132
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia
tidak tercantum dengan tegas dan jelas pada tingkat undang-undang serta peraturan-peraturan pelaksananya kecuali pada Permendag Nomor 4 Tahun
2014. Kebijakan tersebut lahir dari penafsiran-penafsiran terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam UU Minerba dan peraturan-peraturan pelaksananya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 10PUU- XII2014 kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah merupakan
konsekuensi dari kebijakan peningkatan nilai tambah yang diamanatkan oleh UU Minerba. Mahkamah Konstitusi menyatakan wajar pemerintah menyusun
peraturan pelarangan ekspor mineral mentah, karena kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut dapat terlaksana apabila terdapat cadangan mineral
mentah dalam negeri yang cukup dan untuk itu maka ekspor mineral mentah dilarang.
2. Penyelesaian sengketa yang terjadi akibat dijalankannya kebijakan pelarangan
ekspor mineral mentah selalu mengedepankan penyelesaian secara damai dan non-litigasi, hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar hubungan antara
pemerintah dan pengusaha pertambangan dapat terjaga dengan baik sehingga dapat menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia. Hal tersebut dapat
dilihat dari sengketa antara pemerintah dengan PTNNT terkait dengan
pelarangan ekspor mineral mentah dimana pemerintah terus mengedepankan negosiasi dalam perselisihan tersebut, walaupun negosiasi tersebut sempat
terhenti karena PTNNT mengajukan gugatan ke arbitrase internasional ICSID, namun setelah PTNNT mencabut gugatannya pemerintah kembali membuka
pintu negosiasi. Sehingga pada akhirnya tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang tertuang dalam bentuk nota kesepahaman. UU Minerba
mengamanatkan semua Kontrak Karya yang telah dibuat sebelum terbentuknya UU Minerba harus disesuaikan paling lama satu tahun setelah
diundangkannya peraturan tersebut. Jika pemerintah konsisten dalam menjalankan amanat UU Minerba tersebut tentu saja kasus PTNNT ini tidak
mungkin terjadi. 3.
Prinsip-prinsip GATT berkedudukan sebagai rujukan terhadap pengaturan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, sehingga seharusnya dalam
perumusan pengaturan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah harus memperhatikan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang terdapat
di dalam GATT. Hal tersebut dikarenakan Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1994 sehingga Indonesia dalam membuat pengaturan yang
terkait dengan perdagangan internasional harus memperhatikan ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam GATTWTO. Tetapi pada kenyataannya
kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan oleh Indonesia berindikasi melanggar ketentuan hambatan kuantitatif yang terdapat dalam
GATT kecuali kebijakan pelarangan ekspor yang berbentuk bea keluar, karena hambatan atau larangan ekspor dalam bentuk bea keluar diperkenankan oleh
ketentuan Pasal XI ayat 1 GATT. Walaupun kebijakan tersebut dapat
dilaksanakan dibawah ketentuan Pasal XI ayat 2 dan Pasal XX GATT namun berdasarkan pembahasan diatas besar kemungkinan kebijakan pelarangan
ekspor mineral mentah tidak dapat dijalankan dibawah ketentuan Pasal XI ayat 2 dan XX GATT. Hal ini disebabkan karena kebijakan pelarangan ekspor
mineral mentah tersebut hanya memenuhi sebagian dari keseluruhan syarat- syarat yang dibutuhkan untuk dapat dijalankan di bawah Pasal XI ayat 2 dan
Pasal XX GATT. Besar kemungkinan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dapat diterapkan di bawah pasal XX huruf g GATT. Namun kebijakan
tersebut harus diberlakukan juga terhadap konsumsi dalam negeri, dengan kata lain mineral mentah tersebut harus diolah danatau dimurnikan tidak hanya
sebelum diekspor tetapi juga untuk konsumsi dalam negeri.
B. Saran