G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka
diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas hal-hal yang umum dalam sebuah tulisan ilmiah, antara lain : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab inimembahas mengenai pengaturan pelarangan ekspor mineral
mentah dalam hukum positif Indonesia, kemudian latar belakang lahirnya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, dan
permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral.
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN
TERKAIT DENGAN PELARANG EKSPOR MINERAL MENTAH
Bab inimembahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang pertambangan baik dalam lingkup nasional maupun
internasional serta penyelesaian sengketa yang terjadi akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.
BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH
TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON TARIFFS AND TRADEGATT
Bab inimembahas tentang tinjauan umum mengenai GATT, selanjutnya mengenai indonesia dalam GATT dan WTO, serta
Analisis mengenai kedudukan larangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip yang terdapat dalam GATT.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana dikemukakan kesimpulan dan
saran yang berkaitan dengan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.
34
BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia
1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia
Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara, berawal pada tahun 1619. Dalam tahun itu, pasukan
VereenigdeOostInischeCompagnie VOC di bawah pimpinan Jan
PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru
yang diberi nama Batavia.
90
“ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini
tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang
pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan
terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda
bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.”
Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia,
menyimpulkan bahwa;
91
Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” Jawatan Pertambangan. Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-
pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda.
90
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan Jogjakarta : UII Press, 2004, hlm.61.
91
Ibid., hlm.62.
Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat 1866, namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891.
92
Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan IndischeMijnwet Staatblad 1899-214. IndischeMijnwet hanya
mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan.
93
Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan
berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja tercantum dalam Pasal
356 sampai dengan Pasal 612. Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak
tanggal 1 Juli 1930. Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam
MijnPolitieReglement Staatblad 1930 1930 No.341 yang hingga kini masih
berlaku.
94
Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk
operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang.
95
92
Ibid., hlm.63.
93
Ibid., hlm.64
94
Ibid.
95
Ibid., hlm.66-67.
Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan
pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia.
96
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih
dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara DPRS, TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia.
97
Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi TeukuMoh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang
terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya:
98
a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka
waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut: 1
Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emasperak dan bahan mineral lainnya di Indonesia.
2 Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang
sesuai dengan keadaan dewasa ini. 3
Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk menyelesaikanmengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya
dan sumber-sumber minyak di tempat lain. 4
Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.
96
Ibid., hlm.67.
97
Ibid., hlm.68.
98
Ibid., hlm.68-69.
5 Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan
pajak dan penetapan harga minyak. 6
Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara.
b. Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun
memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.
Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang
Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet 1899
yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan Undang-undang pertambangan nasional yang pertama.
99
Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXIIMPRS1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut:
100
a. Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan
diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill Bab II Pasal 8; b.
Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia
Bab II, Pasal 10;
99
Ibid., hlm.70.
100
Ibid., hlm.70-71.
c. Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera
ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic Bab VIII, Pasal 62.
Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undang- udang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi
Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai
usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen
Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan
tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.
101
Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah
tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan
101
Ibid ., hlm.71.
dasar untuk pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara UU Minerba dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang
dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun internasional yang terkait dengan Pertambangan.
Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
102
a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai
oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan
izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah danatau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan
Pemerintah dan pemerintah daerah.
102
Indonesia a, Loc.Cit., bagian penjelasan umum.
d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. e.
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakatpengusaha kecil dan menengah
serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. f.
Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka
sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara PKP2B, sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon,
meliputi Izin Usaha Pertambangan IUP, IPR dan IUPK. Izin usaha pertambangan IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap mengakui keberadaan kontrak karya yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan
jangka waktu berakhirnya kontrak karya.
103
103
Salim HS, Op.Cit., hlm.3.
Tetapi kontrak karya tersebut tetap
harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba selambat-lambatnya 1 satu tahun sejak UU Minerba diundangkan.
104
Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba
menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral danatau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari
usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan.
105
Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi
tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya. Selanjutnya
pada Pasal 103 ayat 1 UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat 1 dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
penerimaan negara.
106
104
Indonesia a, Loc.Cit., Pasal 169 huruf b.
105
Indonesia a, Loc.Cit., Penjelasan Pasal 102.
106
Indonesia a, Loc.Cit., Pasal 170.
Namun terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya
kewajiban tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 5 lima tahun sejak
UU Minerbadiundangkan .
107
Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba.
