Sikap etnosentris pada etnis Tionghoa totok [Asli] dan peranakan.

(1)

ABSTRAK

Elvin Wijaya (2007). Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok (asli) dan Etnis Tionghoa Peranakan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah etnis Tionghoa Totok (asli) memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 120 orang. Terdiri dari 48 etnis Tionghoa Totok (asli) dan 72 etnis Tionghoa Peranakan, yang berstatus mahasiswa. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap etnosentris. Koefisien reliabilitas sebesar 0.9153. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-t. Dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis dilakukan dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan t tabel.

Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris etnis Tionghoa Totok (asli) sebesar 128.69 dan mean empiris etnis Tionghoa Peranakan 121.29. Mean empiris etnis Tionghoa Totok (asli) lebih besar dari mean empiris etnis Tionghoa Peranakan. Pengujian hipotesis menggunakan Independent Sample t-Test. Dari hasil analisis diperoleh t hitung sebesar 3.041 dengan t tabel 1.658 serta p = 0.003. Karena t hitung lebih besar dari t tabel, dan nilai p < 0.05 dengan demikian hipotesis penelitian ini diterima. Artinya, sikap etnosentris etnis Tionghoa Totok (asli) lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.


(2)

ABSTRACT

Wijaya, E (2007). Ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. Yogyakarta : Departement of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The proposed of this research was to compare ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. This research was a comparison research. The hypothesis in this research was ethnocentric attitude of original chinese ethnic higher than of mixed ethnic origins.

The subjects in this research are 120 persons. Consist of 48 original chinese ethnic and 72 mixed ethnic origins, were status college students. The data was collected using ethnocentric attitude scale. Reliability coefficient was 0.9153. The research data was measured using t-test and to determinated whether hypothesis can be accepted or unaccepted, it was done by comparing the value of t-count with t-table.

The result showed that empirical mean of original chinese ethnic was 128.69 and the empirical mean of mixed ethnic origins was 121.29. The empirical mean of original chinese ethnic higher than the empirical mean of mixed ethnic origins. The test of hypothesis was using Independent Sample t-test. The result of t-test showed that t-count was 3.041 and t-table was 1.658 with p = 0.003. Since t-count was higher than t-table so the hypothesis in this research was accepted. It means, ethnocentric attitude of original chinese ethnic higher than of mixed ethnic origins.


(3)

SIKAP ETNOSENTRIS PADA ETNIS TIONGHOA TOTOK

(ASLI) dan PERANAKAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Elvin Wijaya

NIM : 029114003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

MOTTO

Biarlah satu halaman hidupmu

terbuka setiap hari ...

Renungkanlah

Rahasia yang ada di dalamnya...

Rasakanlah

apa yang dikatakannya ...

Simpanlah

Dalam lubuk hatimu ...

Maka kau temukan impian emas yang

Menunggumu dalam tidur

Setiap pagi,

Tatkala engkau terjaga,

Ada seorang teman baru,

Yang rahasia,


(7)

Kupersembahkan karya ini kepada :

Sang Buddha, Guru Agung Nan

Mulia dengan Dhamma

ajaran-Nya

Papa dan Mama tercinta

My Brother “Titi” Fridmen

My Dear Victor

All my friends

All Chinese People


(8)

(9)

ABSTRAK

Elvin Wijaya (2007). Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok (asli) dan Etnis Tionghoa Peranakan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah etnis Tionghoa Totok (asli) memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 120 orang. Terdiri dari 48 etnis Tionghoa Totok (asli) dan 72 etnis Tionghoa Peranakan, yang berstatus mahasiswa. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap etnosentris. Koefisien reliabilitas sebesar 0.9153. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-t. Dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis dilakukan dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan t tabel.

Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris etnis Tionghoa Totok (asli) sebesar 128.69 dan mean empiris etnis Tionghoa Peranakan 121.29. Mean empiris etnis Tionghoa Totok (asli) lebih besar dari mean empiris etnis Tionghoa Peranakan. Pengujian hipotesis menggunakan Independent Sample t-Test. Dari hasil analisis diperoleh t hitung sebesar 3.041 dengan t tabel 1.658 serta p = 0.003. Karena t hitung lebih besar dari t tabel, dan nilai p < 0.05 dengan demikian hipotesis penelitian ini diterima. Artinya, sikap etnosentris etnis Tionghoa Totok (asli) lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.


(10)

ABSTRACT

Wijaya, E (2007). Ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. Yogyakarta : Departement of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The proposed of this research was to compare ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. This research was a comparison research. The hypothesis in this research was ethnocentric attitude of original chinese ethnic higher than of mixed ethnic origins.

The subjects in this research are 120 persons. Consist of 48 original chinese ethnic and 72 mixed ethnic origins, were status college students. The data was collected using ethnocentric attitude scale. Reliability coefficient was 0.9153. The research data was measured using t-test and to determinated whether hypothesis can be accepted or unaccepted, it was done by comparing the value of t-count with t-table.

The result showed that empirical mean of original chinese ethnic was 128.69 and the empirical mean of mixed ethnic origins was 121.29. The empirical mean of original chinese ethnic higher than the empirical mean of mixed ethnic origins. The test of hypothesis was using Independent Sample t-test. The result of t-test showed that t-count was 3.041 and t-table was 1.658 with p = 0.003. Since t-count was higher than t-table so the hypothesis in this research was accepted. It means, ethnocentric attitude of original chinese ethnic higher than of mixed ethnic origins.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada para Buddha dan Bodhisatva, yang telah melimpahkan berkah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini takkan terwujud tanpa bantuan, bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang berikut ini :

1. Sang Buddha, yang telah melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, yang telah membimbing dan memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Papa “Lie” yang pendiam tapi selalu mensupport segala keputusan yang penulis ambil disetiap langkah dalam kehidupan ini sehingga mengajarkan penulis untuk mandiri. Mama “Sim” bidadari dalam keluarga, yang selalu mendoakan, mendengarkan segala keluh kesah penulis dan memberi spirit moral kepada penulis. Thanks to my parents... elvin beruntung dilahirkan sama papa dan mama dalam keluarga sederhana ini.

3. Bapak P.Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penulisan ini.

4. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik didalam kelas maupun diluar kelas.


(12)

5. Bapak Dr. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran yang telah membuat penulis siap secara mental dan matang selama pengerjaan skripsi ini.

6. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi., Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. dan Ibu A.Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih telah menjadi dosen pembimbing yang senantiasa membantu penulis mengenai masalah akademik.

7. Bapak Agung Santoso, S.Psi. yang banyak memberikan masukan, saran, kritik serta pelajaran kehidupan baik akademik maupun kehidupan nyata. Makasih ya pak...

8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi di Fakultas Psikologi ini. Terima kasih buat Bapak dan Ibu atas bimbingan dan arahannya selama ini.

9. Mba’ nanik, Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar membantu dan memberi kemudahan bagi penulis selama proses studi penulis di fakultas Psikologi ini.

10. Pak Bimo dan Pak Siang (INTI), terima kasih atas masukan dan diskusi mengenai perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia saat ini.

11. Titi “Fridmen” my brother.... bro.. thanks ya selama ini walaupun loe gak banyak omong tapi cc tau seberapa besar rasa sayang dan perhatian loe ma cc.. Jangan jadikan kekurangan loe sebagai suatu kelemahan dalam menghadapi hidup ini oc.. I Love U Bro... you are the best brother for me...

12. All my big family....makasi atas doa, dukungan dan perhatian semua keluarga ma elvin ya....


(13)

13. Victor, special person in my life. Walaupun kita gak bersama saat ini, rasa sayang, dukungan dan perbedaan yang kita jalani dalam hubungan ini menjadikan elvin kaya akan “rasa”. Doa dan kepercayaanmu memberi kekuatan kepada elvin.

14. My best plend in Padang “ Bule” Vesy, Ai, cc Vera, Edward, “Kawek” Ricky, Hok An, Beatrix (Vio). Plend, ternyata jarak yang jauh gak membuat perhatian, kepedulian dan rasa pertemanan yang kita jalin dari dulu luntur. Makasi supportnya ya...

15. Teman-teman terbaik yang hadir dalam hidupku, Nanoet, Mas Adi, Cinghe, Laora.. dinamika akademik banyak juga mendewasakan pribadi kita masing-masing. Kenal dan dekat dengan kalian memberikan banyak warna dalam hidup elvin.

16. Tumi “Ratna”, Jenk Icha, Jenk Yosi kedekatan yang singkat memberikan makna yang dalam pada persahabatan ini...

17. Teman-teman di P2TKP Pak Priyo, Pak Toni, Bu Tiwi, Iput, Tita, Otikwati, Desta, Abe, Mas Kobo dan Obeth. Makasi ya supportnya dan kerjasamanya selama ini.

18. Teman-Teman Angkatan 2002 Mitha, Lia, Sutri, Anna, Meme, Ajeng, Ucix, Tanti, Nopex, Bona, Aan, Doddy, Ira, dan yang lain yang tidak bisa penulis tuliskan satu demi satu. Makasi atas pertemanan selama ini, elvin jadi belajar banyak karakter.

19. Teman-teman tempat berbagi segala rasa, Kak Shinta, Nitong dan Erika. Makasi ya selama elvin di jogja, kalian merupakan saudara bagi elvin.

20. Teman-teman mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana, makasi ya atas kerjasamanya.


(14)

21. Dan tak lupa saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaan dan waktu yang pembaca luangkan untuk membaca karya tulis ini.

Penulis menyadari pula adanya ketidak sempurnaan dalam karya tulis ini karena kesempurnaan hanya dimiliki Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran dari pembaca yang bisa menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis menjadi lebih baik. Kritik dan saran dapat dikirimkan ke elvin_imoet@yahoo.com. Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi terbaru bagi pembaca.


