat petani dan karakter rejim yang dihadapi. Akibat fragmentasi secara sosial-politik dan belum terpenuhinya syarat-syarat “monolitik” sebagai sebuah gerakan petani, aksi perlawanan masyarakat petani Legon Pakis memiliki dinamikanya sendiri. Dari pilihan bentuk perlawanan diam-diamterselubung, konfrontasi hingga memilih bentuk aksi perlawanan yang lebih bercorak negosiatif kolaboratif. Pilihan strategi tersebut merupakan bagian dari kalkulasi rasional petani yang lebih bersifat dinamis daripada pilihan statis dan mutlak. Sangat ditentukan dan 125 tergantung pada daya cerdas hitungan tingkat resiko, sensitifitas adaptasi situasi dan power struggle yang dimiliki masyarakat petani dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. 4. Orientasi dan dinamika kebijakan pengelolaan kawasan hutan termasuk di dalamnya adalah kawasan konservasi sangat ditentukan oleh kondisi internal dan ekternal. Secara internal struktur perubahan politik, madzhab ideologis yang dianut dan kepemihakan rejim penguasa menjadi faktor utamanya. Sedangkan secara eksternal pengaruh dan intervensi kekuatan- kekuatan politik-ekonomi global beserta program dan agendanya menjadi faktor pentingnya. Praktik politik penataan, pengelolaan dan penguasaan ruang kawasan konservasi oleh negara beserta aparatusya, masih kuat dihinggapi “politic of ignorance” politik pengabaian yang memutus hak dan akses petani atas sumberdaya hutan. Akibatnya, para petani mengalami proses marjinalisasi dan eksklusi dengan beragam kekuasaan powers sekaligus, baik regulasi regulation, force tekanan dan legitimasi legitimation dari ruang hidup mereka sendiri. Proses marjinalisasi dan eksklusi masyarakat petani terjadi melalui beragam skema yang mengatanamakan dan demi kepentingan konservasi. 7.2 Saran Dari uraian pembahasan dan kesimpulan di atas, maka beberapa saran yang diperlukan diantaranya; 1. Para aktor yang terlibat dalam pengelolaan kawasan TNUK penting untuk memaknai kembali definisi atau merubah pardigma konservasi. Dari arti dan fungsi konservasi yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragamanhayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial-ekonomi budaya jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkesinambungan. Dengan demikian tujuan konservasi tidak hanya demi aneka species konservasi itu sendiri, tetapi juga menjadi keharusan di dalamnya upaya peningkatan kesejahteraan manusiamasyarakat sekitardalam kawasan yang menjadi satu bagian tak 126 terpisahkan dari matarantai ekosistem pengelolaan kawasan konservasi. Tanpa menegakkan dua fungsi konservasi itu, maka tujuan konservasi tidak akan sampai pada tujuan idealnya. Model konservasi yang tidak memisahkan kawasan hutan dengan masyarakat disekitarnya inilah yang sebut sebagian pakar sebagai salah satu ciri konservasi khas Indonesia. 97 2. Pemerintah Kemenhut dan BTNUK perlu mengkaji ulang akar persoalan konflik tenurial yang semakin marak di banyak kawasan Taman Nasional di Indonesia umumnya, dan TNUK khususnya. Sebab selama ini solusi, pendekatan dan strategi yang ditawarkan jarang menyentuh akar masalah utamanya, yakni ketimpangan agraria beserta ketidakadilan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya kawasan hutan. Nampaknya dibutuhkan satu model kebijakan politik-struktural yang bersifat “pro poor land policy” daripada kebijakan ekonomi pembangunanisasi dan represi, apalagi model pendekatan ‘keamanan’ yang terbukti makin membangkitkan resistensi masyarakat sekitardalam kawasan konservasi. Perlunya memperluas ruang bagi inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal guna terus mencari bentuk hubungan kolaborasi pengelolaan kawasan hutan konservasi yang lebih adil. 3. Upaya penyelesaian konflik hendaknya benar-benar didasari kesediaan untuk dapat menerima beragam perbedaan perspektif atau mampu bersikap inklusif, terbuka pada hal-hal baru yang lebih baik, daripada sikap pemahaman bersifat eksklusif yang cenderung tertutup dan merasa paling benar sendiri. Sehingga mampu saling menghargai secara setara suara masyarakat petani di sekitardalam kawasan TNUK. Sehingga kesepakatan- kesepahaman yang dibangun mesti di landaskan rasa keadilan dan asas manfaat bagi kedua belah pihak. Sebab pada prinsipnya, tidak semua masyarakat di sekitar hutan adalah ancaman dan masalah, bisa jadi mereka adalah bagian dari solusi bagi pengelolaan kawasan konservasi . 97 Ciri lain konservasi khas Indonesia adalah wujud dari pengetahuan lokal yang mementingkan keragaman dan pengelolaannya, baik di tingkat genetik,jenis maupun ekosistem. Argumenasi peletarian dalam konservasi khas Indonesia adalah ertimbangan rasional. Dan konservasi khas Indonesia umumnya termasuk bagian dari sitem yang jelas dari wewenang lokal dan adat yang mengatur panen, mengawasi warga keluar masuk lahan, dan menyelesaian perselisihan. Lebih jauh lihat, Andri Santosa Ed., Konservasi Indonesia; Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Pokja Kebijakan Konservasi, 2008, hlm. 36-37. 127 4. Dalam pengelolaan kawasan TNUK jangka panjang, hendaknya juga memperhatikan masyarakat yang berada di keseluruhan wilayah TNUK, dan perlu melakukan kajian di sekitar kampung dan desa-desa lain luar desa Ujung Jaya, untuk mendapatkan gambaran perbandingan yang lebih utuh tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya dan respon mereka atas keberadaan TNUK. Agar pihak pengelola TNUK dapat membangun sinergi yang lebih baik untuk pengelolaan TNUK secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan perluasan kerjasama multi pihak baik kepada masyarakat sekitar dan dalam kawasan dalam asas kesetaraan dan lembaga lain yang concern dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi demi peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat berdasarkan inisiatif dan kearifan lokal. 5. Secara akademis pentingnya mengembangkan kajian multi perspektif sosial, ekonomi, ekologi-politik dan agraria untuk mengurai beragam konflik dan tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan hutan dan kawasan konservasi di Indonesia, sebagai bagian dari upaya berkontribusi dalam pengkayaan metodologi penelitian Sosiologi Pedesaan. 128 129 DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Artikel

Adi Wibowo, Soeryo dkk Peny, Sediono MP Tjondronegoro. 2008. “Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan”, terbitan bersama, Sajogyo Institute SAINS, Akatiga, STPN Yogyakarta dan Dep. KPM IPB. Adi Wibowo, Soeryo dkk Peny. 2009. Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute SAINS Bogor. Amirrachman, Alpha ed.. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP. Afiff, Suraya. 2005. “Tinjauan atas Konsep ‘Tenure Security’, dengan Beberapa Rujukan pada Kasus-Kasus di Indonesia,” Wacana, Edisi 20, Tahun VI. Alikodra, HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press. Breman, Jean. 1986. “Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Di Masa Kolonial”, Jakarta: LP3ES. Blaikie, Piers. 1985. The Political Economy of soil Erosion in Developing Countries. London, Logman. Blaikie, Piers, dan Brookfield H. 1987. Land Degradation and Society. Methuen, London. Brosius JP. 1997. “Green dots, pink heart: displacing politic from the Malaysian rain forest” . American Anthropologist 101, 36-57. Departemen Kehutanan di Indonesia. 2007. “Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia”. Contreras, Arnoldo. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia; Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan Tindakan. Bogor: World Agroforestry Center dan Forest Trends. Coutrier. 1992. “Teknologi Pengendalian Lingkungan”, dalam Membangun Tanpa Merusak. Jakarta :KMLHRI. Cristodoulu, D. 1990. The Unpromised Land, Agraria Reform and Conflik Worlwide, London and New Jersey Zed Books. 130 Doni, 2005. Tesis. Konflik Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik Ekonomi, Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Dove, Michael. 1983. “Theories of Swidden Agriculture and The Political Economy of Ignorance”. Agroforestry System 1. Effendi, E. 2001. “Peranan Penilaian Ekonomi Sumberdaya dalam Memperkuat Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Otonomi Daerah” dalam Memperkuat Pendekatan Partisipatif Dalam Pengelolaan Kawasan. Escobar A. 1998. “Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation And The Political Ecology Of Social Movements” dalam Journal of Political Ecology 5, 53-82. Escobar A. 1996. “Constructing Nature: Element for a Poststructural Political Ecology. Dalam R. Peet dan M Watts ed. Hlm. 46-68. Routledge, London. Firth dalam Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. Friedmann, John. 1992. Empeworment; The Politics of Alternative Development, Cambridge MA Oxford UK: Blackwell. Ghose, AK. 1983. Agraria Reform in Contemporary Developing Countries, London, Croom Helm Ltd. Guba dan Lincoln Y S. 2000. “Competing Paradigm in Qualitative Reserch” dalam Denzin K dan Lincoln, Y S ed. Handbook of Qualitative Reserch Thusand Oaks, London New Delhi: sage Publication. Hadiz, Verdi. 2005. Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca- Soeharto, Jakarta: LP3ES. Hall, Derek, Hirsch, Philip, dan Murray Li, Tania. 2011. Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: National University of Singapore. Hardin, Garrett. 1968. Tragedy of The Commons, Science 162:1243-1248. Kartodiharjo, Hariadi. 2007. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam, Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan, Jakarta: Kehati. 131 Kartodiharjo, Hariadi dan Jhamtani, Hira. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakata: PT Equinox Publishing Indonesia. Kuntowijoyo. 2002. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space, Oxford : Blackwell Publishing. Lefebvre, Henri. 2009. Space, State, World, Minneapolis , London : University of Minnesota Press. Li, T.M. 2002. “Engaging Simplification: Community-based Resources Management, Market Process, and States Agendas in Uplands South East Asia”. World Development 30, 265-283. Li, T.M. 2001. “Masyarakat Adat, Difference, and The Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone”. Modern Asia Studies 35: 645-676. Marx, Karl. 1973. Grundrisse , New York , London : Penguin Books. Marzali, Amri dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. Mosse, Adam. 2007. “Power and the Durability of Poverty: a Critical Exploration of the Links between Culture, Marginality and Chronic Poverty.” Working Paper 107, Chronic Poverty Research Centre. Miles, Mathtew B dan A. Michael Hubermen. 1992. Analisis data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: UI Press. Meinzen-dick, Raju and Gulati. 2002. “What Affects Organization and Collective Action for Managing Resources? Evidence from Canal Irrigation System in India. World Development, vol 30, issu 4, 649-666 Mubiyarto dkk ed. 1996. Sajogyo; Bapak, Guru dan Sahabat. Bogor: Yayasan Agro Ekonomika. Manurung, Timmer dan Styaningrum, Retno. 2011. Analisis Hukum Proyek Javan Rhino Sanctuary JRS: Tindakan Konservasi atau Pidana Konservasi?. Makalah belum diterbitkan. 132 Mosse, Adam. 2007. “Power and the Durability of Poverty: a Critical Exploration of the Links between Culture, Marginality and Chronic Poverty.” Working Paper 107, Chronic Poverty Research Centre. Peluso, Nancy Lee. 2006. “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa”. terj. Landung Simatupang. Yogayakarta: Insist Press. Peluso, Nancy Lee, dan Ribot, Jesse C. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology. Pickles, John. 2004. A History of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Polanyi, Karl. 1944. The Great Transformation. New York: Rinehart. Permenhut No. P. 26Menhut2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Pasya, Gamal dan T. Sirait, Martua. 2011. Analisis Gaya Sengketa AGATA; Panduan Ringkas untuk membantu memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bogor; Shamdana Institute. Repilita K, Elisabet Tesis. 2007. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi; Analisis Ekologi Politik, Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. Ross, Michael, L. 2001. Timber Booms and Institutional Brakdown in Shoutheast Asia, New York: Cambrige University Press. Ribot, J.C. and N. Peluso. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 2. pp. 153-181. Riyanto, B. 2004. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Debt for Nature Swaps. Seri Hukum Kehutanan KSDA. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor. Sitorus et.al, MT Felix, Penyunting. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi, Cetakan Pertama. Bandung :Yayasan Akatiga. Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius. Shohibuddin, Moh. 2003. Tesis, Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebgai Proses Reproduksi Budaya; Studi 133 Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Loro Lindu, Sulawesi Tengah, Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Shohibuddin, Moh dan Sutarto, Indriatmo. 2010. Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan: Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan, dalam Sri Margana dan Widya Fitrianingsih Ed., Sejarah Indonesia Perspektif Lokal dan Global; Persembahan 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo. Yogyakarta: Ombak. Sutaryono. 2008. “Pemberdayaan Setengah Hati; Sub Ordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan”, Yogyakarta: diterbitkan atas kerjasama LAPERA UTAMA dan Sekolah Pertanahan Nasional STPN. Sangaji, A. 2002. Politik Konservasi, Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau. Bogor; KpSHK. Sangaji, A. Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu; Tersungkurnya Komunitas-komunitas Asli. Makalah disajikan dalam Dialog Kebijakan tentang Pengetahuan dan Hak-hak Masyarakat Adat di sekitar Taman Nasioanl Loro Lindu. Yayasan Tanah Merdeka and NRMEPI, Palu. Sugandhy, Acak. 1992. “Strategi Penataan Ruang Nasional” dalam Membangun Tanpa Merusak. Jakarta: KMLHRI. Sumardjani, Lisman. 2007. Kehutanan; Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, dicetak oleh Flora Mundial Comminications. Santoso, Hary. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desa-desa sekitar hutan di Jawa. Yogjakarta: Damar. Santosa, Andri Ed.. 2008. Konservasi Indonesia; Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Pokja Kebijakan Konservasi. Sarman, Mukhtar Ed. 1998. “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, Pusat P3R-YAE. Sen, Amartya. 2009. The Idea of Justice, Cambridge, Mass: Belknap PressHarvard University Press. Sen, Amartya. 2000. Development as Freedom , New York: Anchor. Scott, James C. 1985. Weapon of the Weak: Everyday Form of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.