Peasant’s Action In Politics Of Spatial Arrangement And Kontrol In Ujungkulon National Park, Banten Province

(1)

AKSI PETANI DALAM KONTESTASI POLITIK

PENATAAN DAN PENGUASAAN RUANG DI

KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL

UJUNG KULON - PROVINSI BANTEN

EKO CAHYONO

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

(3)

ii

ABSTRAK

EKO CAHYONO, AKSI PETANI DALAM KONTESTASI POLITIK PENATAAN DAN PENGUASAAN RUANG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON- PROVINSI BANTEN Politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi Taman Nasional Ujungkulon (TNUK) telah melahirkan kompleksitas persoalan sosial, ekonomi dan ekologis yang berujung pada lahirnya konflik agraria dan perlawanan masyarakat di pinggiran kawasan hutan. Studi ini hendak menelusuri bagaimana konflik dan perlawanan tersebut lahir dalam hubungannya dengan pembatasan pemanfaatan sumberdaya hutan. Selanjutnya studi ini menunjukkan pasang-surut andil masyarakat Legon Pakis dalam memperjuangkan pengakuan atas wilayah yang telah mereka nikmati jauh sebelum TNUK ditetapkan pada tahun 1984. Tesis ini ditutup dengan refleksi untuk memahami kembali tantangan dan persoalan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi yang lebih adil.

Kata Kunci: Taman Nasional Ujung Kulon, Konservasi, Konflik, Akses dan


(4)

(5)

iii

Abstract

EKO CAHYONO. PEASANT’S ACTION IN POLITICS OF SPATIAL ARRANGEMENT AND KONTROL IN UJUNGKULON NATIONAL PARK, BANTEN PROVINCE. Politics of spatial arrangement and kontrol in Ujungkulon National Park (TNUK) has produced complexsocial,economic and ecological problems that led to the emergence of agraria conflict and resistance of a forest community. This study explores how the conflict and the resistance were born in relation to the exclusion of forest resources. Moreover, the paper demonstrates the tide of struggle for tenurial security over the territory that they have enjoyed since far before the TNUK was designated as conservation area in 1984. This thesis ends with a lesson learned to understand challenges and problematics to pursue fairer park management.

Key Word: Ujungkulon National Park, Conservation, Conflict, Access and Kontrol, Community Forest Periphery, Legon Pakis, Banten


(6)

(7)

iv

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aksi Petani dalam Kontestasi Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dandicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Eko Cahyono NRP: I353080081


(8)

(9)

v

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(10)

(11)

vi

AKSI PETANI DALAM KONTESTASI POLITIK

PENATAAN DAN PENGUASAAN RUANG DI

KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL

UJUNG KULON- PROVINSI BANTEN

Eko Cahyono

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(12)

(13)

viii

PRAKATA

Alhamdulilahirobbil ‘alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Saya bersyukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan berlajar di Pasca Sarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik ini.

Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga yang langsung maupun tidak menjadi spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah;

1. Dr. Saharuddin, M.Si, dan Drs. Satyawan Sunito, Ph.D, selaku pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan proses penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Arya Hadi Darmawan, MSc, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku Wakil Program Studi, yang selalu menyemangati dan mendukung penyelesaian studi para mahasiswa.

3. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto selaku dosen penguji Luar Komisi. Terima kasih atas inspirasi, kritikan dan motivasinya.

4. Dosen-dosen di lingkungan Sosiologi Pedesaan; Dr. Soeryo Adi Wibowo, Ir. Fredy Antony MS, Ir. Melany A. Sunito, M.Sc, Dra. Winati Wigna, MDS, Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA, Dr. Ir. Ivanovich Agusta, terima kasih atas dukungan dan doanya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

5. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2008; Aldy Basyir, Dian Ekowati, Favor A. Bacin, Usep Setiawan, Nurul Hayat, Gentini, Nendah Kurniasari, terimakasih atas kehangatan persahabatannya.

6. Keluarga besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo, Dr. Ir. Gunawan Wiradi, Prof. Tjondronegoro (terima kasih atas keteladanan hidup dan inspirasinya), Mas Sohib (sekeluarga), Mbak Laksmi, Mas Oji, Didi,


(14)

ix

Dewi, Cupi, Lutfhi, Saluang, Risman, Meifita, Cindra, Nunik, Rudi, Mas Hasan, Kang Ajid dan keluarga SAINS lainnya. Terima kasih dukungan dan semangat dari teman-teman lingkar diskusi “Puri Martha”; Iham, Martha, Imam, Mega, Yudis, Reza dan Komunitas Orenz; Eko W, Rifki, Bama dan Dika, sehingga tesis ini bisa selesai.

7. Tesis ini kupersembahkan untuk orang tuaku tercinta; Bapak (Almarhum) Drs. Rusman Hadi Suprayitno dan Ibu Supiyati, Bapak Bejo Akrom Siddiq dan Mamak Rusyati, semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup mereka dunia-akherat. Amien. Tak lupa, terima kasih untuk kakak dan adik-adikku tercinta; Iin, Nely, Yuk Siti, Muti, Said, Zizah dan Daus dukungan dan doa mereka telah memudahkan penyelesaian tesis ini.

8. Persembahan khusus untuk masyarakat di Ujung Kulon; Dusun Legon Pakis dan desa Ujung Jaya; Abah Suhaya dan Keluarga, Kang Jarna, Ustad Rahman, Dedy, Fauzan, Asep dan warga lainnya di Ujung Kulon yang masih berjuang untuk “merdeka”, berdaulat dan bermartabat. Terima kasih untuk pembelajaran dan persaudaraannya.

Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan dukungan keluarga, untuk itu tesis ini juga penulis persembahkan buat istri dan anakku tercinta Mufrikhah Friana dan Bening Jagaddhita; kesabaran, ketabahan dan senyum itu telah membuatku tetap semangat dan “sempurna”.

Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan hidayah, magfirah dan keberkahan (rizki, kesehatan, umur, ilmu), kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadi hamba-Nya yang berkualitas “Rahmatan Lil ‘Alamin”. Amien.

Akhirul kata, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan berbagai masukan dan kritikan guna penyempurnaan tesis ini. Terima kasih.

Bogor, Februari 2012 Eko Cahyono


(15)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Padomasan Kecamatan Kencong Kabupaten Jember-Jawa Timur, pada tanggal 06 September 1976 dari ayah Drs. Rusman Hadi Suprayitno dan Ibunda Supiyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Menikah pada bulan Maret 2001 dengan Mufrikhah Friana dan dikaruniai seorang putri, Bening Jagaddhita (9 tahun).

Tahun 1996, lulus dari Mandrasah Aliyah Pondok Pesantren Baitul Arqom, Balung-Jember-Jawa Timur. Mengajar di Ponpes Baitul Arqom selama 1 tahun. Melanjutkan studi S1 di IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama. Setelah lulus dari S1 pada tahun 2004, kemudian menjadi staf pengajar Study Islamika di Sekolah Tinggi Teologi Apostolos Jakarta tahun 2004-2007. Kemudian pada tahun 2007, pindah ke Bogor dan langsung berpegiat di Sajogyo Institute (SAINS) - hingga sekarang. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi akademik S2 di Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan Institute Pertanian Bogor.

Sekarang penulis menjadi pengurus Badan Eksekutif Sajogyo Institute (SAINS). Sembari tetap bergiat dalam arena penelitian, pendidikan/pelatihan dan advokasi masyarakat pedesaan dengan beberapa komunitas, lembaga riset, LSM/NGO dan perguruan tinggi yang meliputi isu-isu; Agraria, Pedesaan, Ekologi, Petani dan Gerakan Sosial. Serta tetap terus belajar mengembangkan diri di dunia tulis-menulis dan menuruti hobby bermusik.

Penulis sekarang tinggal bersama keluarga di perumahan Puri Matahari Persada Kedaton III, Blok H 10, Laladon Bogor.


(16)

(17)

xi  

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .………. xi

DAFTAR TABEL .………... xiii

DAFTAR GAMBAR .………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ..……… xv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan ……… 1

1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ...……… 11

II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengeloaan Sumberdaya Alam ..……….………. 15

2.2 Politik Tata Ruang dan Sumberdaya Alam ...………. 22

2.3 Hak dan Akses atas Sumberdaya Alam ..……… 26

2.4 Gerakan dan Perlawanan Petani ..……… 30

2.5 Aksi Kolektif ..………. 38

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ..……….. 41

3.2 Paradigma Penelitian …….………... 45

3.3 Metode dan Lokasi Penelitian ..………... 46

3.3.1 Metode dan Teknik Penelitian ..……… 46

3.3.2 Lokasi Penelitian ..……….... 48

3.3.3 Pelaksanaan Penelitian ..………... 48

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan Masyarakat Sekitarnya ..……….. 49

4.2 Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kecamatan Sumur .. 56

4.2.1 Kondisi Bio-Fisik dan Kependudukan ..…………... 56

4.2.2 Kesejarahan dan Kearifan Lokal ..……… 59

4.2.3 Kondisi Sosial Ekonomi ..……… 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ..……. 67


(18)

xii

 

5.2. Dinamika Konflik dalam Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung

Kulon (TNUK) ...………. 73

5.3. Kontestasi antar Aktor dan Kepentingan dalam Kawasan

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ..……… 84 5.4. Aksi Petani; Bentuk dan Strategi Perlawanan ……….. 92

VI. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

DAN MARJINALISASI PETANI

6.1 Dinamika Pengelolaan Kawasan Hutan Konservasi; Era

Orde Baru dan Desentralisasi………... 105 6.2 Skema dan Proses Marjinalisasi Petani ……… 110

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ..……….... 123

7.2. Saran ...………. 125


(19)

xiii

 

DAFTAR TABEL

 

 

No Halaman

1. Perubahan Status dan Batas Taman Nasional Ujung Kulon ..…... 52 2. Perubahan Zona Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Tahun

1991 dan 1997 ..………. 54

3. Usulan Perubahan Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) 54 4. Nama, Luas Desa di Kecamatan Sumur dan Letak terhadap Taman

Nasional Ujung Kulon TNUK ..……….. 55 5. Nama, Luas Desa di Kecamatan Cimanggu dan Letak terhadap

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ..……… 55 6. Aset Agraria Legon Pakis Masyarakat di Dusun Legon Pakis ... 63 7. Produkivitas Sumberdaya Pertanian di Wilayah Legon Pakis ..….. 63 8. Ukuran Kesejahteraan Masyarakat di Dusun Legon Pakis ..……… 64 9. Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan Taman

Nasional ..………. 76

10. Bentuk, Periode, Faktor Pendukung/Pembentuk dan


(20)

(21)

xiv

 

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka Pemikiran ..……… 44 2. Peta lokasi Taman Nasional Ujungkulon (TNUK)-Banten ..………. 49 3. Batas Wilayah Kelola Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)-

Banten ..……….. 51

4. Peta Lokasi Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kec. Sumur

Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten ..……….. 58 5. Perubahan Status Kawasan dan Rezim Penguasaan di Taman

Nasional Ujung Kulon (TNUK) ..………..……… 71 6. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA ..……….. 83 7. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA yang menabrak

wilayah Zona Khusus yang ditawarkan masyarakat Legon Pakis ... 83


(22)

(23)

xv

 

DAFTAR LAMPIRAN

No

Halaman

1. Foto Sebagian Gambaran Kehidupan Dusun Legon Pakis, Desa

Ujung Jaya Kecamatan Sumur ..………... 137 2. Foto Tugu Perbatasan Masuk Kawasan Taman Nasional Ujung

Kulon (TNUK), Setelah Penetapan Kawasan Taman Nasional,

1984 .………. 138 3. Foto Tempat Pengawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)

Resort Legon Pakis, Pasca Amok Massa, Oktober 2007 ..………… 138 4. Foto Proses Penyusunan Partisipatif Dokumen Tata Kelola Zona

Khusus dan Hasil Peta Usulan Wilayah Zona Khusus Legon Pakis. 139 5. Peta Usulan Proyek Pemagaran JRS/JRSCA ..……….

140 6. Peta Batas Wilayah Zona Khsusus Legon Pakis di Overlay dengan

wilayah zonasi yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan rencana pagar JRSCA ..………. 140 7. Foto Proses Perundingan Multi Pihak untuk Negosiasi Zona

Khusus dan Program JRSCA ..………. 141 8. Nota Kesepakatan Negosiasi Multi Pihak untuk Pengelolaan Zona

Khusus dan Rencana Proyek JRSCA ………... 142 9 Foto Pembuldozeran di dalam Kawasan Taman Nasional Ujung

Kulon (TNUK), Untuk Proyek Pemagaran Badak JRSCA ..……… 144


(24)

(25)

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Kawasan kehutanan dan Taman Nasional di Indonesia merupakan salah satu “ruang” besar dan dikenal sebagai arena pertarungan beragam kepentingan sejak zaman Kolonial hingga orde Reformasi.1 Baik antara korporasi asing/kolonial dengan negara-rakyat, negara dengan swasta, negara dengan rakyat, masyarakat dengan swasta, maupun kait-kelindan semua pihak yang berkepentingan itu sekaligus. Sebagaimana ditegaskan Peluso (2006) dalam sejarah, negara, petani, dan kepentingan-kepentingan eksternal lain telah (lama) saling bersitegang di gelanggang alami yang berupa hutan (di Indonesia). Tak hanya pertarungan dalam modus ekonomi-politik, namun juga terkait dan ditentukan oleh apa dan bagaimana sistem dan rejim pengurusan serta paradigma yang dianut dalam pengeloaan hutan dan taman nasional.2

Karenanya, beragam masalah muncul mewarnai potret hubungan di wilayah kawasan taman nasional dan beragam jenis kawasan hutan (negara) di Indonesia dengan masyarakat yang hidup di pinggiran hutan/taman nasional. Baik berupa persoalan politik konservasi3, isu pemukiman masyarakat sekitar hutan4,       

1

Pada periode Kolonial ini, dapat dianggap sebagai bibit awal dari konflik dan ketegangan. Menurut Wiradi, sistem perkebunan besar hadir di Indonesia akibat politik liberal pemerintahan kolonial Belanda melalui Undang-undang Agraria tahun 1870. Dengan empat ciri utama, (1) berorientasi ekspor dalam skala besar, (2) kebutuhan tenaga kerja sangat besar, melebihi yang tersedia oleh pasar (tenaga kerja) domestik, (3) memerlukan ekstra-pasar (pemaksaan oleh aparatur pemerintah), (4) tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan yang terbentuk. Dengan ciri-ciri di atas, masyarakat desa di sekitar perkebunan tersebut menjadi korban eksploitasi yang mendorong proses penindasan dan pemiskinan yang akhirnya menjadi sumber konflik agraria. Lebih jauh lihat, Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria; Reforma Agraria dan Reforma Agraria, (STPN Yogyakarta dan Sajogyo Institute, 2009), hlm. 60-61.

2

Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani (peny.), Politik Lingkungan dan Kekuasaan di

Indonesia, (Equinox: Jakarta, 2006), hlm. 5.

3

Elisabet Repilita K, (Tesis) Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi; Analisis Ekologi Politik, (Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 2007). Untuk persoalan kontestasi para aktor dalam tema ‘konservasi’, khususnya pengalaman pelaku “orang dalam” (insider), dapat di lihat lebih jauh, Banjar Yulianto Laban, Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 2000-2002, (JICA dan Gunung Halimun-Salak-National Park Management Project, 2007). Bandingkan juga, A. Sangaji, Politik Konservasi, Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau, (KpSHK, Bogor; 2002)

4

Soeryo Adi Wibowo dkk (Peny.), Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, 2009.


(26)

2

konflik sosial dan kepentingan politik dan ekonomi5, yang melahirkan beragam respon dan perlawanan6, beserta skema-skema sistematis pemiskinan masyarakat di sekitarnya7--untuk menyebut beberapa di antaranya--.

Potret sejarah kehutanan negara dan kenyataan pemanfaatan hutan di Indonesia selalu terkait dengan kondisi ketegangan antara negara dan petani terutama tentang persoalan akses dan kontrol. Manakala kepentingan negara dan kepentingan petani berbenturan, sering melahirkan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan hubungan kekuasaan yang ambivalen dan rancu. Pergulatan ini meninggalkan jejak berupa rusaknya berbagai sumberdaya alam berbasis tanah yang sangat berharga dan rentan, bahkan termasuk juga wilayah yang sudah seabad mengenal apa yang disebut dengan kaidah ilmiah pengelolaan hutan. (Peluso, 2006). Ketegangan dan konflik muncul antara pengurus kehutanan dan masyarakat petani pinggiran hutan akibat dari pertentangan klaim yang memunculkan klaim tandingan yang telah menjadi gambar utama kondisi kehutanan di Indonesia berabad-abad. Menurut E.P Thompson (1975), sebagaimana dikutip Peluso, persoalannya bukanlah pada pemanfaatan lahan itu, tegasnya, masalahnya terletak pada kekuasaan dan hak kepemilikan.

Praktik sejarah politik penataan ruang kekuasaan dan kepemilikan negara dengan jalan pengambilalihan kawasan kehutanan (produksi maupun konservasi) beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya secara luas kerap diiringi dengan usaha-usaha sistematis yang mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumberdaya alam lain berbasis tanah (dari masyarakat lokal), yang kemudian mendorong negara untuk menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut (Peluso, 2006). Maka, dengan dasar legitimasi ini, penduduk yang bermukim di sekitar hutan atau petani yang bergantung pada hutan lebih dirugikan ketimbang

5

Doni, (Tesis), Konflik Kawasan Hutan Sebagai Refleksi Perbedaan Kepentingan Politik Ekonomi, (Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2005). Untuk persoalan konflik sosial di sekitar hutan dapat ditelusuri dalam Lisman Sumardjani, Kehutanan; Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, dicetak oleh Flora Mundial Comminications, 2007.

6

Lihat, Hary Santoso, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, (Damar, Jogjakarta: 2004).

7

Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya, Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. (terj.) Landung Simatupang, (Insist Press, Yogayakarta, 2006). Bandingkan, A. Sangaji,

Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu; Tersungkurnya Komunitas-komunitas Asli. Makalah disajikan dalam Dialog Kebijakan tentang Pengetahuan dan Hak-hak Masyarakat Adat di sekitar Taman Nasioanl Loro Lindu. Yayasan Tanah Merdeka and NRM/EPI, Palu.


(27)

3

diuntungkan oleh penguasaan sentralistik negara atas hutan cadangan atau perkebunan hutan (Blaikie, 1985). Dalam orientasi pengelolaan sumberdaya hutan, para pejabat kehutanan (temasuk di dalamnya Balai Taman Nasional) berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia dianggap bebas masalah. Sehingga saat konsesi pengusahaan hutan diberikan, pertimbangan keberadaan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan, tidak sempat difikirkan, atau sengaja diabaikan.8

Pada saat UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA-1960) ditetapkan, memang telah disebutkan bahwa hak mengusai negara atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya --dalam hal hukum publik-- dapat dikuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat. Namun, dalam kenyataannya hak “menguasai” tersebut hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan daerah. Sehingga, masyarakat lokal dan pinggiran/sekitar kawasan hutan (baik dalam kawasan hutan produksi maupun hutan koservasi) tetap dilewatkan dalam proses pengelolaan kawasan hutan.9 Sebab dalam praktiknya definisi Hak Menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan alam dan agraria ditafsirkan sebagai “memiliki” bukan “mengatur” atau mengorganisir untuk tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuram rakyat sebagaimana dimandatkan dalam UUD 45, pasal 33. Dalam konteks seperti ini dapat “dimaklumi” jika masyarakat di pinggiran/dalam ruang kawasan hutan, semakin dijauhkan dari hak dan akses utamanya atas sumberdaya hutan, bahkan kalau perlu dipisahkan sama sekali.

Demikian halnya tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan dan program-progrm atas nama pembangunan dan pemberdayaan yang ditujukan untuk masyarakat pinggiran/dalam kawasan hutan. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, yang terjadi adalah upaya penyingkiran diam-diam masyarakat dari hutan, (Santoso, 2004).10 Inilah salah satu contoh dari proses yang disebut

8

Sumardjani, Kehutanan...Op.Cit., , hlm. v.

9

Undang-undang Pokok Kehutanan No.5/1967 yang sering dipakai dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dalam praksisnya lebih berwatak ekonomistik dan eskploitatif terhadap hutan, sering mengabaikan hak dan akses masyarakat adat dan sekitar kawasan terhadap hutan. Pada masa Orde Baru berdasarkan UU tersebut lahir Hak Penguasaan Hutan yang semakin eksploitatif atas hutan dan hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir pemilik kuasa di zaman Orde Baru (Penguasa Orba, Politisi dan Militer). Lihat, Kartidiharjo dan Jhamtani (Peny.), Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, (Equinox Publishing, Indonesia, 2006), hlm 26.

10

“ ....orientasi kegiatan pemberdayaan masyarakat desa hutan justru menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang menyangkut hutan dan kehutanan. Apa yang dinamakan sebagai pemberdayaan


(28)

4

sebagai iksklusi11 di wilayah kehutanan dan konservasi di Indonesia. Puncaknya adalah ketika orientasi konservasi lebih mengutamakan “species” daripada kehidupan manusia di sekitar hutan dengan membuat batas “pemagaran” yang memisahkan secara tegas wilayah flora-fauna dengan manusia yang telah lama hidup harmoni di sekitarnya. Hal ini merupakan manifestasi dari watak paradigmatik konservasi klasik yang masih meletakkan manusia di pinggiran/dalam kawasan hutan sebagai ancaman bagi ekologi hutan beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bukan bagian integral dari ekosistem hutan yang berpotensi sebagai solusi pengelolaan kawasan, penyangga dan pelestari hutan dengan warisan kearifan lokalnya.12 Pada saat negara menggunakan kekuasaanya dalam memonopoli eksploitasi sumberdaya hutan dalam kerangka politik dan penguasaan ruang kawasan kehutanan (produksi dan konservasi) akan berakibat langsung pada proses penghilangan otonomi relatif dan memperparah kemiskinan akses masyarakat pinggiran hutan atas sumberdaya hutannya, (Peluso, 2006).

Proses politik penataan ruang taman nasional dengan beragam kebijakan dan aturan pembatasan hak dan akses masyarakat pinggiran/dalam kawasan atas

masyarakat umumnya memiliki arti mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat dari hutan. Maka tidak heran jika sampai hari ini masaih saja terjadi ketegangan-ketegangan antara masyarakat pengguna hutan dengan para petugas kehutanan. Masyarakat lokal memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan-hutan di sekitarnya. Adalah naïf kalau apa yang dinamakan sebagai proyek etika sosial itu justru menyingkirkan mereka dari hutan-hutan yang selama ini menjadi tempat bergantung”. Hary Santoso, Perlawanan...Op.Cit., hlm. 396-397.

11

Istilah eksklusi dalam studi ini memakai batasan pengertian yang dijelaskan dalam karya Hall, Philips dan Tania Li, Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: National University of Singapore, 2011. Terminolog “exclution” digunakan sebagai “kondisi” dimana orang berada dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi yang mana tanah dikuasi dalam bentuk kepemilikan pribadi (private proverty) atau kepemilikan khusus lainnya seperti “Tanah Negara” dan sejenisnya. Eksklusi adalah juga bermakna “proses” yang menunjukkan bahwa aksi-aksi kekerasan intens dan berskala luas mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya oleh atau atas nama ornag yang berkuasa. Proses eksklusi ini tidak bisa hanya dilihat pada sudut pilihan “baik atau jelek” atau apakah suatu hal yang menyenangkan atau tidak, sebab ia bukanlah opposisi biner dari inclusive, pun enclousure. Tetapi eksklusi lebih tepat dihubungankan dengan dengan konsep “akses”, sebagaimana dijelaskan Ribot dan Peluso dalam “A Theory of Access”. Rural Sociology, 2003. Yakni, “akses” diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things).

12

Lihat lebih jauh, Banjar Yulianto Laban, Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 2000-2002, (JICA dan Gunung Halimun-Salak-National Park Management Project, 2007). Bandingkan juga, A. Sangaji, Politik Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau, (KpSHK, Bogor; 2002). Ungkapan bahwa konservasi yang meletakkan manusia pinggiran hutan sebagai solusi bukan masalah juga menjadi misi utama dari Pak Wiratno, Kasubdid dari Derektorat Kawasan Konservasi Indonesia, sebagaimana dituangkan dibeberapa tulisannya. (diskusi ringan Januari 2011)


(29)

5

atas ruang hidup (live space) nya berupa kekayaan sumberdaya hutan dan sekitarnya yang berjalan terus menerus berimplikasi pada penyuburan proses kemiskinan yang bersifat relasional. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertama-tama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang (Mosse 2007). Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Kenyataan kemiskinan relasional akibat dari penciptaan politik tata kuasa ruang di kawasan konservasi Taman Nasional berkontribusi pada penciptaan ketimpangan struktur agraria yang menjadi embrio dari bentuk-bentuk persoalan sengketa da konflik agraria.

Menurut Afiff (2005), masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan negara beserta birokrasi (dan ‘wakil-wakil’nya) dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan praktik-praktik adat setempat.

Pada umumnya simpul masalahnya adalah tidak semua praktik nilai-nilai lokal yang dipraktikkan masyarakat dapat ditangkap langsung dan dipahami oleh multi pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian, membutuhkan sikap kepekaan, kepedulian dan perhatian sungguh-sungguh untuk dapat mengakui dan mengangkat praktik nilai-nilai kearifan masyarakat lokal. Ketidakmampuan menangkap dan mengakui sistem pengetahuan lokal yang hidup


(30)

6

dan dipraktikkan masyarakat untuk kemudian diakomodir secara serius sebagai bahan pengelolaan bersama seringkali berakhir dengan sengketa dan konflik. Apa yang terjadi di desa-desa dan kampung sekitar kekuasaan “legal” Taman Nasional dan kehutanan lainnya dapat menjadi contoh yang baik untuk persoalan ini. Pun yang terjadi di kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lain di Taman Nasional Ujung Kulon provinsi Banten.

Awal konflik di Taman Nasional Ujung Kulon (selanjutnya cukup ditulis TNUK) dimulai sejak kawasan hutan Cagar Alam Ujung Kulon ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional pada tahun 1984 dan diperbaharui tahun 199213 dengan luas kawasan total 122.956 Ha, telah menelan seluruh area kawasan kampung Legon Pakis --salah satu kampung di pinggiran hutan dengan luas 261, 6 ha, terdiri dari kawasan pemukiman (dihuni 99 KK), pekarangan rumah, pertanian/lahan sawah dan kebun campuran, masuk menjadi wilayah konservasi TNUK, termasuk beberapa kampung lainnya yaitu kampung Cikaung Sabrang dan Cikaung Girang, kedua kampung ini berada di desa yang sama yaitu desa Ujung Jaya --meski kedua kampung terakhir hanya sebahagian saja wilayahnya yang terkena klaim batas baru penetapan kawasan TNUK--14.

Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan hak dan akses masyarakat Legon Pakis sudah terjadi15, namun tidak seketat dan sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror (fisik dan psikis) oleh polisi hutan dan Pam

13

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 46/Kpts/VI-Sek/84. Penetapan wilayah kerja TNUK yang meliputi, Cagar Alam Krakatau, Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan dan Pulau Peucang, Cagar Alam Ujung Kulon dan Taman Wisata Carita. Diperbaharui tahun 1992 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/92. Penetapan kawasan TNUK yang meliputi Cagar Alam Gunung Honje, Pulau Panaitan, Peucang dan Cagar Alam Ujung Kulon dengan luas total 78.619 Ha serta perairan laut di sekitar kawasan dengan luasan 44.337 Ha. Penetapan batas ditentukan setelah dilakukan pengukuran dilapangan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan. Di tingkat internasional, pada tanggal 1 Februari 1992, TNUK ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO berdasarkan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409

14

Untuk kawasan hutan Ujung Kulon, mulai ditetapkan sebagai Taman Nasional, dari status sebelumnya sebagai kawasan Cagar alam, sejak tahun 1984 dan perluasan wilayahnya di tetapkan pada 1992. Evolusi kebijakan dan perubahan tata kelolan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini bisa dilihat lebih jauh dalam Adi Wibowo, Isu Pemukiman...Op. Cit., hlm. 23.

15

Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, teror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga Legon Pakis, 2008.


(31)

7

Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK ditetapkan16. Kondisi ini menjadi simpul utama ketegangan dan konflik agraria dilahirkan. Baik berupa perlawanan diam-diam, gosip ke petugas TNUK, mematikan bibit tanaman hutan, menebang kayu sekitar pekarangan, mbandel dalam tugas kehutanan hingga konflik fisik antara warga dan petugas hutan. Puncak dari ketegangan dan perlawanan terbuka warga muncul ketika tahun 2007, seorang warga tertembak mati oleh salah seorang petugas Hutan TNUK dengan tuduhan perambahan hutan, yang menyulut amok massa dari beberapa desa dan kampung sekitar dusun Legon Pakis dan berlanjut pada kekerasan-kekerasan pada warga secara fluktuatif, yang berimplikasi pada semakin ketatnya aturan-aturan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan.17

Sejak peristiwa oktober kelabu tahun 2007, hubungan disharmoni warga pinggiran hutan khususnya di kawasan Legon Pakis) dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) semakin tajam. Konflik tersebut telah menciptakan teror baru, ketakutan dan ketidaknyamanan warga, baik dalam kehidupan sehari-hari dalam aktivitas bersawah dan berkebun maupun dalam aktivitas sosial lainnya. Sehingga disadari atau tidak juga berpengaruh pada terhambatnya akses kebutuhan dasar mereka; dalam beragam dimensinya. Kondisi ketidaknyamanan dan ketidakamanan warga dusun Legon Pakis semakin parah

16

Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah: Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda. Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Nasional Indonesia, SAINS Press, 2009.

17

Ribuan warga desa Ujung Jaya (termasuk Legon Pakis), Taman Jaya, dan Cigorondong yang marah membakar Kantor Balai TNUK Seksi II Handeuleum di Tanjung Lame dan kantor Resor di Taman Jaya dan Blok Ketapang. Sebanyak tujuh bangunan, dua perahu, tiga sepeda motor, komputer, dan barang elektronik serta fasilitas lainnya dibakar oleh massa yang marah. Pembakaran dan perusakan Kantor Balai TNUK itu berlangsung sekitar dua jam, sejak pukul 17.00 hingga 19.00, dengan kerugian diperkirakan Rp 2 miliar, lihat koran KOMPAS, 6 November 2006.


(32)

8

karena ketiadan kelembagaan dan organisasi sosial yang menopang dan mampu manjadi disementasi sosial sekaligus wadah untuk ikatan bersama secara kolektif “ke dalam” (antar warga) di satu sisi, dan organisasi/ kelembagaan sosial sebagai wadah dan pusat “ideologisasi”, pubikasi, kampanye perlawanan dan perjuangan mereka “ke luar”. Persoalan kesolidan di internal warga ini menjadi faktor penting untuk menganalisa lebih jauh pilihan dan strategi yang dipilih dalam merespon dan melakukan aksi perlawanan. Sampai hari ini realitas konflik dalam skala yang lebih kecil; penangkapan paksa dan penahanan warga dengan tuduhan “illegal logging” dan perambahan hutan masih berulang.18

Meskipun demikian, berangsur-angsur warga berinisiatif untuk melakukan aksi kolektif (collective action) dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya guna memperjuangkan nasib dan hak atas kawasan ruang hidup mereka di kawasan TNUK. Dengan cara mengundang dan belajar bersama dengan para aktivis lingkungan, hukum, lembaga riset dan LSM untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan SDA yang lebih kolaboratif, partisipatif dan lebih adil bagi keberlangsungan hidup mereka sekarang dan akan datang. Usaha-usaha aksi dan perlawanan warga ini masih berlangsung hingga kini, salah satunya adalah usulan pengelolaan hutan konservasi partisipatif dengan memanfaatkan konsep Zona Khusus yang merujuk pada aturan Permenhut 2006.19

Pilihan jalan negosiasi dengan dasar konsep legal Zona Khusus ini merupakan tawaran “jalan tengah” bagi penyelesaian konflik warga dan BTNUK, sebab lintasan sejarah perlawanan warga sebelumnya lebih banyak mengandalkan

18

Pada 10 April 2009, tiga orang dari Ujung Jaya ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor Sumur-Pandeglang, Banten, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Hal yang sama juga terjadi pada Agustus 2009, 5 orang warga kampung Ujung Jaya ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Lebih jauh lihat, laporan Advokasi Hukum Konflik TNUK, IHCS dan KOMNAS HAM Jakarta, 2009. Pada akhir 2009, 3 orang warga legon pakis di panggil dan diinterogasi Polsek Cibaliung dengan dugaan menggarap lahan yang sudah ditinggalkan. Januari-Februari 2011, pembabatan tanaman warga terjadi untuk kepentingan pemagaran proyek dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), beserta bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi guna mencari persetujuan warga untuk proyek ini, termasuk pada jaringan LSM/NGO yang mendampingi warga. Hasil kunjungan penulis, Februari 2011.

19

Zona Khusus adalah salah dari beberapa Zonasi (Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Religi dll) untuk mengatur kawasan di Taman Nasional seluruh Indonesia. Secara normatif Zona Khusus berisi tentang pengakuan terhadap keberadaan kehidupan masyarakat beserta sarana dan prasarana penghidupannya sebelum Taman Nasioanl ditetapkan. Sarana-prasarana tersebut antara lain infrastruktur jalan, listrik dan telekomunikasi. Lebih jauh lihat, Permenhut No. P. 26/Menhut/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.


(33)

9

aksi-aksi massa dan strategi “hitam-putih” atau “menang-kalah”, dan ternyata strategi model ini menemui jalan buntu, karena berbenturan langsung dengan politik kekuasaan BTNUK. Justru hasilnya adalah sebaliknya, beragam bentuk-bentuk tekanan, pembatasan dan teror lebih meningkat. Selaras dengan apa yang diungkapkan Peluso (2006), bahwa paksaan dan tekanan bukanlah sesuatu yang selesai dan berdiri sendiri melainkan bagian dari proses yang terus berlangsung, ketika satu pihak berupaya menguasai sumberdaya yang diklaim oleh pihak lain.

Hingga kini, usaha ke arah upaya resolusi konflik dan negosiasi multi pihak terus dilakukan oleh warga dengan didampingi dan dijembatani oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO dengan tetap mengusung gagasan pengelolaan kolaboratif dengan konsep Zona Khusus. Di tengah usaha negosiasi yang belum terwujud, muncul tantangan baru berupa kolaborasi Proyek Penangkaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang didanai oleh Internasional Rhino Foundation (IRF), dan telah ditandatangai oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten dan TNUK pada Juni 2009 lalu. Proyek yang ditargetkan berjalan tahun 2011-2015 ini ingin mengembangkan eko-wisata Badak Jawa sebagai ikonnya. Ironisnya, proyek besar yang praktiknya --telah dimulai awal tahun 2011 lalu-- berupa “pemagaran” wilayah kawasan TNUK di sebelah selatan Gunung Honje seluas 3000 ha, ini justru mengklaim dan menabrak ratusan lahan sawah dan kebun campuran yang telah bertahun-tahun menjadi lahan garapan dan kebun campuran warga di pinggiran/dalam kawasan hutan. Dalam rencana proyek pemagaran listrik untuk Badak Jawa ini, wilayah yang paling luas terkena dampak pengambilalihan lahan adalah dusun Legon Pakis dan sebagian kecil di wilayah kampung Cikaung Girang. Secara adminsitratif kedua dusun ini berda di desa Ujung Jaya kecamatan sumur Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

Benturan kepentingan aksi-reaksi pihak-pihak yang lebih beragam meletup kembali, dengan kontestan yang lebih beragam, antara warga pinggiran hutan (Legon Pakis) dan LSM/NGO pendamping warga dengan BTNUK, YABI, PEMDA-Provinsi-Kabupaten, serta Otoritas Kehutanan yang terkait. Pertarungan dan kontestasi antar aktor dan kepentingan yang berlangsung didukung oleh jaring-jaring aktor di lapangan, orang-perorang, kelembagaan, komunitas,


(34)

10

pemerintahan/birokrasi, yang melibatkan beragam situasi-situasi politik-sosial-ekonomi di tingkat global-nasional-lokal beserta kompleksitas strategi, ideologi, paradigma di masing-masing kepentingan dan aktor yang bertarung. Singkatnya proyek Penangkaran Badak menjadi salah satu arena besar --dari turunan arena-arena lain yang lebih kecil-- dari beragam kepentingan dan aktor bertemu dan bertarung di gelanggang alami yang berupa kawasan hutan konservasi TNUK.

Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa kejadian dan peristiwa sebelumnya--. Di sisi lain rejim TNUK memiliki gaya koersif dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan milisi sipil “Jawara” Banten (dengan istilah Pam Swakarsa) yang dikendalikan melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik oleh beberapa senior petugas BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan “horizontal”. Kondisi ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari BTNUK. Namun pada irisan tertentu bisa jadi sebuah fenomena umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan dan konflik di kawasan Taman Nasional di Indonesia.

Nampak bahwa pertarungan politik tata-ruang di kawasan konservasi TNUK yang melibatkan beragam kontestasi kepentingan dan aktor berimplikasi kuat pada penciptaan situasi-situasi konflik agraria dan mendorong perlawanan serta aksi kolektif masyarakat di pinggiran/dalam kawasan hutan. Namun demikian, situasi kompeks seperti ini tentu saja baru terlihat dari sisi kulit luar dan permukaan saja yang membutuhkan penggalian dan pendalaman lebih lanjut dengan rumusan panduan pertanyaan dan tujuan penelitian yang selaras.


(35)

11

1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Nampaknya, hingga kini, kawasan hutan masih menjadi arena pertarungan kepentingan multi pihak yang menyebabkan beragam konflik tenurial masih kerap terjadi. Menurut data HuMa (2011)20, tercatat 85 kasus konflik terjadi dikawasan hutan yang tersebar di 10 Provinsi di Indonesia. Dalam konflik ini melibatkan pertarungan beragam aktor baik para petani dan masyarakat adat, dengan Perhutani, para pengusaha HPH, HTI, Taman Nasional, dan dengan Kementerian Kehutanan21. Konflik tenurial kehutanan ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti pelanggaran terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan sebagai hutan negara secara sepihak oleh Kemenhut maupun pemerintahan kolonial. Jantung persoalannya adalah pada ketidakpastian ‘aturan main’ yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan.

Secara garis besar, ada beberapa masalah kehutanan yang pada akhirnya menyebabkan konflik ternurial terus berlanjut dikawasan hutan. Pertama, adalah masalah hak atas tanah atau masalah tenurial. Kedua, masalah yang berkaitan dengan tertutup/terbatasnya akses masyarakat untuk masuk dan mengambil/memanfaatkan hasil-hasil hutan. Ketiga, adalah masalah lingkungan, yaitu rusaknya hutan akibat ulah manusia yang sewenang-wenang memperlakukan hutan. Kondisi konflik semakin diperparah oleh benturan kepentingan yang semakin kompleks akibat dari kenyataan bahwa secara de jure kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan

20

Laporan akhir tahun tentang Konflik Tenurial di Kawasan Hutan, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta, 2011.

21

Jika dilihat dari aktor yang terlibat terdapat sembilan kategori konflik; 1)Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi akibat ditunjuk dan/atau ditetapkannya wilayah adat sebagai kawasan hutan negara; (2) Konflik antara masyarakat vs. Kemenhut vs. BPN. (3) Konflik antara masyarakat transmigran vs. masyarakata (adat/lokal)vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah vs. BPN. 4) Konflik antara masyarakat petani pendatang vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah. Misalnya konflik karena adanya gelombang petani yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut; (5) Konflik antara masyarakat desa vs. Kemenhut. Misalnya konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa; (6) Konflik antara calo tanah vs. elite politik vs. masyarakat petani vs. Kemenhut vs. BPN. (7) Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. (8) Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izinizin lain seperti pertambangan dan perkebunan. (9) Konflik karena gabungan berbagai aktor 18. Lebih jauh lihat,

Menuju Kepastian dan eadilan Tenurial, Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia Tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah Mereformasi Kebijak Penguasaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia, Edisi revisi (2011), hlm. 23-24.


(36)

12

hasil hutan (Contreras dan Fay, 2009). Akibat konflik, adalah munculnya kekerasan yang sebagian besar menimpa masyarakat yang hidup disekitar hutan, kriminalisasi terhadap masyarakat yang tinggal disekitar hutan, dan munculnya masalah sosial yakni kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan.

Dalam kasus di masyarakat petani sekitar dan dalam kawasan TNUK, selain persoalan tenurial, terkait batas kelola dan kepemilikan lahan, pihak otoritas TNUK dalam ragam kebijakan konservasinya masih mengabaikan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan. Padahal masyarakat telah hidup secara turun temurun dan bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Dove (1983) hal ini merupakan contoh dari apa yang disitilahkannya sebagai “politic of ignorance” dari pemerintah, dalam hal ini otoritas TNUK. Akibatnya, masyarakat perlahan namun pasti tereksklusi dari ruang hidupnya sendiri. Demi menuntut hak dan akses mereka yang makin terampas, aksi perlawanan mereka lakukan dengan beragam pilihan cara dan strategi dalam konteks kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini hendak mengungkap dan mendalami lebih jauh tentang bagaimana aksi petani dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK. Untuk menjawab persoalan utama tersebut maka studi ini hendak hendak menelusuri tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut;

1. Bagaimanakah konteks historis yang melatarbelakangi lahirnya kontestasi dalam penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK? 2. Bagaimanakah ragam kepentingan multi pihak dikontestasikan dalam

politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK, sehingga berkontribusi pada proses eksklusi masyarakat sekitar/dalam kawasan TNUK?

3. Bagaimanakah bentuk-bentuk aksi dan strategi perlawanan petani, dalam merespon kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK?


(37)

13

Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian di atas maka studi ini bertujuan untuk;

1. Menjelaskan dan menganalisa konteks historis yang melatarbelakangi kontestasi antara masyarakat di pinggir dan dalam kawasan TNUK, khususnya kampung Legon Pakis dengan pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) beserta para pendukung masing-masing dalam konteks politik penataan dan penguasan ruang di kawasan konservasi TNUK.

2. Mengurai dan menjelaskan peta kepentingan (konservasi, ekologi dan ekonomi) dan para aktor berkontestasi dalam konteks penataan dan pengusaan ruang di kawasan konservasi TNUK.

3. Menejelsakan dan menganalisa beragam bentuk bentuk-bentuk aksi, strategi dan perlawanan masyarakat petani di sekitar/dalam kawasan konservasi TNUK, khususnya masyarakat petani Legon Pakis dan sekitarnya dalam merespon politik penataan dan penguasaan ruang konservasi di TNUK.


(38)

14


(39)

15

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam

Secara umum konsep konservasi memiliki makna yang dinamis seiring dialektika pengetahuan para perumus konsepsi konservasi dan kontes yang melatarbelakangi dialektika pengetahuan tentang konservasi. Konsep-konsep konservasi kini mengalami perluasan definisi. Menurut MacKinnon dalam Alikodra (2010), konsep konservasi yang modern adalah suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini berdasarkan adanya dua kebutuhan; pertama, kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini ada yakni memahami konservasi sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam artian tertutup bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan.

Paradigma yang baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konservasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan lingkungannya (Alikodra 2010). Ini merupakan salah satu pandangan konservasi ‘klasik’ yang masih melihat manusia sebagai ancaman daripada potensi solusi bagi pengelolaan kawasan hutan.


(40)

16

Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2010), manusia seharusnya mengkhawatirkan fenomena berkurangnya keanekaragaman hayati karena tiga alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan species dominan di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi semuanya yang telah turut menemani tinggal di alam semesta. Kedua, manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan, obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi. Ketiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem secara alami, seperti pemeliharaan komposisi gas-gas di atmosfer, proses fotosintesa yang membuat bumi mengalami kecukupan oksigen.

Effendi (2001) mengamati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman terhadap kawasan konservasi. Ia mengatakan bahwa miskonsepsi itu dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan sumberdaya alam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pemerintah menunjuk suatu areal sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konservasi tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai alternatif pilihan penggunaan lahan, termasuk kawasan konservasi.

Konservasi sumberdaya alam di kawasan TNUK bertujuan untuk pelestarian species Badak Jawa atau popular dikenal dengan sebutan Rhino, alasan perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah kawasan hutan alami dengan kekayaan hutan yang melimpah bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, kawasan TNUK adalah common property yang akan mudah disalah gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok pengguna yang bertindak atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang rumput milik Hardin, pemecahan permasalahan common property untuk mencegah tragedy of common


(41)

17

adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan sentralisasi atau privatisasi sumberdaya alam tersebut (Hardin 1968). Selain kedua pendekatan tersebut, Ostrom (1990) dalamVan Vugt (2002) mengemukakan pendekatan ketiga berupa rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang diorganisir dan diatur oleh pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom mengupayakan agar kelompok-kelompok utama yang berada dalam situasi yang saling bergantung satu sama lain ini mampu mengorganisir dan mengatur dirinya sendiri untuk memperoleh keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi kendala adanya kelompok pendompleng (free rider), tak mematuhi peraturan (shirk), atau oportunis.

Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama; individu tidak percaya sistem yang diberlakukan mampu menghentikan mereka yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu mengkhawatirkan adanya praktik korupsi dan eksploitasi oleh pemerintah itu sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki alternatif pilihan untuk menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi menjadi sistem yang sangat tidak populer (Van Vugt 2002). Menurut Ostrom dalam Van Vugt (2002), sistem sentralisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada. Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuan/kearifan lokal untuk memonitor kondisi sumberdaya dan merencanakan aturan yang optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002).

Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan Taman Nasional di Indonesia mengalami permasalahan baik soal pendanaan maupun dalam menghadapi ilegal logging dan perambahan wilayah. Menurut Riyanto (2005), beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah: 1)


(42)

18

Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi sumberdaya alam; 2) Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan suaka alam dan pelestarian alam; 3) Pendanaan dalam bidang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim, sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut. 4) Peran serta masyarakat di dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati masih rendah.

Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia memang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak menerima anggaran reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konservasi yang disebut Integrated Conservation and Development Project (ICDP) yang didukung oleh Bank Dunia. Begitupula proyek penangkaran Badak untuk tujuan eko-wisata yang diresmikan tahun lalu oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten hasil kolaborasi Yayasan Badak Indonesia (YABI), Internasional Rhino Foundation (IRF) dan BTNUK yang disebutkan membutuhkan dana 6 milyar, adalah salah satu upaya untuk mendatangkan dana bagi pengelolaan konservasi di TNUK. Disatu sisi hal ini membantu bagi pengurusan kawasan konservasi, namun jika hal itu menjadi ketergantungan dan pelaksanaannya tidak memahami prasyarat konservasi secara utuh, justru akan menjadi masalah baru bagi multi pihak yang berkepentingan dengan TNUK. Di dalam konteks kasus TNUK -dan mungkin pada umumnya di kawasan Taman Nasional lainnya- yang menjadi korban penderita adalah masyarakat yang hidup di pinggiran/di sekitar kawasan konservasi, yang dipaksa dengan beragam cara untuk menyesuaikan diri dengan tujuan dan target proyek, yang biasanya tanpa mengindahkan hak dan kepentingan dasar subsistensi mereka. Demikianlah yang terjadi di wilayah kawasan kampung Legon Pakis.

Proses marjinalisasi masyarakat di pinggiran kawasan hutan bukan hanya terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus


(43)

19

konservasi negara (TNUK) dengan msayarakat petani pedesaan tetapi juga terkait dengan domain paradigmatik atau bangun susun pengetahuan yang mengendap dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut oleh penguasa dalam mengurus penataan ruang di kawasan konservasi.

Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi, yang dapat berlaku juga pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah; penguasaan/pengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya kekuasaan (Weber, 1978) atau sebagai perwujudan kekuasaan Negara atau perusahaan (korporasi). Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan azaz konservasi Taman Nasional dengan species utama Badak Jawa Bercula Satu inilah, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dan menyingkirkan masyarakat dari pinggiran/dalam kawasan hutan.

Secara teoritis persoalan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi tidak bisa dilepaskan dari paradigma pengelolaan hutan yang dipakai oleh otoritas pengelola Taman Nasional, sebab pandangan pengelola terhadap hutan dan kenyataan yang hidup di dalamnya berpengaruh terhadap sistem pengelolaan hutan yang dipakai. Setidaknya terdapat tiga kelompok pandangan dominan dalam pengelolaan hutan; Pertama, Pandangan Berbasis Ekologis. Kelompok ini menempatkan hutan sebagai sebuah kawasan ekosistem yang berfungsi sebagai kawasan kehidupan tidak hanya untuk makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, namun secara global berfungsi juga sebagai paru-paru dunia. Maka, keberadaan hutan dan fungsi utamanya itu harus dijaga dan dilestarikan secara berkelanjutan, (sustainability). Kedua, pandangan Eko-Politik. Pandangan ini melihat bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki nilai dan manfaat ekonomis. Pandangan ini memberi arahan bahwa pengelolaan hutan sebagai sumberdaya ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan. Hutan dipandang sebagai sumber bahan baku produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan. Dengan demikian, segala hal yang dianggap menghambat pencapaian tujuan tersebut mesti dihilangkan. Ketiga, pandangan Sosial-Budaya. Padangan ini lebih menitik beratkan pada fungsi dan potensi hutan sebagai bagian dari kehidupan


(44)

20

keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kehidupan hutan dipandang sebagai suatu kegiatan kehidupan dengan nilai-nilai dan ritual kemasyarakatan termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan menuju keberlanjutannya untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat manusia di dalamnya, dan di sekitarnya.22

Dilihat dari tiga model pandangan di atas, kasus pengelolaan TNUK lebih terlihat dominannya padangan yang kedua; nalar eko-politik. Digtum pembangunanisme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi cara melihat dan memperlakukan Sumberdaya Alam, dalam hal ini kuasa atas TNUK, yang lebih berorientasi ekonomistik. Sehingga segala peluang yang dapat menunjang pemanfaatan dalam meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya akan terus dilakukan, baik melalui regulasi, kebijakan dan usaha-usaha ekonomis lainnya dengan ragam pihak (pengusaha, swasta dan juga pemodal asing) yang segaris dengan ‘ideologi’ pembangunanisme yang dianut. Sebaliknya, segala hal yang diangap menghambat dan menghalangi pencapaian keuntungan ‘ekonomis’ ini akan dengan sengaja (baik halus maupun kasar) akan dihilang-paksakan.

Dalam sudut pandang yang serupa, model konservasi sumberdaya alam secara teoritis jika dilihat dari aliran pemikiran (school of thought) terdapat tiga aliran besar yang berpengaruh yaitu; konservasionis, eko-populis dan developmentalis (Witter dan Bitmer, 2005). Aliran pemikiran pertama (konservasionis) bergumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekologi. Pada dasarnya pemikiran ini mengangap bahwa penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Aliran pemikiran kedua, (eko-populis) berargumen bahwa masyarakat adat dan lokal adalah penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodoks mengenai

22


(45)

21

ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap pengetahuan lokal. Sementara aliran ketiga (developmentalis) mempunyai anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan, sehingga penanganan dan kebijakanya lebih berwatak ‘pembangunanisme’. Mereka beranggapan bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat masyarakat lokal, sedang kaum konservasionis dianggap tidak memperhatikan persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan konservasi23.

Bentuk-bentuk teror, pembatasan akses melalui regulasi, peningkatan kontrol oleh Polhut (yang dipersenjatai dengan senjata api), dan pemaksaan dan preasure lain dalam usaha untuk ‘mengkosongkan’ wilayah TNUK baik dengan merelokasi warga sekitar hutan maupun mendesak dan mempersempit gerak kehidupan pemukim di sekitar TNUK semakin hari semakin intensif dilakukan merupakan bukti bagaimana pandangan konservanisonis masih dominan di anut pengelola TNUK. Pada titik inilah tarik ulur ketegangan antara ruang ekonomi dan ruang ekologi dalam mekanisme saling meniadakan (zero sum game) satu sama lain terjadi. Program yang menekankan peningkatan ekonomi akan merusak fungsi ekologis dan sosial dari SDA, sebaliknya, program yang mengutamakan perlindungan SDA secara berlebihan dan abai atas fungsi ekologis dan sosialnya berakibat pada terkurangnya manfaat ekonomi.24

Atas nama komuditas ekonomi dengan payung ‘konservasi’ berwatak pembangunanime, kesejahteraan warga pemukiman di kawasan TNUK diabaikan, bahkan jika perlu ‘dianggap tidak ada’. Nampaknya nalar developmentalisme juga masih menjadi cara pandang dominan dalam mempersepsi kawasan konservasi dan masyarakat di sekitar Taman Nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana minimnya pengembangan corak pandang eko-populis dalam pengelolaan lahan konservasi. Padahal sudut pandang inilah yang memberi peluang besar bagi penghormatan yang utuh atas ekosistem hutan beserta mahluk hidup yang ada di sekitarnya. Dalam kerangka pemetaan paradigma pengelolaan sumberdaya alam semacam inilah yang akan dipakai untuk melihat kontestasi kepentingan dan aktor yang bertarung dalam konteks penataan dan penggunaan kawasan konservasi TNUK hendak ditelisik lebih jauh dalam penelitian ini.

23

Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik Op.Cit.

24


(46)

22   

2.2 Politik Tata Ruang dan Sumberdaya Alam

Secara normatif sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 (R.I 1992) tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum, perencanaan ruang adalah suatu penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut dilakukan melalui proses-proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarlan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak.

Dalam perkembangannya, beragam konsep-konsep tentang ruang mengarah kepada corak pendekatan ekonomi dan juga konsep ruang sosial yang merupakan perubahan pandang terhadap ruang dan kemudian banyak dijadikan dasar konsep pengembangan wilayah. Konsep ruang untuk pengembangan wilayah lebih mengarah kepada ruang sebagai komponen untuk kebutuhan pembangunan, misalnya pemusatan konsep keterkaitan kegiatan ekonomi dan organisasi keruangan dalam satu system menurut simpul dan jaringan. Konsep tentang ruang yang diartikan secara absolut yang memandang ruang seperti adanya atau menurut objek yang ada didalamnya. Ruang tidak berubah eksistensinya walaupun sesuatu diletakkan di dalanya sehingga ruang tetap adalah secara absolut. Konsep ruang lainnya adalah dalam kaitannya antara benda dan energi dalam dimensi waktu. Konsep relatif inilah yang kemudian dikembangkan kedalam konsep ruang praktis. 25.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruangan daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lain yang

       25

Lihat, Iswara Gautama, Tata Ruang dan Ekosistem,

http://fahutanunhas.blogspot.com/2008/11/tata-ruang-dan-ekosistem.html (diunduh tanggal 27 maret 2011)


(47)

23

hidup dan melakukan kegiatan dan melakukan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Masalah ruang banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan pembangunan menurut Ikbal yang dikutip oleh Sugandhy (1992) penekanan pada ruang ini terjadi karena wilayah lebih diartikan sebagai space dari pada region. Perhatian pada ruang sebagai unsur penting alam pembangunan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya perhatian pada konsep pembangungan berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pendekatan yang berperan besar dalam penggunaan sumberdaya alam adalah tata ruang, yang pada dasarnya merupakan suatu alokasi sumberdaya alam ruang bagi berbagai keperluan pembangunan agar memberi manfaat yang optimal bagi suatu wilayah (Coutrier, 1992).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pasal 14 (2), yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruangan adalah bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial budaya, ekonomi, teknologi, pertahanan, keamanan, fungsi lindung, budidaya, dan estetika lingkungan, dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang. Menurut Sugandhy (1995), ruang merupakan suatu wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis yang dipergunakan sebagai wadah bagi setiap usaha pemenuhan kehidupan manusia baik pemanfaatannya secara horizontal maupun vertikal.

Dalam perpektif yang lebih kritis, politik ruang atas kawasan sumberdaya alam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Menurut Sangaji (2011) hubungan politik ruang dengan kapitalisme bisa dirujukkan pada pemikiran Marx. Dalam pemikiran Marx, hubungan ruang dengan kapitalisme di dalam karya-karyanya di bawah logika sifat ekspansi sistem ini. Dalam sebuah kasus di Grundrisse, dikatakan bahwa ketika kapital berusaha menyingkirkan semua hambatan spasial di seluruh permukaan planet agar supaya pasarnya melimpah ruah, maka dalam waktu yang sama kapital berusaha untuk melenyapkan ruang dengan waktu (to annihilate space by time), yaitu dengan mengurangi jumlah waktu yang diperlukan untuk pergerakan atau sirkulasi


(48)

24

[modal, tenaga kerja, barang dan jasa] dari satu tempat ke tempat lain26. Apa yang Marx tekankan, pelenyapan hambatan spasial (spatial barrier) merupakan kunci dari akumulasi kapital. Adalah Henri Lefebvre yang mengembangkan lebih jauh diskusi soal ruang dan kapitalisme, melalui teorinya tentang produksi ruang (production of space).

Buat Lefebvre, sebagaimana dikutip Sangaji (2011) produksi dan reproduksi ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global, merupakan kunci dari keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang nafasnya. Salah satu tema utama Lefebvre tentang produksi ruang adalah ruang sosial (social space), yakni manusia mengorganisir ruang dalam hubungan antar sesama. Baginya, ruang merupakan hasil dari hubungan social.27 dan diskusi tentang ruang sosial, bagi Lafebvre, harus didudukkan ke dalam konteks corak produksi, konsep penting dalam materialisme sejarah (historical materialism) guna mengerti gerak perubahan masyarakat.28

Menurut Sangaji (2011) di dalam masyarakat dengan corak produksi kapitalis, produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus bisa diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya, setiap masyarakat — atau setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri. Dengan kata lain, perbedaan corak produksi menciptakan ruang berlainan. Produksi ruang di bawah feodalisme berbeda dengan produksi ruang masyarakat kapitalis. Lefebvre menunjuk masyarakat abad pertengahan yang bercirikan corak produksi feudal menghasilkan bentuk material ruang seperti manor, monastery, dan katedral. Sebaliknya, dalam masyarakat kapitalis, wujud ruang bisa dilihat dari jejaring perbankan, pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan produktif. Jadi, perubahan dari satu corak produksi ke corak produksi lainnya akan diikuti dengan perubahan representasi material semacam itu.

Dengan demikian, sebagai sistem global, menurut Lefebvre, kapitalisme membentuk ruang abstrak (abstract space).29Maksudnya, ruangnya dunia bisnis,

26

Karl Marx (1973) Grundrisse , New York , London : Penguin Books.

27

Lihat Henri Lefebvre (1991) The Production of Space, Oxford : Blackwell Publishing.

28

Marx, Op.Cit

29

Lihat Henri Lefebvre (2009) Space, State, World, Minneapolis, London : University of Minnesota Press . Diskusinya tentang space merupakan sumbangan besar Lefebvre bagi critical human geography, dengan merevolusionerkan disiplin ilmu ini, dengan menganggap space sebagai


(49)

25

baik berskala nasional mapun internasional dan ruang tentang kekuasaan uang dan politik negara [kapitalis]. Lanjutnya, ruang abstrak bersandar pada gurita perbankan raksasa, perbisnisan, dan pusat-pusat produksi kapitalis yang utama. Juga intervensi spasial seperti jaringan jalan, lapangan terbang, dan jaringan informasi, guna melipat-gandakan produksi dan sirkulasi kapital secara cepat. Ruang abstrak merupakan basis dari akumulasi kapital. Lantas, Lefebvre mendaftar kontradiksi-kontradiksi di dalam ruang kapitalis. Kontradiksi paling utama adalah penghancuran ruang oleh rejim hak milik (private property) atas semua bentuk rejim kepemilikan lainnya; komunal, feudal dan sebagainya. Juga, menciptakan hirarki di dalam masyarakat berbasis eksploitasi kelas. Bentuk lainnya adalah kontradiksi berbasis pusat dan pinggiran30.

Dengan dasar dan pandangan di atas, maka, dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang, maka penting menekankan bahwa tindakan negara dalam alokasi hutan untuk HPH, penetapan kawasan konservasi (taman nasional) penetapan kawasan perkebunan dan areal pertambangan yang melahirkan monopoli alat produksi adalah pelajaran konkrit dari produksi ruang kapitalis, seperti diteorikan Lefebvre. Namun, disayangkan menurut Sangaji (2011) bahwa diskusi soal produksi ruang ini sangat reduksionis, dan terisolasi dari debat corak produksi kapitalis. Kondisi material ruang yang ditandai distribusi alat produksi (dalam kasus ini tanah) yang menumpuk di tangan segelintir kelas kapitalis hilang dari percakapan.

Pembahasannya dipangkas menjadi teknokratis, misalnya, semata berwujud Rencana Tata Ruang (RTR) Ambil contoh paling konkrit, peta. Sebagai

alat produksi (means of production), sebagaimana dipahami dalam tradisi Marxist. Menurutnya, ruang sebagai alat produksi merupakan jaringan pertukaran dan arus pergerakan bahan baku dan energi. Dalam pengertian ini, sebagai alat produksi, tidak bisa dipisahkan dari kekuatan produksi (force of production), tehnik, dan pengetahuan; tidak boleh dilepaskan dari pembagian kerja sosial (social labour) secara internasional, dari alam, dan dari negara dan soal-soal superstruktur lainnya.

30

Mengikuti pemikiran Lefebvre ini, menurut Sangaji (2011) maka alternatif terhadap ruang kapitalis adalah ruang sosialis (socialist space). Ruang sosialis bersandar pada sosialisasi alat-alat produksi, bukan di bawah penguasaan kelas kapitalis. Dan karena kegiatan produksi dalam masyarakat sosialis, seperti diteorikan Marx, adalah produksi untuk kebutuhan sosial (social needs), maka bagi Lefebvre, aspek-aspek mendasar kebutuhan sosial seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, merupakan isu pokok yang harus dijawab dalam ruang sosialis. Tergolong dalam kebutuhan sosial ini juga pengorganisiran ulang ruang perkotaan untuk kebutuhan semua, bukan untuk segelintir. Dan jalan untuk membangun alternatif ruang sosialis adalah politik (politic of socialist space).


(50)

26

gambaran tentang ruang yang diorganisir untuk tujuan kapital, maka pemerintah membuat aneka peta tematik; katakanlah, peta tata guna hutan, peta pertambangan, dan peta-peta lain. Karena peta-peta itu sering saling bertubrukan satu dengan lain, maka dibuatkan peta “paduserasi,” mungkin dipinjam dari kosakata “harmoni,” kerap diilusikan sebagai kultur bangsa. Di lapangan, peta-peta yang diukir para ahli kartografi itu selalu menjadi malapeta-petaka. Peta menjadi alat untuk menggusur petani, bahkan dengan kekerasan mematikan. Serangan terhadap para petani biasa dimulai dari kegiatan survei lapangan, bunyi buldozer menggusur tanaman pertanian rakyat, hingga letupan senjata api.

Para petani melawan, karena aneka peta itu bukan saja memasukkan lahan pertanian tetapi juga kampung yang mereka tinggali di bawah kepemilikan baru. Peta, oleh karena itu, bukan sekedar media untuk melukiskan informasi bumi, tetapi menjadi alat klaim kepemilikan hak milik secara eksklusif. Peta telah menjadi alat penghancuran sistem kepemilikan non-kapitalis. Peta adalah instrumen untuk transformasi ekonomi politik dengan segala resiko turunan yang buruk 31. Dalam batasan konsep ruang seperti ini, politik tata ruang di kawasan konservasi TNUK hendak ditinjau dalan penelitian ini.

2.3 Hak dan Akses atas Sumberdaya Alam

Pembatasan akses masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003: 1) akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things).

31

Diskusi yang baik soal peranan peta dan pemetaan dalam ekspansi kapitalisme secara historis diungkapkan oleh Pickles. Dia melihat peta sebagai alat untuk melindungi hak milik pribadi menyusul perkembangan kapitalisme dalam menggantikan corak produksi feudal di Eropa. Katanya, dalam proses pembuatan peta para surveyor profesional, manager perkebunan swasta, dan birokrat pemerintah memainkan peran penting dalam proses transisi itu. Di Belanda, produksi dan penggunaan peta-peta cetak pada abad 16 dan 17 secara langsung berhubungan dengan ekspansi dagang dan imperial negeri itu pada masa kejayaannya. Lihat John Pickles (2004) A History of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Lebih jauh lihat, Anto Sangaji, Kapitalisme dan Produksi Ruang,

http://indoprogress.com/2011/02/28/kapitalisme-dan-produksi-ruang/ diunduh tanggal 25 Maret 2011.


(51)

27

Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu (“the right to benefit from things”). Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (”bundle of rights”). Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja.

Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003), diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berberbeda-beda32.

Dengan pengertian semacam ini, maka konsep akses pada akhirnya ingin melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris yang fokus pada issue ‘siapa yang mendapatkan (atau tidak mendapatkan) pemanfaatan tersebut? Dan dengan cara apa? Maka dapat dikatakan bahwa perbedaan orang atau institusi pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan yang dibentuknya. Orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya terhdap sumberdaya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan sekala

32


(52)

28

geografis tertentu. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh haknya terhadap sumberdaya tersebut.

Merujuk pada Ribot dan Peluso (2003) dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property. Jika property lebih pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property. Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu antara akses dengan property sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya, transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang, institusi, atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak.

Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara: pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes 1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan sosial. Dapat dikatakan bahwa akses merupakan semua makna-makna kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’.

Sementara propertylebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi tertentu. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu


(53)

29

dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan.

Menurut Blaikie (1985) tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.

Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK lambat laun telah mendorong penurunan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang berwatak konservasionis-developmentalistik tersebut ikut menghambat warga sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi lain, kekayaan pengetahuan dan keariafan lokal33 yang telah hidup dan diyakini lama oleh masyarakat semakin terkikis dan akhirnya luntur akibat penggerusan paksa aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari Barat.

Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan (hak dan akses) masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses pemiskinan yang semakin masif. Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Secara relasional kemiskinan semacam ini mesti dipandang sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang timpang ini, ketimbang sebagai produk dari proses-proses yang abnormal dan patologis. Suatu “kepekaan ekonomi politik (a sense of political economy) menjadi esensial” di sini untuk dapat “menyibakkan hubungan-hubungan historis

33

Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman (ed.)

Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, (ICIP, Jakarta: 2007), hlm. 11.


(54)

30

yang menciptakan ketimpangan distribusi kekuasaan, kemakmuran dan kesempatan di tengah-tengah masyarakat” (Du Toit dalam Mosse 2007). Tanpa membongkar struktur ketimpangan-ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi.

Sebab, pada umumnya, menurut Shohibuddin dan Soetarto (2009) kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih sering dilihat sebagai sebuah “kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”. Sebagai kondisi, maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah ukuran-ukuran yang statis, seperti kondisi tempat tinggal, jenis dan jumlah asupan gizi, tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan sebagainya. Kemiskinan merupakan “atribut negatif” dari ukuran-ukuran ini dalam suatu gradasi. Apa yang tidak tertangkap dari konstruksi semacam itu adalah bahwa kondisi kemiskinan, baik pada tingkat rumah tangga ataupun komunitas, memiliki sejarah dan dinamika yang berbeda-beda. Status dan kondisi kemiskinan boleh saja serupa pada, misalnya, berbagai komunitas adat terpencil. Akan tetapi, tanpa memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan mekanisme-mekanisme sosial yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut (bahkan dicipta kembali), maka penetapan level-level kesejahteraan maupun introduksi program-program pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal dapat menjawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. (Mosse 2007).

2.4 Gerakan dan Perlawanan Petani

Sebelum mendefinisikan perlawanan dan gerakan, ada baiknya untuk mengupas sedikit tentang siapa yang di sebut dengan petani. Dan sebenarnya, perdebatan tentang petani sudah berlangsung lama baik dalam lingkup internasional maupun dalam negeri sendiri.34 Tentu saja terdapat ragam definisi

34

Dalam kajian di luar negeri, perdebatan mengenai definisi tentang petani sudah berlangsung lama (dekade pertengahan tahun 20-an). Ini dapat dilihat bagaimana pro dan kontranya para ilmuwan mengenai teori Chayanov yang terkenal dengan “The Theory of Peasant Economy”. Dalam kajian dalam negeri dapat dilihat semenjak awal berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kajianilmiah tentang pemberontakan petani ini menjadi perbincangan pda tahun 1980-an, misalnya karya Sartono Kartodirjo tentang Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Dan memuncak perdebatan tentangnya pada saat kaum tani memiliki organisasi besar nasional, yaitu Barisan tani Indonesia (BTI) yang kemudian ‘berafiliasi’ pada Partai Komunis Indonesia, mesipun pada mulanya adalah organisasi yang terpisah dari PKI.


(1)

139

Lampiran 4 : Foto Proses Penyusunan Partisipatif Dokumen Tata Kelola Zona Khusus dan Hasil Peta Usulan Wilayah Zona Khusus Legon Pakis (Foto, 2010)

PETA USULAN WILAYAH ZONA KHUSUS LEGON PAKIS

Teluk Selamat Datang Batasan Wilayah usulan Zona Khusus Legon Pakis, meliputi Alur sungai Cilintang dan Cihujan, Cikawung. Dengan Luas total 261,611 Ha

Batas ujung garapan masyarakat legon pakis, (sawah dan Kebun) April 2010

Kawasan Hutan Alam

Kawasan Hutan Alam Pemukiman dengan

98 KK…Jiwa

Wilayah/ area usulan Hutan Kikisan Cilintang – Cihujan berupa Hutan Titipan

Karuhun “ Akan Dijaga Keutuhannya.

Sebagai Hutan Titipan & Tutupan Masyarakat Legon Pakis/ Ujungjaya “

Area Usulan Kawasan Kebun Campuran (Agroforestry) Sawah Kebun Campuran Kebun Kelapa Tanjung Lame Wilayah/ Area Usulan Pemukiman dan Lokasi Budidaya Kayu Kebutuhan Mayarakat & Sarana Umum ( Jenis : Jengjeng &

Mahoni sebanyak 1500 pohon) Ditanam di Batas Keliling Kampung


(2)

140

Lampiran 5: Peta Usulan Proyek Pemagaran JRS/JRSCA (Tim Era, 2010)

Lampiran 6 : Peta Batas Wilayah Zona Khusus Legon Pakis di Overlay dengan wilayah zonasi yang ada di TNUK dan rencana pagar JRSCA. (Batas wilayah Legon Pakis berwana hijau).


(3)

141  

Lampiran 7: Foto-foto Proses Perundingan Multi Pihak untuk Negosiasi Zona

Khusus dan Program JRSCA (Hotel, Kharisma Pandeglang, Maret 2011)


(4)

142

Lampiran 8. Nota Kesepakatan Negosiasi Multi Pihak untuk Pengelolaan Zona Khusus dan Rencana Proyek JRSCA (2010)


(5)

143


(6)

144

Lampiran 9: Foto Pembuldozeran di dalam kawasan TNUK, untuk proyek pemagaran Badak JRSCA, menabrak lahan sawah dan kebun campuran warga. (Foto, 2011)