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

Pernyataan Keaslian Karya ... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORI A. Sikap Etnosentris 1. Pengertian ... 6

2. Sikap Etnosentris dalam Kelompok Etnis ... 8


(16)

3. Aspek – aspek sikap etnosentris ... 12

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap etnosentris ... 13

B. Etnis Tionghoa 1. Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia ... 16

2. Kebudayaan Etnis Tionghoa ... 22

3. Pengelompokan etnis Tionghoa ... 26

a. Etnis Tionghoa Totok ... 27

b. Etnis Tionghoa Peranakan ... 29

C. Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok dan Peranakan ... 31

D. Hipotesis ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

C. Defenisi Operasional ... 39

1. Variabel Bebas ... 39

2. Variabel Tergantung ... 40

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Prosedur Penelitian ... 42

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 42

1. Skala Sikap Etnosentris ... 42

2. Pemberian Skor Skala ... 45

G. Estimasi Validitas, Seleksi Item dan Reliabilitas ... 45

1. Estimasi validitas ... 45


(17)

3. Estimasi Reliabilitas ... 49

H. Metode Analisis Data ... 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 51

B. Hasil Penelitian ... 51

1. Uji asumsi ... 51

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Homogenitas ... 52

2. Deskripsi data penelitian ... 53

3. Uji Hipotesis ... 55

C. Pembahasan ... 57

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Profil etnis Tionghoa Totok (asli) dan Peranakan ... 30

Tabel 2.2 : Aspek-aspek Pembeda ... 36

Tabel 3.1 : Distribusi item skala sikap etnosentris sebelum ujicoba .... 44

Tabel 3.2 : Skor jawaban skala ... 45

Tabel 3.3 : Distribusi item skala sikap etnosentris setelah ujicoba ... 48

Tabel 3.4 : Distribusi item skala penelitian sikap etnosentris ... 49

Tabel 4.1 : Ringkasan One Sample Kolmogorov-Sminorv Test ... 52

Tabel 4.2 : Ringkasan Test of Homogenity of Variances ... 53

Tabel 4.3 : Ringkasan Tabel Data Penelitian ... 54

Tabel 4.4 : Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ... 55 (Independent Sample t-Test)


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN UJICOBA

Tabulasi Data Hasil Ujicoba ... 68

Uji Daya Beda Item dan Estimasi Reliabilitas ... 82

LAMPIRAN PENELITIAN Skala Penelitian ... 86

Tabulasi Data Penelitian ... 87

Uji Normalitas ... 105

Uji Homogenitas ... 108

Uji Perbedaan / Uji t ... 109

LAMPIRAN SURAT IJIN PENELITIAN


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Masing-masing masyarakatnya terdiri dari etnis-etnis yang berasal dari berbagai macam latar belakang sosial dan budaya yang khas dan berbeda satu sama lain.

Setiap etnis membawa kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang merupakan hasil dari proses belajar masing-masing individu dalam kelompok etnisnya. Dalam proses belajar tersebut individu menanamkan kepribadian, segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidup. Masing-masing etnis juga melakukan inkulturasi, yaitu proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1980). Proses ini membentuk identitas etnis dalam diri individu, sehingga memotivasi seseorang untuk belajar tentang sikap etnik yang meliputi sikap terhadap kelompok sendiri ataupun terhadap kelompok lain.

Sikap etnik yang tertanam dalam diri masing-masing individu terhadap etnisnya membuat individu tersebut memiliki persepsi tersendiri terhadap etnis lain. Hasil interpretasi suatu etnis terhadap etnis lain bermacam-macam. Adakalanya persepsi yang mereka hasilkan berbeda dengan persepsi yang sebenarnya pada etnis tersebut, sehingga pada akhirnya setiap etnis menganggap etnisnya lebih baik dari etnis yang lain, hal tersebut diistilahkan dengan etnosentrisme.

Etnosentrisme merupakan perasaan bahwa kelompok etnis mereka lebih baik ketimbang kelompok etnis lain (Matsumoto, 1996). Pengertian ini diperjelas oleh Soekanto (1982) yang mengatakan bahwa etnosentrisme adalah penilaian terhadap


(21)

unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan norma-norma yang ada pada kebudayaan sendiri.

Salah satu etnis di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk memiliki sikap etnosentris yang tinggi adalah etnis Tionghoa. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Helmi (1990) yang menunjukkan bahwa etnis Tionghoa memiliki sikap etnosentris. Dilihat dari generasinya, etnis Tionghoa generasi tua memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi ketimbang generasi muda etnis Tionghoa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suryanto dan Tairas (1999) menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara keturunan etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam sosialisasi, identitas, etnosentrisme dan agresi rasialnya. Secara umum sosialisasi, identitas, etnosentrisme dan agresi rasial pada etnis Tionghoa lebih tinggi dibandingkan dengan etnis Jawa.

Etnis Tionghoa merupakan etnis yang baru diakui keberadaannya di Indonesia, selain jumlahnya yang minoritas, etnis Tionghoa dikenal dengan etnis yang memiliki perjalanan sejarah yang kurang baik dimata orang Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa masalah-masalah ini terjadi karena orang Tionghoa masih mempertahankan kebudayaan asing, tidak memiliki identitas Indonesia. Ada yang berpendapat lagi bahwa orang Tionghoa tidak sepenuhnya berbaur dengan masyarakat pribumi. Ada lagi yang memiliki persepsi bahwa etnis Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnis yang menduduki tangga ekonomi yang lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan orang Tionghoa sebagai orang asing, walaupun orang Tionghoa tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung masyarakat pribumi mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi masyarakat pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia (Suryadinata, 2003).


(22)

Di satu sisi, kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

Berdasarkan perjalanan masyarakat Tionghoa di Indonesia, etnis Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Identifikasi terhadap masyarakat etnis Tionghoa dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu etnis Tionghoa asli (atau juga disebut sebagai etnis Tionghoa Totok) dan etnis Tionghoa Peranakan (Tan, 1979; Skinner, 1979).

Etnis Tionghoa Totok (asli) berorientasi pada budaya Tionghoa dan betul-betul menganggap dirinya bukan orang Indonesia, menggunakan bahasa Tionghoa, bersekolah dengan bahasa pengantar bahasa Tionghoa dan mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Tionghoa di luar Indonesia. Etnis Tionghoa Totok (asli) ini sebagian besar menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi karena lahir di Indonesia.

Etnis Tionghoa Peranakan adalah mereka yang lahir dari perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan Indonesia. Etnis Tionghoa Peranakan memiliki tingkat akulturasi dan identifikasi diri yang bermacam-macam terhadap budaya Indonesia. Mereka dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa daerah di tempat mereka dilahirkan (Tan, 1979). Minoritas yang heterogen ini oleh pemerintah Indonesia maupun oleh masyarakat pribumi sering dianggap sebagai minoritas yang homogen, sehingga terkesan antara etnis Tionghoa Totok (asli) dengan etnis Tionghoa Peranakan tidak memiliki perbedaan.

Perasaan minoritas yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa membuat mereka mengidentifikasikan dirinya dalam suatu kelompok. Kelompok tersebut dianggap sebagai in-groupnya. Sebaliknya, kelompok diluar kelompok sosialnya


(23)

disebut sebagai out-groupnya, dimana individu-individu anggota kelompok tersebut dianggap sebagai lawan dari in-groupnya (Boner dalam Helmi, 1990). Sikap ini disebabkan karena dengan berbaur dengan etnis atau suku lain membuat mereka merasa tidak nyaman, ada perasaan dikucilkan atau didiskriminasikan oleh etnis atau suku lain yang mayoritas. Hal ini secara tidak langsung memunculkan sikap etnosentrisme pada etnis Tionghoa.

Sebagian etnis Tionghoa merasa diri mereka merupakan kelompok yang eksklusif atau istimewa dibandingkan dengan etnis lain sehingga etnis Tionghoa cenderung untuk tidak membaur dengan masyarakat setempat yang berbeda etnis dengan mereka. Salah satu contoh adanya perasaan eksklusif yang terlihat pada etnis Tionghoa adalah keinginan etnis Tionghoa untuk mencari pasangan hidup yang sesama etnis.

Sikap etnosentris dapat dilihat pada etnis Tionghoa melalui fenomena-fenomena yang telah dipaparkan penulis sebelumnya dan penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai peneliti. Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitan dengan lebih khusus melihat etnis Tionghoa yang heterogen, yang terdiri atas etnis Tionghoa yang Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan. Peneliti ingin mengetahui perbedaan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan.

B. Rumusan Masalah

Melihat fenomena yang telah diungkap diatas maka peneliti ingin membatasi permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu apakah ada perbedaan sikap etnosentris antara etnis Tionghoa Totok (asli) dan Peranakan.


(24)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan permasalahan tersebut maka penelitian ini memiliki tujuan untuk membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Untuk menambah kasanah pengetahuan di bidang Psikologi sosial khususnya Psikologi budaya tentang sikap etnosentris dan dinamikanya dalam kontak sosial antar budaya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran pada masyarakat etnis Tionghoa untuk mengetahui seberapa besar sikap etnosentris yang dimiliki etnis Tionghoa dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Indonesia dalam pengembangan dan peningkatan proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan sehari-hari.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap Etnosentris 1. Etnosentrisme

a. Pengertian

Tuhan menciptakan manusia sebagai mahkluk sosial. Kedudukan manusia sebagai mahkluk sosial mendorongnya untuk membentuk kelompok sosial. Kelompok sosial ini dilandasi oleh kesamaan kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok dengan sadar akan menjalin hubungan timbal balik dengan sesama anggota untuk mempererat hubungan dalam kelompok. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka terdapat pola-pola perilaku dan aturan permainan yang mengatur hubungan antar anggota dalam kelompok, misalnya nilai-nilai dan norma-norma sosial. Hal ini merupakan faktor pengikat yang mempererat hubungan timbal balik tersebut (Helmi, 1990).

Norma dan nilai yang terkandung dalam suatu kelompok memiliki fungsi untuk memberikan arah dan pedoman terhadap perilaku anggota dalam kelompok. Oleh sebab itu, agar setiap anggota dapat diterima dengan baik dalam hubungan timbal balik tersebut, maka para anggota harus mampu untuk mengidentifikasikan nilai dan norma kelompok. Proses identifikasi ini akan menimbulkan perasaan in-group dan orang yang berada di luar kelompok disebut out-group (Helmi,1990).

In-group diartikan sebagai individu yang memiliki identifikasi yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai bagian suatu kelompok sosial tertentu,


(26)

sedangkan out-group merupakan individu yang bukan bagian dari suatu kelompok sosial tertentu. Perasaan in-group disertai dengan perasaan persaudaraan yang memandang anggota kelompok sendiri sebagai “orang kita” atau “keluarga sendiri”. Sebaliknya, orang-orang diluar kelompok dipandang sebagai “orang asing” atau “orang lain”. Perasaan yang ada pada kelompok in-group terhadap kelompok out-group cenderung lebih dingin, bahkan kadang-kadang disertai dengan rasa permusuhan (Ahmadi, 1991).

Dalam suatu kelompok biasanya terdapat kecenderungan untuk menganggap segala yang termasuk didalam kelompoknya sebagai yang utama, baik, riil, logis dan sebagainya. Sedangkan segala yang berbeda dan tidak termasuk didalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak baik dan tidak susila. Dalam in-group dimana individu termasuk didalamnya, terdapat kecenderungan untuk sering mengadakan identifikasi atau penyesuaian diri dengan kelompok. Adanya unsur mendukung, mengikuti norma yang ada dalam kelompoknya disebut sebagai in-group. Dalam out-group, individu berada diluar suatu kelompok. Ia merasa bahwa ia tidak tergolong didalamnya (Ahmadi, 1991).

