Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia
lainnya. Ini untuk menghadapi orang Pribumi yang dianggap sebagai warga negara kelas-3 Herlianto, 2001.
Sekalipun demikian banyak orang Cina yang memang pada dasarnya adalah pedagang bebas tidak mau begitu saja direndahkan sekedar menjadi pedagang
perantara. Banyak diantaranya kemudian menjadi penyelundup dan berdagang langsung dengan penduduk Pribumi.
Makin besarnya jumlah orang Cina, membuat kesadaran nasionalisme pada orang-orang Cina meningkat, hal ini dapat dilihat dengan didirikannya sekolah-
sekolah Cina di Indonesia. Perkembangan tersebut membuat orang Cina lebih senang menyebut diri mereka sebagai Tionghoa untuk mengaitkan diri dengan tanah leluhur
Tiongkok. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah eksklusif yang
dinamakan Holandse Chinese School dengan status subsidi pada tahun 1908 yang dibedakan dengan Holandse Indische School untuk orang-orang Pribumi. Sekolah
CinaTionghoa memiliki kurikulum yang disamakan dengan sekolah-sekolah Belanda dan dengan bahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1917 pemerintah Belanda
menyamakan hukum orang Cina dengan Belanda dan meninggikan status orang Cina daripada Pribumi. Sejak itu orang Cina mendapat tiga kursi wakil dalam Volksraad
DPR Herlianto, 2001. Kedekatan orang Cina dengan Belanda juga dipicu oleh banyaknya orang-
orang Cina yang kemudian masuk agama Kristen dan Katolik yang sama dengan agama orang-orang Belanda. Pada tahun 1920 orang-orang Cina yang berpendidikan
Belanda mendirikan organisasi Chung Hua Hui yang mendapat perwakilan di Volksraad pada tahun 1939. Pada tahun 1940 banyak orang Cina belajar ke negeri
Belanda sehingga menambah jumlah golongan orang Cina yang berorientasi ke
20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belanda. Pada tahun 1932 juga berdiri Partai Tionghoa Indonesia dan diberi kursi di Volksraad tahun 1939 yang bertujuan agar orang-orang Cina perantauan menjadi
warga negara Indonesia dan melepaskan diri dari kewarga-negaraan negeri Cina Herlianto, 2001.
Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan orang Indonesia pribumi memang dilandasi sikap antipati kepada kolonialis Belanda tetapi juga kepada orang-
orang Tionghoa yang hidupnya secara ekonomis lebih maju dari mereka. Dalam kenyataannya memang orang-orang Indonesia Pribumi sangat tertinggal dari mereka
baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun politik. Ini disebabkan karena politik ekonomi pemerintah kolonial yang berat sebelah Herlianto, 2001.
Pada waktu penjajahan Jepang di tahun 1941-1945, kemelut ekonomi menjadikan ekonomi rakyat Pribumi makin terpuruk dan menjadikan orang-orang
Cina memonopoli ekonomi dan menjadi tukang kredit. Di masa itu ada banyak orang Cina yang memihak rakyat pribumi dan melawan Belanda, tetapi banyak juga yang
membela Belanda dimana selama ini mereka telah mendapat keuntungan dari Belanda. Disisi lain, banyak yang berusaha menyelamatkan diri dan hanya mencari
keuntungan di pemerintahan manapun yang ada pada masa tersebut Herlianto, 2001. Setelah kemerdekaan RI di tahun 1945 dan Belanda meninggalkan RI di tahun
1950, kekosongan ekonomi yang ditinggalkan oleh monopoli Belanda dengan segera diisi oleh para pedagang Cina. Dengan demikian di awal kemerdekaan RI, sebagian
perusahaan dan usaha dagang dikuasi orang-orang Cina baik di kota maupun di desa- desa Herlianto, 2001.
Sementara itu, pemerintah Cina meniupkan politik Nasionalisme Tiongkok, sehingga pemerintah Tiongkok mulai memperhatikan Hoa-Kio Tionghoa
perantauan. Pada masa itu, pemerintahan Tiongkok menerapkan undang-undang
21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kewarganegaraan RRC dengan menganut prinsip ius sanguinis, yaitu semua anak
yang lahir dari ayah atau ibu etnis Tionghoa adalah warga negara Cina tanpa
memandang tempat kelahirannya. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip ius soli,
dimana semua anak yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan orang tuanya Herlianto, 2001.
Di Indonesia, peristiwa anti etnis Tionghoa terlihat dengan adanya peristiwa G30S PKI. Pemerintah Indonesia curiga bahwa orang Tionghoa ikut terlibat pada
peristiwa ini. Akibatnya, pemerintah orde baru segera mengambil tindakan dengan menutup konsulat dan kedutaan RRC Soekisman, 1975.
Di tahun 1967, orang-orang etnis Tionghoa dianjurkan untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk memperkecil perbedaan antara WNI
keturunan Cina dengan WNI asli. Sekalipun demikian, memang tidak mudah bagi orang-orang Cina yang secara tradisi budaya memiliki perasaan eksklusif dan
superioritas untuk bisa menempatkan diri dalam konteks kemerdekaan. Apalagi ketika di jaman Belanda warganegara Indonesia memiliki tingkatan yang sama dengan
orang-orang Belanda dan dibuat lebih tinggi statusnya dari orang-orang Pribumi. Keunggulan dalam perdagangan dan pendidikan waktu itu menyebabkan program
ganti nama seakan-akan mudah layaknya berganti baju dengan badan yang sama Soekisman, 1975.
Untuk mengikis sikap eksklusivisme itu, pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol Cina, baik berupa surat kabar maupun penggunaan bahasa Cina di
muka umum. Pada tahun itu pula dikeluarkan peraturan untuk tidak menggunakan nama Tionghoa karena konotasi keterkaitannya dengan Tiongkok negeri leluhur ras
ini. Untuk meredam konflik lebih besar pemerintah Orde Baru memandang orang- orang Cina yang menjadi WNI sebagai berhak dan berkewajiban sama dengan yang
22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pribumi, dan menganjurkan agar WNI keturunan Cina dapat membuka usaha bersama orang Pribumi Soekisman, 1975.