108
Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan
nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap
mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri
menjadi tidak ada artinya.
109
“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih
raw material atau ore adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala
bijih raw material atau ore tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih raw material atau ore dilarang. Hal tersebut adalah wajar
dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih raw material atau ore yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat
dijamin manakala ekspor bijih raw material atau ore dilarang.” Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut
ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10PUU-XII2014 yang menyatakan sebagai berikut:
110
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan
nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor
terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah
107
Ibid.
108
Sony Keraf, Loc.Cit,. hlm.6.
109
YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit.,hlm.7.
110
Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175.
larangan penjualan bijih raw material atau ore ke luar negeri tanpa proses pengolahan danatau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam
negeri, dengan kata lain bijih raw material atau ore harus diolah danatau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar
negeri atau diekspor. Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba,
maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba.
Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU Minerba terhitung 5 lima tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat
lagi mengekspor mineral mentah.Bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1
GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada “other measures” kebijakanperaturan lainnya.
111
3. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan PP No.1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
111
Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export
licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or
sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.
Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan.Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang
diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103
ayat 3 UU Minerba. Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam
melakukan usaha pertambangan, beberapa diantaranya adalah Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan
rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan
menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 lima tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba
berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang
terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP
yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 lima tahun sejak diterbitkannya UU Minerba. Berkaitan dengan pelarangan ekspor mineral
mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan
danatau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil
penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU Minerba berlaku selama 5 lima tahun.
Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perubahan tersebut
berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk
mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang
kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan.
112
Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan
penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih
lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah kembali merubah Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 yang sebelumnya telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2014.
112
Indonesia i, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, Konsideran.
pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri ekspor terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian raw
material .Sedangkan Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi
113
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam
yang belum diolah danatau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. yang telah
melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang
untuk melakukan penjualan ke luar negeri ekspor terhadap mineral logam yang belum dilakukan pengolahan raw material.
114
4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri
Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan
mineral dalam negeri.Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam “other
measures ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT.
113
Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan
rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2014.
114
Indonesia c, Loc.Cit., Pasal 112C angka 5.
Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1
Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. Komoditas tambang mineral yang wajib ditingkatkan nilai tambahnya
adalah Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, dan Batuan.
115
Terdapat perbedaan kegiatan peningkatan nilai tambah terhadap masing-masing komoditas
tambang mineral. Peningkatan nilai tambah terhadap mineral logam dilakukan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian, sedangkan bagi komoditas tambang
mineral bukan logam dan batuan dilakukan melalui pengolahan.
116
Pengolahan merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang
menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang
dipoles.
117
Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih
lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan.
118
Terhadap komoditas tambang mineral termasuk produk samping sisa hasil pemurnian danatau pengolahan mineral ikutan yang akan dijual keluar
115
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 2 angka 1.
116
Ibid., Pasal 2 angka 2.
117
Ibid., Pasal 2 angka 3.
118
Ibid., Pasal 2 angka 4.
negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan danatau pemurnian serta IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, terlebih dahulu harus dilakukan pengolahan danatau pemurnian sampai batas minimum pengolahan dan
pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.
119
Pada Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 pemegang kontrak karya hanya diperbolehkan untuk menjual ke luar negeri
mineral logam hasil kegiatan pemurnian dalam jumlah tertentu setelah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian, hak ini kemudian diperluas pada
Ketentuan tentang batasan minimum pengolahan danatau pemurnian komoditas tambang mineral diatas berkaitan dengan larangan ekspor mineral
mentah, dimana terhadap komoditas tambang mineral termasuk produk samping sisa hasil pemurnian danatau pengolahan mineral ikutan hanya dapat dijual ke
luar negeri ekspor jika komoditas tambang tersebut telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen
ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara
implisit hanya mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah danatau dimurnikan terlebih dahulu
sampai batas tertentu di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Pasal 11 Permen ESDM Nomor 1
Tahun 2014.
119
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 7
Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dimana pemegang kontrak karya juga diperbolehkan untuk menjual keluar negeri dalam jumlah tertentu hasil
pengolahan mineral logam.
120
Jumlah tertentu yang dimaksud sama dengan pembatasan volume. Pembatasan volume tersebut hanya berlaku bagi produk konsentrat dan
pembatasan tersebut bertujuan untuk mengatur sumber daya alam. Berlaku juga terhadap Pemegang IUP Operasi
Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dimana pemegang IUP Operasi
Produksi tidak hanya diperbolehkan menjual ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan tetapi juga hasil pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum
pengolahan dan pemurnian.
