Kontestasi antar Aktor dan Kepentingan dalam Kawasan TNUK

94 menjadi larangan. Dengan larangan tersebut otoritas TNUK mengharapka agar masyarakat lambat laun akan pindah dan gampang direlokasi dari wilayah tersebut sewaktu-waktu. Dalam hal lain, masyarakat juga punya strategi sendiri untuk menolak program penanaman bibit tanaman di pekaranga sekitar rumah dan lahan garapan mereka, yang dipersepsi sebagai upaya terselubng untuk mempersempit ruanghidup mereka. Cara yang dipakai adalah memelihara ternak ayam dan kambing dan di biarkan untuk memakan bibit tanaman muda yang diberikan pihak TNUK, atau kadang memotong akar tanaman agar lambat laun menjadi mati da banyak lagi bentuk sejenisnya untuk menggagalkan secara diam-diam program dan agenda pihak otoritas TNUK. Dalam kehidupan sehari-hari ketidaksetujuan mereka atas aturan-aturan pelarangan akses atas sumberdaya hutan mereka ekspresikan dengan cara menggosip miring pribadi-pribadi kelakukan para petugas TNUK, dan membincangkannya dalam guyonan dan obrolan sehar-hari. Dalam beberapa kasus, masyarakat kadang bersikap diam atau acuh tak acuh atas kedatangan petugas di dusun mereka, atau bahkan lebih baik menghindari atau tidak menjumpainya. Termasuk ketidakpatuhan diam-diam dalam kegiatan dan aktifitas yang ditetapkan baik mingguan atau bulanan oleh TNUK. Ketidak hadiran masyarakat dalam beragam kegiatan tersebut adalah bagian dari sikap mbalelo atas kebijakan TNUK. Pada periode ini,bentuk perlawanan diam-diam atau terselubung ini dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor; 1 belum adanya pendamping dari luar masyarakat baik aktivis gerakan mahasiswa, maupuan LSMNGO lokal maupun nasioal yang masuk ke dusun mereka. 2 lokasi pemukinan masyaraat masih terpencar dan isolative dari dunia luar mereka, termasuk dengan desa tetangga. 3 adanya hubungan yang masih cukup harmonis dengan otoritas TNUK waktu itu. Pada saat itu masih banyak petugas TNUK yang dekat dan dihormati masyarakat karena mau mendengar dan mengayomi kebutuhan masyarakat. Sehingga dianggap belum perlu untuk perlawanan langsung. 3 belum adanya kelembagaan sosial kolektif sebagai media perlawanan. Aksi perlawanan lebih bersifat individual atau paling besar adalah satu keluarga. 5 tekanan dan ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam batas subsistensi 95 mereka. 78 Dengan kondisi dan situasi sebagimana diuraikan di atas, maka pada periode ini masyarakat lebih banyak memilih aksi perlawanan diam-diam atau terselubung daripada terbuka atau konfrontatif. Apa yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh warga Legon pakis berikut barangkai dapat mewakili sikap masyarakat terhadap pertugas TNUK: “…kami ini orang kecil mas, tidak tahu apa-apa soal hukum dan aturan di hutan ini. Tapi kami tahu bahwa kami harus tetap bisa hidup disini. Khan kami juga orang Indonesia? Dan wilayah ini khan masih wilayah Indonesia? Tapi kami takut kalau melawan langsung. Banyak teman kami warga di Legon dan Cikaung, dipenjara polisi dua hari dua malam, hanya karena potong kayu untuk perbaiki rumah. Padahal kayu yang dipotong itu ada di pekarangannya sendiri. Makanya, kami disini ya diam-diam saja kalau ndak suka sama aturan dan petugas dari balai. Yang penting mereka tidak tahu saja, dan kami tetap diperbolehkan tinggal disini..Kang JR Kedua, periode perlawanan konfrontatif. Periode perlawanan langsung ini muncul setelah masuknya pendamping dari organisasi mahasiswa berideologi kiri yang memiliki afiliasi gerakan secara nasional, dari wilayah Pandeglang. Yang dimulai