Sikap in-group pada umumnya mempunyai faktor simpati dan solidaritas yang tinggi, serta selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota kelompoknya. Sedangkan sikap terhadap out-group selalu ditandai dengan suatu antagonisme atau antipati. Perasaan in-group atau in-group feeling yang kuat yang dimiliki individu dalam suatu kelompok dan memandang nilai-nilai budaya maupun segala sesuatu yang ada dalam dirinya lebih baik dari individu ataupun kelompok lain disebut sebagai etnosentrisme (Haryono, 1994). Pernyataan ini juga diperjelas dengan


(27)

pernyataan Soekanto (1982) bahwa etnosentrisme merupakan sikap melihat dan melakukan interpretasi terhadap orang lain berdasarkan nilai-nilai budaya sendiri. Sumner (dalam Berry, 1999) menyatakan bahwa etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan kuat yang diterapkan suatu kelompok dengan membuat patokan kelompok sendiri sebagai patokan satu-satunya ketika memandang kelompok lain, dengan akibat menempatkan kelompok sendiri pada kedudukan teratas dan mendudukkan kelompok lain pada kedudukan lebih rendah.

Myers (1999) menjelaskan bahwa etnosentrisme adalah keyakinan suatu kelompok terhadap superioritas etnis dan budayanya sendiri sehingga menganggap rendah kelompok lain diluar kelompoknya. Dayakisni dan Yuniardi (2004) menggambarkan etnosentrisme sebagai suatu sikap dalam melihat dan melakukan interpretasi terhadap seseorang ataupun kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang ada pada budayanya sendiri. Memperjelas pengertian ini, Barger (2004) menyatakan bahwa etnosentrisme merupakan kecenderungan berpikir bahwa kelompoknya sendiri lebih superior dari kelompok lain atau menilai kelompok lain inferior dari kelompoknya sendiri. Poerwanti (2001) mendefinisikan etnosentrisme sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri merupakan pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompoknya sendiri.

Dengan pengertian etnosentrisme yang dipaparkan penulis diatas, gambaran adanya sikap etnosentris dapat dilihat antara lain pada orang-orang Yahudi, yang menganggap dirinya sebagai orang-orang terpilih; orang-orang Yunani dan Roma, menganggap orang di luar dirinya sebagai orang yang


(28)

kurang beradab dan orang Tionghoa yang menganggap negaranya sebagai kerajaan yang paling besar.

Etnosentrisme menjadikan kebudayaan sendiri sebagai patokan dalam mengukur baik buruk, tinggi rendah, serta benar atau tidaknya kebudayaan lain berdasarkan standar kebudayaannya sendiri. Hal ini terwujud dengan adanya kesetiakawanan yang kuat antar anggota terhadap kebudayaannya sendiri, tidak adanya kritikan terhadap kelompok etnis atau bangsa sendiri, disertai prasangka negatif terhadap kelompok etnis atau bangsa lain (Poerwanti, 2001). Kecenderungan untuk menjadi etnosentris akan mengakibatkan seseorang menilai kelompok lain menurut kategori dan nilai budayanya sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme adalah suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari suatu kelompok sosial berdasarkan etnis tertentu, yang memiliki in-group feeling yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan, nilai, keyakinan, pandangan, sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya sebagai segala sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok sosial lain. Secara sederhana, konsep etnosentrisme dapat dikatakan sebagai konsep hubungan sosial antar anggota dalam kelompok dengan anggota luar kelompok yang mana hubungan itu biasanya lebih banyak dilakukan oleh anggota dalam kelompok daripada anggota luar kelompok, sehingga orang yang memiliki sikap etnosentris yang tinggi akan banyak berhubungan dengan sesama anggota dalam kelompoknya dibandingkan dengan orang di luar kelompoknya. Hal ini disebabkan etnosentrisme mengandung dua dimensi sikap yang positif dan negatif.


(29)

b. Sikap Etnosentris dalam Kelompok Etnis

Matsumoto (1996) mengungkapkan bahwa setiap pribadi dari individu cenderung memiliki sikap etnosentris. Individu yang cenderung memiliki sikap etnosentris beresiko untuk menilai orang lain dari sudut pandang kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentris muncul dalam diri individu disebabkan oleh kurangnya pengalaman, pengetahuan ataupun komunikasi mengenai etnis lain diluar etnisnya (Poerwanti, 2001). Pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dapat berupa jatidiri etnis, norma kultural, bahasa yang beranekaragam pada masing-masing etnis serta pergaulan dengan individu lain diluar etnisnya. Hal ini menyebabkan komunikasi dan pergaulan antar individu antara satu etnis dengan etnis lainnya menjadi terbatas.

Brown (1986) menambahkan bahwa sikap etnosentris memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi positif dan dimensi negatif. Dimensi positif dari sikap etnosentris mengandung makna pemberian identitas diri yang dapat meningkatkan kebanggaan diri terhadap kelompoknya, sedangkan dimensi negatif mengandung makna menganggap rendah terhadap kelompok di luar kelompoknya.

Norma kultural diartikan sebagai wujud dari sikap dan perilaku yang ditanamkan kepada setiap individu sejak awal perkembangan individu yang diinternalisasikan melalui proses belajar dari keluarga maupun lingkungan kelompok etnis (Berry, 1999). Norma kultural mengandung hal-hal yang berbau kebudayaan serta adat istiadat yang ada dalam kelompok etnis atau budaya yang berlaku secara umum tidak terkait dengan diri sendiri.


(30)

Norma kultural memiliki peranan yang penting dalam menentukan apa yang dipelajari seseorang. Nilai-nilai kultural atau budaya yang ditanamkan oleh budaya pada masing-masing individu dapat berubah secara mencolok bila mendapat tekanan dan pengaruh dari lingkungan (Helmi, 1990). Budaya yang terinternalisasi pada masing-masing individu memiliki derajat internalisasi yang berbeda-beda pada setiap individu anggota kelompok budaya tersebut (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Individu yang mendapatkan pengetahuan mengenai norma kultural yang besar dari keluarga maupun lingkungan kelompok etnisnya menjadikan individu tersebut memiliki kecenderungan untuk bersikap etnosentris. Norma kultural berdampak pada sikap etnosentris, secara positif norma kultural dapat menjadikan individu melestarikan budaya dan adat istiadat yang terdapat pada etnisnya sebaliknya menjadi negatif bila individu mengganggap adat istiadat dan budaya etnis lain lebih rendah dari etnisnya.

Jatidiri etnis merupakan keseluruhan seseorang yang mencakup pribadi (misal nama) dan sosial (misal keluarga). Jatidiri etnis dapat dikatakan sebagai bagian konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan tentang keanggotannya dalam suatu kelompok sosial, bersama dengan nilai dan signifikansi emosional yang dilekatkan pada keanggotaan itu. Jatidiri etnis seseorang berasal dari kelompok etnis dimana ia menjadi anggotanya. Dalam hal ini, individu merasa mereka menjadi milik kelompok dan bekerja untuk mengutamakan kelompok dan keanggotaan mereka (Berry, 1999).

Jati diri etnis yang terdapat pada diri individu dapat terlihat dari ciri-ciri fisik yang ada dalam diri individu, misalnya etnis Tionghoa memiliki mata yang sipit dan kulit yang putih atau orang yang berkulit hitam


(31)

cenderung berasal dari Afrika. Jati diri etnis merupakan bentuk representasi diri individu dari kelompok etnisnya. Jatidiri etnis secara sederhana dapat digambarkan sebagai budaya dari etnisnya yang melekat secara langsung pada diri individu. Hal ini secara positif berdampak pada sikap etnosentris, yaitu individu menjadi istimewa dan bangga menjadi anggota dalam kelompok etnisnya. Berdampak negatif disaat individu merasa bahwa jatidiri etnisnya lebih baik dari jatidiri etnis yang lain.

Seringkali kesamaan jatidiri pada etnis membuat anggota dalam kelompok etnis berkumpul, bergaul dan berinteraksi hanya dengan sesama anggota dalam kelompok etnisnya. Identifikasi yang besar terhadap etnisnya menjadikan individu dalam kelompok etnis memiliki in-group feeling yang kuat. Rasa kebersamaan dalam kelompok yang berlebihan memunculkan dimensi yang negatif dari sikap etnosentris. Individu jadi berkelompok dan bergaul hanya dengan anggota dalam kelompok etnisnya. Keengganan untuk menjadikan orang lain diluar etnisnya sebagai teman menjadi besar. Rasa bangga yang besar terhadap kelompok etnis sendiri menjadikan terbentuknya stereotipe dari kelompok diluar etnis terhadap kelompok etnis tersebut.

Stereotipe merupakan kepercayaan bahwa semua anggota suatu kelompok memiliki ciri-ciri tertentu atau menunjukkan perilaku tertentu (Muzammil, 2006). Menurut Mulyana (2000), stereotipe adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.

Stereotipe seringkali didasari oleh fakta dan fiksi mengenai orang lain dari budaya tertentu, namun seringkali menjadi konsepsi yang terlalu


(32)

sederhana, kaku dan tidak akurat. Ketidakakuratan ini terjadi akibat adanya overgeneralisasi dari pengalaman pribadi atau informasi yang masuk sehingga individu cenderung untuk bergaul dengan anggota dalam kelompok etnisnya (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Saat teman kita dari Batak berbicara dengan suara lantang dan keras, maka selanjutnya kita menggeneralisasi bahwa semua orang Batak memiliki watak yang keras dan suara yang lantang.

Bahasa merupakan salah satu jembatan untuk berpartisipasi dalam lembaga sosial dan ekonomi masyarakat. Persoalan yang paling penting yang berkaitan dengan bahasa dalam masyarakat majemuk adalah pelestarian bahasa. Pelestarian bahasa dalam kelompok etnis adakalanya dipengaruhi oleh keinginan anggota kelompok untuk melestarikan bahasa mereka dalam masyarakat dominan dengan menggunakan bahasa itu sendiri dan mengajarkannya kepada keturunannya (Berry,1999).

Bahasa yang pertama dipelajari seseorang adalah bahasa ibu, yang seterusnya akan memberikan sumbangan bagi pembentukan diri dan pengembangan kepribadian individu. Bahasa merupakan salah satu unsur warisan budaya yang khas. Hal ini membuat masyarakat sadar untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan membedakan mereka dari individu yang lain (Yulia, 1997). Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah budaya Tionghoa, mereka tetap melestarikan bahasa dan budayanya. Etnis Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa dalam berkomunikasi dengan sesama etnis mereka. Berkomunikasi dengan bahasa Tionghoa membuat etnis Tionghoa merasa bersaudara satu sama lainnya. Agar tetap terpelihara, bahasa Tionghoa tetap


(33)

dipertahankan oleh etnis Tionghoa. Bahasa merupakan cerminan dari terpeliharanya suatu budaya.

Bahasa merupakan salah satu aspek dari sikap etnosentris yang mengandung dimensi negatif. Hal ini dikarenakan etnis tersebut menggunakan bahasa yang berasal dari budayanya dan tidak menggunakan bahasa dominan dimana etnis tersebut berada. Bentuk pelestarian bahasa akan menyebabkan komunikasi dan kontak sosial terhadap kelompok lain menjadi tidak harmonis. Misalnya, setiap etnis yang ada di Indonesia berkomunikasi dengan bahasa yang terdapat pada etnis mereka masing-masing, setiap etnis merasa bahasa yang terdapat pada etnisnya lebih baik daripada etnis lain dan merendahkan bahasa dari etnis lain. Hal ini menimbulkan sikap etnosentris pada kelompok etnis.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap etnosentris mengandung dua dimensi yaitu, dimensi negatif dan dimensi positif. Aspek-aspek yang terdapat pada sikap etnosentris seperi norma kultural, jatidiri etnis, pergaulan dan bahasa masing-masing memiliki dimensi positif dan dimensi negatif.

c. Pembentukan Sikap Etnosentris

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap etnosentris adalah:

(1) Lingkungan keluarga

Menurut Helmi (1990), sikap etnosentris terbentuk melalui interaksi nilai-nilai yang ada dalam diri individu dan pengaruh lingkungan melalui proses belajar. Hal lain yang juga berkaitan dengan terbentuknya sikap etnosentris adalah ditanamkannya perasaan


(34)

group yang kuat sejak tahap-tahap awal perkembangan manusia. Media yang sangat berpengaruh atas proses sosialisasi adalah lembaga keluarga (Helmi, 1990).

Sejak masih kanak-kanak, individu secara alamiah mampu untuk membedakan dirinya berdasarkan keanggotaan kelompok, yakni menjadi bagian dari sebuah keluarga. Sumner (dalam Brewer dan Miller, 1996) mengistilahkan hal tersebut dengan in-group dan out-group, yakni pengelompokan sosial yang dilakukan individu apakah menjadi bagian atau bukan merupakan bagian dari suatu kelompok sosial.

Tajfel (dalam Brewer dan Miller, 1996) menyatakan, perasaan in-group sudah nampak sejak usia anak-anak. Pada usia 6 atau 7 tahun, misalnya anak-anak sudah memperlihatkan kecintaan yang kuat pada bangsanya, meskipun mereka belum mengerti apa arti bangsa itu sendiri. Orang tua merupakan dasar dari perkembangan etnosentrisme.

(2) Lingkungan masyarakat atau tempat tinggal

Setiap manusia lahir membawa potensi perilaku dan berada dalam suatu kondisi sosial. Kondisi sosial masing-masing individu berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini termasuk dalam hal nilai-nilai yang mengatur perilaku mana yang boleh dipelajari dan tidak boleh dipelajari. Hal ini mengartikan bahwa manusia diajar oleh lingkungan sosialnya untuk dapat membuat respon tertentu dan tidak merespon yang lain. Oleh Segall (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) hal ini dinamakan sosialisasi.


(35)

Child (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) berpendapat bahwa sosialisasi sebagai proses dalam diri individu, dimana individu tersebut dilahirkan dengan potensi perilaku yang luas, yang mengarah pada pengembangan perilaku nyata yang dibatasi lebih sempit pada suatu kebiasaan dan dapat diterima oleh individu dengan standar nilai-nilai yang ada pada kelompoknya.

Proses sosialisasi biasanya melibatkan reinforcement didalamnya. Adanya reward sosial dan punishment sosial, membuat individu belajar perilaku mana yang boleh dilakukan dan dilarang untuk dilakukan. Individu akan diberi penghargaan jika perilakunya diterima oleh lingkungan sosialnya dan hukuman terhadap perilaku yang tidak diinginkan atau dilarang oleh lingkungan sosialnya (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Dengan demikian, lingkungan sosial dapat memperkuat atau memperlemah terbentuknya sikap etnosentris melalui adanya reward sosial dan punishment sosial yang dibentuk sesuai dengan aturan dan standar nilai yang ada pada masing-masing kelompok sosial.

(3) Lingkungan sekolah atau pendidikan

Sistem pendidikan tidak hanya sebagai institusi untuk meningkatkan kemampuan dalam berpikir dan pengetahuan. Tetapi juga merupakan institusi yang mensosialisasikan individu, mengajarinya dan memperkuat nilai-nilai budaya yang penting.

Pada sistem pendidikan penanaman nilai-nilai budaya dan pensosialisasian individu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu


(36)

(1) materi yang yang diajarkan sekolah merefleksikan pilihan-pilihan yang secara apriori melalui anggapan yang dihargai oleh suatu budaya atau masyarakat tentang apa yang diyakini penting untuk dipelajari. (2) Setting lingkungan dimana pendidikan itu berjalan perlu untuk dipertimbangkan. Tanpa memperhatikan setting lingkungan, sarana yang memungkinkan pendidikan terjadi akan memperkuat tipe nilai-nilai budaya tertentu pada sipenerima pendidikan itu. Organisasi, perencanaan dan pelaksanaan dari rencana pelajaran merupakan bagian yang penting dari faktor sosialisasi (Dayakisni dan Yuniardi, 2004).

Di sekolah, sebagian besar hidup individu dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang awalnya terbentuk pada hubungan dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bergaul, bekerjasama dan sekolah (Matsumoto, 2004). Sekolah melembagakan nilai-nilai budaya dan merupakan kontributor perkembangan intelektual serta perkembangan sosial dan emosi individu. Dengan demikian, perkembangan sikap etnosentris pada individu dapat berbeda-beda tergantung dari internalisasi nilai-nilai budaya yang diajarkan dalam sistem pendidikan pada individu.

B. Etnis Tionghoa

1. Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia

Orang Cina yang pertama kali datang di Indonesia adalah seorang pendeta agama Buddha bernama Fa Hien. Ia singgah di Pulau Jawa pada tahun 413. Daerah yang pertama kali didatangi adalah Palembang. Pada masa itu Palembang merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya (Hidayat, 1977).


(37)

Orang Cina yang merantau saat itu kemudian menetap secara tersebar di daerah-daerah yang merupakan tempat penting dalam perdagangan di Indonesia. Objek perdagangan pada masa itu adalah beras, lada dan gula (Hidayat, 1977).

Belanda dan bangsa-bangsa Barat lainnya seperti Inggris dan Portugis masuk ke Indonesia dan melakukan penjajahan politik dan ekonomi. Pemerintah Hindia Belanda berusaha meningkatkan perdagangan antar pulau dan mulailah terjadi perdagangan besar-besaran antar pulau di seluruh Indonesia oleh VOC. Berhubung orang Cina umumnya merantau sebagai pedagang maka kesempatan ini digunakan oleh orang Cina untuk migrasi secara besar-besaran ke indonesia.

Pada abad ke-19 dengan berkembangnya perdagangan antar pulau, kedatangan para migran asal Cina ini makin besar, bahkan bila semula yang datang hanya laki-laki sehingga menyebabkan sering terjadinya perkawinan dengan penduduk Pribumi, maka sekarang mereka datang berbondong-bondong membawa anak isteri dan membentuk perkampungan sendiri yang umumnya terdiri dari penduduk dari ras Cina (pe'Cina'n).

Kedatangan rombongan orang Cina ini lebih-lebih terjadi dengan pembukaan perkebunan-perkebunan yang luas di Sumatera oleh pemerintah Hindia Belanda. Banyak orang Cina yang terdiri dari kaum buruh, hijrah ke Indonesia dan bermukim di sepanjang pantai Timur Sumatera, pulau Bangka dan Belitung. Pengelompokan penduduk ras tertentu secara demikian menghasilkan kelompok-kelompok ras Cina yang hidup secara eksklusif dan menyuburkan tradisi budaya pre mordial Cina. Ini menghalangi proses asimilasi selanjutnya.

Situasi eksklusivisme Cina/Tionghoa bukan hanya terjadi secara alamiah, sebab pemerintah Cina demi alasan ekonomi ikut mendorong pelestarian budaya Cina dimana masyarakat Cina yang merantau dapat membantu pemerintah Cina dalam hal


(38)

ekonomi. Situasi ini bertambah parah lagi karena pemerintah kolonial ikut pula melestarikan budaya eksklusif ini dengan politik adu-dombanya. Pemerintah kolonial menginginkan agar orang Cina tidak terlalu dekat dengan orang Pribumi sehingga orang Cina tidak menjadi pesaing bagi pemerintah kolonial tetapi dapat dijadikan pelaku dagang yang menguntungkan Belanda .

Potensi dagang orang Cina mengkhawatirkan pemerintahan kolonial Belanda yang berada di Indonesia. Bila orang-orang Cina yang sangat berbakat dagang itu bersatu dengan orang-orang Pribumi maka kedudukan pemerintah kolonial pasti terancam. Itulah sebabnya oleh Belanda orang-orang Cina diadu dan dijadikan perisai dalam menghadapi orang-orang Pribumi khususnya dalam hal perdagangan.

Tuduhan eksklusivisme orang Cina menebal dengan adanya kerinduan sebagian besar orang Cina untuk mencari uang sebanyak-banyaknya di tanah seberang dan mengirimkan kepada keluarga mereka di Cina.

Memasuki abad ke-XX dimana-mana timbul kesadaran nasionalisme, baik di Cina maupun Indonesia. Situasi ini dihadapi oleh pemerintah Belanda dengan mempertajam politik adu-dombanya, lebih-lebih jumlah orang Cina di Indonesia pada awal abad itu sudah mencapai lebih dari satu juta jiwa. Orang Cina memang merupakan dilema bagi orang Belanda. Disatu pihak mereka merupakan pesaing dagang, di pihak lain mereka diperlukan sebagai perantara bahkan perisai untuk menghadapi orang Pribumi (Koentjaraningrat, 2002).

Banyak orang Cina dijadikan sebagai penarik pajak dari orang Pribumi dan banyak diantaranya menggunakan tugas itu untuk keuntungan diri sendiri pula. Itulah sebabnya kemudian orang Cina dianggap warga negara kelas-2 oleh Belanda, dan Belanda menganggap dirinya sebagai warga negara kelas-1 bersama orang Barat


(39)

lainnya. Ini untuk menghadapi orang Pribumi yang dianggap sebagai warga negara kelas-3 (Herlianto, 2001).

Sekalipun demikian banyak orang Cina yang memang pada dasarnya adalah pedagang bebas tidak mau begitu saja direndahkan sekedar menjadi pedagang perantara. Banyak diantaranya kemudian menjadi penyelundup dan berdagang langsung dengan penduduk Pribumi.

Makin besarnya jumlah orang Cina, membuat kesadaran nasionalisme pada orang-orang Cina meningkat, hal ini dapat dilihat dengan didirikannya sekolah-sekolah Cina di Indonesia. Perkembangan tersebut membuat orang Cina lebih senang menyebut diri mereka sebagai 'Tionghoa' untuk mengaitkan diri dengan tanah leluhur 'Tiongkok.

Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah eksklusif yang dinamakan Holandse Chinese School dengan status subsidi pada tahun 1908 yang dibedakan dengan Holandse Indische School untuk orang-orang Pribumi. Sekolah Cina/Tionghoa memiliki kurikulum yang disamakan dengan sekolah-sekolah Belanda dan dengan bahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1917 pemerintah Belanda menyamakan hukum orang Cina dengan Belanda dan meninggikan status orang Cina daripada Pribumi. Sejak itu orang Cina mendapat tiga kursi wakil dalam Volksraad (DPR) (Herlianto, 2001).

Kedekatan orang Cina dengan Belanda juga dipicu oleh banyaknya orang-orang Cina yang kemudian masuk agama Kristen dan Katolik yang sama dengan agama orang-orang Belanda. Pada tahun 1920 orang-orang Cina yang berpendidikan Belanda mendirikan organisasi Chung Hua Hui yang mendapat perwakilan di Volksraad pada tahun 1939. Pada tahun 1940 banyak orang Cina belajar ke negeri Belanda sehingga menambah jumlah golongan orang Cina yang berorientasi ke


(40)

Belanda. Pada tahun 1932 juga berdiri Partai Tionghoa Indonesia dan diberi kursi di Volksraad tahun 1939 yang bertujuan agar orang-orang Cina perantauan menjadi warga negara Indonesia dan melepaskan diri dari kewarga-negaraan negeri Cina (Herlianto, 2001).

Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan orang Indonesia pribumi memang dilandasi sikap antipati kepada kolonialis Belanda tetapi juga kepada orang-orang Tionghoa yang hidupnya secara ekonomis lebih maju dari mereka. Dalam kenyataannya memang orang-orang Indonesia Pribumi sangat tertinggal dari mereka baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun politik. Ini disebabkan karena politik ekonomi pemerintah kolonial yang berat sebelah (Herlianto, 2001).

Pada waktu penjajahan Jepang di tahun 1941-1945, kemelut ekonomi menjadikan ekonomi rakyat Pribumi makin terpuruk dan menjadikan orang-orang Cina memonopoli ekonomi dan menjadi tukang kredit. Di masa itu ada banyak orang Cina yang memihak rakyat pribumi dan melawan Belanda, tetapi banyak juga yang membela Belanda dimana selama ini mereka telah mendapat keuntungan dari Belanda. Disisi lain, banyak yang berusaha menyelamatkan diri dan hanya mencari keuntungan di pemerintahan manapun yang ada pada masa tersebut (Herlianto, 2001).

Setelah kemerdekaan RI di tahun 1945 dan Belanda meninggalkan RI di tahun 1950, kekosongan ekonomi yang ditinggalkan oleh monopoli Belanda dengan segera diisi oleh para pedagang Cina. Dengan demikian di awal kemerdekaan RI, sebagian perusahaan dan usaha dagang dikuasi orang-orang Cina baik di kota maupun di desa-desa (Herlianto, 2001).

Sementara itu, pemerintah Cina meniupkan politik Nasionalisme Tiongkok, sehingga pemerintah Tiongkok mulai memperhatikan Hoa-Kio (Tionghoa perantauan). Pada masa itu, pemerintahan Tiongkok menerapkan undang-undang


(41)

kewarganegaraan RRC dengan menganut prinsip ius sanguinis, yaitu semua anak yang lahir dari ayah atau ibu etnis Tionghoa adalah warga negara Cina tanpa memandang tempat kelahirannya. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip ius soli, dimana semua anak yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan orang tuanya (Herlianto, 2001).

Di Indonesia, peristiwa anti etnis Tionghoa terlihat dengan adanya peristiwa G30S PKI. Pemerintah Indonesia curiga bahwa orang Tionghoa ikut terlibat pada peristiwa ini. Akibatnya, pemerintah orde baru segera mengambil tindakan dengan menutup konsulat dan kedutaan RRC (Soekisman, 1975).

Di tahun 1967, orang-orang etnis Tionghoa dianjurkan untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia untuk memperkecil perbedaan antara WNI keturunan Cina dengan WNI asli. Sekalipun demikian, memang tidak mudah bagi orang-orang Cina yang secara tradisi budaya memiliki perasaan eksklusif dan superioritas untuk bisa menempatkan diri dalam konteks kemerdekaan. Apalagi ketika di jaman Belanda warganegara Indonesia memiliki tingkatan yang sama dengan orang-orang Belanda dan dibuat lebih tinggi statusnya dari orang-orang Pribumi. Keunggulan dalam perdagangan dan pendidikan waktu itu menyebabkan program ganti nama seakan-akan mudah layaknya berganti baju dengan badan yang sama (Soekisman, 1975).

Untuk mengikis sikap eksklusivisme itu, pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol Cina, baik berupa surat kabar maupun penggunaan bahasa Cina di muka umum. Pada tahun itu pula dikeluarkan peraturan untuk tidak menggunakan nama 'Tionghoa' karena konotasi keterkaitannya dengan 'Tiongkok' negeri leluhur ras ini. Untuk meredam konflik lebih besar pemerintah Orde Baru memandang orang-orang Cina yang menjadi WNI sebagai berhak dan berkewajiban sama dengan yang


(42)

Pribumi, dan menganjurkan agar WNI keturunan Cina dapat membuka usaha bersama orang Pribumi (Soekisman, 1975).

2. Kebudayaan etnis Tionghoa

(a) Sikap Mental Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa memiliki sikap mental yang berlandaskan pada ajaran Kong Fu Tse ; yang menekankan pada sikap hubungan keluarga, negara dan bangsa berdasarkan kesadaran akan kedudukan orang Tionghoa yang lebih superior, lebih tinggi dan lebih maju (Hidayat, 1977). Pandangan ini menyebabkan orang Tionghoa tidak mudah melepaskan diri dari adat istiadat dan kebiasaan sosialnya.

Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak untuk pertama kalinya, hal ini akan memudahkan anak untuk menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Terlebih lagi ajaran Kong Fu Tse menyangkut kedudukan setiap anggota keluarga sehingga memungkinkan social control yang kuat dalam menginternalisasi nilai-nilai kepada anak (Haryono, 1993). Salah satu sifat khas orang Tionghoa adalah tetap mempertahankan pola pemikiran, perbuatan dan pola kehidupan tradisi leluhurnya (Hidayat, 1977). Oleh karena itu, ajaran Kong Fu Tse mengenai keluarga tertanam begitu kuat dimanapun orang itu berada.

Pada tingkat kelompok, kuatnya nilai-nilai kekeluargaan yang tertanam pada orang Tionghoa akan menjadikan ia memiliki identifikasi yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai kelompok sosial tertentu (in-group). Terbentuknya perasaan in-group yang kuat secara tidak langsung akan membentuk etnosentrisme pada etnis Tionghoa.


(43)

Etnis Tionghoa sebagai bangsa yang pernah mengalami peradaban yang tinggi akan mengukur dan membandingkan bangsa lain berdasarkan nilai-nilai pada kebudayaannya sendiri. Sifat orang Tionghoa yang rajin, ulet, tekun dan pandai berdagang merupakan modal utama bagi kelangsungan hidup mereka. Identitas seperti ini menjadikan etnis Tionghoa memiliki sikap in-group feeling yang kuat, yang merasa memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Hal ini tentu akan menyebabkan terbentuknya etnosentrisme yang kuat (Haryono, 1994).

(b) Sistem Kekeluargaan

Etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilineal, dimana dalam keluarga inti yang memegang kekuasaan dan peran penting adalah ayah dan anak laki-laki (Hidayat, 1977). Anak laki-laki dalam kelompok etnis Tionghoa akan menerima warisan yang paling banyak, sedangkan anak perempuan tidak mendapat harta warisan. Namun, dengan adanya perubahan orientasi kebudayaan akibat modrenitas, membuat etnis Tionghoa melakukan orientasi kebudayaan barat dan orientasi kebudayaan pada daerah setempat. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan bilateral, yang mana terdapat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (Tan, 1979).

(c) Religi

Pada umumnya etnis Tionghoa di Indonesia dianggap menganut agama Buddha. Di negara Cina, memang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Buddha, namun di Indonesia masyarakat Cina memiliki keyakinan


(44)

yang beraneka ragam. Ada yang menganut agama Buddha, Khatolik, Kristen, Islam, Tao ataupun Kong Fu Tse (Suryadinata, 1984).

Sebagia besar etnis Tionghoa masih percaya terhadap pemujaan terhadap para leluhurnya. Anggota keluarga yang memelihara abu leluhur, melakukan upacara pemujaan terhadap leluhur ditempat abu leluhur. Tempat itu berupa meja panjang yang tinggi dan dibawahnya ada pula sebuah meja lain yang pendek. Meja-meja tersebut biasanya diletakkan didepan ruangan rumah dan pada umumnya bewarma merah tua yang dihiasai dengan ukiran yang beraneka ragam. Diatas meja tersebut, ada satu atau lebih tempat untuk menancapkan dupa, yang oleh orang Tionghoa disebut hio lau. Dibagian kanan dan kiri hio lau terdapat sepasang pelita yang dinyalakan tiap-tiap tanggal satu dan lima perhitungan Cina dengan membakar beberapa batang dupa (Hidayat, 1977).

(d) Hari Raya Etnis Tionghoa

Upacara-upacara besar yang diperingati oleh etnis Tionghoa adalah : (1) Sincia, yaitu tahun baru Imlek pada tiap-tiap tanggal satu Imlek.

(2) Ceng Beng, yaitu upacara membersihkan kuburan dan sembahyang terhadap nenek moyang pada tiap tanggal tiga bulan tiga tahun Imlek. (3) Cit Gwee, yaitu sembahyang Cio-Ko suatu sembahyang untuk para

arwah yang tidak disembahyangkan oleh sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Sembahyang ini dilakukan pada tiap-tiap tanggal lima belas bulan tujuh tahun Imlek.

(4) Peh Cun, suatu perayaan untuk memperingati tokoh Kut Goan, seorang patriot negara, menteri kerajaan Chou, yang mengakhiri


(45)

hidupnya dengan membuang diri kedalam sungai Nilo di provinsi Hunan, karena putus asa melihat negaranya dihancurkan oleh saudara Ciu. Upacara ini dilakukan setiap tanggal lima bulan lima tahun Imlek. (5) Ting Ciu, suatu perayaan pada tanggal lima belas bulan delapan tahun

Imlek, yaitu pada musim gugur di negara Cina.

(6) Tang Ce, perayaan pada tanggal pertengahan bulan sebelas tahun Imlek.

(e) Bahasa

Orang Tionghoa yang berada di Indonesia bukan berasal dari satu kelompok daerah di Cina, melainkan berasal dari beberapa suku yang berasal dari 2 provinsi yang ada di Cina yaitu Fukien dan Kwantung yang sangat terpencar-pencar daerahnya (Koentjaraningrat, 2002).

Setiap imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia masing-masing membawa kebudayaan dari suku bangsanya sendiri-sendiri. Suku bangsa yang ada memiliki bahasanya masing-masing. Ada 4 bahasa Cina yang ada di Indonesia yaitu bahasa Mandarin, Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Setiap bahasa memiliki perbedaan sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti bahasa dari pembicara yang lain (Koentjaraningrat, 2002).

Etnis Tionghoa di Indonesia saat ini sebagian besar tidak mampu secara aktif menggunakan bahasa Tionghoa. Kebanyakan dari etnis Tionghoa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat.


(46)

(f) Mata pencaharian

Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia bermata pencaharian sebagai pedagang. Selain berdagang, orang-orang etnis Tionghoa juga membuka perusahaan ataupun toko sebagai lahan usaha. Namun, dalam perkembangannya tidak sedikit juga dari etnis Tionghoa yang bekerja sebagai orang kantoran, guru, dokter, petani, buruh serta pekerjaan professional lainnya (Suryadinata, 1984).

(g) Perkampungan atau tempat tinggal

Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota, biasanya perkampungan atau tempat tinggal orang Tionghoa merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan dan terletak di daerah pusat pertokoan (Koentjaraningrat, 2002). Biasanya orang Tionghoa hidup terpisah dari penduduk asli (Indonesia). Walaupun tinggal diantara penduduk asli, etnis Tionghoa tinggal didaerah-daerah tempat budaya “penduduk asli” tidak berkembang. Keinginan etnis Tionghoa sangat besar untuk berada dengan sesama kelompok etnisnya (Suryadinata, 1984). Secara nyata dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di seluruh dunia memiliki perkampungan Cina yang dinamakan”Pecinan”. Perkampungan ini merupakan bentuk pelestarian budaya Tionghoa oleh para etnis Tionghoa.

3. Pengelompokan etnis Tionghoa

EtnisTionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari suatu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang sangat


(47)

terpencar daerah-daerahnya. Mereka berasal dari suku yang berbeda-beda ada yang berasal dari suku bangsa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton (Koentjaraningrat, 2002).

Keberagaman suku bangsa etnis Tionghoa ini membuat bahasa Tionghoa sendiri yang ada di Indonesia menjadi beraneka ragam. Ada empat bahasa Tionghoa di Indonesia, yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tak dapat mengerti pembicara yang lain (Koentjaraningrat, 2002).

Pengelompokan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu etnis Tionghoa asli (atau biasa juga disebut sebagai etnis Tionghoa Totok) dan etnis Tionghoa peranakan (Tan, 1979 ; Skinner 1979). Berdasarkan kriteria orientasi budaya dan identifikasi sosialnya, kedua kelompok ini merupakan satu garis kontinum.

a. Etnis Tionghoa totok

Kaum Tionghoa totok atau asli merupakan pendatang baru yang tiba di Indonesia. Mereka datang ke Indonesia menjelang akhir abad 19 dan awal abad ke-20. Hal ini terjadi sewaktu berlangsungnya pergolakan politik di negara Cina dan juga bersamaan dengan menaiknya permintaan akan tenaga manusia di negara-negara jajahan di Asia Tenggara (Suryadinata, 1984).

Mayoritas etnis Tionghoa totok bermata pencaharian di bidang perdagangan dan perusahaan yang mempunyai pola pemukiman terpisah dari penduduk asli (disebut sebagai daerah Pecinan). Keyakinan agama mereka berasal dari Cina Selatan, dengan bersembahyang di kuil-kuil Cina, menjalankan pemujaan kepada nenek


(48)

moyang, beragama Buddha, Kung Fu-Tse dan Tao. Sistem perkawinan yang dianut adalah monogami (Hidayat, 1977).

Berbeda dengan keadaan sesudah perang etnis Tionghoa totok generasi ini banyak lahir di Indonesia. Awalnya etnis Tionghoa totok bersekolah di tempat yang berbahasa pengantar Cina, namun sejak tahun 1966 mereka hanya memperoleh pendidikan Indonesia karena semua sekolah Cina harus ditutup. Oleh karena itu orang-orang etnis Tionghoa asli hanya dapat berbicara bahasa Cina di rumah, dan memakai bahasa campuran Indonesia dan Cina di luar rumah (Suryadinata, 1984).

Orang-orang etnis Tionghoa totok masih banyak bermukim di daerah Kalimantan Barat, Sumatera Timur (Bagan Siapiapi) dan Kepulauan Riau. Kini di daerah tersebut perkampungan-perkampungan Tionghoa masih banyak yang wujudnya kurang lebih sama dengan desa-desa di provinsi Cina selatan. Walaupun banyak diantara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dan Sumatera Timur itu mungkin sudah banyak juga yang lahir di Indonesia, tetapi mereka masih akan disebut orang Tionghoa totok oleh orang Indonesia asli (Koentjaraningrat, 2002).

Dari segi sosial ekonomi etnis Tionghoa totok dikenal lebih hemat dan rajin, hal ini terlihat dari pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka cenderung untuk bekerja sendiri. Mengenai pekerjaan, etnis Tionghoa totok lebih sukses dalam usaha perdagangan dan industri (Hidayat, 1977).

Sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis Tionghoa totok adalah sistem patrilineal, yaitu sistem dimana yang memegang peranan penting dan kekuasaan dalam keluarga inti adalah ayah dan anak laki-laki (Hidayat, 1977). Anak laki-laki dalam keluarga etnis Tionghoa akan menerima harta warisan yang paling banyak, sedangkan anak perempuan tidak mendapat harta warisan.


(49)

b. Tionghoa Peranakan

Etnis tionghoa peranakan adalah mereka yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tionghoa dan Indonesia (Koentjaraningrat, 2002). Orang tionghoa yang datang ke Indonesia sebagian besar adalah laki-laki. Mereka lalu menikah dengan wanita setempat (Suryadinata, 1984).

Dilihat dari sejarahnya, etnis Tionghoa peranakan kebanyakan berasal dari imigran suku Hokkien Cina (Morse dalam Suryadinata, 1984). Penggunaan bahasa Cina mereka sudah tidak aktif lagi. Umumnya, mereka menggunakan bahasa Melayu-Cina sebagai bahasa percakapan, yaitu bahasa dengan struktur Melayu, tetapi memakai istilah-istilah suku Hokkien-Cina dan Belanda. Mata pencaharian etnik Tionghoa peranakan pada umumnya juga berdagang, sama halnya dengan etnis Tionghoa totok, walaupun mulai pada abad ke-20, banyak juga etnis Tionghoa peranakan yang bekerja di kantor, tetapi masih banyak juga yang masih berkecimpung dibidang perdagangan (Suryadinata, 1984).

Keyakinan agama etnik Tionghoa peranakan ini bermacam-macam, namun kebanyakan menganut pemujaan kepada nenek moyang (semacam agama rakyat Cina) yang telah bercampur dengan adat pribumi (Indonesia). Hanya sejumlah kecil saja etnik Tionghoa peranakan yang menganut agama Islam, Kristen dan Katholik (Suryadinata, 1984).

Etnis Tionghoa peranakan banyak bermukim di daerah pulau Jawa yaitu daerah Jawa Timur dan Tengah. Rata-rata dari etnis Tionghoa peranakan ini sudah lupa akan bahasa asalnya. Mereka mengalami penurunan dalam penyesuaian kebudayaan dan bahkan dalam ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai orang Indonesia Asli (Koentjaraningrat, 2002). Berbeda dengan etnis Tionghoa Totok (asli) yang


(50)

hidup berkelompok dengan sesamanya, etnis Tionghoa peranakan hidup berdampingan dengan masyarakat dimana mereka bermukim (Suryadinata, 1984).

Sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis Tionghoa peranakan adalah sistem bilateral, yaitu sistem yang menganggap anak laki-laki memiliki kedudukan yang sama dengan anak perempuan (Hidayat, 1977).

Mengenai pekerjaan, kebanyakan etnis Tionghoa peranakan terserap dalam kerja kantor, tetapi ada juga yang masih berkecimpung di bidang kegiatan dagang dan perusahaan (Suryadinata, 1984).

Tabel 2.1

Profil etnis Tionghoa Totok dan Peranakan

Etnis Tionghoa Totok Etnis Tionghoa Peranakan

• Memiliki garis keturunan ayah dan ibu (kedua orangtua) beretnis Tionghoa

• Masih aktif menggunakan bahasa Tionghoa (Hokkien, Mandarin, Teo-chiu, Khek)

• Orientasi besar pada budaya Tionghoa (adat istiadat, keyakinan dan hari raya)

• Lingkungan tempat tinggal terpisah dengan penduduk asli (berada dalam lingkungan yang sebagian besar etnis Tionghoa = daerah Pecinan)

• Dalam sistem kekerabatan masih berpegang pada sistem patrilineal yaitu anak laki-laki dianggap lebih

• Memiliki ayah atau ibu (salah satu dari orangtua) beretnis Tionghoa

• Sudah tidak aktif

menggunakan bahasa Tionghoa (menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat)

• Cenderung berorientasi pada kebudayaan Indonesia

• Lingkungan tempat tinggal berbaur dengan penduduk asli.

• Sistem kekerabatan bersifat bilateral, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki


(51)

tinggi dari wanita

• Sebagian bermata pencaharian sebagai pedagang.

kedudukan yang sama

• Banyak yang bermata

pencaharian di kantor, berdagang dan perusahaan.