121
Besaran jumlah tertentu tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap kinerja
pengelolaan lingkungan, cadangan ketersediaan mineral logam untuk pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kapasitas fasilitas pemurnian, dan kemajuan
pembangunan fasilitas pemurnian.
122
Tetapi terdapat komoditas tambang mineral logam yang dilarang untuk dijual ke luar negeri walaupun telah dilakukan kegiatan pengolahan. Komoditas
Berdasarkan ketentuan ini pemerintah membuka pintu ekspor bagi pemegang kontrak karya dan IUP Operasi Produksi
untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri ekspor mineral logam yang telah melewati batas minimum pengolahan dan pemurnian walau jumlahnya
dibatasi. Walau demikian penjualan ke luar negeri mineral logam tanpa pengolahan danatau pemurnian tetap dilarang.
120
Ibid., Pasal 12 angka 1.
121
IndaMarlina, “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi,” http:industri.bisnis.comread2014021344203123ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineral-
tidak-dibatasi 9 Maret 2015
122
Indonesia e, Loc.Cit., Pasal 12 angka 10.
tambang mineral logam itu terdiri dari nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium.
123
Namun ekspor terhadap mineral logam hasil pengolahan hanya berlaku 3 tiga tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Terhitung
12 Januari 2017 baik pemegang Kontrak Karya maupun pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri mineral logam hasil
pemurnian yang telah mencapai batas minimum pemurnian. Untuk dapat melakukan ekspor terhadap komoditas tambang tersebut
harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pemurnian sampai dengan batas minimum pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1
Tahun 2014.
124
Disamping itu baik pemegang Kontrak Karya maupun IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan
penjualan ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi Direktur Jenderal atas nama Menteri. Surat rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan
untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan.
125
5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 04 M-DAG PER 1 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian
Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini apabila dikaitkan dengan
ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada kuota ekspor export quota
, izin ekspor export licences, kebijakanperaturan lainnya other measure.
Tanggal 1 Januari 2014 guna mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian
pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan kebijakan tersebut,
123
Ibid., Pasal 12 angka 4.
124
Ibid., Pasal 12 angka 15.
125
Ibid., Pasal 12 angka 6 dan 7.
salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 M-DAG PER 1 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil
Pengolahan dan Pemurnian Permendag Nomor 4 Tahun 2014.Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mendukung upaya tertib usaha di bidang
pertambangan, hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menciptakan kepastian usaha dan kepastian hukum sehubungan dengan kebijakan
hilirisasi yang dilaksanakan melalui peningkatan nilai tambah produk pertambangan dengan melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri.
126
Berbeda dengan peraturan-peraturan terkait pelarangan ekspor mineral mentah yang telah dibahas di atas. Peraturan-peraturan tersebut melarang ekspor
mineral mentah dengan memberikan pengertian secara implisit dari pasal-pasal bersangkutan.Permendag Nomor 4 Tahun 2014 secara tegas menyatakan Produk
Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan danatau
pemurnian dilarang untuk diekspor.
127
Produk pertambangan yang dilarang ekspornya tersebut terdiri dari 17 tujuh belas produk pertambangan dalam
bentuk Ore bijih Raw Material, 10 sepuluh produk pertambangan dalam bentuk konsentrat yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan, 165
seratus enam puluh lima produk pertambangan dalam bentuk mineral logam dan bukan logam serta 9 sembilan produk pertambangan dalam bentuk batuan yang
belum memenuhi batasan minimum pengolahan danatau pemurnian.
128
126
Indonesia d, Loc.Cit.,Konsideran
127
Ibid., Pasal 2 angka 3.
128
Ibid., Lampiran III.
Permendag Nomor 4 Tahun 2014 tidak hanya mengatur mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tetapi juga pembatasan ekspor terhadap produk
pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan danatau pemurnian, mineral bukan logam, dan batuan yang
sudah mencapai batasan minimum pengolahan. Produk pertambangan yang dimaksud tercantum dalam lampiran I dan lampiran II peraturan ini.
129
Barang dibatasi ekspornya adalah barang yang dibatasi eksportir, jenis danatau jumlah yang diekspor.
130
Artinya pembatasan terhadap barang ekspor dapat dilakukan dengan tiga indikator yakni:
131
a. Eksportirnya dibatasi;
Artinya hanya eksportir tertentu yang dapat melakukan ekspor terhadap produk pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag
Nomor 4 Tahun 2014, dalam hal ini yang dapat melakukan hal tersebut adalah perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai ET-Produk Pertambangan
Hasil Pengolahan dan Pemurnian dari Menteri.
132
b. Jenis barangnya dibatasi; danatau
Artinya bahwa untuk jenis-jenis barang tertentu maka ekspornya dibatasi. Barang-barang tersebut adalah produk pertambangan sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 dimana barang tersebut hanya bisa diekspor apabila telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan
pemurnian.
129
Ibid., Pasal 2 angka 1 dan 2.
130
Indonesia j, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 M-DAG PER 3 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor,
Pasal 1 angka 6.
131
Junaiding, “Objek Ekspor,” http:www.eximlaws.com201502obek-ekspor.html diakses 9 Maret 2015
132
Indonesia d, Pasal 4 angka 1.
c. Jumlah barangnya yang dibatasi.
Artinya untuk jenis barang tertentu hanya boleh diekspor dalam jumlah tertentu saja. Jumlah tertentu ini sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 Permen
ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yaitu produk konsentrat. Bentuk pelarangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini jika dikaitkan
dengan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada izin ekspor export licences
. 6.
Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 PMK.011 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 75 PMK.011 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.
Guna menunjang kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang telah dijelaskan
diatas maka pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 PMK.011 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 PMK.011 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar selanjutnya
disebut dengan Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014. Tarif bea keluar ekspor mineral hasil olahan danatau pemurnian ini
diterapkan dalam rangka kebijakan pengendalian penjualan bijih Raw Material atau Ore Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah
dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri.Peraturan ini mengatur
tentang besaran bea keluar yang harus dibayarkan oleh eksportir jika melakukan ekspor mineral hasil olahan danatau pemurnian. Jenis bea keluar yang diatur
peraturan ini terbagi atas dua jenis yaitu: a.
Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang tidak membangun fasilitas smelter atau tidak melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter.
b. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang membangun fasilitas
smelter atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter. Untuk yang jenis pertama bea keluar diterapkan secara progresif dimulai
dari 20 sd 60. Kenaikan bea keluar tersebut dilakukan secara bertahap per enam bulan sekali dimulai dari sejak diberlakukannya peraturan ini sampai
dengan tanggal 12 Januari 2017.
133
Untuk yang jenis kedua bea keluar diterapkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Tingkat kemajuan pembangunan tersebut dibagi
menjadi tiga 3 tahap yaitu :
134
a. Tahap I : untuk tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5
termasuk di dalamnya penempatan jaminan kesungguhan
135
b. Tahap II : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5 sampai
;
dengan 30; c.
Tahap III : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30 Untuk tahap I dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 , tahap II sebesar
5, dan tahap III sebesar 0 atau dapat dikatakan tidak dikenai bea keluar.
133
Lihat Lampiran I Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014.
134
Indonesia l, Pasal 4A angka 3
135
Penempatan jaminan kesungguhan adalah uang jaminan yang disetorkan kepada pemerintah sebagai tanda keseriusan dalam pembangunan smelter yaitu sebesar 5 dari nilai
investasi baru atau dari sisa hasil investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan., Lihat Pasal 8 angka 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian
.
Berbeda dengan tarif bea keluar jenis pertama yang besaran tarif bea keluarnya dikenakan secara progresif sejalan dengan berlalunya waktu, untuk tarif jenis
kedua ini dikenakan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dan tidak dipengaruhi berlalunya waktu. Sebagai contoh, apabila suatu eksportir
tergolong pada Tahap I yang dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 maka dari sejak berlakunya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 eksportir
tersebut tetap dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 apabila dia ingin mengurangi tarif bea keluarnya sampai dengan 5 maka dia harus meningkatkan
tingkat kemajuan pembangunan smelternya di rentang 7,5 sd 30, dan apabila dia tidak ingin dikenai tarif bea keluar maka dia harus meningkatkan tingkat
kemajuan pembangunan smelternya sampai dengan lebih dari 30.
136
Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk pelarangan
ekspor yang terdapat dalam peraturan ini tergolong dalam pajak ekspor export taxes
yang berbentuk ad valorem tax. Ad valorem tax adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang
diekspor.
137
B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah