Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam

25 baik berskala nasional mapun internasional dan ruang tentang kekuasaan uang dan politik negara [kapitalis]. Lanjutnya, ruang abstrak bersandar pada gurita perbankan raksasa, perbisnisan, dan pusat-pusat produksi kapitalis yang utama. Juga intervensi spasial seperti jaringan jalan, lapangan terbang, dan jaringan informasi, guna melipat-gandakan produksi dan sirkulasi kapital secara cepat. Ruang abstrak merupakan basis dari akumulasi kapital. Lantas, Lefebvre mendaftar kontradiksi-kontradiksi di dalam ruang kapitalis. Kontradiksi paling utama adalah penghancuran ruang oleh rejim hak milik private property atas semua bentuk rejim kepemilikan lainnya; komunal, feudal dan sebagainya. Juga, menciptakan hirarki di dalam masyarakat berbasis eksploitasi kelas. Bentuk lainnya adalah kontradiksi berbasis pusat dan pinggiran 30 . Dengan dasar dan pandangan di atas, maka, dalam kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang, maka penting menekankan bahwa tindakan negara dalam alokasi hutan untuk HPH, penetapan kawasan konservasi taman nasional penetapan kawasan perkebunan dan areal pertambangan yang melahirkan monopoli alat produksi adalah pelajaran konkrit dari produksi ruang kapitalis, seperti diteorikan Lefebvre. Namun, disayangkan menurut Sangaji 2011 bahwa diskusi soal produksi ruang ini sangat reduksionis, dan terisolasi dari debat corak produksi kapitalis. Kondisi material ruang yang ditandai distribusi alat produksi dalam kasus ini tanah yang menumpuk di tangan segelintir kelas kapitalis hilang dari percakapan. Pembahasannya dipangkas menjadi teknokratis, misalnya, semata berwujud Rencana Tata Ruang RTR Ambil contoh paling konkrit, peta. Sebagai alat produksi means of production, sebagaimana dipahami dalam tradisi Marxist. Menurutnya, ruang sebagai alat produksi merupakan jaringan pertukaran dan arus pergerakan bahan baku dan energi. Dalam pengertian ini, sebagai alat produksi, tidak bisa dipisahkan dari kekuatan produksi force of production, tehnik, dan pengetahuan; tidak boleh dilepaskan dari pembagian kerja sosial social labour secara internasional, dari alam, dan dari negara dan soal-soal superstruktur lainnya. 30 Mengikuti pemikiran Lefebvre ini, menurut Sangaji 2011 maka alternatif terhadap ruang kapitalis adalah ruang sosialis socialist space. Ruang sosialis bersandar pada sosialisasi alat-alat produksi, bukan di bawah penguasaan kelas kapitalis. Dan karena kegiatan produksi dalam masyarakat sosialis, seperti diteorikan Marx, adalah produksi untuk kebutuhan sosial social needs, maka bagi Lefebvre, aspek-aspek mendasar kebutuhan sosial seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, merupakan isu pokok yang harus dijawab dalam ruang sosialis. Tergolong dalam kebutuhan sosial ini juga pengorganisiran ulang ruang perkotaan untuk kebutuhan semua, bukan untuk segelintir. Dan jalan untuk membangun alternatif ruang sosialis adalah politik politic of socialist space. 26 gambaran tentang ruang yang diorganisir untuk tujuan kapital, maka pemerintah membuat aneka peta tematik; katakanlah, peta tata guna hutan, peta pertambangan, dan peta-peta lain. Karena peta-peta itu sering saling bertubrukan satu dengan lain, maka dibuatkan peta “paduserasi,” mungkin dipinjam dari kosakata “harmoni,” kerap diilusikan sebagai kultur bangsa. Di lapangan, peta- peta yang diukir para ahli kartografi itu selalu menjadi malapetaka. Peta menjadi alat untuk menggusur petani, bahkan dengan kekerasan mematikan. Serangan terhadap para petani biasa dimulai dari kegiatan survei lapangan, bunyi buldozer menggusur tanaman pertanian rakyat, hingga letupan senjata api. Para petani melawan, karena aneka peta itu bukan saja memasukkan lahan pertanian tetapi juga kampung yang mereka tinggali di bawah kepemilikan baru. Peta, oleh karena itu, bukan sekedar media untuk melukiskan informasi bumi, tetapi menjadi alat klaim kepemilikan hak milik secara eksklusif. Peta telah menjadi alat penghancuran sistem kepemilikan non-kapitalis. Peta adalah instrumen untuk transformasi ekonomi politik dengan segala resiko turunan yang buruk 31 . Dalam batasan konsep ruang seperti ini, politik tata ruang di kawasan konservasi TNUK hendak ditinjau dalan penelitian ini.

2.3 Hak dan Akses atas Sumberdaya Alam

Pembatasan akses masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian Ribot dan Peluso 2003: 1 akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu the ability to derive benefit from things. 31 Diskusi yang baik soal peranan peta dan pemetaan dalam ekspansi kapitalisme secara historis diungkapkan oleh Pickles. Dia melihat peta sebagai alat untuk melindungi hak milik pribadi menyusul perkembangan kapitalisme dalam menggantikan corak produksi feudal di Eropa. Katanya, dalam proses pembuatan peta para surveyor profesional, manager perkebunan swasta, dan birokrat pemerintah memainkan peran penting dalam proses transisi itu. Di Belanda, produksi dan penggunaan peta-peta cetak pada abad 16 dan 17 secara langsung berhubungan dengan ekspansi dagang dan imperial negeri itu pada masa kejayaannya. Lihat John Pickles 2004 A History of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Lebih jauh lihat, Anto Sangaji, Kapitalisme dan Produksi Ruang, http:indoprogress.com20110228kapitalisme-dan-produksi-ruang diunduh tanggal 25 Maret 2011. 27 Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu “the right to benefit from things”. Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” “a bundle of powers” berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” ”bundle of rights”. Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja. Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso 2003, diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan” bundle of powers dan “jaringan kepentingan” “web of powers” yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Mengingat elemen- elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda- beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda 32 . Dengan pengertian semacam ini, maka konsep akses pada akhirnya ingin melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris yang fokus pada issue ‘siapa yang mendapatkan atau tidak mendapatkan pemanfaatan tersebut? Dan dengan cara apa? Maka dapat dikatakan bahwa perbedaan orang atau institusi pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan yang dibentuknya. Orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya terhdap sumberdaya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan sekala 32 Nancy L. Peluso, Jesse C Ribot, 2003 “A Theory of Access”. Rural Sociology. June 3, 2003. 28 geografis tertentu. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh haknya terhadap sumberdaya tersebut. Merujuk pada Ribot dan Peluso 2003 dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property. Jika property lebih pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property. Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu antara akses dengan property sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya, transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang, institusi, atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak. Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara: pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain Webber 1978 dan Lukes 1986. Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang- orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan sosial. Dapat dikatakan bahwa akses merupakan semua makna-makna kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’. Sementara property lebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi tertentu. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu 29 dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan. Menurut Blaikie 1985 tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses. Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK lambat laun telah mendorong penurunan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang berwatak konservasionis-developmentalistik tersebut ikut menghambat warga sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi lain, kekayaan pengetahuan dan keariafan lokal 33 yang telah hidup dan diyakini lama oleh masyarakat semakin terkikis dan akhirnya luntur akibat penggerusan paksa aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari Barat. Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan hak dan akses masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses pemiskinan yang semakin masif. Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Secara relasional kemiskinan semacam ini mesti dipandang sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang timpang ini, ketimbang sebagai produk dari proses-proses yang abnormal dan patologis. Suatu “kepekaan ekonomi politik a sense of political economy menjadi esensial” di sini untuk dapat “menyibakkan hubungan-hubungan historis 33 Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman ed. Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, ICIP, Jakarta: 2007, hlm. 11. 30 yang menciptakan ketimpangan distribusi kekuasaan, kemakmuran dan kesempatan di tengah-tengah masyarakat” Du Toit dalam Mosse 2007. Tanpa membongkar struktur ketimpangan-ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi. Sebab, pada umumnya, menurut Shohibuddin dan Soetarto 2009 kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih sering dilihat sebagai sebuah “kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”. Sebagai kondisi, maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah ukuran-ukuran yang statis, seperti kondisi tempat tinggal, jenis dan jumlah asupan gizi, tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan sebagainya. Kemiskinan merupakan “atribut negatif” dari ukuran-ukuran ini dalam suatu gradasi. Apa yang tidak tertangkap dari konstruksi semacam itu adalah bahwa kondisi kemiskinan, baik pada tingkat rumah tangga ataupun komunitas, memiliki sejarah dan dinamika yang berbeda-beda. Status dan kondisi kemiskinan boleh saja serupa pada, misalnya, berbagai komunitas adat terpencil. Akan tetapi, tanpa memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan mekanisme-mekanisme sosial yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut bahkan dicipta kembali, maka penetapan level-level kesejahteraan maupun introduksi program-program pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal dapat menjawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. Mosse 2007.

2.4 Gerakan dan Perlawanan Petani

Sebelum mendefinisikan perlawanan dan gerakan, ada baiknya untuk mengupas sedikit tentang siapa yang di sebut dengan petani. Dan sebenarnya, perdebatan tentang petani sudah berlangsung lama baik dalam lingkup internasional maupun dalam negeri sendiri. 34 Tentu saja terdapat ragam definisi 34 Dalam kajian di luar negeri, perdebatan mengenai definisi tentang petani sudah berlangsung lama dekade pertengahan tahun 20-an. Ini dapat dilihat bagaimana pro dan kontranya para ilmuwan mengenai teori Chayanov yang terkenal dengan “The Theory of Peasant Economy”. Dalam kajian dalam negeri dapat dilihat semenjak awal berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kajianilmiah tentang pemberontakan petani ini menjadi perbincangan pda tahun 1980-an, misalnya karya Sartono Kartodirjo tentang Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Dan memuncak perdebatan tentangnya pada saat kaum tani memiliki organisasi besar nasional, yaitu Barisan tani Indonesia BTI yang kemudian ‘berafiliasi’ pada Partai Komunis Indonesia, mesipun pada mulanya adalah organisasi yang terpisah dari PKI. 31 tentang kelompok yang disebut petani itu, sejak Wolf, Scott, Popkins, Shanin, Peige, Ellis, Wood dan seterusnya. Namun setidaknya jika hendak disajikan sebagian untuk menjadi rujukan dalam makalah ini, khususnya dalam rangka mencari letak relevansinya petani di Indonesia, penulis mengambil definisi dari dua tokoh; Amri Marzali Antropolog dan Sajogyo Sosiolog, meskipun keduanya juga tidak imun dari rujukan tokoh-tokoh di atas. Dalam pandangan Marzali 35 , terdapat tiga pendekatan untuk mendefinisikan petani yang coba dirangkumnya dari beberapa literatur, yakni: pertama, petani adalah mereka -penduduk- yang mendiami pedesaan secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Ilmuwan yang menganut pendekatan ini adalah Gillian Hart 1986, Robert Hefner 1990 dan Paul Alexander dan kawan-kawan 1991. Kedua, petani adalah penduduk pedesaan yang hanya bekerja di sektor pertanian sehingga penduduk desa yang tidak bekerja di sektor pertanian tidak dapat dikatakan sebagai petani 36 , dan ketiga, petani adalah mereka yang memiliki lahan pertanian, yang menggarap sendiri lahan tersebut dalam rangka menghasilkan produk dan produk itu digunakan untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk di jual. Ilmuwan yang menganut pendekatan ini adalah Eric Wolf 37 dan Frank Ellis. Ringkasnya, dari ketiga pendekatan di atas, Marzani mencoba merumuskan petani dalam proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia dan sistem ekonominya. Menurut proses perkembangannya, petani terdiri dari tiga, yaitu: pertama, secara umum masyarakat petani berada di antara masyarakat primitif dan masyarakat modern, kedua, masyarakat petani adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas-komunitas pedesaan, dan ketiga, dari sudut perkembangan mode of production, termasuk mata pencaharian hidup dan tekno-logi peralatan, masyarakat petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani farmer. 35 . Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 36 . Pendekatan kedua ini banyak dianut oleh para peneliti di Indonesia dan Malaysia, seperti: James C. Scott 1976 dan Wan Hashim 1984. . 37 Seorang ilmuwan yang berdisiplin ilmu antropologi. Bukunya yang terkenal berjudul “Petani: Suatu Tinjauan Antropologi” yang diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta. 32 Selain itu, berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda berdasarkan sistem ekonominya. Marzali membagi dua pandangan ilmuwan yang berbeda satu sama lain acuannya. Pertama, berangkat dari pendapat Firth, Marzali mengatakan bahwa petani mengacu pada suatu sistem ekonomi yang khas yang memfokuskan pada sistem ekonomi petani, yaitu sistem ekonomi dengan teknologi dan keterampilan sederhana, sistem pembagian kerja yang sederhana, hubungan dengan pasar yang sangat terbatas, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara non-kapitalsitik, skala produksi kecil, hubungan produksi lebih bersifat personal dan keagamaan lebih diutamakan dari pada aspek materi, dan seterusnya. 38 Untuk para aktor-aktornya, petani yang dimaksudkan oleh Firth adalah seluruh masyarakat pedesaan di negara-negara sedang berkembang beserta sistem eknominya. 39 Kedua, berangkat dari pendapat Wolf dan Ellis, Marzali mengatakan bahwa petani setidaknya mengacu pada jenis mata pencaharian hidup yang khas. Wolf 40 berpendapat bahwa yang disebut petani adalah mereka yang masuk pada golongan petani pemilik-penggarap. Pendapat ini kemudian disempurnakan oleh Ellis yang berpendapat bahwa petani adalah rumah tangga petani yang hidup dari tanah milik sendiri dan dikerjakan sendiri, terkait kepada pasar secara partial, dan pasar tersebut tidak sempurna. Sementara itu, Sajogyo berdasarkan studi empirik yang ia lakukan Survei Agro EkonomiSAE, definisi petani cenderung kepada pendapat yang dikemukan oleh ilmuwan Antropologi, Ekonomi Moral Scott, Marx dan Weber dengan beberapa unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut, yaitu: pertama, petani adalah komunitas yang mempunyai pola budaya spesifik antropologi, kedua, petani merujuk ke sifat ketergantungan sosial tinggi yang mencirikan komunitas petani, ketiga, petani cenderung dekat dengan garis subsistensi dahulukan selamat, keamanan security dan kesejahteraan welfare, keempat, petani adalah mereka– petani–yang menguasai dan memiliki tanah. 41 Dari SAE yang dilakukan oleh 38 . Firth dalam Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 39 Ibid. 40 Ibid. 41 MT Felix Sitorus et. al.Penyunting, Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi, Yayasan Akatiga: Bandung, Cetakan Pertama, 2002. hlm. 36.