Sumber : diambil dari Suryadinata, L. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta : Grafiti Pers

C. Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok (asli) dan Peranakan

Sikap etnosentris diartikan sebagai suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari suatu kelompok sosial berdasarkan etnis tertentu, yang memiliki in-group feeling yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan, nilai, keyakinan, pandangan, sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya sebagai segala sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok sosial lain.

Etnis Tionghoa di Indonesia bukan merupakan kelompok etnis yang homogen. Identifikasi terhadap etnis Tionghoa terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu etnis Tionghoa totok (asli) dan etnis Tionghoa peranakan. Sekilas, sulit untuk membedakan etnis Tionghoa totok (asli) dengan etnis Tionghoa peranakan, walaupun ketika diamati maka perbedaan itu terletak pada lafal dan ucapan-ucapannya dalam kehidupan sosial budaya, corak pendidikan serta adat istiadatnya (Hidayat, 1977). Secara fisik, etnis Tionghoa totok memiliki karakteristik mata sipit dan kulit bewarna kuning. Etnis Tionghoa peranakan memiliki karakteristik perpaduan antara etnis Tionghoa totok (asli) dan Indonesia asli, seperti mata sipit dan kulit berwarna sawo matang. Menurut Sahrah (2005) perbedaan dari segi non-fisik etnis Tionghoa Totok (asli) dan peranakan pada perbedaan agama, adat istiadat, bahasa dan pemakaian nama.

Adanya perbedaan fisik dan non fisik itulah yang membuat etnis Tionghoa totok dan peranakan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena orientasi budaya


(52)

yang dipelajari dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tempat mereka bermukim. Etnis Tionghoa totok (asli) memiliki orientasi budaya lebih banyak pada Tionghoa totok. Di lingkungan keluarga (orangtua) yang berasal dari etnis Tionghoa tentunya akan mensosialisasikan dan menginternalisasikan adat kebiasaan budaya Tionghoa kepada setiap individu etnis Tionghoa. Selain itu, etnis Tionghoa totok (asli) cenderung hidup berkelompok yang terpisah dari lingkungan masyarakat Indonesia asli (pecinan), sehingga banyak berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa, menggunakan bahasa Tionghoa dan menjalankan kebiasaan adat istiadat mereka. Itulah sebabnya orientasi terhadap etnis Tionghoa lebih besar.

Pada etnis Tionghoa peranakan cenderung kurang berorientasi pada budaya Tionghoa. Hal ini terjadi karena kedua orang tuanya berasal dari percampuran etnis Tionghoa totok (asli) dan Indonesia asli, sehingga ada percampuran dua budaya. Orang tua mereka hidup berbaur dengan lingkungan masyarakat setempat menyebabkan orientasi budaya cenderung kearah kebudayaan Indonesia. Hal ini membuat orientasi budaya etnis Tionghoa peranakan terhadap budaya Tionghoa kurang kuat. Sikap etnosentris yang kuat terlihat pada etnis Tionghoa totok (asli) dimana lingkungan sosial (keluarga, tempat tinggal dan sekolah) mempengaruhi terbentuknya sikap etnosentris.

Etnis Tionghoa memiliki unsur-unsur sikap etnosentris. Sikap etnosentris etnis Tionghoa tercermin pada norma kultural, jatidiri etnis, bahasa dan pergaulan, yang ditunjukkan dalam diri individu setiap etnis Tionghoa.

Adanya heterogenitas pada etnis Tionghoa yaitu etnis Tionghoa totok (asli) dan etnis Tionghoa peranakan memungkinkan sikap etnosentris yang terdapat pada keduanya menjadi berbeda. Etnis Tionghoa totok yang memiliki orientasi budaya yang kuat terhadap budaya Tionghoa akan memiliki sikap etnosentris yang lebih


(53)

besar. Diasumsikan berdasarkan aspek-aspek sikap etnosentris, norma atau nilai dari budaya Tionghoa pada etnis Tionghoa totok (asli) lebih dalam terinternalisasi pada diri etnis Tionghoa totok (asli). Hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan disekitar etnis (lingkungan keluarga, tempat tinggal dan sekolah). Ini membuat etnis Tionghoa totok (asli) dalam berperilaku hanya berorientasi pada budaya Tionghoa dan tidak memperdulikan norma atau nilai yang ada pada kelompok lainnya. Pada etnis Tionghoa Totok (asli) ditanamkan norma bahwa individu yang ada pada etnis Tionghoa disarankan untuk memilih pasangan hidup yang sama dengan sesama etnisnya. Jika etnis Tionghoa Totok (asli) memilih pasangan hidup yang diluar etnis Tionghoa maka individu tersebut memiliki kecenderungan mendapatkan punishment sosial dari lingkungan masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini menjadikan individu tersebut merasa dikucilkan dari lingkungan

Pada jatidiri etnis, etnis Tionghoa memiliki keterikatan secara emosional yang besar terhadap etnis Tionghoa, hal ini terlihat pada identifikasi yang besar terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Eksklusivitas yang terlihat pada etnis Tionghoa lainnya adalah kehidupan bermasyarakatnya. Rata-rata, kota-kota di Indonesia memiliki kampung Cina yang dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan ini dihuni oleh sebagian besar orang Tionghoa yang masih melestarikan budaya Tiionghoa. Hal ini tampak pada bangunan rumah yang berciri khas budaya Tionghoa, warna-warna khas Tionghoa yaitu merah mendominasi warna rumah tersebut.

Etnis Tionghoa totok (asli) akan menggnuakan bahasa Tionghoa secara aktif dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan keluarga, individu akan disosialisasikan dan diinternalisasikan bahasa Tionghoa yang merupakan bahasa ibunya. Hal ini akan menimbulkan sikap etnosentris. Saat individu etnis Tionghoa bertemu dengan sesama anggota kelompok etnisnya, mereka akan secara aktif menggunakan bahasa Tionghoa.


(54)

Rasa kedekatan secara emosional ini membuat etnis Tionghoa merasa bahwa bahasa Tionghoa dapat menjadikan mereka merasa bersaudara satu sama lainnya walaupun secara asal dan marga (nama keluarga) mereka berbeda.

Dalam hal pergaulan sehari-hari, keinginan etnis Tionghoa totok (asli) untuk cenderung bergaul dengan orang-orang sesama etnis Tionghoa lebih besar. Hal ini dikarenakan dengan bergaul sesama etnis Tionghoa, mereka merasa memiliki kesamaan secara karakteristik dan berpikir. Etnis Tionghoa Totok (asli) sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang. Kesamaan profesi diantara etnis Tionghoa Totok ini menjadikan etnis Tionghoa Totok (asli) sering berkumpul bersama untuk membahas bagaimana perkembangan usaha mereka. Seringnya etnis Tionghoa Totok (asli) ini berkumpul dengan sesamanya memberikan kesan bahwa mereka hanya bergaul dengan sesama etnisnya saja. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa terkesan eksklusif, sehingga sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) tampak lebih kuat.

Pada etnis Tionghoa Peranakan yang memiliki orientasi yang kurang terhadap budaya Tionghoa menjadikan etnis Tionghoa peranakan memiliki sikap etnosentris yang cenderung lebih rendah dibandingkan etnis Tionghoa Totok (asli). Etnis Tionghoa peranakan diasumsikan norma kultural dan jati diri etnis sebagai etnis Tionghoa mengalami kepudaran, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat, budaya serta kelekatan emosi sebagai etnis Tionghoa menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan pada etnis Tionghoa peranakan orientasi budaya tidak terfokus pada budaya Tionghoa tetapi telah mengalami asimilasi dengan budaya Indonesia. Etnis Tionghoa peranakan merasa diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sehingga hal-hal yang berbau budaya Tionghoa tidak menjadi keharusan bagi etnis Tionghoa peranakan untuk melestarikan atau menjalaninya. Ini menjadikan etnis


(55)

Tionghoa peranakan memiliki sikap etnosentris yang lebih rendah dari etnis Tionghoa totok (asli).

Pada aspek bahasa, etnis Tionghoa peranakan mengalami penurunan dalam pelestarian bahasa Tionghoa untuk berkomunikasi, cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Hal ini dikarenakan etnis Tionghoa peranakan telah melakukan asimilasi dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia.

Dalam pergaulan sehari-hari, etnis Tionghoa peranakan cenderung berbaur dengan masyarakat setempat. Lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap etnosentris. Proses sosialisasi banyak dihabiskan dengan teman sebaya dalam situasi bergaul, bekerjasama dan sekolah. Etnis Tionghoa peranakan cenderung bersekolah di sekolah yang terdiri dari berbagai macam budaya atau etnis. Hal ini membuat etnis Tionghoa peranakan mampu berbaur dengan etnis lain yang mana secara fisik, etnis Tionghoa peranakan tidak jauh berbeda dengan etnis Indonesia lainnya.

Berkaitan dengan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti tertarik untuk menjadikan generasi muda Tionghoa dalam hal ini diwakilkan oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian. Hal ini disebabkan karena peneliti merasa bahwa generasi muda Tionghoa saat ini sudah mengalami penetrasi sosial dimana nilai, pikiran dan perilaku pada keadaan dahulu yang dialami etnis Tionghoa berbeda dengan keadaan yang ada saat ini.


(56)

Tabel 2.2 Aspek-aspek Pembeda

Aspek pembeda Etnis Tionghoa Totok (Asli) Etnis Tionghoa Peranakan

Norma kultural Menjalankan norma-norma yang terdapat pada budaya etnis Tionghoa dengan taat.

Norma-norma yang terdapat pada budaya etnis Tionghoa menjadi longgar dijalankan. Jatidiri etnis Identifikasi diri terhadap segala

sesuatu yang berhubungan dengan budaya Tionghoa (memiliki nama Tionghoa).

Identifikasi terhadap segala hal yang berbau budaya Tionghoa mulai pudar (tidak memiliki nama Tionghoa).

Pergaulan sehari-hari

Cenderung bergaul dengan sesama etnis Tionghoa.

Sudah berbaur dengan masyarakat setempat.

Bahasa Menggunakan bahasa Tionghoa

(Hokkien, Teo-Chiu, Mandarin, Khek) secara aktif untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa (menjadikan bahasa Tionghoa sebagai bahasa ibunya)

Tidak dapat menggunakan bahasa Tionghoa (Hokkien, Teo-Chiu, Mandarin, Khek) untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa. Cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat

Sikap Etnosentris Menggunakan bahasa Tionghoa sebagai alat komunikasi dalam

kehidupan sehari-hari, menjalankan norma kebudayaan

Tionghoa dengan taat, cenderung bergaul dengan sesama etnis Tionghoa, mengidentifikasikan diri terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya Tionghoa (kelekatan emosi yang besar terhadap budaya Tionghoa).

Tidak aktif menggunakan

bahasa Tionghoa (menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah

setempat), norma pada budaya etnis Tionghoa menjadi longgar untuk dijalankan, lebih berbaur dalam pergaulan, serta identifikasi terhadap budaya Tionghoa mulai pudar (kelekatan emosi yang lemah terhadap budaya Tionghoa).


(57)

D. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah etnis Tionghoa Totok (asli) memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.


(58)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kausal komparatif.

Desain kausal komparatif merupakan desain penelitian yang membandingkan dua atau

lebih jenis sampel penelitian. Berdasarkan keterangan tersebut, penulis mencoba

untuk mengetahui dan membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa totok

(asli) dan etnis Tionghoa peranakan

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel-variabel penelitian yang digunakan, adalah:

1. Variabel tergantung

Variabel tergantung adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2002). Variabel inilah yang

nantinya akan menjadi pusat persoalan penelitian. Variabel tergantung dalam

penelitian ini adalah sikap etnosentris.

2. Variabel bebas

Variabel bebas atau terikat adalah variabel yang dipandang menjadi

sebab timbulnya atau berubahnya variabel tergantung (Sugiyono, 2002). Jadi

variabel bebas ini adalah variabel yang mempengaruhi variabel tergantung.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Ketionghoaan. Ketionghoaan

dikategorikan menjadi dua, yaitu Tionghoa totok (asli) dan Tionghoa


(59)

3. Variabel kontrol

Variabel kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat

konstan, sehingga tidak akan mempengaruhi variabel utama yang diteliti.

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah pendidikan. Tingkat pendidikan

pada penelitian ini diutamakan tingkat pendidikan formal yaitu laki-laki atau

perempuan yang sedang menjalani pendidikan di Universitas (mahasiswa).

C. Definisi Operasional

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Ketionghoaan. Pada

dasarnya Ketionghoaan terdiri atas dua kategori, yaitu Tionghoa Totok (asli)

dan Tionghoa peranakan.

Tionghoa totok (asli) adalah etnis Tionghoa yang berasal dari orang tua

yang sama-sama etnis Tionghoa (bapak dan ibu etnis Tionghoa), orang-orang

Tionghoa yang masih berorientasi pada budaya Tionghoa, menggunakan

bahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari di dalam rumah dan bahasa

campuran Indonesia di luar rumah, Tionghoa totok (asli) ini sebagian besar

menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi atau karena lahir di

Indonesia. Sedangkan, Tionghoa peranakan adalah orang-orang yang lahir dari

perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan Indonesia, penggunaan

bahasa Tionghoa mereka sudah tidak aktif lagi, mereka cenderung

menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah dimana mereka tinggal.

Untuk mendapatkan keterangan mengenai diri subjek apakah subjek tergolong

Tionghoa totok (asli) atau Tionghoa peranakan pada skala sikap etnosentris


(60)

ketionghoaannya yang terdiri atas nama Tionghoa, orang tua (ayah dan ibu)

yang berasal dari etnis Tionghoa totok (asli) atau etnis Tionghoa peranakan,

asal, bahasa Tionghoa yang dikuasai.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sikap etnosentris.

Sikap etnosentris adalah suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari suatu

kelompok sosial berdasarkan etnis tertentu, yang memiliki in-group feeling

yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan,

nilai, keyakinan, pandangan, sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya

sebagai segala sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki

kelompok sosial lain. Aspek-aspek dari sikap etnosentris yang akan diukur

meliputi :

(a) Norma kultural

Norma kultural diartikan sebagai wujud dari sikap dan perilaku yang

ditanamkan kepada setiap individu sejak awal perkembangan individu

yang diinternalisasikan melalui proses belajar dari keluarga maupun

lingkungan kelompok etnis.

(b) Jatidiri etnis

Jatidiri etnis merupakan bagian konsep diri individu yang berasal dari

pengetahuan tentang keanggotannya dalam suatu kelompok sosial,

bersama dengan nilai dan signifikansi emosional yang dilekatkan pada

keanggotaan itu.

(c) Pergaulan

Kesediaan menjadikan orang lain, baik itu etnis Tionghoa atau etnis lain


(61)

(d) Bahasa

Bahasa dijabarkan sebagai penggunaan bahasa Tionghoa dalam

berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa.

Untuk mengetahui sikap etnosentris, maka diungkap dengan

menggunakan skala berdasarkan empat aspek tersebut. Nilai sikap etnosentris

dalam penelitian ini diperoleh dari skor skala sikap etnosentris. Semakin tinggi

skor yang diperoleh, berarti semakin tinggi sikap etnosentrisnya. Sebaliknya,

semakin rendah skor yang diperoleh, berarti semakin rendah sikap

etnosentrisnya.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa beretnis Tionghoa yang

berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan di Universitas Kristen Duta

Wacana. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok etnis

Tionghoa totok (asli) dan etnis Tionghoa peranakan.

Alasan pembatasan sampel penelitian ini adalah:

1. Pemilihan mahasiswa sebagai subjek penelitian ini didasarkan pada pendapat

Yulia (1997) yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah masyarakat dengan

latar belakang pendidikan spesifik, sehingga hasil pengukuran juga

mencerminkan diri masyarakat. Kelompok ini memiliki kesempatan lebih

untuk menjadi pemegang peranan penting dalam menentukan sikap dan

tindakan terhadap objek dalam 1 atau 2 dasarwasa mendatang dalam

kehidupan bermasyarakat.

2. Subjek penelitian harus berada dalam satu sampel penelitian yang homogen


(62)

sama diharapkan dapat mengontrol variasi lain yang mungkin muncul

mempengaruhi sikap etnosentris.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu dengan memilih sekelompok subjek berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat

populasi yang telah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991).

E. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Membuat skala sikap berdasarkan blue print yang telah dibuat 2. Melakukan uji coba (try out) skala sikap etnosentris

3. Melakukan estimasi validitas dan reliabilitas

4. Memilih item-item yang layak

5. Melakukan pengumpulan data dengan menyebar alat ukur berupa skala sikap

etnosentris.

6. Melakukan analisis data dengan uji t

7. Membuat pembahasan dari hasil yang telah diperoleh

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Skala Sikap etnosentris

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang

dibagikan secara langsung pada subjek penelitian untuk diisi, agar diketahui

seberapa besar sikap etnosentris didalam diri subjek. Skala merupakan metode


(63)

diberikan kepada subjek dan subjek diminta untuk memberikan jawaban

terhadap pertanyaan atau pernyataan tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala sikap etnosentris

yang didasarkan pada aspek-aspek etnosentrisme yang disusun peneliti.

Butir-butir pernyataan dalam aspek ini meliputi aspek-aspek penting yang digunakan

untuk mengungkap sikap etnosentris. Aspek-aspek tersebut adalah : bahasa,

pergaulan, norma kultural dan jati diri etnis.

Skala sikap etnosentris ini terdiri dari dua bagian yakni bagian identitas

dan bagian pernyataan. Bagian identitas berguna untuk mendapatkan

keterangan mengenai diri subjek apakah subjek tergolong etnis Tionghoa totok

(asli) atau etnis Tionghoa peranakan, sedangkan bagian pernyataan

dimaksudkan untuk mengungkapkan sikap etnosentris subjek.

Skala yang digunakan peneliti untuk mengukur sikap etnosentris

berjumlah 60 item pernyataan. Kuesioner ini merupakan kuesioner langsung

tertutup, yakni kuesioner yang disertai dengan pernyataan dan pilihan jawaban

sehingga responden tinggal memilih jawaban yang dinilai paling sesuai

dengan dirinya. Skala sikap etnosentris ini disusun dengan menggunakan

metode Summated Rating dari Likert.

Skala yang digunakan memiliki 4 kategori jawaban, yaitu sangat setuju

(SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Alternatif

jawaban dibuat dalam 4 kategori dengan maksud menghindari kecenderungan

subjek penelitian menjawab pernyataan dengan alternatif jawaban yang netral

atau ragu-ragu.

Pernyataan-pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk item


(1)

4 2 2 1 130

3 2 3 2 130

3 2 2 2 130

3 3 4 1 131

4 2 4 1 132

4 3 3 2 132

3 2 2 1 132

3 3 2 1 132

2 2 4 2 132

3 4 4 1 133

3 3 2 2 133

3 3 4 1 134

3 3 4 1 134

4 2 4 1 135

4 4 3 1 137

4 4 3 1 137

3 3 4 3 140

4 2 4 1 141

4 4 1 2 144

3 4 3 2 149


(2)

UJI NORMALITAS KELOMPOK SUBJEK ETNIS TIONGHOA

TOTOK (ASLI) DAN TIONGHOA PERANAKAN

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Total 120 124,5 13,50 75 168

Uji Normalitas Etnis Tionghoa Totok (Asli) dan Tionghoa Peranakan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

120 124.25 13.50 .059 .047 -.059 .651 .790 N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

TOTAL

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(3)

TOTOK (ASLI)

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Total 48 128,69 11,64 110 168

Uji Normalitas Etnis Tionghoa Totok

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

48 128.69 11.64 .083 .083 -.060 .572 .899 N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

TOTAL

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(4)

UJI NORMALITAS KELOMPOK SUBJEK ETNIS TIONGHOA

PERANAKAN

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Total 72 121,29 13,91 75 157

Uji Normalitas Etnis Tionghoa Peranakan

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

72 121.29 13.91 .087 .069 -.087 .739 .645 N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

TOTAL

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(5)

TOTOK (ASLI) dan PERANAKAN

Group Statistics

Etnis Tionghoa N Mean Std. Deviasi Std. Error mean

Total Totok 48 128,69 11,64 1,68

Peranakan 72 121,29 13,91 1,64

Independent Sample Test

Levene’s Test for Equality of Variances

F Sig.

Total Equal Variances Assumed 0,678 0,412


(6)

UJI BEDA / UJI-T KELOMPOK SUBJEK ETNIS TIONGHOA

TOTOK (ASLI) dan PERANAKAN

Group Statistics

Etnis Tionghoa N Mean Std. Deviasi Std. Error mean

Total Totok 48 128,69 11,64 1,68

Peranakan 72 121,29 13,91 1,64

Independent Sample Test t-test for

Equality of Means

95%Confidence Interval of the

Difference

t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

Lower Upper 3,041 118 ,003 7,40 2,43 2,58 12,21