1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara Minerba. Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan
alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan
semaksimal mungkin.
1
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau
gabungannnya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
2
Sedangkan, batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
3
Menurut Survei Geologi Amerika Serikat USGS Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu,
dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk
produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan
1
Indonesia a, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
konsideran. Selanjutnya disebut UU Minerba.
2
Ibid., Pasal 1 angka 2.
3
Ibid. , Pasal 1 angka 3.
tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke, mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan
lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3 dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki
peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7 dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia
menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1 dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1 dari cadangan tembaga dunia, dan
merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4 dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar
biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9 dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6 dan merupakan
peringkat ke-4 dunia.
4
Namun ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan
batubara belum memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru
yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.
5
Kondisi tersebut dapat dilihat dari masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni sebesar 27,73 juta
per September 2014.
6
Selain itu Indonesia juga memiliki Utang Luar Negeri yang terbilang cukup besar sampai dengan November 2014 yaitu sebesar US 294,4
miliar atau sekitar Rp 3.512 triliun.
7
4
Investor Daily, Edisi 19 Mei 2014, Jakarta: PT. Koran Media Investor Indonesia
5
Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010, hlm.25.
6
Berita Resmi Statistik No. 0601Th. XVIII, 2 Januari 2015
7
Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Vol. VI Januari 2015
Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak PNBP
mineral. Pada tahun 2007 dari total PNBP sektor ESDM yang mencapai Rp143,2 triliun, subsektor pertambangan umum hanya menghasilkan PNBP sebesar Rp 8,7
triliun atau hanya 6- nya, sedangkan sebagian besar 94 perolehan PNBP disumbangkan oleh subsektor minyak dan gas migas. Empat tahun berikutnya,
yaitu tahun 2011, perolehan PNBP sektor ESDM menjadi Rp 217,3 triliun, namun sumbangan dari subsektor pertambangan umum hanya sebesar Rp 24,2 triliun atau
sekitar 11-nya. Subsektor migas masih mendominasi peroleh PNBP ESDM dengan nilai Rp 193,1 triliun atau sekitar 89-nya. Kalau perolehan PNBP
pertambangan umum dirinci lebih jauh, maka pada tahun 2007 sumbangan PNBP mineral hanya sebesar Rp 2,94 triliun 34 sedangkan selebihnya Rp 5,75 triliun
66 disumbangkan oleh batubara. Empat tahun kemudian, tahun 2011 dari total perolehan PNBP subsektor pertambangan umum sebesar Rp 24,2 triliun,
mineral hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 3,42 triliun 14, sedangkan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp 20,8 triliun 86. Jika perolehan
PNBP mineral dirinci lebih lanjut ke dalam kontribusi pemegang Izin Usaha Pertambangan IUP dan Kontrak Karya KK, maka dari total perolehan PNBP
mineral sebesar Rp 2,94 triliun pada tahun 2007, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 840 miliar 29, sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,10 triliun.
Empat tahun berikutnya tahun 2011, dari total perolehan PNBP mineral sebesar Rp 3,42 triliun, kontribusi pemegang IUP sebesar Rp 1,40 triliun 41,
sedangkan pemegang KK sebesar Rp 2,02 triliun 59. Dari angka tersebut
terlihat jelas bahwa kontribusi pemegang IUP maupun KK terhadap PNBP masih relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ekspor mineralnya selama ini.
8
NO Tabel 1
Pendapatan Negara Bukan Pajak PNBP sektor Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM
TAHUN PERTAMBANGAN UMUM
MIGAS TOTAL
MINERAL BATU BARA
1 2007
Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun 2
2011 Rp. 3.42 triliun Rp. 20.8 triliun Rp. 193.1 triliun Rp. 217.3 triliun
Sumber :Telah diolah kembali berdasarkan data diatas
Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara
berkelanjutan.
9
8
Hilirisasi Industri Tambang, http : www.majalahglobalreview.com industri pertambangan 13-pertambangan 105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html diakses
pada tanggal 9 Desember 2014
9
Indonesia a, Loc.Cit., Penjelasan Umum
Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti
luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud.
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan beleid
dan tindakan pengurusan bestuursdaad, pengaturan regelendaad, pengelolaan beheersdaad, dan pengawasan toezichtoudensdaad untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
10
Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah,
tanpa dilakukan pengolahan danatau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai
bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah
value-added secara langsung sebagaimana yang diharapkan.
11
Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian
sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir
terkait.
12
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022PUU-I2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
11
Suryartono, dkk.,Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar
Semarang: Studi Nusa,2003, hlm.191.
12
Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, “Pemerintah Siapkan InpresHilirisasi Pertambangan, http:www.kemenperin.go.idartikel3812Pemerintah-Siapkan-Inpres-Hilirisasi-
Pertambangan diakses pada tanggal 25 Februari 2015
multiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan
rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
meningkatkan surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan
kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai
tambah total untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
13
Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada
saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas
tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi
pengolahan dan pemurnian sebagai“pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada
bahan galian itu”. Dasar filosofis peningkatan
nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku
industri, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.
14
Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus
diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.
15
Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan-
perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di
13
Ibid.
14
Indonesia b, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
Pasal 2 huruf f.
15
Ibid, Penjelasan Pasal 15.
sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan
nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk
Kuasa Pertambangan KP belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.
16
Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing,
efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia.
17
Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia.
Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan IUP atau Izin Usaha Pertambangan Khusus IUPK tanpa Untuk menjawab
persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut sebagai UU Minerba.