sejak pasca konflik terbuka tahun 2007. Bentuk konfrontasi yang dilakukan adalah dengan cara gerakan aksi massa atau demonstrasi, kampanye politik di beberapa organisasai lingkungan dan HAM serta pengaduan hukum di tingkat nasional pernah dilakukan pada saat awal pasca konflik 2006. Dalam periode ini suara perlawanan masyarakat dalam bentuk tekanan dan penolakan dilakukaan dengan tekanan langsung dengan mendatangi lembaga-lembaga pemerintah pendukung BTNUK, hingga ke kementrian kehutanan dan meminta dukungan kepada KOMNAS HAM dan lembaga perbantuan hukum lainnya. Pada periode ini konsolidasi dan mobilisasi massa berlangung intensif. Namun, karena di internal masyarakat masih belum terbangun solidaritas komunal yang kuat, dan intensitas para pendamping yang juga makin berkurang selepas upaya keras untuk penyelesaian hukum, aksi-aksi konfrontasi dianggap sudah selesai. Selain itu, masyarakat juga sudah mersa lelah terkuras tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk aksi-aksi konfrontasi. Maka, setelah kasus hukum penangkapan warga diselesaiakan aksi perlawanan masyarakat petani 78 Hasil wawancara dan Focus Discussion Group FGD dengan sesepuh Legon Pakis dan sekitarnya, 2009, dan akhir 2010. 96 Legon pakis kembali mengalami masa surut. Sementara persoalan konflik keseharian tetap berlangsung. Ketiga, periode perlawanan negosiatifkolaboratif. Pada kurun waktu 2008-2010, masyarakat kembali bergairah untuk mencari penyelesaian konflik yang lebih menyeluruh, terkait dengan tuntutan pengakuan kawasan pemukiman, garapan dan akses hak-hak dasar mereka yang masih terkatung-katung. Dengan cara mengundang dan belajar bersama dengan para aktivis lingkungan, hukum, lembaga riset dan LSM lainnya untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan yang lebih kolaboratif, partisipatif dan lebih adil bagi keberlangsungan hidup mereka sekarang dan akan datang sekaligus mampu membangun hubungan harmonis kembali dengan BTNUK yang sempat retak. Usaha-usaha aksi kolektif warga ini masih berlangsung hingga kini, salah satunya adalah usulan pengelolaan hutan konservasi partisipatif dengan memanfaatkan konsep Zona Khusus yang merujuk pada aturan Permenhut 2006. 79 Dalam periode ini, dilakukan beberapa tahap dan proses fasilitasi; pertama; sosialisasi dan diskusi terkait materi Zona Khusus, sampai mana relevan dan diterima sebagai jalan penyelesaian yang mampu win-win solution. Hasil kajian atas persepsi dan fasilitas Tim Pendamping atas konsep Zona Khusus, dapat dipetakan lima keinginan masyarakat; 1 Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab tuntutan kejelasan batas garapan lahan sawah dan kebun yang telah mereka garap selama ini, dengan harapan untuk dapat diakses dan dimanfaatkan hasilnya seluas-luasnya dan dapat turun menurut pada keturunan mereka. Selain itu, hasil garapan mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan kebutuhan kayu untuk perbaikan tempat tinggal dari hasil tanam mereka sendiri. 2 Zonasi Khusus diharapkan dapat menjawab kebutuhan rasa aman menggarap lahan. Sesuatu yang tidak mereka miliki selama ini. Dengan adanya zonasi khusus yang dianggap memiliki ‘payung hukum’ akan dapat menyelesaiakan kondisi tidak aman mereka dalam mengerjakan dan menggarap lahan mereka. Ketiga, 79 Zona Khusus adalah salah dari beberapa Zonasi Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Religi dll untuk mengatur kawasan di Taman Nasional seluruh Indonesia. Secara normatif Zona Khusus berisi tentang pengakuan terhadap keberadaan kehidupan masyarakat beserta sarana dan prasarana penghidupannya sebelum Taman Nasioanl ditetapkan, sarana-prasarana tersebut antara lain infrastruktur jalan, listrik dan telekomunikasi. Lebih jauh lihat, Permenhut No. P. 26Menhut2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. 97 zonasi khusus diharapakan dapat menjawab kejelasan wilayah zonasi-zonasi dan batas wilayah BTNUK dan batas milik warga. Sesuatu yang masih belum disepakati bersama antar warga dan BTNUK. Warga Legon Pakis hingga sekarang masih meyakini batas lama Cihujan dan Cilintang sebagai batas wilayah hutan Titipan yang boleh mereka manfaatkan. Dan tidak akan mengusik hutan tutupan di luar sungai Cihujan dan Cilintang. Suatu keyakinan yang telah diturunkan oleh leluhur mereka sejak menetap di sekitar hutan Ujung Kulon. Namun kini, batas baru TNUK telah masuk ke wilayah yang menjadi lahan garap warga. Dengan tawaran penyelesaian zonasi khusus ini diharapakan dapat duduk bersama lagi guna membangun kesepakatan untuk mencari jalan terbaik bagi kejelasan batas BTNUK dan mana batas sawah, kebun, hutan inti dan pemukiman yang boleh ditinggali warga. 4 Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab kebutuhan warga guna meningkatkan kesejahteraan hidup dan peningkatan ekonomi mereka. Dengan kejelasan batas yang nantinya dapat disepakati, warga memiliki gagasan bahwa 50 meter dari batas kesepakatan akan diatandai dengan tanaman buah-buahan dan yang menghasilkan, seperti pete, jengkol dll yang akan diambil untuk menambah kebutuhan sehari-hari warga Lego Pakis secara kolektif. Sebab, warga sudah punya konsep untuk mengelola lahan 50 meter tersebut sebagai hutan desa yang dikelola bersama dan untuk kebutuhan lumbung kampung, mungkin juga desa, dan akan digunakan bersama sesuai kesepakatan bersama. Pada gilirannya nanti masyakakat diharapkan dapat menyusun sendiri mekanisme pengelolaan hutan rakyat tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. 5 Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab kebutuhan mereka untuk menemukan mekanisme membangun kesepakatan bersama sesama warga sekampung untuk membangun ruang dialogis yang setara, adil dan saling menguntungkan dengan pihak BTNUK yang selama ini kerap kandas di tengah jalan. Dengan kesepakatan yang kuat dan adil diharapkan selain dapat menyudahi konflik yang berkepenjangan juga dapat kembali membangun hubungan harmonis antara warga dan BTNUK yang pernah mereka rasakan pada periode akhir ‘90-an dan awal 2000-an, dan mulai rusak sejak dua periode sebelum sekarang. Suatu 98 hubungan dialogis dan saling mendukung yang sangat masyarakat Legon Pakis harapkan, juga pihak BTNUK sekarang. Kedua, tahap pelatihan secara partisipatif berupa metode pemetaan partisipatif, sekaligus praktik dilapangan. Tahap ini merupakan tonggak membangun kesadaran spasial masyarakat atas sumberdaya yang mereka miliki selama ini. Ketiga, belajar bersama materi-materi negosiasi guna rencana perundingan yang akan menjadi arena mempertarungkan gagasan Zona Khusus. Untuk tujuan ini maka dibentuk Tim Sepuluh oleh masyarakat sendiri yang berisi wakil-wakil dari warga yang nantinya mampu membawa suara masyarakat dalam perundingan. Melalui mekanisme inilah tahap awal penguatan argumenasi masyarakat untuk penyelesaian konflik secara kolaboratif diretas. 80 Pilihan masyarakat Legon Pakis untuk menggunakan tawaran konsep Zona Khusus di dasarkan pada keinginan yang kuat untuk segera menyelesaikan dengan tuntas konflik mereka dengan BTNUK yang selama ini telah menguras energi, pikiran dan batin warga Legon Pakis. Selama pasca konflik terbuka tahun 2007, masyarakat Legon Pakis terus-menerus menjadi kuatir, tidak tenang, terteror dalam beragam aktifitas mereka sehari-hari. Masyarakat merindukan kehidupan yang lebih tenang dan tentunya mampu mewujudkan bersama Hutan Lestari Rakyat Sejahtera sebagaimana slogan BTNUK. Dinamika bentuk dan aksi perlawanan petani di Legon Pakis atas kekuasaan BTNUK, jika dilihat dari gaya sengketa conflict style menurut Isenhart dan Spangle 2000 sebagaimana dirujuk Pasya dan Sirait 2010 Nampak mengalami pergeseran dari bentuk saling menghindar, kompromis dan akhirnya lebih bercorak kolaboratif. 81 Periode awal usaha-usaha menyelesaikan konflik sejak November kelabu 2007, lebih bercorak saling menghindar. Sebab, pasca kekerasan fisik para pihak yang bersengketa tidak ingin terjadi konflik 80 Disarikan dari Laporan Pendampingan Sosial-Ekonomi dan Pemetaan Partisipatif untuk Penyelesaian Konflik Masyarakat di Ujung Kulon. Dilaksanakan oleh Tim Pendampingyang terdiri dari Sajogyo Institute SAINS, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif JKPP dan Latin, 2009. 81 Terdapat empat gaya sengketa conflict style; 1 saling menghindar, 2 akomodatif, 3 kompromis, 4 kompetitif, 5 kolaboratif. Gaya sengketa ini memiliki efektifitas nya sendiri- sendiri dalam penyelesaian konflik di dasarkan pada bagaimana kekuatan-kekuatan pihak yangbersengketa. Lebih jauh lihat, Gamal Pasya dan Martua T. Sirait, Analisis Gaya Sengketa AGATA; Panduan Ringkas untuk membantu memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam, Bogor; Shamdana Institute, 2011, hlm. 11-12. 99 kembali. Ketidak selesaian akar masalah konflik menjadi dasar utama masing- masing pihak untuk tidak mau membuat komitmen yang mengikat. Dalam situasi yang masih saling menyimpan dendam diam-diam, curiga, antipati dan jauh dari rasa saling percaya dan kerumitan-kerumitan hubungan anatar pihak, hampir tidak mungkin penyelesaian dilakukan dengan jalan kesepakatan damai. Jika pun dipaksakan akan mudah retak kembali. Setelah waktu berjalan cukup lama, dan masing-masing pihak yang berkonflik yakni, masyarakat Legon pakis semakin menyadari pentingnya membangun hubungan kembali dengan BTNUK, dan pihak BTNUK juga semakin meyakini pentingnya keseimbangan hubungan dengan masyarakat sekitar kawasan, mulai muncul keinginan untuk menawarkan gagasan kompromi mencari jalan tengah demi kebaikan bersama. Mulailah disusun usaha pertemuan multi pihak guna mencari kepentingan dan kesepemahaman dari masiang-masing. Masyarakat tetap menuntut bahwa perlu ada pengakuan wilayah pemukiman dan lahan garapan mereka berupa sawah dan kebun campuran, sementara BTNUK memeinta agar masyarakat terintegrasi dalam aturan kawasan konservasi yang sudah ada. Sebab kawasan mereka seluruhnya berada di wilayah konservasi. Terhitung dua kali usaha untuk menemukan ruang kompromi ini. Namun, karena belum adanya itikad dan konsep yang melandasi bagi kompromi masing-masing kepentingan dan tidak adanya jembatan bagi kedua pihak yang berkonflik. Tahap kompromi ini masih menemuai jalan buntu, dan masing-masing baru saling memahami kepentingan masing-masing. Sehingga meskipun sudah saling memberi demi kepentingan kompromi, namun sebenaranya belum ditemukan kepuasan bagi masing-masing pihak. Pada periode ketiga, yakni periode negosiatif atau kolaboratif masyarakat yang terus menginginkan bentuk penyelesaian win-win solution dengan cara belajar bersama dengan Tim Pendamping LSMNGO, mencoba strategi untuk melakukan negosiasi melalui perundingan multi pihak. Keberadaan Tim Sepuluh dan Tim Pendamping menambah rasa percaya diri masyarakat Legon Pakis untuk penyelesaian masalah secara terpadu. Maka disusunlah kerangka argumen dan konsep pengelolaan kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran berdimensi sosial, ekonomi dan ekologis dalam batas kawasan hasil pemetaan partisipatif 100 berlandaskan Zona Khusus. Konsep ini ditawarkan kepada BTNUK dengan difasilitasi oleh Tim Pendamping yang melakukan ‘diplomasi bolak-balik’. Setelah konsep tata kelola dan guna kawasan dalam Zona Khusus terbentuk maka tawaran perundingan dilakukan. Meski gagal dalam dua kali rencana, namun akhirnya dapat terwujud, dalam sebuah pertemuan besar melibatkan multi pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan TNUK. 82 Pilihan jalan negosiasi dengan dasar konsep legal Zona Khusus ini merupakan tawaran “jalan tengah” bagi penyelesaian konflik warga dan BTNUK, sebab lintasan sejarah perlawanan warga sebelumnya lebih banyak mengandalkan aksi-aksi massa dan strategi “hitam-putih” atau “menang-kalah”, ternyata menemui jalan buntu, karena berbenturan langsung dengan politik kekuasaan BTNUK yang masyarakat tidak siap menerima akibat baliknya, yaitu beragam bentuk-bentuk tekanan, pembatasan dan teror yang lebih meningkat oleh petugas lapang BTNUK. Selaras dengan apa yang diungkapkan Peluso 2006, bahwa paksaan dan tekanan koersi bukanlah sesuatu yang selesai dan berdiri sendiri melainkan bagian dari proses yang terus berlangsung, ketika satu pihak berupaya menguasai sumberdaya yang diklaim oleh pihak lain. Tentu saja proses menuju penyelesaian kolaboratif ini bukanlah kesimpulan tunggal, tetapi lebih dikarenakan pilihan strategis bagi kondisi yang memungkinkan masyarakat saat ini memilih jalan tersebut. Bisa jadi dalam kondisi lain, masyarakat akan mengubah strategi perlawanannya sesuai dengan kondisi dan tantangan zamannya 83 . 82 Pertemuan dengan tema dan Proyek JRSJRSCA terdiri dari; Tim 10 wakil masayarakat, Tim Pendamping Warga LSMNGO, BTNUK, MUSPIDA, YABI, WWF, Aparat Keamanan, dan beberapa LSM yang terkait dengan lingkungan hidup dan konservasi Meski hasil pertemuan tersebut belum memenuhi keinginan masyarakat Legon Pakis, dan lebih menguntungkan pihak TNUK dan YABI. Namun, melihat kondisi internal masyarakat dan pertimbangan-pertimbangan jangka panjang dari akibat balik dari pertenmuan tersebut, kesepakatan multipihak tetap diterima oleh masyarakat Legon Pakis. Meskipun para Tim Pendamping merasa kesepakatan tersebut dirasa belum adil dan lebih memihak kepentingan proyek JRS dan konservasi Badak Jawa ketimbang niat untuk keseimbangan konservasi dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan hutan. Hasil wawancara dengan Tim Sepuluh dan pengamatan langsung penulis dalam pertemuan di Hotel Kharisma Labuan, tanggal 21-22 Maret 2011 83 Terima kasih mendalam pada Prof. Tania Li atas masukan dan kritiknya untuk tidak gampang percaya pada kemudahan-kemudahan memberi label, kategori dan “penunggalan” pilihan strategis perlawanan masyarakat petani yang tidak mempertimbangkan aspek dinamis, spasial ruang dan waktu beserta rasionalisasi resiko, untung rugi dari sebuah perlawanan masyarakat petani. 101 Usaha ke arah upaya resolusi konflik dan negosiasi multi pihak masih terus dilakukan oleh warga dengan didampingi dan dijembatani oleh beberapa Lembaga Swadaya MasyarakatNGO dengan tetap mengusung gagasan pengelolaan kolaboratif dengan konsep Zona Khusus. Di tengah usaha negosiasi yang belum terwujud, muncul tantangan baru berupa kolaborasi Proyek Penangkaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia YABI yang di danai oleh Internasional Rhino Foundation IRF, dan telah di tandatangai oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten dan TNUK pada Juni 2009 lalu 84 . Proyek yang ditargetkan berjalan tahun 2011-2015 ini ingin mengembangkan eko-wisata Badak Jawa sebagai ikonnya. Ironisnya, proyek besar yang praktiknya --telah dimulai awal tahun 2011 lalu-- berupa “pemagaran” wilayah kawasan TNUK di sebelah selatan Gunung Honje seluas 3000 ha, ini justru mengklaim dan menabrak ratusan lahan sawah dan kebun campuran yang telah bertahun-tahun menjadi sandaran ruang hidup warga di pinggiran hutan. Dan kawasan yang paling terbesar yang akan terkena proyek ini adalah kampung Legon Pakis dan sebagian kecil di wilayah kampung Cikaung Girang. Benturan kepentingan aksi-reaksi pihak-pihak yang lebih beragam meletup kembali, dengan kontestan yang lebih beragam, antara warga pinggiran hutan Legon Pakis dan LSMNGO pendamping warga dengan BTNUK, YABI, PEMDA-Provinsi-Kabupaten, serta Otoritas Kehutanan yang terkait. Pertarungan dan kontestasi antar aktor dan kepentingan yang berlangsung didukung oleh jaring-jaring aktor di lapangan, orang-perorang, kelembagaan, komunitas, pemerintahanbirokrasi, yang melibatkan beragam situasi-situasi politik-sosial- ekonomi di tingkat global-nasional-lokal beserta kompleksitas strategi, ideologi, paradigma di masing-masing kepentingan dan aktor yang bertarung. Singkatnya proyek JRSJRSCA menjadi salah satu arena besar --dari turunan arena-arena lain yang lebih kecil-- dari beragam kepentingan dan aktor bertemu dan bertarung di gelanggang alami yang berupa kawasan hutan konservasi TNUK. 84 http:alamendah.wordpress.com20100622penangkaran-badak-jawa-di-gunung-honje , dan lihat juga http:www.metrotvnews.comindex.phpmetromainnews2010062221168Penangkaran-Badak- Jawa-Objek-Wisata-Baru-TN-Ujung-Kulon , diunduh tanggal 5 Februari 2011. 102 Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa kejadian dan peristiwa sebelumnya--.Di sisi lain rejim BTNUK memiliki gaya koersi dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan milisi sipil “Jawara” Banten dengan istilah Pam Swakarsa yang dikendalikan melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik oleh beberapa senior BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan “horizontal”. Kondisi semacam ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari BTNUK. Pada titik inilah strategi kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi di kawasan TNUK diinginkan oleh masyarakat. Meski terdapat hal-hal yang spesifik terjadi di TNUK, namun pada irisan tertentu konflik dan cara penyelesaian yang muncul bisa jadi memiliki irisan yang sama dengan fenomena umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan kepentingan yang berujung konflik agraria di kawasan Taman Nasional Indonesia. Di satu sisi, tawaran pengelolaan Zona Khusus memiliki peluang untuk membuka dialog ke arah kolaborasi yang menguntungkan kedua belah pihak masyarakat sekitardalam kawasan dan BTNUK. Namun karena belum adanya kesetaraan pengetahuan dan kekuatan antara keduanya gagasan ini masih belum sampai pada kesetaraan. Sehingga dalam momen tertentu, sebagaimana pertemuan di Hotel Kharisma, tahun 2010, masyarakat dipaksa harus menurut dan mengalah pada kepentingan pihak BTNUK dan YABI untuk pemagaran Badak dan merelakan 110 ha lahan kebun campuran mereka masuk kawasan lagi. Dengan demikian proses menuju pengelolaan kolaboratif mesti memenuhi prasyarat kesetaraan politik,