diperiksa oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU dan tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat
adanya keterkaitan. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan dan tujuan yang hendak
dicapai dengan penulisan skripsi ini, maka dapat disimpulkan semua yang tertuang di dalam skripsi ini adalah asli dari karya penulis sendiri dan bukan hasil
jiplakan dari skripsi yang telah ada, dan diperoleh melalui hasil pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, makalah-makalah dari bahan-bahan
seminar, serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan pada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini adalah merupakan implikasi dari
proses penemuan kebenaran ilmiah, maka dari itu penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah maupun secara akademik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah
Article angka 1 Japanese Mining Law No.289, 20 December, 1950 Latest
Amedement In 1962 telah ditemukan pengertian mineral: “Mineral” in this Article and articles hereinafter shall mean:“The ores of
gold, silver, copper, lead, bismuth, tin, antimony, mercury, zinc, iron, sulfide, chromite, manganese, tungsten, molybdenum, arsenic, nickel,
cobalt, uranium, thorium, phosphate, graphite, coal, lingnite, petroleum, asphalt, natural gas, sulfur, gypsum, barite, alunite, fluorspar, asbestos,
limestone, dolomite, silicastone, feldspar, pyrophyllite, talc, fire clay and alluvial ores alluvial gold, iron sand, stream tin and other metal ores
which result in alluvial deposits; hereinafter the same”.
29
Mineral adalah bijih-bijih dari emas, perak, tembaga, timah, bismut, kaleng, logam putih, seng, besi, sulpida, khrom, mangan, tangstan, molybdenum,
29
Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral Batubara Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014, hlm.38.
arsen, nikel, kobal, uranium, pospate, grafit, batubara, batubara mudah, minyak mentah, aspal, gas alam, sulfur, batubahu, barit, alunit, flor, asbes, batu gamping,
dolomit, silicon, peldpar, piropilet, talk, batu lempung, dan bijih tanah bijih emas, bijih besi, timah di sungai, dan berbagai metal lainnya.
30
Sedangkan UU Minerba Pasal 1 angka 2 menyatakan “Mineral adalah senyawa anorganik yang
terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk
lepas atau padu.”
31
Senyawa anorganik adalah semua elemen-elemen atau unsur yang sudah bersatu padu di dalam alam.
32
Definisi Mentah adalah belum diolah, belum jadi.
33
Bijih adalah kumpulan mineral yang mengandung 1 satu logam atau lebih yang dapat diolah
secara menguntungkan.
34
Dalam bahasa Inggris Bijih diartikan juga sebagai Ore.
35
Mineral terbagi atas 4 empat golongan, yaitu:
36
1. Mineral Radioaktif;
2. Mineral Logam;
3. Mineral Bukan Logam; dan
4. Batuan.
30
Ibid.
31
Indonesia a, Loc.Cit., Pasal 1 angka 2.
32
Salim Hs, Op.Cit., hlm.39.
33
Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Surabaya: Karya Agung, 2005, hlm.339.
34
Indonesia e, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 6. Selanjutnya disebut Permen ESDM Nomor 1 Tahun
2014.
35
Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.408.
36
Indonesia c, Loc.Cit., Pasal 2.
Mineral golongan radioaktif tidak termasuk dalam golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya.
37
Nilai Tambah adalah pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan danatau
pemurnian mineral.
38
Peningkatan Nilai Tambah adalah peningkatan nilai mineral melalui kegiatan pengolahan dan atau pemurnian sehingga menghasilkan
manfaat ekonomi, sosial dan budaya.
39
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral danatau
batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
40
Mineral Logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas
dan listrik yang baik.
41
Beberapa contoh mineral yang tergolong mineral logam adalah emas, bauksit, litium, tembaga, perak, timbal.
42
Mineral Bukan Logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam, misalnya bentonit, kalsit batu kapur gamping, pasir kuarsa, dan
lain-lain.
43
Beberapa mineral yang tergolong mineral bukan logam adalah intan, grafit, belerang, batu kuarsa.
44
Batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat massive maupun lepas
37
Indonesia e, Loc.Cit.,Pasal 2 angka 1.
38
Ibid., Pasal 1 angka 12.
39
Ibid ., Pasal 1 Angka 13.
40
Indonesia a,Loc.Cit.,Pasal 1 Angka 20.
41
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 1 angka 2.
42
Indonesia c, Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf b.
43
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 1 angka 3.
44
Indoneisa c, Loc.Cit., Pasal 2 angka 2 huruf c.
loose.
45
Beberapa contoh mineral yang tergolong batuan adalah pumice, tras, obsidiam, marmer, granit.
46
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.
47
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang- Undang Kepabeanan.
48
Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum
pengolahan dan atau pemurnian dilarang diekspor.
49
Pelarangan ekspor bijih raw material atau ore bertujuan untuk menjamin ketersediaan bijih raw material atau ore di dalam negeri sehingga
dapat dilakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu terhadap bijih raw material
atau ore tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum diekspor.
Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah atau
dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri.
50
45
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 1 angka 4.
46
Indonesia c, Loc.Cit.,Pasal 2 angka 2 huruf d.
47
Indonesia d, Loc.Cit.,Pasal 1 angka 1.
48
Pengertian Daerah Pabean, http:www.beacukai.go.idindex.html?page=faqpengertian-daerah-pabean.html diakses pada
tanggal 28 Februari 2015
49
Indonesia d, Loc.Cit.,Pasal 2 angka 3.
50
Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit.,hlm.175.
Terkait dengan kebijakan pengendalian penjualan bijih raw material atau ore Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah
dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, perlu mengatur mengenai bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih raw material atau ore mineral.
Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan
yang dikenakan terhadap barang ekspor.
51
2. Penyelesaian Sengketa Bidang Pertambangan.
Barang ekspor yang dimaksud dalam hal ini adalah mineral yang telah diolah atau dimurnikan terlebih dahulu.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pasca tambang.
52
Pengertian tambang juga ditemukan dalam Undang- Undang Guatamela. Mining is comprises all reconnaissance activity, exploration
and exploitation of mining products.
53
Artinya pertambangan meliputi semua kegiatan untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan
tambang.
54
“Pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras inconsistent claim
terhadap sesuatu yang bernilai” dalam Friedman,2001. Richard L. Abel mengartikan sengketa dispute adalah sebagai
berikut;
55
Dari paparan diatas, dapat dikemukakan pengertian sengketa tambang. Sengketa tambang adalahSengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi
dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan.
56
51
Indonesia l, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 PMK.011 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 PMK.011 2012 Tentang
Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar , Pasal 1 angka 2.
52
Indonesia a, Loc.Cit,. Pasal 1 angka 1.
53
Article 6 huruf b Mining Law Decree Number 48-97 Guatemala., seperti dikutip oleh HS Salim, Hukum Pertambangan Mineral Batubara Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014,
hlm.210.
54
Salim HS, Op.Cit., hlm.210
55
Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.301.
56
Salim HS,Op.Cit., hlm.210.
Pertambangan merupakan salah satu
bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing.
57
Kasus-kasus atau sengketa di bidang Penanaman Modal pada dasarnya dapat dibagi atas tiga bentuk
sengketa, yaitu: sengketa antar Negara “government to government”; sengketa antar Negara tuan rumah host country dengan investor asing; dan sengketa
antara investor asing dengan mitra lokalnya. Terhadap bentuk-bentuk kasus di atas, terdapat aspek-aspek hukum yang bersifat transnasional di dalamnya.
58
Sengketa antar Negara di Penanaman modal khususnya di bidang pertambangan, lazimnya terjadi antara home-country dengan host country.
Sengketa dapat muncul karena perbedaan interpretasi dan implementasi perjanjian bilateral di bidang investasi.
59
Sengketa Host Country dengan Investor dapat timbul sebagai akibat dilanggarnya kewajiban-kewajiban kontraktual maupun
kewajiban hukum lainnya. Bentuk pelanggaran dimaksud dapat disebabkan oleh:
60
a. Pelanggaran kewajiban oleh Host Country;
b. Pelanggaran kewajiban oleh Investor.
Jenis-jenis sengketa di bidang pertambangan terdiri atas 6 enam jenis, yaitu:
a. Sengketa Kewenangan vertikal dan horizontal
Sengketa Vertikal adalah sengketa yang terjadi karena adanya silang kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal ini
berhubungan dengan ketentuan tentang Otonomi Daerah, Sengketa ini
57
Indonesia f, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal,
Pasal 3.
58
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Penyelesaian Sengketa-Sengketa di Bidang Pertambangan
Jakarta, September 2009, hlm.3.
59
Ibid., hlm.16.
60
Ibid., hlm.18-19.
berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, biasanya menyangkut Perizinan, Pengelolaan atau Kepemilikan usaha di
bidang Pertambangan.
61
Bentuk sengketa kewenangan lainnya adalah Sengketa Horizontal, yakni sengketa kewenangan yang terjadi antar Instansi Pemerintah Pusat,
dalam hal ini Departemen yang membawahi bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
62
b. Sengketa AdministrasiTUN
Dalam bidang pertambangan, sengketa ini timbul disebabkan oleh adanya kepentingan baik pelaku usaha, masyarakat, atau pihak-pihak
lainnya yang dirugikan oleh karena diterbitkannya suatu keputusan TUN. Pada umumnya sengketa TUN yang terjadi dalam dunia pertambangan
menyangkut penerbitan Izin Kuasa Pertambangan oleh Bupati atau Kontrak KaryaPKP2B yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
63
c. Sengketa Kontraktual
Penanaman modal di bidang pertambangan adalah kegiatan yang padat modal, oleh karena itu biasanya dilakukan dalam suatu kerjasama
antara dua pihak yakni antara investor dengan Pemerintah maupun dengan mitra lokalnya. Dalam konteks tersebut maka ditandatangani berbagai
perjanjiankontrak di antara mereka.
64
61
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit.,
hlm.11.
62
Ibid.
63
Ibid., hlm.12.
64
Ibid., hlm.13.
Baik dalam kontrak-kontrak
transnasional maupun nasional, ada beberapa ketentuan-ketentuan pokok yang dapat memunculkan masalah, antara lain:
65
1 Hukum yang berlaku “governing law”;
2 Forum penyelesaian sengketa, baik melalui proses litigasi, arbitrase
danatau Alternative Dispute Resolution ADR; 3
Wanprestasi“event of default”; 4
HAKI“property rights in inventions”; 5
Force Majeur; 6
Jaminan “Warranty and guarantee”; 7
dan lain-lain. d.
Sengketa lingkungan. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak
atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi danatau telah berdampak pada lingkungan hidup.
66
Sengketa Lingkungan biasanya timbul oleh karena adanya pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan
pertambangan terhadap lingkungan.
67
e. Sengketa dengan Masyarakat Setempat
Berdasarkan praktik atas beberapa kasus pertambangan, sengketa yang timbul antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan
disebabkan oleh kurangnya tanggung jawab sosial pengusaha terhadap kehidupan social masyarakat setempat.
68
65
Ibid., hlm.14.
66
Indonesia g, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pasal 1 angka 25.
67
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Op.Cit., hlm.14
68
Ibid., hlm.16.
f. Sengketa Kewilayahan Untuk Pemegang KP
Sengketa kewilayahan biasanya timbul disebabkan oleh dikeluarkannya izin Kuasa Pertambangan yang menyebabkan kerugian
terhadap pemilik Kuasa Pertambangan lainnya.
69
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal UUPM ketentuan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing diatur dalam
Pasal 32 ayat 1,2 dan 4 yaitu: Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal
antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan
melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
70
69
Ibid.
70
Indonesia h, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Pasal 1 angka 1.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
71
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana
pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
72
Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.
73
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
74
Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak
ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar sebagai penyelesaian, proses ini disebut dengan konsiliasi.
75
Penilaian Ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.
76
1. Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs and Trade GATT
Sedangkan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dalam UU Minerba diatur dalam Pasal 154, yaitu: Setiap
sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
71
Ibid., Pasal 1 angka 10.
72
FransHendraWinarta, Hukum Penyelesaian SengketaJakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm.7.
73
Ibid.
74
Ibid.
75
Garry Goodpaster, Arbitrase di Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hlm.11.
76
FransHendraWinarta, Op.Cit.,hlm.7.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Non-Diskriminasi Non-Discrimination Principle
Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation MFN Principle, dan Prinsip National Treatment NT Principle.
77
1 Prinsip Most Favoured Nation MFN
Prinsip ini diatur dalam Article 1 section 1 GATT 1947, yang berjudul General Favoured Nation Treatment,
merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.
78
Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan
kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.
79
2 Prinsip National Treatment NT
Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul “National Treatment on International Taxation and Regulation”,
yang menyatakan bahwa,”this standard provides for inland parity that is say equality for
treatment between nation and foreigners”.
80
Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk
serupa dari luar negeri.
81
77
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional Jakarta: Rajawali Press, 2012, hlm.41.
78
Ibid.
79
Ibid., hlm.42.
80
Ibid., hlm.43.
81
Ibid.
b. Prinsip Resiprositas Reciprocity Principle
Prinsip Resiprositas Reciprocity Principle yang diatur dalam Article II GATT 1947,
mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.
82
c. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif Prohibition of Quantitative
Restriction Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki
transparasi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATTWTO adalah
hambatan perdagangan yang bukan merupakan tariff atau bea masuk.
83
Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap
ekspor atau impor dalam bentuk apa pun misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pada umumnya
dilarangPasal IX.
84
82
Ibid., hlm.45.
83
Ibid., hlm.46.
84
Huala Adolf, Hukum Perdagangan InternasionalJakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.113.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-
produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi Pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga;
untuk mengamankan, berdasarkan escape clause Pasal XIX, meningkatnya
impor yang berlebihanincrease of imports di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat,
untuk melindungi neraca pembayaran luar negerinya Pasal XII.
85
d. Prinsip Perdagangan yang Adil Fairness Principle
Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang Dumping
Article VI dan Subsidi Article XVI, dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan
kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.
86
e. Prinsip Tarif Mengikat Binding Tarif Principle
Prinsip ini diatur dalam Article II section 2 GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus memenuhi berapapun besarnya tariff yang
telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tariff mengikat.
87
Walaupun prinsip-prinsip diatas berisikan kewajiban-kewajiban yang wajib untuk
dilaksanakan bagi anggota-anggotanya, tetapi pada Pasal XX GATT terdapat pengecualian umum general exceptions, yakni pengecualian-pengecualian
yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban- kewajiban suatu negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan
tindakan-tindakan yang diperlakukan untuk:
88
1 Melindungi moral masyarakat;
2 Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tanaman;
3 Impor atau ekspor emas atau perak;
85
Ibid.
86
Muhammad Sood, Op.Cit.,hlm.47.
87
Ibid., hlm.48.
88
Huala Adolf, Op.Cit.,hlm.124.
4 Perlindungan terhadap ha katas kekayaan intelektual;
5 Produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;
6 Perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala;
7 Konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
8 Dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul
dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dan lain-lain.
F. Metode Penelitian