16
Sony HeruPrasetyo, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mieral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa
Tenggara,” Tesis Magister, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013, hlm.48.
17
Indonesia a, Loc.Cit.,konsideran bagian c.
membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba
menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral danatau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan Pasal 103 ayat 1 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK
Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat 1 selambat-lambatnya 5
lima tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya KK wajib melakukan peningkatan nilai
tambah mineral danatau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan
Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan
dan membangun fasilitas pemurnian smelter dalam negeri. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan
dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur, sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu
selama 5 lima tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12
Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan
batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak diberlakukannya UU Minerba.
18
Selama tiga tahun terakhir setelah UU Minerba diterbitkan, secara nasional ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya
mengalami peningkatan secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800, bijih besi meningkat 700, dan bijih bauksit meningkat
500. Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170
UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor bijih raw material atau ore daripada membangun fasilitas pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat tajam terhadap volume ekspor bijih raw material atau ore.
19
Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan
nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap
mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri
menjadi tidak ada artinya.
20
“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10PUU-XII2014 menyatakan sebagai berikut:
18
Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10PPU-XII2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6.
19
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral
Jakarta, Oktober, 2013.
20
YusrilIhzaMahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10PUU- XII2014 tanggal 1 September 2014, hlm.7.
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih
raw material atau ore adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala
bijih raw material atau ore tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih raw material atau ore dilarang. Hal tersebut adalah wajar
dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih raw material atau ore yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat
dijamin manakala ekspor bijih raw material atau ore dilarang.”
21
Pertama , Peraturan Pemerintah Nomor PP 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini
menegaskan bahwa untuk dapat melakukan penjualan mineral logam ke luar negeri harus memenuhi syarat tertentu. Bagi pemegang kontrak karya harus
Dengan demikian pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara
di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang.
Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih raw material atau ore ke luar negeri tanpa proses pengolahan danatau pemurnian terlebih
dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih raw material atau ore harus diolah danatau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu
sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor.Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore pemerintah mengeluarkan
berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 empat peraturan terkait pelarangan
ekspor bijih raw material atau ore.
21
Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10PPU-XII2014 tanggal 23 Oktober 2014, hlm.175.
melakukan pemurnian terlebih dahulu sampai dengan batasan minimum pemurnian sedangkan bagi Pemegang IUP operasi produksi harus melakukan
kegiatan pengolahan sampai batasan minimum tertentu. Pengaturan lebih lanjut mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
22
Ketiga , Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04M-DAGPER12014
tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan ini berisikan mengenai tatacara ekspor mineral olahan atau
konsentrat .Terdapat juga daftar produk pertambangan yang dilarang untuk diekspor.
Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1
Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Peraturan ini berisikan mengenai
batasan minimum pengolahan dan pemurnian bijih raw material atau ore sebelum dapat dijual ke luar negeri. Selain itu pemegang kontrak karya dan IUP
operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral olahan atau konsentrat selama 3 tiga tahun ke depan yakni sampai dengan tahun 2017.
23
Serta batasan minimum pengolahan danatau pemurnian produk pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan
dalam bentuk ore.
24
Keempat, adalah Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153
PMK.011 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
22
Indonesia c, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara , Pasal 112C.
23
Indonesia d, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04M-DAGPER12014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian
, Pasal 2 ayat 4. Selanjutnya disebut Permendag Nomor 4 Tahun 2014.
24
Ibid., Pasal 2 ayat 3.
Nomor 75 PMK.011 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Peraturan ini berisikan mengenai besaran tarif
bea keluar yang harus dibayarkan kepada pemerintah sebelum mineral hasil olahan danatau pemurnian di ekspor ke luar negeri. Besaran tarif bea keluar yang
dikenakan terbagi menjadi dua jenis. Besaran tarif jenis pertama adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan danatau pemurnian untuk
eksportir yang tidak membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar ini dilakukan secara
progresif dari 20 sd 60, kenaikan tarif tersebut dilakukan secara pertahap dari sejak diberlakukannya peraturan tersebut sampai dengan 12 Januari 2017.
Sedangkan Besaran tarif jenis kedua adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan danatau pemurnian untuk eksportir yang membangun
fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan ditentukan berdasarkan tingkat kemajuan
pembangunan smelter. Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore
ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja PHK massal hal ini dikarenakan beberapa
perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter.
25
25
Hilirisasi Berbuntut PHK Massal, http:arsip.tambang.co.idprint.php?category=18newsnr=8652 diakses pada tanggal 25 Februari
2015.
Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah
pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran,
perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi.
Terkait dengan pelarangan ekspor bijih raw material atau ore PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap
pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai
Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya KK serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia
dan Belanda.
26
Tidak berhenti sampai disitu Pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur
mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari
barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk larangan impor atau ekspor secara umum.
27
1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,
dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal
tersebut terdapat 3 tiga prasyarat, yaitu:
2. Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut;
dan
26
Newmont gugat Repubik Indonesia, http:bisnis.news.viva.co.idnewsread517791- dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase diakses pada tanggal 26
Februari 2015.
27
Agi Gilang Pratama, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the
Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” e- Journal, Diponegoro Law Review, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013, hlm.7.
3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan
larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.
28
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun
skripsi dengan judul: “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip
General Agreement On Tariffs And Trade GATT
”. B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas,
dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif
Indonesia? 2.
Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan
ekspor mineral mentah? 3.
Bagaimana kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade GATT?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian